Steven itu...

Clara melepaskan tangannya dari gandengan tangan besar itu. Memberanikan diri menatap Steven dengan air mata yang masih menetes.

Ia masih mengingat dengan jelas wajah mengerikan tadi. Clara belum pernah melihat Steven semarah itu. Clara menyadari bahwa dia memang tidak mengetahui apapun tentang Steven.

"Aku harus kembali ke sekolah, pekerjaan OSIS masih banyak."

Steven mengulurkan tangan untuk menghapus air mata itu namun Clara menghindarinya. Kakinya reflek mundur ke belakang. Membuat Steven terhenyak. Bahkan tawa samar terdengar keluar dari mulutnya.

"Pergilah... Kamu bisa meninggalkanku jika takut padaku. Aku tidak membutuhkan orang yang tidak mempercayaiku," katanya dingin. Steven hanya marah, hatinya tidak benar-benar menyetujui apa yang ia katakan.

Clara menggeleng ketika Steven melangkah pergi, dia jadi semakin menangis. Bukan itu maksudnya menghindari tangan Steven. Dia hanya masih takut. Tubuhnya reflek seperti itu. Clara terduduk dengan menyembunyikan wajahnya di lutut. Steven sudah pergi, keluar gerbang dengan langkah penuh amarah.

Sam dan yang lain melewatinya begitu saja, mereka tahu apa yang terjadi karena menyaksikan pembicaraan mereka dari jauh. Tapi tidak bisa melakukan apapun. Mereka segera menyusul Steven.

Seseorang memegang pundaknya dengan lembut. Clara mendongak saat kedua pundaknya ditarik bangun. Ya, Aldo juga ada disana, dia juga mendengar semuanya.

"Sejak kapan?" tanya Aldo dengan mata berkaca-kaca. "Sejak kapan kalian ada hubungan?" lanjutnya lagi.

"Kak Al... Maaf!"

Clara melepaskan diri dan berlari meninggalkan Aldo menuju gedung asrama. Dia bingung, sedih dan juga marah. Dia hanya ingin berada di dalam kamarnya, menangis sepuasnya.

Sejujurnya, Clara tidak ingin Steven meninggalkannya. Namun ia juga memiliki rasa takut. Membuat ia merutuki kebodohannya sendiri. Dia terkejut dan bingung. Semua ini terlalu tiba-tiba. Bahkan ia tidak mengenal Steven dengan baik sebelum dengan naif menerimanya begitu saja.

Aldo melihat punggung itu menjauh darinya. Tampa sadar air matanya jatuh begitu saja. Kekecewaan merasukinya, memenuhi hati dan pikirannya seperti asap tebal yang menyesakkan dada.

Orang yang selama ini ia jaga sepenuh hati. Gadis lugu yang pada awal pertemuan mereka membuatnta jatuh cinta, dengan mudahnya pergi dan jatuh pada orang yang tiba-tiba datang. Seperti ombak besar yang menggulung rumah pasir yang telah ia bagun. Kedekatan mereka selama ini terasa semu, usaha yang ia lakukan terasa tidak bearti. Aldo mengepalkan tangannya hingga jari-jarinya memutih. Meluapkan amarahnya dalam ketidak berdayaan.

.

Dilain tempat, tepatnya di halaman bangunan kosong di samping area sekolah. Steven sedang berhadapan dengan ketiga temannya. Menatap mereka satu persatu dengan tajam. Ketiganya menunduk, menunggu apa yang akan dilakukan Steven pada mereka.

"Sam! Apakah Samanta kurang?" tanya Steven dingin. Steven baru saja menyebutkan nama pacar sahabatnya itu.

"Sungguh! Pacarnya yang merayuku, kami hanya melayani permainannya."

"Melayani permainan?" ulang Steven dingin.

"Anak perempuan itu yang mengajak kami keluar. Kami hanya ke karaoke. Kami hanya bermain," ucap Bobby, kini sudah berani mengangkat kepalanya.

Steven menghela napas, "Hindari pertikaian di sekolah, diluar aku tidak peduli, tapi di sekolah jaga sikap kalian! Setidaknya jangan buat masalah disini."

Ini adalah kedua kalinya Steven memberi mereka peringatan. Karena mereka melakukan hal yang tidak disukainya. Yang pertama ketika mereka masih berada di Singapura.

"Kami akan lebih berhati-hati," janji Teddy.

"Sam! Keluar saja asrama! Cari apartemen untuk kita berempat!"

Steven hendak melangkah pergi sebelum ia menyadari sesuatu, lalu menatap Teddy yang tampak gelisah setelah memeriksa pesan masuk diponselnya.

"Ada apa denganmu?" tanya Steven, menatap Teddy dengan curiga.

Teddy menoleh, perlahan menatapnya dengan wajah takut-takut. Sorot matanya menunjukkan kekawatiran.

"Dia disini, orang-orang kita di sana mengatakan dia berhasil keluar. Dan namanya ada di daftar penumpang pesawat menuju Jakarta siang ini. Itu artinya ia sudah sampai."

Steven terdiam beberapa saat, dia tentunya tidak takut. Dia hanya tidak suka mencari keributan. Sejak dahulu Steven cukup santai dengan orang-orang yang mencoba mengganggunya. Dia punya cara sendiri mengatasi mereka diluar pengetahuan teman-temannya.

"Kalau begitu aku akan menunggunya," jawab Steven acuh. Membuat ketiga temannya saling bertukar pandang dengan kawatir.

.

Mereka kembali ke kelas masing-masing untuk mengambil tas sekolah. Hari ini sekolah secara kebetulan meliburkan seluruh mata pelajaran karena persiapan festival ulang tahun sekolah. Sam yang sampai di kelas dan melihat tas Clara masih di kursi bertanya pada Sinta yang duduk bersamanya.

"Kemana Clara?"

"Sejak dibawa kak Steven tadi dia belum kembali, mungkin ikut kak Steven atau mungkin pulang ke asrama. Karena anak OSIS tadi juga mencarinya." jawab gadis itu. Sudah jelas Clara tidak bersama Steven. Kesimpulannya hanya satu, Clara mungkin di asrama. Itulah yang bisa Sam pikirkan saat ini.

Sam mengangguk dan berterima kasih sebelum pergi. Meskipun Steven terkesan dingin dan acuh, Sam sangat tahu betapa frustasinya ia. Terutama Clara adalah gadis pertama yang masuk dalam ke kehidupannya. Steven tidak pernah tertarik pada siapapun, melihat cara Steven sangat posesif pada Clara, itu artinya gadis itu amat penting baginya.

Sam tahu Steven pasti belum pulang. Saat frustasi dia akan menghabiskan banyak rokok ditempat sepi. Maka Sam mulai menelusuri sekolah lagi untuk mencari sahabat sekaligus pemimpin bagi kelompok mereka itu.

"Ternyata disini?"

Steven menoleh sedikit saat rungunya mendengar suara Sam di belakangnya. Ia sedang duduk di bawah pohon belakang sekolah. Ketika Sam mendekat, Ia membuang asal rokok elektriknya dan menengadahkan tangannya pada Sam.

"Ini yang terakhir," kata Sam sebelum menghela napas dan merogoh sakunya. Memberikan rokok batangan miliknya kepada Steven.

"Itu akan merusakmu jika berlebihan," kata Sam lagi. Ia menoleh sedikit sebelum mengatakan ide gila yang terlintas di otaknya.

"Bagaimana kalau memanjat asrama wanita. Aku dengar dari temannya kamar Clara ada di lantai dua paling ujung kanan."

Steven menoleh padanya, menatapnya sesaat sebelum menjawab dengan acuh tak acuh. Seakan ide itu tidak penting untuk ia dengarkan.

"Dan untuk apa aku ke sana?"

"Memperbaiki keadaan, apa lagi? Kalian hanya saling salah faham."

Steven mengernyit dan tersenyum kecut.

"Kalian mendengar kami?"

"Tidak sengaja," sanggah Sam, takut Steven salah paham.

"Sayangnya aku tidak tahu caranya," kata Steven setengah tertawa. Tepatnya ia menertawakan dirinya sendiri.

"Hanya dengar penjelasannya... Biasanya saat aku dan Samanta bertengkar dia yang selalu mendatangiku. Menjelaskan segalanya dan aku akan mendengarkan," kata Sam. Sungguh ia sebenarnya sedikit takut-takut juga memberikan solusi seperti itu. Meski hal itu berhasil pada hubungannya, belum tentu berhasil juga pada hubungan orang lain.

Akhirnya Sam dan Steven berjalan menuju kamar asrama laki-laki. Steven ingin menginap dengab alasan mempersiapkan olimpiade pada ayahnya. Namun langkah mereka berhenti di lorong sekolah. Di hentikan oleh seorang anak laki-laki yang dikenali Steven sebagai anggota OSIS.

"Maaf Kak! Emm... Kak Steven dan semua yang terlibat dalam perkelahian ditunggu kepala sekolah di kantornya," ucap anak itu dengan wajah takut-takut.

"Kalau begitu... Saya permisi Kak!" lanjutnya dan segera berlari dari sana.

Sam menoleh pada Steven, sedikit kawatir jika Steven mendapatkan masalah karena dirinya. Steven yang sadar ditatap, menoleh dengan raut kesal. Mau tidak mau, mereka harus pergi ke ruang kepala sekolah.

Sesampainya merek disana, sudah banyak orang yang hadir dan menunggunya. Termasuk Aldo sang ketua OSIS dan beberapa orang dewasa yang diyakini Steven merupakan orang tua dari Vino dan kawanaannya.

"Stev, silahkan duduk. Ada sedikit masalah mengenai insiden di kantin tadi," ucap kepala sekolah.

Steven menatap para orang tua yang sedari tadi menatapnya tajam. Namun ia hanya acuh dan segera duduk dengan menyilangkan kaki dan melipat tangannya. Rafael yang juga disana tersenyum kecil, diam-diam mengagumi bagaimana kepribadian Steven yang tidak takut dan terlihat sangat santai.

"Saya ingin anak ini dikeluarkan! Kalau tidak saya akan menuntut sekolah karena menampung psikopat gila!" kata seorang wanita dewasa yang diyakini Steven sebagai orang tua Vino. Orang tuanya tampak angkuh, tidak jauh berbeda dengan anaknya.

Steven menatap Vino yang langsung menundukkan wajahnya. Takut menatap Steven padahal ia tidak melakukan apapun. Tatapan Steven beralih pada ibu Vino yang duduk di samping anaknya. Mata setajam elang itu menyipit sesaat, membaca situasi dan emosi lawannya.

Vino beralih pada kepala sekolah yang kini juga menatapnya. Dapat ia lihat, ia berada dalam kondisi yang serba salah. Steven tahu ia membutuhkannya untuk mengharumkan nama sekolah, namun ia juga kesulitan menghadapi kedua orang tua Vino yang merupakan anak seorang anggota parlemen negara.

"Kepala sekolah... Beri aku waktu 20 menit," kata Steven, dia bangkit dan melenggang pergi begitu saja keluar dari sana sebelum kepala sekolah memberikan jawaban.

"Lihat! Anak kurang ajar itu bahkan tidak merasa bersalah sedikitpun!" kesal ibu Vino.

Sam, Bob dan Ted juga ada disana, tentu saja tidak terima dengan apa yang ibu Vino ucapkan. Namun mereka masih menahan diri. Steven memberikan perintah itu lewat pandangannya sebelum keluar.

"Apa keputusan anda pak? Anak saya juga babak belur begini!"

Itu adalah salah satu orang tua lain.

"Saya sudah lihat CCTV... Sudah mengamati kejadian dengan teliti. Sebenarnya ini perkelahian antara dua belah pihak. Hanya saja ada yang lebih terluka dari yang lain," ujar kepala sekolah mencoba bijak.

"Jadi maksud anda anak kami yang cari gara-gara duluan? Sebelum kedatangan mereka anak kami tidak pernah berkelahi!" ujar ibu Vino tersulut amarah lagi.

Ingin rasanya Rafael mengatakan ada. Namun ia tahu jika hal itu ia lakukan, maka kreadibilitas ayahnya dan Aldo sebagai ketua OSIS, akan dipertanyakan oleh kakeknya karena membiarkan kekerasan terjadi di dalam sekolah. Selain itu ia tidak pernah mengambil bukti rekaman. Vino terlalu pintar menghindari CCTV saat menindas murid lain.

Tepat setelah 20 menit, dimana masih ada perdebatan kecil antara kepala sekolah dan para orang tua, Steven masuk. Dengan santai duduk di tempat semula.

"Sebenarnya... Aku sangat benci berurusan dengan wali murid. Menyelesaikan hal sepele dengan orang tua hanya pekerjaan pecundang. Apa kamu anak TK?"

Steven mengatakan hal itu langsung kepada Vino. Menatap tajam anak itu yang sejak kedatangannya kembali melempar pandangan kearah lain. Tidak berani menatapnya.

"Saya punya penawaran khusus," lanjut Steven. Lalu ia mengeluarkan ponselnya dan menyalakan sebuah Vidio. Meletakkannya di tengah meja agar semua orang bisa melihatnya.

Dapat dilihat, semua orang tua terutama ibu Vino memucat melihat vidio itu. Vino dan teman-temannya juga terlihat mati kutu. Wajah yang tadi pura-pura sebagai korban berubah menjadi tersangka yang mendengar hukuman mati. Steven menunjukkan vidio kekerasan yang mereka lakukan seminggu yang lalu.

"Bagaimana?" Kepala sekolah menatap Steven dengan keterkejutan luar biasa. pasalnya ia selalu memeriksa CCTV setiap hari, namun tidak pernah menemukan kejadian itu.

"Itu hanya beberapa, aku sangat beruntung CCTV gedung sebelah menangkap kejadian itu meski mereka diam karena mengenal anak yang berbuat ulah. Mereka mungkin takut, tapi sayangnya aku tidak."

Steven bangkit, menatap orang tua Vino dengan dingin.

"Aku akan memberi kesempatan. Berhentilah sebelum kalian hancur. Kalian tahu, air yang tenang itu lebih berbahaya. Dan anjing yang suka menggonggong hanya akan diikat dan dikurung. Jadi harusnya kalian bisa memilih pilihan yang bijaksana."

Dingin sekali, sikap Steven yang seperti ini yang membuat siapapun takut padanya saat di Singapura. Dia berbicara dan berprilaku layaknya orang dewasa. Tatapan matanya tidak memperlihatkan bahwa ia masih duduk di bangku SMA. Dia seperti memiliki energi khusus untuk membuat siapapun tunduk padanya.

Steven mengangguk sesaat pada kepala sekolah untuk menghormatinya. Meraih ponselnya sebelum keluar diikuti teman-temannya yang sedari tadi diam saja.

Seperti inilah Steven saat teman-temannya mendapatkan masalah. Selalu saja ia yang menyelesaikan dengan caranya. Karena itulah, baik Sam, Bob dan Ted selalu bersih di mata orang tua mereka. Karena hal ini juga, mereka menghormati Steven selayaknya pemimpin walau Steven tidak pernah mendeklarasikan diri.

Mereka selalu merasa dilindungi. Meskipun tentu saja, kemarahan Steven adalah hal yang paling mereka takuti. Bukan karena kemungkinan akan dipukul, sampai detik ini mereka juga tidak pernah mendapatkan kekerasan darinya. Apa yang mereka takutkan adalah Steven yang mungkin tidak ingin menjadi teman mereka lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!