Hari-hari setelah pernikahan
Karina menunduk dan tanpa terasa air mata yang dari tadi ditahan, sekarang tumpah begitu Seno munutup pintu. Karina berlari ke kamar mandi dan menangis di sana. Ayah, ibu... perkawinan seperti apa yang akan ku jalani ini? Kenapa begitu menyakitkan sejak awal? Akan sampai kapan? Air mata terus menetes, apalagi saat Karina mengingat kata-kata Seno kalau kebahagiaannya terrenggut dengan pernikahan ini. Aku akan berusaha semampuku untuk mengembalikannya mas...
Hampir sepanjang malam mata Karina tidak dapat terpejam. Semua kata-kata Seno terngiang terus di telinganya. Tentang kebahagiaannya yang terrenggut gara-gara pernikahan, tentang perjuangan Seno untuk mendapatkan kebahagiaan, tentang pernikahan yang hanya sampai saatnya nanti tiba dan kata-kata lainnya yang sangat menusuk hatinya. Ayah...., ibu.... doakan Karin agar bisa melalui semua ini.
Seperti kebiasaan di rumahnya, pagi-pagi Karina sudah bangun meskipun hari masih gelap. Setelah membuka matanya, dilihatnya Seno masih tidur pulas di sofa. Seno tidur meringkuk seperti kedinginan tanpa selimut, Karin menarik selimut dan menyelimuti tubuh Seno dengan hati-hati.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Karina keluar kamar menuju dapur. Dilihatnya bi Asih yang sedang memasak untuk sarapan pagi.
“Pagi bi. Apa yang bisa Karin bantu?” Tanya Karin mengagetkan bi Asih.
“Eeehhh.. pagi non. Kok sudah bangun, masih gelap lho non..”
“Sudah biasa bangun pagi bi. Bi Asih mau masak apa, biar saya bantu.”
“Nggak usah non, biar bibi saja. Non Karin mau minum teh atau kopi, biar bibi buatin.”
“Nanti saja bi, bikin sendiri. Ini ayam mau dimasak apa bi?” Setelah melihat ada ayam di atas meja dapur.
“Mau buat ayam kecap sama capcay non buat sarapan.”
“Ya sudah, biar Karin yang masak ya..”
“Eeeee... jangan non, nanti bibi dimarahin ibu, non Karin duduk saja di dalam.”
Karina tidak mau diam, dia tetap memaksa untuk memasak, akhirnya bi Asih menyerah dan hanya membantu menyiapkan sayuran yang akan dimasak. Saat Karina asyik di depan kompor, bu Baskoro datang.
“Lho Karin... kok sudah bangun. Biar dikerjain bi Asih saja, kamu nggak usah ikut-ikutan di dapur.”
“Pagi ma. Karin sudah biasa bangun pagi kok, apalagi kalau ibu dapat pesanan makanan, pasti Karin pagi-pagi sudah di dapur bantuin ibu. Biar aja Karin yang masak ma, kalau diem malah badan sakit semua.” Jawab Karin sambil tersenyum. Karina tetap berkeras menyelesaikan masakannya. Bu Baskoropun menyerah. Setelah selesai
memasak, giliran bi Asih yang mengatur di meja makan sedangkan Karina naik ke kamarnya. Ternyata Seno sudah mandi dan sedang duduk di sofa asyik dengan ponselnya. Mendengar pintu terbuka, Seno hanya melirik.
“Sarapan sudah siap mas...” Kata Karina memecah kesunyian.
“Hheemm...”
Tidak ada jawaban dari Seno, hanya menggumam. Kemudian Karina memunguti pakaian kotor Seno yang masih tergeletak di sofa dan dimasukkan ke keranjang khusus pakaian kotor.
“Aku mau ke kantor pagi ini...”
“Ya mas....” Jawab Karina pendek. Dia paham, artinya harus menyiapkan pakaian untuk Seno. Kemudian Karina membuka lemari dan mengambil satu stel pakaian kantor untuk Seno termasuk kaos kaki dan sapu tangan. Dia mencoba mencocokkan warna dasi dengan kemeja yang akan dipakai.
“Sudah mas pakaiaannya, Karin siapkan kopinya di bawah.” Kemudian Karina melangkah keluar kamar. Tadi dia memang sudah tanya ke bi Asih tentang kebiasaan-kebiasaan Seno, termasuk makanan dan minuman kesukaannya.
“Lho... kamu mau ke kantor Sen, bukannya masih cuti...?” Tanya bu Baskoro saat melihat Seno menuruni tangga sudah siap dengan pakaian kerjanya.
“Nggak ma, ada urusan yang harus selesai hari ini.” Jawab Seno dengan cuek, mamanya hanya bisa menggelengkan kepalanya. Semua sudah siap di meja makan, tetapi Karina belum kelihatan.
“Karin kemana?”
“Lagi bikin kopi ma...” Tiba-tiba Karina muncul sambil membawa secangkir kopi untuk Seno.
Semua menyelesaikan sarapannya dengan diam, dan setelah menghabiskan kopinya, Seno buru-buru pamit untuk ke kantor tanpa menoleh ke arah Karina. Pak Baskoro yang melihat kelakuan Seno terlihat menahan marah, sementara bu Baskoro mengusap-usap punggung tangan Karina yang ada di atas meja.
“Karina... yang sabar ya. Seno sebenarnya anak yang baik, hanya saja saat ini mungkin dia masih belum terbiasa. Mama yakin, pasti Seno akan berubah..” Kata bu Baskoro dengan lembut. Karina hanya diam menunduk, menahan agar air matanya tidak tumpah lagi.
“Kamu nggak ke kampus hari ini Karin..?” Tanya pak Baskoro.
“Hari ini tidak ada kelas pa....”
“Karin papa minta kamu berhenti bekerja ya, kalau kuliah terusin saja.” Kata pak Baskoro lagi.
“Tapi pa... maaf... sebenarnya Karin kerja juga untuk menambah pengetahuan sekaligus untuk praktek. Kalau boleh... maaf pa, apa Karin diijinkan untuk menerima pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah, hanya membuat desain-desain dan tidak setiap hari.” Jawab Karina memohon, karena memang dia sudah memikirkan hal ini,
kalau seandainya dia tidak diijinkan bekerja lagi. Lagi pula dari dulu dia sudah sering menerima pesanan
desain-desain interior dari kenalan-kenalan yang tahu keahlian Karina.
“Hhmmm.... boleh, tetapi jangan sampai mengganggu kuliahmu.” Kata Pak Baskoro lagi.
“Terimakasih pa, Karin akan tetap utamakan kuliah.
“Mbak kita jalan-jalan saja yuk. Aku juga nggak ada kerjaan.” Tiba-tiba Selly, adik Seno nyeletuk
Selly umurnya tiga tahun di atas Karina sudah lulus kuliah dan bekerja di salah satu perusahaan papanya. Karena Karina istri kakaknya, maka dia memanggil mbak. Selly merasa senang dengan kehadiran kakak iparnya di rumah, sehingga ada teman yang bisa diajak ngobrol dan jalan-jalan.
“Kamu ini lho.... kerjaannya jalan terus. Nggak ngantor apa...?” Tanya bu Baskoro.
“Ihhh... mama, kan sekarang ada teman baru buat jalan, jadi enak juga... Lagian Selly ijin hari ini” Selly nyengir.
Malam hari di rumah keluarga Baskoro.
“Seno... kenapa harus pindah rumah...?” Tanya bu Baskoro saat Seno menyampaikan niatnya mulai besok akan menempati rumah sendiri bersama Karina. Sebenarnya ada kekuatiran di hati bu Baskoro, mengingat saat ini Seno belum bisa menerima pernikahannya dan sikapnya masih cuek pada Karina. Bu Baskoro tidak mau kelakuan Seno lepas dari pengamatannya.
“Ma... kami ingin mencoba hidup mandiri... Lagian rumah juga nggak jauh-jauh amat.” Jawab Seno dengan wajah datar. Sementara Karina hanya diam mendengarkan perdebatan Seno dengan mamanya.
“Ih.... mas Seno nggak asyik dech, baru aja Selly dapet teman ngobrol sama jalan, sudah diajak pergi. “ Kata Selly sambil cemberut.
Sebenarnya alasan Seno pindah adalah supaya dia bisa leluasa bersikap kepada Karina. Dia tidak mau berpura-pura terus di hadapan keluarganya, karena itu tidak sesuai dengan hatinya. Dia tetap menganggab bahwa pernikahannya ini telah mengacaukankan mimpinya, telah membelenggu kebebasannya untuk memilih jodohnya. Dan kalau sekarang ada Karina, dia rasanya ingin menumpahkan kemarahannya pada istrinya itu. Karena gara-gara kehadiran Karina, semuanya jadi berantakan.
“Baik kalau kamu memaksa, tetapi mama minta bukan besok kalian pindah, tunggu seminggu lagi, dan bersikaplah layaknya sebagai seorang suami.”
Akhirnya Seno mengalah, dia memang tidak akan pernah menang jika berdebat dengan mamanya. Selalu saja mamanya punya jurus-jurus yang dapat melemahkan dia, apalagi Seno sangat menyayangi mamanya, sehingga apapun keinginan mamanya akan dia turuti.
******
Hai guysss...... ikuti terus ceritanya ya....
Jangan lupa mampir jempol manisnya dengan vote, like & komen.
Dukung terus.....terus....dan terus ya....
Mmmuuuaacchhhh.....😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 292 Episodes
Comments
Amarantha Chitoz
Semangat Karin.../Good/
Lanjuuuuttttt...
2024-08-12
0
Damar Wulan
yang kuat ya mbak Karina 💪
2023-03-08
0
Endah Ing
seno masih bikin greget, padahal udah kedua kalinya baca cerita ini👍
2022-09-10
0