Gejolak yang mulai tumbuh

Steven sedang duduk bersandar pada pohon. Tempat biasa ia suka merokok. Ini sudah jam pulang sekolah dan dia sedang merenung di sana. Memikirkan banyak hal. Kepalanya menoleh saat suara ribut-ribut mengganggunya.

Dia menoleh, namun karena besarnya pohon ia tidak bisa melihat apapaun. Awalnya Steven tidak begitu menghiraukannya namun saat rungunya menangkap suara yang ia kenal, kakinya bangkit berdiri dan memperhatikan lebih jelas.

Tidak jauh darinya, Clara sedang dipojokkan oleh Sonya dan kawanannya. Awalnya ia hanya membiarkan saja, ingin melihat seberapa jauh mereka bertindak. Dapat ia lihat Sonya terus mengancam clara agar tidak mendekati dirinya. Steven jadi ingat interaksi mereka pagi tadi, sepertinya hal itu sudah menyebar dan membuat Clara dalam posisi bahaya lagi.

Clara terdorong ke belakang dan jatuh terjerembab, namun tidak sedikitpun sorot matanya memperlihatkan ketakutan.

"Sudah aku bilang aku hanya menjalankan tugasku! Dia terluka, sudah sepatutnya di obati. Aku yang piket hari ini di UKS. Lagi pula, kenapa kamu sangat takut kami dekat? Kalau kamu bisa membuatnya lebih tertarik, kenapa takut padaku?" tantang Clara yang kini sudah bangkit.

Steven tersenyum mendengar perkataannya. Dia bisa menduga apa yang akan terjadi setelah ini. Maka, dengan langkah panjangnya ia berjalan ke dekat mereka. Seperti dugannya, maka Steven segera menghentikan tangan Sonya yang sudah melayang ke udara. Tangan yang hendak menampar Clara. Lalu ia menghempaskannya begitu saja. Matanya menatap Sonya dengan datar.

"Steven, sejak kapan kamu__"

"Suka padaku?" tanya Steven, menatap Sonya yang langsung menunduk malu-malu.

Dari sudut matanya Steven bisa melihat ke tiga temannya sedang berjalan ke arah mereka, sepertinya urusan mereka dengan guru konseling sudah selesai. Meskipun Steven di perlakukan berbeda karena sekolah membutuhkannya, tentu saja hal itu tidak berlaku untuk mereka. Meskipun masih baru, mereka tetap mendapat hukuman.

"Aku... Aku memang menyukaimu dari pertama kali kita bertemu. Jadi... Maukah kamu jadi pacarku, Steven?"

Bukan hanya Sonya, Clara dan seluruh orang yang ada disana, menunggu dengan harap-harap cemas. Steven maju selangkah, dia tersenyum. Senyum yang mungkin di mata orang lain terlihat sangat memikat. Namun tidak dengan ketiga sahabatnya yang sudah sangat hafal dengan tabiatnya, sudah tahu seperti apa Steven terhadap anak perempuan sejenis Sonya.

"Nikmati pertunjukannya, Nona!" kata Teddy tiba-tiba berbisik di telinga Clara.

Clara memutar badannya sesaat melihat mereka sebelum kembali menatap Steven dan Sonya.

"Jadi pacarmu?"

Sonya mengangguk dengan mata berbinar, teman-temannya sudah tampak senang dan sebagian menatap Clara penuh kemenangan.

"Kenapa aku harus mau?"

"Ya?" Sonya mengernyit tidak mengerti.

Steven mengulurkan tangannya, seolah akan membelainya, namun alih-alih memegang pipinya. Steven malah mencengkram kuat rahangnya dengan satu tangan. Menatapnya dengan sorot mata yang telah berubah sepenuhnya. Seakan sosok di didepannya adalah hal paling menjijikkan yang pernah ia sentuh. Pandangan matanya menyeramkan seperti akan membunuh seseorang.

"Berhenti membuatku muak! Bahkan melihatmu sudah membuatku mual. Sekali lagi menyentuhnya... Aku akan memotong tanganmu tidak perduli siapa ayahmu. Aku bahkan bisa menghapus nama keluargamu dari dunia ini." Dingin dan menyeramkan. Nada bicara Steven bahkan membuat siapapun yang mendengarnya merinding.

Steven menghempaskan wajah itu, mengelap tangannya ke celananya dan berbalik menatap Clara. Tatapan berbeda meski tidak ada ramah-ramahnya.

"Aku menagih janjimu," katanya.

Kening Clara mengernyit, janji apa? dia merasa tidak memiliki janji apapun.

"Ayahku bisa melakukan apapun! apapun untuk mewujudkan keinginanku. Tunggu saja sampai kamu bertekuk lutut padaku!"

Steven tidak bereaksi apapun mendengar ancaman Sonya. Dia sudah bisa menebak seperti apa karakternya dan tahu bahwa ini tidak akan berakhir hanya dengan ancaman. Maka ia melirik Sam dan menyuruhnya dalam diam. Sementara dia sudah menyeret Clara pergi bersamanya.

"Kamu cukup memuakkan!" ucap Sam pada Sonya.

"Melawan Steven akan membuatmu menderita, aku ingatkan untuk berhenti sebelum jatuh miskin!" peringatan Teddy membuat Sonya tertawa.

"Steven hanya anak pelatih bola! ayahku bisa mendepaknya! jika dia tetap menolakku, akan aku buat ayahnya kehilangan pekerjaan!" balas Sonya dengan wajah memerah padam.

"Steven tidak perlu turun tangan, kami sudah cukup untuk membuatmu hancur. Sebelum melakukan kebodohan, aku ingatkan untuk berpikir terlebih dahulu," kata Bobby.

Bobby mengajak yang lain meninggalkan Sonya. Anak itu akhirnya memaki-maki mereka karena tidak terima direndahkan seperti itu.

"Menurutmu apa yang akan dia lakukan?" tanya Teddy.

"Menghancurkan diri sendiri, sayang sekali padahal cantik!" sahut Sam yang mendapat lirikan jijik dari kedua temannya.

"Kemana dia membawa gadis itu?"

"UKS mungkin?" jawab Sam lagi.

Maka mereka berbelok ke kiri di mana UKS berada. Benar saja, mereka sudah berada di sana dengan seorang perawat yang sedang mengoles salep pada memar di lengan, punggung dan perut berototnya. Clara bahkan hanya duduk di kursi pojok dengan memalingkan wajahnya. Menunggu sampai Steven memakai bajunya kembali.

"Harusnya kamu membawanya kesini lebih cepat, Clar. Bagaiamana maskot sekolah bisa seperti ini? Tiga hari lagi kudengar olimpiade di adakan. Perwakilan sekolah kita tampil lebih dulu."

"Bu-bukan salahku kak ... Dia yang memang tidak mau tadi," bantah Clara, tentu saja tidak mau di salahkan. Tadi ia sudah memaksa Steven, dianya saja yang keras kepala.

"Tetap saja... harusnya kamu yang mendatanginya dengan membawa__" perkataan perawat cantik itu terhenti, dia terkejut saat Steven mencengkram tangannya yang sedang meletakkan plester di dahinya.

"Jangan menyalahkannya," ujarnya dingin.

"Oh, ma-maaf! Aku hanya harus memastikan kamu tetap sehat karena itu permintaan dari kepala sekolah." jawab perawat itu, dia menjadi sedikit gelagapan.

"Kamu bisa pulang atau istirahat disini, Aku akan keluar membeli beberapa obat untuk stok sekolah," lanjut perawat itu sambari beranjak, mengambil tasnya dan keluar dari sana.

"Maskot sekolah?"

Maka ketiga sahabatnya tertawa terbahak-bahak. Sungguh mereka tampak sangat geli dengan julukan baru untuk Steven. Clara yang tidak menangkap dimana lucunya menatap mereka dengan heran.

"Jadi kalian yang ribut-ribut itu?"

Empat orang muncul di depan pintu dan masuk begitu saja. Mereka adalah Aldo, Fajar, Bobbi dan Rafael. Hanya Aldo yang berpakaian rapi sementara tiga yang lainnya memakai seragam basket. Aldo dan Rafael memapah Bobbi ke kasur di sebelah Steven dan membaringkannya di sana.

"Kenapa dengan kakinya?" tanya Clara melihat kaki bengkak Bobbi saat sudah berada di dekat mereka.

"Cidera saat latihan," jawab Rafael.

"Kenapa kamu di sini?" tanya Aldo, melirik sedikit ke arah Steven.

"Mengobati lukanya," jawab Clara.

"Terjadi sesuatu saat kamu pulang?" tanya Aldo lagi.

"Tidak ada," bohongnya, namun Aldo tampak tidak percaya.

"Aku akan mengambil kompres dulu karena kak Gina sedang keluar," lanjut Clara.

Lagi-lagi Steven merasakan ketidak sukaannya saat melihat Clara diperhatikan atau memperhatikan laki-laki lain. Ada semacam gejolak aneh di hatinya yang membuat ia tiba-tiba kesal.

Clara sudah kembali dan mulai mengompres kaki Bobbi. Beberapa kali Bobbi menyentuh pergelangan tangannya agar tidak menekan kakinya terlalu keras.

Hal itu membuat Steven jengah. Dengan cepat ia bangkit dan menghentak tangan Clara yang memegang alat kompres, melemparnya asal dan menyeret Clara pergi dari sana. Namun baru saja beberapa langkah, Aldo menghentikan mereka dengan memegang tangan Clara yang lain.

"Jangan membuatnya dalam keadaan sulit lagi, Steven!" kata Aldo memperingati. Keduanya beradu tatapan dengan sengit.

"Bukannya itu kamu? Laki-laki yang sudah bertunangan?" sindir Steven.

Keduanya saling melempar tatapan tajam, siap berkelahi kalau saja Clara tidak menengahi.

"Berhenti! Ada apa dengan kalian? jangan merusak pertemanan."

"Aku tidak berteman dengannya!" kata Steven tidak terima.

Clara menghela napas, ia melepaskan tangannya dari keduanya dan mengambil tasnya di bangku pojok, tempat ia duduk tadi.

"Aku kembali ke asrama saja," ujar Clara.

"Aku akan mengantarmu," kata Aldo cepat.

"Tidak perlu, dia akan pergi denganku!" kata Steven dan kembali menarik tangan Clara untuk pergi dari sana.

Aldo yang tampak akan mencegah dihentikan oleh Sam dan Bobby. Menahan bahunya kiri dan kanan. Teddy berdiri di hadapannya dan tersenyum ramah, namun siapapun bisa melihat bahwa itu senyum palsu.

"Jangan ganggu mereka, itu nasehatku untukmu." ujar Teddy dengan nada ramah sebelum mengikuti Steven. Sam dan Bob juga melepaskan tangan mereka, menyusul yang lainnya.

"Apa Steven menyukai Clara?" tanya Fajar setelah suasana menjadi hening.

"Steven tidak masalah, dia jomblo. Yang masalah ketua OSIS kita yang sudah memiliki tunangan tapi posesif sekali dengan wakil OSIS?" Itu adalah Rafael.

"Steven bukan anak yang baik untuk Clara!" jawab Aldo sebelum meninggalkan mereka juga.

"Dia hanya cemburu!" ujar Fajar yang di angguki dua lainnya.

"Dia sudah menyimpan rasa selama 2 tahun. Suruh siapa tidak bisa melawan kakeknya, tidak bisa memperjuangkan wanita yang disukai... resikonya ya begitu. Di ambil orang."

Bobbi dan Fajar mengangguk setuju atas pernyataan Rafael. Mereka cukup lama tahu, bahwa Aldo menyukai Clara, meskipun Aldo tidak pernah mengakuinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!