Benih-benih c i n t a

Steven memasuki gerbang sekolah dengan langkah santai seperti biasa, sebagian besar anak perempuan tentu saja sudah bergerombol dan berbisik seru saat ia lewat. Seolah menikmati pemandangan indah yang baru saja lewat.

Steven memang tidak memakai kendaraan pribadi, namun apa yang dipakainya membuat anak perempuan menggilainya. Tubuh tinggi dengan proporsi yang pas, mata tajam dengan rahang yang membuatnya terkesan sangat jantan. Di telinga kanannya terdapat dua tindikan, namun ia tidak memakai apapun karena peraturan sekolah.

Sepatu, jam tangan, tas dan barang lain yang ia pakai bukanlah barang dengan merk murah. Hal itulah yang membuat banyak spekulasi, bahwa dia anak orang kaya.

Steven berhenti saat matanya menangkap pemandangan yang dahulu sering ia lihat di sekolah lamanya. Seorang anak perempuan yang dibulli oleh segerombolan anak perempuan lain yang tampak lebih berkuasa. Hal yang membuatnya tertarik tentu saja bukan pembullian itu, melainkan eksistensi Clara yang memecah kerumunan, lalu membantu korban bullian yang terjerembab ditanah, untuk berdiri tegak kembali.

Anak-anak lain hanya melihat tampa mau melerai, sepertinya sudah terlalu biasa. Steven menduga, kemungkinan besar karena para pembulli memiliki kekuasaan besar di sekolah ini.

"Lagi-lagi mereka mempertontonkannya."

Steven melirik Bobi yang sudah berdiri di sisi kanannya, lalu ia kembali menjadi penonton dari kelakuan anak di depan mereka.

"Apa dia selalu terlibat dalam semua masalah orang?" tanya Steven

"Siapa? wakil OSIS? Tentu saja... Meskipun dia bukan siapa-siapa, tapi keberadaan Aldo di belakangnya membuat anak lain tidak berani berbuat lebih padanya."

Pernyataan itu membuat Steven sepenuhnya menatap Bobi, dia sungguh penasara. Atensinya tidak lagi pada perdebatan Clara dengan si pembuli di depan sana. Melainkan pada hubungan Aldo dan Clara.

"Aldo itu... Seberapa besar pengaruhnya di sini?"

"Besar sekali," Bobi menjeda sesaat dan tersenyum penuh arti. "Dia penguasa sesungguhnya disini. Kalau Rafael itu anak kepala sekolah, maka Aldo itu cucu laki-laki satu-satunya pemilik sekolah. Karena itu aku takjub saat kamu membuatnya seperti seorang pengawal pribadi."

Steven mengerti sekarang. Dia menatap Clara sesaat sebelum beranjak dari sana. Melewati begitu saja kerumunan itu. Namun baru saja beberapa langkah, ia dan Bobi dihentikan oleh geng sipembuli tadi. Steven menatap datar wajah anak perempuan di hadapannya. Anak itu tersenyum dan melakukan gerakan untuk menebarkan pesona yang ia miliki. Sayangnya Steven sama sekali tidak menunjukkan respon apapun. Dia jelas tidak berminat.

"Aku Anya, anak pemilik hotel Green dan Mall Ciputra. Senang berkenalan denganmu, Steven!"

Steven melirik tangan yang teracung padanya. Jadi namanya Anya?

Sayangnya Steven tidak peduli. Sebaliknya, dia malah sangat membenci tipikal gadis seperti ini. Gadis seperti ini hanya membuatnya muak. Dengan kasar Steven menabrak bahu gadis itu dengan lengannya yang kokoh. Membuat Anya hampir limbung kalau saja teman-temannya tidak memegangnya.

Anya menatap punggung Steven dengan wajah merah dan tangan mengepal. Sungguh ia sangat malu diperlakukan seperti itu. Terutama di hadapan banyak anak lain yang selama ini ia anggap menghormatinya.

Bobi berusaha menahan tawanya, ketika mereka memiliki sedikit ada jarak dari Anya. Barulah ia tertawa terbahak-bahak. Membuat orang-orang memperhatikan mereka. Tentu saja Steven menjadi lebih risih, karena itu ia menggeplak kepala Bobi pelan agar anak itu diam.

"Sialan!" umpat Bobi dan meninju pelan lengan Steven sebelum terkekeh lagi.

"Harusnya Rafael tadi melihat ekspresi gadis gila itu, Bwahahaha!" Lagi-lagi dia tertawa.

"Kenapa harus?" tanya Steven, dia bertanya bukan karena dia peduli, dia hanya merespon sebagai bentuk keramahan pada seorang teman.

"Karena Anya adalah mantannya," sahut Bobbi cepat.

Steven tersenyum sinis. Mereka harus berpisah jalan karena perbedaan kelas. Bobi adalah anak IPS dan dia bukanlah siswa yang bagus dalam akademik. Rafael berada satu gedung dengannya namun berbeda kelas, karena Rafael juga bukan dari golongan siswa berprestasi. Justru anak itu adalah pembuat masalah.

Sesampainya di kelas Steven disambut oleh sebuah keheningan. Semua mata menatapnya sesaat sebelum menunjukkan wajah frustasi, mereka kembali menatap buku ketika tahu yang datang bukan guru. Bahkan Alvin dan gerombolannya tampak serius belajar seolah itu adalah hal terakhir yang dapat mereka lakukan.

Steven meletakkan tasnya dan dengan santai mengeluarkan ponselnya untuk bermain game, membuat Fajar yang tadinya fokus menatapnya.

"Kamu tidak belajar?" Steven menoleh sesaat dan menggeleng.

"Ada ujian mendadak dari pak Hamza, Itu pelajaran fisika. Dia tidak main-main saat membuat soal ujian! Simpan ponselmu dan cepat belajar selagi dia belum datang," suruh Fajar dengan wajah gusar, dia kembali fokus pada soal-soal latihan dibukunya.

Steven tidak mengidahkannya, tadi malam dia sudah melihat kurikulum semua mata pelajaran dan tidak satupun lebih susah dari sekolah lamanya dulu. Lagi pula sekali lihat Steven sudah menghafal isi dari buku. Karena itu ia tidak pernah repot-repot membaca ulang. Sama halnya dengan matematika dan sains, bukan masalah sulit untuk otak jeniusnya. Dia bahkan ditawari untuk lompat kelas berkali-kali namun Steven menolaknya. Baginya bersenang-senang di sekolah lebih menyenangkan dari pada mengejar prestasi akademik.

Steven masih asik bermain game saat pak Hamza, guru mereka masuk ke dalam kelas. Tidak peduli Fajar menyikutnya berkali-kali dia tetap fokus pada ponselnya. Saat ponselnya lenyap dari tangannya, barulah ia sadar bahwa kelas sudah akan dimulai.

"Pilih keluar atau ujian?" tanya pak Hamza.

Semua guru sudah tahu mengenai Steven, karena itu pak Hamza yang terkenal galak dan tampa tolerir itu memberinya pilihan mudah, hal itu tentu saja membuat semua anak tercengang.

"Maaf Pak, saya tidak melihat Bapak masuk. Tentu saja ujian, apalagi?" jawab Steven santai.

Seisi kelas menatap kedua orang itu, menunggu pak Hamza dengan suara menggelegarnya sebentar lagi. Namun alih-alih teriakan, pak Hamza mengembalikan ponsel Steven dan kembali ke meja guru. Membuat seisi kelas lagi-lagi tercengang.

"Keluarkan buku kalian dan kumpulkan di depan kelas. Ambil lembar soal dan jawaban di depan," perintak pak Hamza.

Serentak anak-anak termasuk Steven mengumpulkan buku mereka. Steven menatap soal di hadapannya sambil bertopang dagu. Dengan malas mulai menyelesaikannya. Baru lima belas menit ia sudah berdiri, meletakkan lembar soal dan jawabannya di meja guru sebelum keluar.

"Kembali dalam dalam 45 menit karena kita akan melanjutkan pembahasan," perintah pak Hamza saat Steven berada di ambang pintu.

Steven berbalik sebentar dan mengangguk kecil sebelum menghilang. Seisi kelas tentu saja terkejut melihat Steven sudah keluar hanya dalam hitungan menit.

"Apa yang kalian lihat! cepat selesaikan! Kalau mau ikut jejak Steven setidaknya kalian harus memiliki setengah dari kemampuannya." ujar pak Hamza datar. Seluruh anak hanya menunduk, tidak berani membantah guru yang terkenal pelit nilai ini.

Steven bosan, belum ada hal menarik yang ia temui di sekolah ini. Dia akhirnya datang ke ruang OSIS, tempat pertama yang ia pikirkan. Tentu saja ruangan itu kosong karena semua anak ada di dalam kelas. Steven melihat sofa panjang di sudut ruangan dan berbaring di sana. Dia mulai bermain game lagi.

"Bolos?"

Steven tahu siapa yang datang, namun ia abai dan memilih fokus pada ponselnya.

"Ck, aku akan mekunci ruangan ini sekarang," ujar Clara.

Dia datang karena tadi memang lupa mengunci pintu. Dia hanya izin dari gurunya sebentar. Tidak disangka ia malah bertemu Steven lagi di sini.

"Nanti aku kunci, pergi sana!" jawab Steven tampa menoleh.

"Masuklah kekelasmu dan keluar sekarang,

ish!" kesal Clara.

Secepat kilat Steven bangun dan sudah berdiri menjulang di hadapannya. Membuat Clara mundur beberapa langkah. Terkejut tentu saja, bukan karena takut. Clara bahkan memandangnya dengan kesal.

"Kelasku membosankan jadi aku ke sini. Jadi berikan saja kuncinya, nanti aku kembalikan saat jam istirahat. Omong-omong..." Steven memajukan langkahnya, mencondongkan diri kedepan sehingga wajahnya sejajar dengan wajah Clara. "Aku lebih tua dan setingkat di atasmu."

"Tahu, kok! Tapi aku tidak mau memanggilmu kakak!"

Steven menegakkan kembali tubuhnya dan terkekeh pelan. Mengusak rambut Clara sebelum kembali berbaring. Membuat gadis itu membeku sesaat. Lagi-lagi ia merasakan desiran aneh dan wajahnya yang tiba-tiba terasa jadi panas.

"Nanti kembalikan kuncinya padaku! Kami akan rapat saat istirahat!"

"Hmm!" gumam Steven.

Clara akhirnya memilih mengalah dan keluar dari sana. Ia meletakkan kunci ruang OSIS di atas meja. Menepuk-nepuk pelan pipinya sambil menggerutu, ia bingung karena rasa panas diwajah yang tidak diketahui apa sebabnya. Steven tentu saja tahu bahwa Clara tadi merona parah, namun ia tidak mengatakan apapun. Hanya tertawa dalam hati seolah itu adalah hiburan tersendiri baginya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!