SENSITIF LOVE

SENSITIF LOVE

Pindah

Steven menatap datar koper di hadapannya. Menimbang kembali keputusannya. Sesungguhnya ia tidak menyukai tinggal di tempat ayahnya. Hubungan mereka tidak terlalu dekat bahkan terkesan canggung. Mereka sudah berpisah sejak Steven berumur sepuluh tahun.

"You sure ..." ibunya berdiri di ambang pintu kamarnya. Memintanya untuk memikirkan keputusannya sekali lagi.

"I'm sure mom ... "

Ibunya hanya mengangguk dan masuk untuk memeluk Steven sesaat sebelum meninggalkannya untuk bekerja. Ibunya sudah menyiapkan segala sesuatu untuk kepergian putranya. Termasuk surat pindah sekolah dan sudah menghubungi mantan suaminya juga.

Steven menyeret kopernya keluar rumah dan masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya. Ia merogoh ponselnya dan membuka galeri foto. Menatap tiga orang yang ada di dalam foto tersebut, salah satunya adalah ia sendiri yang berada di tengah-tengah. Matanya berkaca-kaca dan dengan segera mengalihkan pandangannya keluar jendela.

Langkahnya bahkan terasa berat untuk meninggalkan tempat itu. Sekali lagi ia menoleh ke belakang sebelum benar-benar masuk ke dalam pesawat. Menyamankan diri di kursinya dan memejamkan matanya.

Sesampainya ia di bandara Internasional suekarno-hatta, Steven segera di sambut oleh ayahnya dengan senyum tipis khasnya. Steven memeluk ayahnya sesaat sebelum mendahului ayahnya melangkah dari sana.

"Ayah akan ke stadion terlebih dahulu, bisakah kamu menunggu sebentar?"

"Hmm ..."

Ayahnya memaklumi anaknya yang masih bersikap dingin padanya. Dia juga memahami sifat Steven yang sensitif dan tertutup. Karena itu ia tidak berkata apa-apa lagi sampai mereka masuk ke dalam mobil.

Maka di sini ia sekarang, duduk di ruang tunggu yang sebagian besar di isi oleh pemain sepak bola usia remaja yang hampir sama dengannya. Menunggu ayahnya yang sejak setengah jam yang lalu menemui entah siapa. Sungguh Steven sangat bosan dan sangat tidak suka saat anak didik ayahnya menatapnya dengan pandangan tertarik.

"Hai! Aku Aldo ... kapten tim inti. Anak pelatih Kim benar?"

Steven menatap tangan yang terjulur padanya sebelum mendongak dan menatap lurus bola mata hitam pekat di hadapannya.

"Apa dia mengerti bahasa Indonesia?" sahut seseorang di belakang anak bernama Aldo itu.

Steven mendengus sebentar sebelum bangkit berdiri, menjabat tangan Aldo sesaat sebelum menyebutkan namanya juga.

"Steven Kim ... aku tahu bahasa indonesia," katanya datar.

Tentu saja, pikir Steven. Dia lahir dan tinggal di Indonesia sampai umurnya 10 tahun sebelum orang tuanya bercerai.

"Ah ... Oke! Salam kenal ya! Apa kamu pemain sepak bola juga?"

Steven menatap anak yang berada di belakang Aldo yang bahkan belum menyebutkan namanya.

"Tidak tertarik_" Steven melirik ke arah ke arah pintu yang terbuka, melihat ayahnya masuk bersama seorang pria yang memakai pakaian yang sama dengannya.

"Steve ... ayo berangkat," kata ayahnya setelah menyapa anak-anak didiknya.

Steve mengikuti ayahnya dan keluar dari sana. Beberapa anak saling bertukar pandang akan jawaban anak pelatih mereka, tidak menyangka sama sekali mengingat sejarah ayahnya sebelum menjadi pelatih adalah pemain profesional dan masuk dalam tim inti pemain nasional serta berada di dalam klub elit tim kesebelasan Korea.

.

Steve memandang datar rumah ayahnya saat memasuki gerbang. Tidak sebesar mension ibunya namun terlihat cukup nyaman. Lagi-lagi pikirannya berkelana jauh, memikirkan alasan ia meninggalkan sekolah lamanya sekaligus meninggalkan Singapura tempat di mana ibunya saat ini bekerja.

"Ada yang mengganggumu?"

Steven menoleh, menatap ayahnya dengan mata elangnya sebelum merespon dengan gelengan pelan, lalu ia membuka pintu mobil untuk segera keluar. Ia mengambil kopernya dan menyeretnya menuju pintu masuk yang masih terkunci.

"Ayah tidak memiliki pembantu atau semacamnya, ayah mengerjakan semuanya sendiri. Kalau tidak memungkinkan, barulah ayah akan menyewa pembantu harian. Apa kamu masalah dengan itu? Apa kita perlu mencari pembantu tetap?" tanya ayahnya.

Steven tentu saja tidak bisa melakukan pekerjaan rumah dengan baik. Selama ini ia hidup mewah bersama ibunya. Ibunya seorang pembawa acara televisi terkenal dan juga bintang iklan. Setiap pagi ia di layani setidaknya dua pembantu meski ia sendiri mampu melaksanakannya.

"Hmm... tidak perlu," jawab Steven dengan nada ragu-ragu.

Ayahnya terkekeh pelan sambil mengusap rambutnya, memberikan afeksi dan perhatian yang membuat Steven merasa nyaman.

"Tidak apa, ayah tahu ibumu memanjakanmu, besok ayah akan cari pembantu khusus untuk mengurusi rumah dan kamu."

"Apakah sekolah itu memiliki asrama?."

Ayahnya menatapnya sejenak, sedikit terkejut dengan pertanyaan anaknya. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya apakah Steven tidak ingin tinggal dengannya?

"Tolong jangan salah paham, saya hanya ingin lebih mandiri dan_"

"Meskipun sekolah itu memiliki asrama, untuk sementara kamu akan tinggal bersama ayah dulu. Lain kali kita bicarakan tentang hal ini. Istirahatlah ... ayah akan pesan makanan untuk makan siang kita. Kamarmu ada di lantai dua," potong ayahnya dan segera beranjak dari sana. Enggan membicarakan lebih lanjut.

Steven menatap punggung ayahnya dalam diam. Bingung ingin menjelaskan bagaimana agar ayahnya tidak salah paham. Menghela napas dengan pasrah, ia berbalik dan menaiki tangga menuju lantai dua.

Kamarnya cukup luas. Steven melihat ayahnya mempersiapkan ini dengan cara yang sedikit berlebihan. Sejak perceraian dengan ibunya, ayahnya hanya hidup seorang diri. Steven tahu ayahnya bisa mencari wanita lain. Seperti yang dilakukan ibunya meskipun selalu berakhir gagal, namun ayahnya tidak pernah membawa siapapun padanya untuk di perkenalkan. Setahunya, ayahnya hanya sibuk bekerja dan bekerja.

Ada banyak baju baru di dalam lemari yang sesuai ukurannya dan juga sesuai dengan seleranya. Ada laptop dengan paket lengkap di meja belajarnya. Steven bisa melihat bahwa itu masih baru. Kamarnya tertata rapi seperti seleranya, tidak jauh berbeda dengan yang ada di rumah ibunya.

Steven menarik kopernya dan menyusun baju dan barang-barang yang di bawanya sebelum turun kembali ke bawah. Melihat ayahnya yang sedang mencuci piring di dapur. Steven duduk di kursi pantri dan menatap punggung ayahnya.

"Ayah menyiapkan banyak hal untukku,"

Ayahnya menoleh sedikit sebelum melanjutkan pekerjaannya.

"Hmm ... Ayah hanya terlalu senang saat kamu mau pindah ke sini. Ayah sangat merindukan jagoan Ayah," ujar ayahnya, ia tersenyum dan hal itu membuat hatinya menghangat.

Ayahnya adalah sosok yang tidak segan-segan menunjukkan kasih sayang, berbeda dengan ibunya yang memiliki tempramen tinggi dan sulit untuk menunjukkan kasih sayangnya. Ayahnya adalah orang yang hangat dan tegas sekaligus.

"Besok kamu mulai sekolah, Ayah harap kamu betah dengan sekolah barumu, berada di tingkat tiga saat pindah bukanlah hal yang mudah, meskipun sekolah ini bertaraf internasional, tetap saja banyak perbedaan_"

"Jangan kawatir ... " sahut Steven pelan. Ayahnya hanya mengangguk. "Tentu, kamu selalu meraih nomor satu di sana. Tentang pelajaran tentu bukan hal yang sulit,"

Ayahnya meninggalkannya untuk menjemput pesanan mereka di depan pintu. Steven tahu kekawatiran ayahnya adalah masalah pergaulan. Indonesia tentu saja berbeda dengan Singapura. Namun Steven tidak begitu ambil pusing. Dia pernah kecil di sini sebelum pindah mengikuti ibunya, jadi meskipun banyak perubahan yang terjadi, tidak akan menjadi masalah besar baginya.

Terpopuler

Comments

💗vanilla💗🎶

💗vanilla💗🎶

mampir ni thor 😊

2025-01-25

1

abdan syakura

abdan syakura

Tok...tok .
nimbrung Thor...

2023-07-02

1

JA Chrysant

JA Chrysant

iih so sweey banget! mantab sekali Kak

2022-03-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!