Bertemu Arnold

Steven memasuki kelas bersama Ted dan Bob. Baru saja ia duduk, Lea sudah menghampirinya dan memberikan sebuah kopian beberapa soal dan juga coklat mahal padanya.

"Itu titipan ibu Mira. Katanya bahan latihan untuk olimpiade nanti. Ibu Mira juga bi-bilang ja-jangan kemana-mana usai jam pertama. Hmm la-lalu_ "

"Aku mengerti," potong Steven datar.

Ia mengambil kertas kopian tapi tidak mengambil coklatnya.

Lea yang sedari tadi gugup tidak seperti biasanya pelan-pelan kembali ke kursinya. Wajahnya luar biasa merah.

Bobby dan Teddy yang duduk asal di meja depan dan di kursi Fajar yang belum datang hanya menggeleng remeh. Di meja Steven bukan hanya ada satu coklat. Ada 3 coklat dan beberapa kado berpita. Ted mengambil salah satu coklat dan membukanya. Dengan santai memakannya tanpa merasa bersalah.

"Apa perlu kami turun tangan untuk ini?" tanya Bob melihat Steven hanya mengacuhkan seluruh hadiah.

"Lakukan saja," gumam Steven acuh.

Bobby dan Teddy mengambil semua kado dan coklat di meja Steven saat bunyi bel masuk terdengar. Membawanya ke meja mereka dan memasukannya kedalam plastik besar yang sudah berisi tumpukan kado sebelumnya. Biasanya Steven membuangnya, namun teman-temannya berniat mengumpulkan dan mencari identitas pengirimnya saja. Tujuannya tentu saja untuk menghentikan mereka.

Usai pelajaran pertama, Steven berjalan keluar sendirian. Tujuannya adalah kelas Clara. Sejak pagi mereka belum bertemu dan Steven juga tidak menerima kabar apapun sejak kemarin.

Sesampainya di depan kelas Clara, ia berdiri di depan pintu. Ternyata kelasnya masih ada guru karena ia bisa mendengar suara guru dari luar. Saat pintu terbuka, guru yang hendak keluar terkejut dengan adanya Steven di depan kelas.

"Steven! Sedang apa disini? Ini belum jam istirahat." tanya guru perempuan itu.

"Menemui seseorang," jawab Steven datar.

"Oh ... Sebaiknya jangan lama. Sebentar lagi kelas ini juga ada pelajaran lain," ucap guru itu sebelum pergi.

Steven menatap Clara yang sudah menatapnya sedari tadi. Memberi isyarat agar menghampirinya di luar.

"Ada apa?"

Saat ini mereka berdiri sedikit jauh dari kelas karena Steven bisa melihat beberapa anak perempuan yang mengintip melalui jendela atau malah terang-terangan berdiri di depan pintu kelas hanya untuk melihatnya.

"Kemana saja?" tanya Steven.

"Hah? maksudnya?"

"Kenapa tidak ada kabar?"

Clara tampak berfikir dan tersenyum setelah memahami maksud Steven.

"Aku pikir kamu serius belajar untuk olimpiade. Karena kamu tidak mengirim pesan jadi aku pikir kamu tidak mau diganggu," jawabnya.

"Lakukan kapanpun, olimpiade sama sekali tidak menggangguku," kata Steven dan membelai kepala Clara lembut sebelum menariknya kedalam pelukannya.

"Steve! Apa yang kamu lakukan di depan kelas!" protes Clara yang sudah gugup luar biasa.

"Lalu?"

"Ish! kalau guru tahu aku bisa mati!" Clara cukup kesal. Dia hanya murid biasa dan tahu guru akan dengan senang hati menghukumnya.

"Baiklah, selamat belajar."

Steven melepaskannya dan mengelus kepalanya sebelum meninggalkannya dalam keadaan malu luar biasa. Malu karena mereka jadi tontonan anak kelas dan malu karena perlakuan Steven yang membuat jantungnya maraton.

.

Jam istirahat Clara berjalan sendirian ke kantin sekolah karena temannya yang lain sudah duluan. Seperti biasa Sam mengikutinya dari jauh karena saat ini Steven sedang mengikuti pertandingan selanjutnya. Aldo yang biasanya juga menjaganya ikut pertandingan ke Kuala lumpur.

Seperti biasa, geng anak perempuan yang merasa berkuasa seperti geng Anya sedang berbuat ulah di kantin dengan membuli anak penjaga kantin yang memang sekolah di sana karena beasiswa. Alasan sepele karena anak itu tidak sengaja menyenggol lengannya.

Clara yang melihat hal itu menghembuskan napasnya dengan kasar. Selaku wakil OSIS ia berkewajiban melerai, namun langkahnya di hadang oleh Lea yang sudah berdiri di hadapannya. Menatapnya dengan angkuh.

"Mau jadi sok pahlawan lagi?" sinisnya.

Sam yang berdiri tidak jauh dari sana hanya duduk nyaman di bangku. Tidak lama Bob dan Ted bergabung dengan mereka. Rafael dan dua temannya juga memasuki kantin dan memperhatikan Clara yang sedang beradu argumen dengan Lea.

"Kalau aku jadi Lea aku akan berfikir dua kali untuk membuat Clara kesal saat ini." Itu adalah ucapan Rafael yang segera duduk dan mulai makan kerupuk yang sudah tersedia di atas meja.

"Aku pikir Samuel itu selalu mengawasinya," kata Fajar. Ketiganya reflek menoleh pada Sam yang tampak santai namun matanya memang tidak lepas dari Clara.

"Pasti suruhan Steven!" lanjut Bobbi. Ketiganya mengangguk bersamaan.

Kembali pada Clara yang jengah dengan ocehan Lea yang menurutnya tidak penting. Clara melotot saat anak yang tadi di bulli kini jatuh dan di siram. Sang ibu juga sudah memohon-mohon pada Anya namun anak itu malah melemparkan ancaman dan kalimat pedas. Tampa memperdulikan Lea, ia berjalan dengan kesal kesana dan segera menolong anak itu berdiri.

"Hentikan Anya!"

"Wow ... rakyat jelata saling menolong," ejek Anya, memandang remeh Clara.

Perhatian jelas tertuju pada mereka sejak Clara ikut campur dalam permasalahan itu.

"Bisakah kamu menghargai orang lain sedikit saja!" kesalnya, menatap Anya yang balas menatapnya remeh.

"Siapa kamu berani menyuruhku! Merasa hebat karena dekat dengan Steven! Bahkan kamu tidak sadar diri berani dekat dengannya! Aku akan tunjukan bahwa Steven hanya pantas untukku!" kata Anya dengan sangat narsis.

Tawa Sam yang keras membuat suasana sunyi tadi sedikit terpecah. Semua mata beralih padanya, semua juga tahu bahwa Sam dan dua lainnya adalah sahabat Steven si maskot sekolah yang di segani dan di takuti. Nama Steven langsung saja membuat anak lain takut dan segan sejak adanya kejadian perkelahian di kantin. Apa lagi dia tidak mendapatkan masalah bearti meskipun saat itu orang tua Vino datang. Siapapun tahu orang tua Vino sangat berpengaruh pada sekolah selama ini karena salah satu donatur tetap. Kiprahnya sebagai pejabat juga memudahkan sekolah mengambil langkah perizinan. Namun Steven dengan mudahnya keluar dari masalah bahkan Vino lah yang pindah sekolah. Meskipun tentu saja mereka tidak tahu kejadian sebenarnya. Namun desas desus berkembang dengan cepat dan menjadikan nama Steven amat ditakuti.

"Hentikan tawamu, tidak ada yang lucu!" hardik Anya ketus.

Sam bangkit dan menghampiri mereka. Bob dan Ted tidak ambil pusing. Mereka meneruskan makan tampa berkomentar.

"Tentu saja lucu, siapa kamu berani berkata seperti itu?" ejek Sam.

"Kamu akan menyesal berurusan denganku! aku bisa mendepakmu dari sini anak bermasalah!" ancam Anya dengan percaya diri.

"Hentikan Sam," cegah Clara pelan, mencoba menahan Sam yang memang suka sekali terpancing.

"Tidak usah sok baik! ****** kecil perayu sepertimu sangat memuakkan!" umpat Anya dengan nyalang. Kesal karena merasa Clara hanya pura-pura baik.

Clara hanya mendengus, dia tidak begitu peduli dan tidak ambil pusing. Berhadapan dengan anak seperti Anya sudah biasa ia lakukan jadi ia tidak terpengaruh. Berbeda dengan Sam yang langsung naik darah.

"Berani sekali tungau kecil ini menghinamu!" katanya jengkel.

"Heh! Siapa yang kamu bilang tungau dasar__" perkataan Anya terhenti saat Sam tiba-tiba memgambil air di meja terdekat dan menyiram wajahnya.

"Apa yang kamu lakukan!" teriak Anya dengan marah.

"Ah ... aku pikir tadi kamu kerasukan. Ayo Clara, jangan sampai aku terkena masalah karena kamu belum makan, tinggalkan tungau ini agar tidak terinfeksi," ucap Sam dan meraih lengan baju Clara lalu menariknya untuk pergi. Dia tidak berani menyentuh karena Steven tidak akan mengampuninya kalau tahu.

"Tunggu, Ibu tolong bawa Lidia pergi." kata Clara pada ibu kantin.

Ibu kantin itu segera bergegas setelah mengucapkan terima kasih. Sementara Anya yang masih tampak murka ditahan oleh kedua sahabatnya yang sudah sibuk membantunya membersihkan wajahnya.

"Makanlah," kata Ted pada Clara saat mereka sudah duduk.

"Terima kasih," jawab Clara saat melihat semangkuk soto yang sudah dipesankan untuknya.

"Sam, lain kali jangan begitu. Membalas bukan solusi. Anya hanya akan semakin marah dan dia bisa melampiaskan kepada anak lemah lainnya."

"Dan kamu akan terus ikut campur akan perbuatannya? Kamu baby sitternya ya?" sarkas Sam.

"Tugasku sebagai wakil ketua OSIS," ketus Clara balik.

"Hentikan, selesaikan makanmu sebentar lagi masuk kelas." nasehat Bobby dengan tenang.

Clara merengut namun tidak membantah. Mereka bertiga sudah selesai dan hanya menunggui Clara yang masih makan. Mereka sibuk masing-masing dengan ponsel membuat suasana hening. Clara yang merasa canggung akhirnya membuka suara.

"Kalian pindah ke sini karena Steven?" tanyanya.

"Tentu, dia sangat penting bagi kami," jawab Teddy.

"Lalu alasan kepindahan Steven...."

"Sebaiknya tunggu dia sendiri yang bicara, Clara. Kami juga tidak tahu. Steven bukan sosok yang bisa didesak. Kami menghormatinya, dia sangat sensitif tentang urusan pribadi. Selain itu, dia tahu kapan kami harus tahu. Jadi kami hanya menunggunya. Sebaiknya kamu melakukan hal yang sama."

Clara terdiam, dia tidak menyangka Steven juga bersikap seperti itu kepada sahabat-sahabatnya. Meskipun ia yakin mereka tahu sesuatu, namun mereka tidak berani mengatakannya. Clara hanya ingin memastikan bahwa masalah itu bukan perbuatan kriminal seperti yang dituduhkan Aldo.

.

Sepulang sekolah, Clara izin keluar asrama. Steven juga tiba-tiba tidak kembali ke sekolah usai olimpiade selesai. Teman-temannya juga langsung pulang setelah Sam tadi menagantarnya ke asrama. Clara berjalan kaki sendirian ke supermarket dekat asrama. Perlengkapan kamar mandi dan kebutuhan sehari-harinya sudah habis. Sehingga ia butuh berbelanja.

Sesampainya di depan pintu masuk, ia berpapasan dengan Arnold dan kawanannya. Tidak sengaja Arnold menyenggol bahunya sehingga ia sedikit oleng ke samping.

Arnold berhenti dan menatapnya dengan wajah dinginnya. Clara yang merasa risih mengatakan maaf dan segera pergi.

"Kenapa? Tertarik dengannya?" tanya temannya.

Arnold tidak menjawab, ia masuk kembali ke supermarket dan mengikuti Clara. Memperhatikannya dari jauh. Saat Clara sedang mengambil tisu di bagian rak atas. Tisu lain perlahan mulai goyang dan nyaris menimpa kepalanya jika saja tidak dihalangi oleh lengan Arnold.

"Te-Terima kasih," kata Clara dengan wajah terkejut.

"It's ok. Arnold!" katanya sambil mengulurkan tangan.

"Hah? Oh! Clara!" balas Clara canggung. Ia hanya sekilas menyentuh ujung tangan Arnold dan segera pergi dari sana karena tatapan Arnold membuatnya tidak nyaman.

"Menarik," bisik Arnold pada dirinya sendiri.

Ia kembali mengamati Clara. Mengikutinya diam-diam sampai Clara keluar dari supermarket dan kembali ke asrama.

"Jadi dia murid di sekolah yang sama dengan bajingan itu?" Arnold menyeringai karena ide dalam kepalanya.

"Apa rencanamu? Memanfaatkan anak itu?" tanya temannya.

"Kita lihat nanti," jawabnya dan melangkah pergi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!