Cerita Seno dan Amanda
Kadang Seno merasa kalau Amanda belum benar-benar mencintainya, sementara Seno merasa kalau dirinya sudah memberikan seluruh hatinya pada Amanda. Bahkan di usianya yang sudah cukup matang, Seno sudah siap untuk menikahi Amanda, namun Amanda selalu mengulur-ulur, dengan alasan belum siap, masih ingin mengejar karier dan lain-lain, yang kadang membuat Seno frustasi.
Sore itu Seno mengontak Amanda, berniat mengajak makan malam sepulang dari kantor, tetapi lagi-lagi Amanda menjawab kalau dia tidak bisa, karena ada acara penting yang tidak dapat ditinggal.
“Sepenting apa sih acaramu Manda....?”
“Seno... please, tolong kali ini aku bener-bener nggak bisa. Next... ya.., aku janji..”
“Tapi aku kangen......” Jawab Seno sedikit kolokan. Amanda tertawa mendengar suara Seno yang seperti merengek.
“Ih... Seno.... geli dengernya...” Kata Amanda di ujung sana sambil tertawa
“Kamu nggak kangen ya...?”
“Duhhhh.... sayang.... jangan seperti anak kecil donk......”
“Manda.... kok sepertinya cuma aku ya... yang memiliki rasa cinta, sedangkan kamu biasa aja......”
“Sen...... jangan mulai dech....”
“Tapi Manda.......”
“Eh... sorry Sen, aku tutup dulu ya, ada tamu. See you.....” Amanda mengakhiri bembicaraannya dan membuat Seno kesal. Mau marah...? Oooo... tidak! Seno tidak pernah bisa marah dengan Amanda karena dia sangat mencintai gadis itu. Seno memang merasa, hanya dia sendiri yang berjuang mempertahankan cinta, bahkan menghadapi orang tuanya, sedangkan Amanda bersikap seperti angin, yang bisa bertiup kemana saja. Kedua orang tua Seno bersikap baik dengan Amanda, tetapi memang belum memberi restu dengan hubungannya.
Perkenalan Seno dengan Amanda dimulai saat acara ulang tahun teman kuliahnya. Di situlah Seno tertarik dengan seorang gadis cantik yang terlihat sangat pendiam. Dengan keuletannya, akhirnya Seno bisa dekat dengan Amanda, yang diketahui baru saja ditinggalkan kekasihnya. Hubungan yang awalnya biasa saja, makin lama makin
dekat. Seno benar-benar jatuh cinta dengan Amanda dan berniat menikahinya, namun lampu hijau belum diberikan oleh Amanda. Sepertinya Amanda masih merasa ragu dengan Seno, meskipun Seno menunjukkan rasa cinta yang begitu besar.
Malam itu, setelah menerima penolakan dari Amanda, Seno langsung pulang, dan ternyata setelah sampai di rumah, Karina sudah ada dan sedang menyiapkan makan malam. Diam-diam Seno merasa senang dengan kehadiran Karina kembali, meskipun tidak dia tunjukkan.
Karina yang mendengar suara mobil memasuki garasi, tahu kalau Seno datang, makanya dia keluar dari dapur dan menemui Seno.
“Sudah pulang mas..?”
“Hhhmmm.... kenapa pulang nggak kasih tahu?” Bukannya menjawab, tapi Seno malah balik bertanya sambil menatap Karina.
“Eee.....mmm.... “ Karina gugup. Hatinya berdebar-debar menerima tatapan Seno, setelah beberapa hari tidak ketemu. Ah..... ada apa dengan hatiku? Kenapa jadi berdebar-debar begini?
“Ya sudah... aku mau mandi dulu...” Kata Seno memotong, mengagetkan Karina.
“Ya mas....” Karina kemudian mengekor suaminya menuju kamar. Dia mau menyiapkan pakaian ganti untuk Seno.
Malam hari di ruang kerjanya, Seno merenung dengan ditemani secangkir kopi dan toples makanan kecil yang baru saja diantar Karina. Seno membuka galeri ponselnya, memandangi foto Amanda lama. Seno masih kesal dengan penolakan Amanda. Kemudian pikirannya berlari ke sosok Karina. Tetapi, lagi-lagi kemarahan muncul di
hatinya. Apalagi bila mengingat sosok laki-laki yang dipeluk istrinya di parkiran makam, yang juga pernah mengantar Karina ke rumah. Apakah dia cemburu...? Seno menggeleng-gelengkan kepalanya.
Hari-hari terus berlalu, dan tanpa terasa sudah satu bulan lebih pak Handoko meninggal, tetapi hubungan Karina dan Seno tetap tidak ada kemajuan. Hanya saja sekarang Seno sudah sedikit lunak, sudah jarang bicara ketus, meskipun sekali-sekali masih suka terdengar, apalagi kalau hatinya sedang kesal. Dan kekesalannya ini
pasti terkait dengan Amanda. Kekesalan Seno pasti ditumpahkan di rumah kepada Karina.
Suatu siang di kampus, Karina menerima telpon dari ibunya, meminta sepulang dari kampus untuk mampir ke rumah, ada yang mau dibicarakan.
“Karin... ada yang mau ibu tanyakan padamu, kamu jawab yang jujur ya...” Kata bu Handoko setelah selesai makan siang dengan Karina.
“Tanya apa bu.....?”
Bu Handoko menarik nafas panjang, kemudian membuangnya pelan-pelan. Wajahnya terlihat sendu, dan itu menjadikan Karina berdebar-debar menunggu pertanyaan dari ibunya.
“Karin... apa kamu bahagia dengan pernikahanmu...?” Tanya bu Handoko pelan. Bahkan sangat pelan, tetapi tidak bagi Karin yang mendengarkan. Suasana hening. Karina berpikir, jawaban apa yang akan dia berikan pada ibunya. Karina tidak mau membuat ibunya sedih.
“Bu.... kenapa ibu bertanya seperti itu...?”
“Jawab saja yang jujur Karin. Kamu bahagia?”
“Bu.... kebahagiaan tidak datang dengan sendirinya, tetapi diperjuangkan, dan saat ini Karin sedang memperjuangkannya. Ibu tidak usah khawatir.... Karin hanya mohon doa saja dari ibu...” Jawab Karina sambil menahan agar air matanya tidak keluar.
“Apakah suamimu bersikap baik? Apakah kamu sudah bisa mencintai suamimu...?”
“Bu.... mas Seno baik-baik saja..” Karina mencoba sedikit berbohong.
“Karin sedang mencoba berjuang untuk mencintai mas Seno bu....” Kali ini Karin tidak berbohong. Memang dia sedang berusaha, apalagi akhir-akhir ini jantungnya selalu berdebar-debar bila di dekat Seno. Ah..... Mungkin dia malah sudah mulai jatuh cinta pada suaminya. Entahlah.....
“Bagaimana perasaanmu pada.... siapa temanmu itu... eee iya pada Pram?” Pertanyaan ibu mengejutkan. Karina menunduk, dan air mata tidak bisa lagi ditahan. Karina terhisak pelan.
“Kamu mencintai dia Karin? Ibu lihat sepertinya dia juga punya perasaan yang lain padamu”
“Bu.... kalaupun ada perasaan itu, Karin tidak akan membiarkan membesar. Karin sudah punya suami.” Lirih suara Karina.
“Maafkan kami Karin. Maafkan ayah dan ibumu yang menyodorkan perjodohan padamu, sedangkan ternyata kamu mencintai orang lain...” Suara bu Handoko terdengar bergetar, ada air mata yang menetes di pipinya. Karina tercekat mendengar kata-kata ibunya, kemudian meraih ibunya dan memeluk erat.
“Bu..... jangan berkata begitu. Ayah dan ibu tidak bersalah apa-apa. Pilihan ayah dan ibu sudah benar, kami hanya masih harus belajar dan butuh waktu. Kami hanya perlu doa ibu saja...... Percayalah bu.... semua akan baik-baik, dan Karin pasti akan bahagia dengan pilihan ayah dan ibu...”
Bu Handoko menghapus air matanya, kemudian mencium pipi Karina. “Ibu akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu nak.” Kemudian suasana hening lagi. Tak lama kemudian...
“Karin... ibu memanggilmu kesini ada yang mau ibu bicarakan. Ibu berrencana pulang ke kampung untuk menemani nenekmu. Rumah ini sudah ibu jual dan hasilnya sudah ibu masukkan ke rekeningmu, ibu hanya mengambil sedikit untuk bekal di kampung. Ini sesuai permintaan ayahmu. Ibu tahu kamu tidak membutuhkan uang itu, karena suamimu sudah mencukupi semua kebutuhanmu. Tetapi tidak apa-apa, siapa tahu suatu saat uang itu berguna.”
Kemudian bu Handoko berdiri, membuka lemari dan mengambil sesuatu.
“Ini buku rekening dan kartu ATM nya, simpanlah.” Kata bu Handoko sambil menyodorkan buku tabungan dan kartu ATM. Karina hanya terbengong-bengong.
“Bu... untuk apa semua ini?” Tanya Karina sambil menangis. “Karin tidak mau bu, Karin tidak butuh uang ... ini untuk ibu...” Karina menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Karin.... penuhilah pesan ayahmu. Ini permintaan terakhir ayahmu. Percayalah... di kampung, ibu tidak akan kekurangan. Ibu hanya pesan, sering-seringlah kamu menengok ibu dan nenek kalau ada waktu,
dengan suamimu. Bulan depan ibu akan pulang”
Karina hanya diam, kemudian membuka buku tabungannya. Setelah dilihat, ternyata jumlahnya sangat banyak, lebih dari limaratus juta.
“Bu.... ini terlalu banyak.... Karin tidak bisa menerima semuanya... Lagian Karin juga punya penghasilan dari pekerjaan desain” Karina mencoba mengembalikan buku tabungan ke pangkuan ibunya.
“Tidak Karin... ini semua untuk kamu. Kamu satu-satunya anak ibu dan ayah, jadi memang kamulah yang berhak.”
“Bu... kenapa ibu harus pulang kampung? Kenapa tidak tinggal di sini saja atau ikut Karin?”
“Kasihan nenekmu, sendirian di rumah..”
Percuma saja Karina menolak pemberian ibunya atupun menahan ibunya untuk tidak pulang ke kampung. Akhirnya Karina menyerah.
******
Halo...... up lagi ya, but temen malmingan...
Yuk dukung terus dengan vote, like & komen biar terus rajin up.
Jangan bosen ya....... muuacchhhh.....😘😘😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 292 Episodes
Comments
Amarantha Chitoz
/Cry//Cry//Cry//Cry/
2024-08-12
0
Kamariah
P
2021-11-11
0
Suharni Merianti
ibu dan ayah yg baik
2021-10-15
0