Pukulan pertemuan

Clara sedang duduk di depan meja belajar dalam kamar asramanya. Perkataan Sam tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya. Dia bahkan tampa sadar menyoret-nyoret buku tugasnya.

"Memikirkan apa sih?" tegur teman sekamarnya, Dena. Anak kelas 2 juga, hanya beda kelas dengannya.

"Kamu menghancurkan bukumu." katanya lagi sambil berlalu keluar untuk mandi.

Menyadari apa yang ia lakukan, Clara mendesis dan merengek kecil. Dia mengigatkan dirinya sendiri agar berpikir realistis. Setelah fokus kembali, dia melanjutkan mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Namun, pada akhirnya fokusnya pecah lagi. Clara mulai mengulang-ulang pembicaraannya bersama Sam tadi. Berusaha menemukan maksud anak itu.

Flasback

"Apa maksudmu?" tanya Clara.

"Steven, apa lagi? Bahkan dia memintaku mengantarmu ke asrama agar tidak ada yang mengganggumu." kata Sam dalam aksen indonesia yang kaku.

"Ap-apa maksudmu?"

"Sedekat apa kalian?" tanya Sam lagi tampa memperdulikan kebingungan Clara.

"Tidak dekat, aku masuk dulu. Terima kasih!" ketusnya sebelum meninggalkan Sam sendirian.

Flasback and.

Jadi sampai pagi harinya, saat ia keluar dari asrama, perkataan Sam masih terpatri di kepalanya.

"Masih mengantuk?" Clara terkejut sesaat, menatap kesal Aldo yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.

"Ayo, aku antar ke kelas," Ajak Aldo

"Sampai kapan jadi pengawal dadakan?" sindir Clara.

"Selamanya bila perlu," jawab Aldo cuek.

Clara mendadak berhenti dan menatapnya. Menghela napas saat Aldo masih menatapnya dengan pandangan yang sama sejak ia bersekolah di sini.

"Kak Al..."

"Jangan menyuruhku berhenti lagi, kamu tahu aku tidak bisa," potong Aldo dengan wajah sendunya.

Aldo meraih tas Clara dan membawakannya. Berjalan lebih dulu menuju gedung sekolah. Tidak jauh dari sana, seseorang sedang bersandar di sebalik tiang besar. Tiang yang bisa menutupi tubuh tingginya. Mendengar semua percakapan itu membuat suasana hatinya sedikit buruk. Steven memutar lidahnya di dalam mulut sebelum ikut pergi menuju kelasnya.

Sesampainya dikelas, ia menghempaskan kasar tasnya. Duduk dengan wajah luar biasa dingin dan menyeramkan. Bahkan hawa kelas menjadi mencekam saat ia masuk. Vino yang biasanya selalu sok berkuasa hanya menatapnya sinis. Memilih tidak mencari gara-gara dipagi hari. Namun di dalam otaknya tentu saja sudah banyak rencana jahat untuk musuh barunya itu.

Lea mengeluarkan sebotol minuman soda dari lacinya, lalu bangkit untuk menghampiri Steven. Seluruh kelas memperhatikannya, mereka sudah bisa menebak apa yang akan dilakukannya. Sebagian anak terlihat tertarik. Berharap akan menyaksikan ketika ia dipermalukan. Sebagian lagi memperhatikan dengan rasa kasihan.

"Hmm... Ini untukmu," kata Lea pelan saat sudah berdiri di samping meja Steven.

Fajar melirik Steven yang tidak merespon sama sekali. Menyunggingkan senyum sinis sebelum memberi gekstur mengusir dengan tangannya. Otomatis Lea yang merasa terabaikan meninggalkan mereka dengan wajah kesal.

"Dikasih minuman tuh?" ujar Fajar. Namun lagi-lagi Steven hanya mengabaikan, tidak berminat sama sekali.

"Fajar," tiba-tiba Steven memanggilnya.

"Kenapa? Kamu menakutkan tahu. Kenapa tiba-tiba memanggil dengan nada itu?"

"Sejak kapan Aldo menyukai sekretaris OSIS?"

"Huh?"

Fajar menoleh mendengar pertanyaan itu. Steven bertanya dengan nada yang seram, seolah akan memakannya. Mencerna pertanyaan Steven, Fajar yang peka jadi memikirkan sebuah ide dalam kepalanya.

"Aku... tidak tahu sejauh apa hubungan mereka." jawab Fajar pelan.

Takut kedengaran teman-teman lain yang tampak menaruh perhatian penuh pada mereka. Mendengar jawaban itu, Steven mengambil rokok di dalam tasnya dan bangkit berdiri.

Steven mendengus ketika guru masuk. Dia jadi mengurungkan niatnya untuk keluar. Pelajaran Sejarah yang sudah pasti akan membuatnya bosan.

Kedatangan dua orang yang tiba-tiba masuk bersama wali kelas, membuat wajah bosannya menjadi datar, bahkan mendadak jadi kesal.

"Maaf mengganggu ibu Mia, saya membawa dua murid pindahan. Dari Singapura International School." Sontak seluruh kelas sedikit riuh, memandang bergantian kedua anak baru dan Steven.

"Silahkan perkenalkan diri kalian," kata ibu Mira.

"Teddy ... " ujar Teddy dengan wajah datar.

"Bobby," tidak kalah datar, Bobby yang ini juga memperkenalkan diri.

"Oh ... ada dua Bobby yang aku kenal sekarang," sahut Fajar dalam bahasa inggris. Mengangkat tangannya saat Bobby menatapnya, Bobby segera mengabaikannya karena tidak tertarik.

Keduanya sudah duduk di kursi paling belakang. Karena hanya itu kursi yang kosong. Steven segera mengeluarkan ponselnya dan mulai bermain game.Mengabaikan dua orang yang kini melempar tatapan geram padanya.

Guru sejarahnya, ibu Mia tampak tidak peduli. Setelah selesai menjelaskan pelajaran ia melakukan post tes pada anak didiknya. Tentu saja Steven tidak kesulitan, di waktu bosannya di rumah, dia sudah menyelesaikan membaca materi pelajaran itu sampai habis.

Pada jam istirahat pertama, Sebagian anak sudah keluar. Hanya tinggal beberapa termasuk Steven, Fajar dan dua anak baru. Steven berdiri dari kursinya, hendak keluar sebelum tendangan kasar di punggungnya, membuat ia maju beberapa langkah ke depan.

Tidak ada wajah kesakitan atau wajah marah. Steven hanya kembali berdiri tegak dan berbalik. Menatap dua orang yang kini menyeringai padanya. Steven tahu siapa yang baru saja menyapanya, Bobby yang memang sangat ahli dalam menendang orang.

"Singkirkan wajah jelekmu itu brengsek!" maki Teddy yang melayangkan tinju pada rahangnya. Sama halnya seperti Sam kemarin, kali ini Steven juga tidak melawan.

"Ini tidak bagus," bisik Fajar, ia menghubungi yang lain untuk segera datang ke kelas mereka.

Tidak berapa lama, saat Steven masih menerima pukulan untuk ke sekian kalinya, Clara menjerit saat satu tendangan Bobby mengarah pada wajahnya, mendengar jeritan itu, dengan otomatis Steven menghindar dengan mudah.

"Cukup!" katanya dengan tegas, menatap dua orang yang kini tampak terengah-engah sementara ia terlihat biasa saja. Menyeka sedikit darah dari sudut bibirnya dan berjalan keluar.

"Tu ... tunggu! lukamu harus diobati dulu!" sentak Clara saat ia melewatinya. Steven menatap tangan kecil yang menahan lengannya itu, lalu menatap bola mata itu dalam.

Sontak saja Clara melepaskn tangannya. Steven menatap sesaat Aldo sebelum memberi gekstur kepada Bobby dan Teddy agar mengikutinya. Namun lagi-lagi Clara menghentikannya dengan cara menghadang jalannya.

"Obati lukamu dulu!" ujar Clara keras kepala.

Steven yang melihat gelagat Bobby yang hendak mendorong Clara, menahannya dengan tangannya. Lalu memberikan pandangan penuh ancaman sebelum berbalik pada Clara lagi.

"Tunggu saja, nanti aku menemuimu untuk luka ini," kata Steven dengan nada yang seumur-umur baru pertama kali di dengar teman-temannya. Meskipun datar tapi ada kelembutan dalam suara itu.

Clara akhirnya membiarkan mereka pergi, raut kawatir terlihat di wajahnya. Clara tidak menyadari pandangan seseorang yang menatapnya sendu. Juga seluruh pandangan anak perempuan yang seolah ingin memakannya.

"Kenapa kamu melibatkan diri dalam masalah lagi?" Aldo mengucapkannya dengan dingin.

"Sepertinya itu cara salam pertemuan mereka, kemarin juga dia babak belur saat anak bernama Sam itu datang," sela Rafael, tidak peka pada perdebatan keduanya.

"Benar, jadi ayo cari makan saja. Perutku lapar dan kalian menyeret kami saat suapan pertama!" lanjut Bobbi dengan sengaja mengelus perutnya. Merangkul Fajar dan Rafael. Meninggalkan Clara dan Aldo yang masih dalam mode diam.

"Jauhi dia Clar... Dia membuatmu dalam masalah," ujar Aldo, suaranya mulai melembut.

"Kan kakak yang kemarin menyuruhku mengawasinya juga?" jawab Clara tidak terima.

"Itu berbeda,"

"Apa yang berbeda, selain itu aku juga tim kesehatan sekolah dan ini hari piketku, karena itu wajar kan, kalau ada yang luka harus diobati!"

Clara kesal, ia menghentakkan kakinya sebelum meninggalkan Aldo. Ia memilih kembali ke ruang OSIS. Tempat teraman baginya karena ia bisa mengunci pintu jika ada anak perempuan yang akan membulinya.

.

Steven sedang duduk di kafe luar sekolah bersama Bobby, Samuel dan Teddy. Ketiga sahabat lamanya itu memandangnya dengan pandangan yang meminta penjelasan. Sesungguhnya, disini Steven adalah panutan mereka. Mereka seperti anak ayam kehilangan induk saat Steven pergi diam-diam. Teddy bahkan meminta bantuan ayahnya melacak keberadaan Steven.

"Well, jadi kamu kesini melarikan diri atau apa? mereka terus saja mengganggu kami saat ada kesempatan. Bahkan Paula seperti orang gila sekarang karenamu." Paula adalah anak perempuan disekolahnya, kelakuannya mirip dengan Lea disini. Tidak ada tanggapan darinya, Steven masih menatap datar Bobby yang baru saja bicara.

"Arnold dan gengnya sudah tahu keberadaanmu, karena itu kami menyusul ke sini sebelum mereka datang, aku sudah berupaya menghalangi mereka untuk bisa ke luar negri, tapi siapa yang tahu jika mereka memakai cara licik. Dendam membuatnya bisa melakukan apapun," ucap Sam.

"Stev! Sebenarnya apa yang terjadi malam itu? Benarkah kamu... Kamu membunuh adiknya?" tanya Teddy dengan nada ragu.

"Apa yang kalian percayai?" tanya Steven balik. Menatap satu persatu sahabatnya.

"Itu tidak mungkin, kamu tidak akan pernah membunuh," jawab Sam.

"Kami percaya padamu," lanjut Bob.

"Maka terus percayai itu." jawab Steven singkat. Membuat teman-temannya memandangnya lekat-lekat.

"Obati lukamu, calon kakak ipar menunggumu, jangan biarkan dia kawatir," sindir Sam.

Bob dan Ted memandangnya dengan alis terangkat, teringat perlakuan Steven pada anak perempuan tadi. Wajah penasaran mereka membuat Steven mendengus dan segera bangkit dari sana. Kembali ke sekolah tentu saja.

"Aku penasaran seperti apa gadis yang bisa membuatnya jadi sedikit manusiawi." gumam Ted.

"Mau berkenalan?" tawar Sam. Kedua temannya itu menyeringai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!