Clara dan seluruh anggota osis menuju ruang rapat. Mereka merencanakan akan menyusun program dan susunan acara kegiatan sekolah. Mereka bahkan sudah mendapat izin dari kepala sekolah untuk tidak mengikuti pelajaran.
Clara tidak bisa menemukan Steven di manapun. Dia ingin meminta kunci ruang OSIS. Namun karena tidak menemukannya, ia harus meminjam kunci cadangan dari pihak sekolah. Bahkan terpaksa berbohong kalau dia menghilangkannya. Hal itu berimbas padanya karena harus rela dimarahi.
Clara sangat kesal, dia tidak bisa menelfon Steven karena tidak ada satupun yang memiliki nomor ponselnya.
Sesampainya di depan pintu, Clara heran karena pintu yang tidak terkunci. Clara mendorong pelan karena pintu itu tidak tertutup rapat.
Menyadari ada seseorang di dalam, Clara membuka pintu lebar-lebar dan masuk ke dalam diikuti anggota OSIS yang lain. Seketika wajah Clara berubah merah padam. Di sana, tepatnya di jendela, Steven sedang duduk dan merokok. Dia duduk di jendela dengan kaki di angkat sebelah. Melirik tidak peduli pada kedatangan segerombolan tim OSIS yang menatapnya tidak percaya.
"STEVEN!"
Clara akhirnya meneriakkan nama itu dengan keras saking kesalnya. Steven meringis dan mengorek telinganya. Dia segera mematikan rokoknya. Berdiri menghadap mereka namun matanya hanya menatap Clara yang tampak sangat marah padanya.
Steven berjalan dan berdiri tepat di depannya. Mengabaikan suasana tegang yang Clara ciptakan, tiba-tiba Steven mengangkat tangannya seperti hendak melayangkan tamparan keras. Hal itu sontak membuat Clara membulatkan matanya terkejut. Dengan spontan Clara menutup matanya.
Namun alih-alih merasakan sakit, dia malah merasakan elusan di puncak kepalanya. Membuat ia kembali membuka mata dan mendongak menatap Steven. Mendapati wajah geli Steven padanya.
"Lucu sekali, terima kasih ruangannya cantik!" ucap Steven. Dianmelenggang pergi begitu saja.
Lalu apa yang terjadi dengan Clara?
Tentu saja dia malu setengah mati. Diperlakukan seperti itu di hadapan semua anggota OSIS yang kini menatapnya penasaran. Clara menarik nafas, berusaha menenangkan diri.
"Clara, kamu oke?" tanya Frans, dia adalah sekretaris OSIS.
"Kita mulai saja rapatnya," sahut Clara.
Dengan begitu semua orang akhirnya duduk di tempatnya masing-masing. Clara mendengus kala melihat kunci yang ia letakkan di atas meja tadi pagi masih berada ditempatnya. Bau asap rokok yang tersisa juga menambah daftar kekesalannya dihari itu kepada Steven.
.
Steven menemukan ayahnya tertidur di sofa saat pulang. Dua bungkus makanan, dua paper bag dan beberapa kaleng minuman soda tergeletak di atas meja. Steven mendekatinya dan mengintip sedikit isi paper bag. Dugaannya benar, itu oleh-oleh untuknya.
Steven menyentuh tangan ayahnya untuk membangunkannya, namun tampaknya ayahnya sangat kelelahan, sehingga tidak merespon panggilannya.
"Tuan tadi menunggu anda, tapi karena lama beliau ketiduran,"
Steven tidak menjawab, ia mengambil paper bagnya dan berjalan ke dalam kamarnya. Meletakkan tas dan paper bag, kemudian berjalan menuju kamar ayahnya. Mengambil selimut dan bantal. Ia kembali ke ruang tamu dan menaruh pelan bantal di bawah kepala ayahnya, setelah itu Steven menyelimutinya.
Steven menatap sesaat wajah ayahnya yang tampak kelelahan. Sebelumnya, Steven sempat melihat foto dirinya saat kecil dan bayi terpajang di sepanjang meja dan dinding kamar ayahnya. Juga foto ibunya saat masih bersama dengan mereka. Miris, itulah yang di rasakan Steven kala melihat sosok ayahnya saat ini. Ia baru menyadari bahwa ayahnya masih sangat mencintai ibunya.
Steven kembali ke kamar dan membersihkan dirinya. Ia berjalan ke balkon kamarnya dan duduk merenung. Dia sedang memikirkan cara agar ayahnya melupakan ibunya. Karena ia tahu, Ibunya sama sekali tidak mencintai ayahnya lagi. Tidak ada penyesalan yang tampak dari ibunya saat ia bahkan dengan mudahnya menjalin hubungan dengan banyak laki-laki. Bahkan terkadang Steven muak saat pemberitaan ibunya hanya tentang kisah asmaranya.
Sekali lagi, Steven juga memikirkan alasan utama dia ingin menetap di Indonesia. Steven harus menyusun rencana, juga melakukan banyak hal untuk melanjutkan hidupnya disini. Dia tidak memiliki keinginan untuk kembali ke Singapura.
'Tenang saja ayah, aku pikir tempat ini cocok untuk mengembangkan tujuanku. Jadi ayah tidak akan kesepian lagi.'
.
Aldo sedang duduk di ruangan OSIS, sedang mendengar keluhan Clara yang mengoceh tiada henti. Dia dengan senang hati mendengarkan tampa menyela. Namun senyumnya hilang saat Clara mulai mengeluhkan kelakuan Steven kemarin. Sedikit tertegun dengan cara Clara menyebutkan nama itu.
"Mulai sekarang kita memang harus terbiasa dengan semua tingkahnya."
Clara mendelik tidak suka, seakan-akan berkata 'apa-apaan!' yang di respon Aldo dengan bahu terangkat.
"Memang apa istimewanya dia sampai sekolah membiarkannya? Apa orang tuanya presiden?"
"Bukan... Bukan karena orang tuanya, melainkan karena dirinya sendiri. Bahkan sekolahnya dahulu sangat berat melepasnya." Jawaban Aldo membuat kerutan di keningnya, membuat Clara sangat penasaran.
"Aku dengar dia pintar, hanya itu. Dia mewakili sekolah__"
"SIAL demi kolor molor Aldo! Steven ternyata lebih dari itu! Oh my ... oh my! Jadi karena itu kamu memperlakukannya seperti raja?"
Itu adalah Rafael dengan mulut manisnya, melotot kepada Aldo sambil memasuki ruang OSIS. Dia ikut duduk di sana. Ikut bergabung ketika mendengar pembicaraan mereka ketika lewat. Aldo melemparkan tatapan protes karena bahasa yang dia gunakan.
"Dimana Bobi dan Fajar?" tanya Aldo.
"Sedang menemani anak emas makan di kantin, ini masih jam istirahat bung! Tapi jangan alihkan percakapan, aku benar kan? kamu sudah tahu hal. Sial sekali aku baru tahu faktanya beberapa menit lalu?"
"Apa yang kak Rafael katakan?" tanya Clara.
Aldo tampak tidak terlalu suka topiknya namun dia tidak menolak untuk membahasnya. Apalagi ketika Clara melanjutkan pembahasan ini.
"Harusnya kita tidak membahas ini, setahuku dia tidak suka dibicarakan. Steven memang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Jujur saja aku tidak tahu IQ nya berapa. Tidak ada yang tahu karena ia selalu menolak melakukan tes. Sejak SD saat ibunya melakukan hal itu, dia malah menggambar asal dan mencoret-coret saja. Kemudian saat tim dari universitas Harvard ingin mewawancarainya, dia menolak. Dia pernah diwawancarai banyak wartawan usai memenangkan olimpiade dunia. Tapi jawaban setiap pertanyaan membuat orang bingung. Itu olimpiade terakhir yang ia ikuti. Setelah itu ia menolak mengikuti olimpiade manapun. Hanya mau berdedikasi untuk sekolah jika ada perlombaan. Itupun semua orang curiga bahwa dia sengaja mengatur nilainya hanya sedikit diatas juara 2. Tapi itu hanya spekulasi, tidak ada yang bisa membuktikan bahkan ibunya sendiri. Steven sangat tertutup pada siapapun." Penjelasan panjang Aldo membuat dua anak di hadapannya terdiam.
"Apa kamu tahu dari guru-guru?" tanya Clara.
"Sedikit... Ya, selebihnya dari internet."
"Dia terkenal di internet?" tanya Rafael terkejut.
Aldo menggeleng, membuat dua anak itu bingung. "Sangat sulit mencari identitasnya di internet, tapi aku punya sepupu seorang hacker yang bisa menjebol situs sekolah Steven sejak SD. Dari sanalah aku dapat informasi."
"Wah, itu pelanggaran kamu tahu!" Rafael mengatakannya sambil tertawa.
"Aku pikir kakak tahu dari ayahnya," gumam Clara.
" Tidak ... bahkan ayahnya tidak tahu apapun."
Hanya selang beberapa detik setelah penjelasan terakhir Aldo, terdengar suara Bobi dan Fajar yang sedang berdebat. Mereka memastikan Steven juga sedang menuju kemari bersama Fajar dan Bobi.
Benar saja, Bobi masuk masih dengan omongan pedasnya mengenai Fajar. Fajar dan Steven menyusul dengan ekspresi yang tampak acuh. Ketiganya mencari posisi masing-masing. Steven memilih duduk di jendela dan mulai mengeluarkan rokoknya.
Clara mengabaikan obrolan yang lain, matanya fokus pada Steven yang sudah menghisap rokoknya. Pandangan Steven fokus kearah luar. Namun selang beberapa menit, Steven menarik sudut bibirnya. Lalu dia menoleh dan menatap balik ke dalam bola mata Clara.
Clara menahan napasnya sebelum beralih kepada Aldo yang ternyata sedari tadi juga memperhatikan tingkahnya. Ekspresi Aldo tampak sendu.
"Rapatnya gimana?" Clara mengubah topik pembicaraan, mencoba mengatasi rasa canggungnya.
Aldo melirik Steven sesaat sebelum menggeleng. "Sepertinya kita tunda nanti sore saja."
"Benar! Kami numpang main disini karena jadwal kelas tiga sedang kosong. Guru sedang rapat membahas olimpiade. Kelas dua sana balik ke kelas. Belajar yang rajin karena kalian pasti diberi tugas," kata Fajar dengan nada mengejek.
Clara memberengut, dia segera bangkit berdiri. Melirik Steven sesaat yang kembali acuh pada mereka. Ia mendengus dan keluar dari sana dengan raut malas. Clara tidak suka mengerjakan tugas karena pelajarannya adalah fisika. Mata pelajaran yang paling tak disukainya.
Sesampainya di kelas bel tanda istirahat sudah selesai berbunyi. Anak-anak sudah duduk rapi di bangku masing-masing. Seorang guru masuk dan langsung membagikan lembar tugas kepada ketua kelas. Lalu guru itu keluar lagi.
Dengan lesu Clara menatap lembar soal dan jawaban di atas mejanya. Mengambil pena dan mulai mencoret-coret bagian belakang lembar soalnya. Bukan hanya Clara, tampaknya seluruh kelas mengeluhkan hal yang sama. Soal yang diberikan guru mereka tidaklah mudah.
Seseorang masuk ke kelas mereka. Membuat kelas tiba-tiba menjadi hening. Seseorang yang baru-baru ini membuat sekolah heboh dengan berbagai gosip tentangnya.
Steven dengan tenang masuk dan langsung duduk di meja Clara. Dia dengan santai merebut lembar soal di depan Clara. Menatapnya sesaat sebelum memandang remeh pada Clara yang masih bingung.
"Mau ku ajari?" tawarnya.
Sontak saja satu kelas heboh dengan bisik-bisik. Menatap bergantian Steven dan Clara. Steven yang tidak kunjung mendapatkan jawaban berdecak malas dan langsung menyeret Clara keluar kelas. Tentu saja hal itu membuat heboh. Bahkan buletin sekolah penuh dengan foto-foto mereka. Gosip mulai bertebaran, spekulasi di berbagai grup chat siswa mulai ramai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
💗vanilla💗🎶
bikin gosip aja ni steven
2025-01-25
0