Keputusan untuk pergi (2)
Setelah mendengar suara mobil Seno meninggalkan rumah, Karina keluar kamar dan menuju kamarnya di lantai atas. Karina menangis pilu mengingat kata-kata yang diucapkan Seno tadi. Setelah merenung sejenak, akhirnya Karina memutuskan akan mengakhiri semuanya, dan sesuai dengan ucapannya tadi, dia akan mengembalikan
kebahagiaan Seno. Dan kalau memang kebahagiaan Seno dapat kembali dengan kepergiannya, maka itu akan Karina lakukan.
Karina mulai mengemasi barang-barangnya yang tidak banyak, termasuk dokumen-dokumen penting lainnya.
Karina sudah meneguhkan hatinya, akan meninggalkan rumah Seno. Setelah semua selesai, Karina mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang sudah dia tempati beberapa bulan. Sebelum keluar kamar, Karina mengambil kartu debit dan kartu kredit yang diberikan Seno termasuk cincin kawin bermata berlian dia lepas, diletakkannya di meja kecil samping ranjang, kemudian mengangkat koper dan menuju dapur mememui bi Asih.
Dengan berurai air mata, Karina pamit pada bi Asih yang tak kuasa menahannya. Bi Asih dan asisten lainnya melepas majikannya yang baik hati itu dengan deraian air mata. Karina meninggalkan rumah dengan taxi online
yang sudah dia pesan, tujuannya ke rumah Rossa. Tidak lupa Karina mematikan ponselnya. Dipandanginya bangunan kokoh rumah Seno yang ada di belakangnya. Tekad Karina sudah bulat.
Setelah Karina pergi, bi Asih buru-buru menelpon bu Baskoro sambil terhisak.
“Terus pergi ke mana?” Tanya bu Baskoro panik, apalagi hari sudah malam.
“Kami tidak tahu karena non Karin tidak bicara apa-apa, bahkan melarang kami memberitahu ibu.”
Bu Baskoro berkali-kali menelpon Seno, tetapi tidak pernah diangkat, bahkan yang terakhir ponsel Seno malah mati. Sementara itu, Seno dari rumah menuju salah satu hotel milik keluarganya dan masuk kamar. Pikirannya
masih kacau memikirkan Amanda dan kata-kata kasar yang tadi diucapkan pada Karina. Dia tidak menghiraukan telpon mamanya yang berkali-kali. Akhirnya karena kelelahan, Seno tertidur sampai pagi.
Di rumah Rossa
Karina menangis tersedu-sedu di pelukan mami Rossa. Rupanya Rossa sudah bercerita semua masalah Karina pada kedua orang tuanya, sehingga mereka tidak kaget saat Karina datang malam-malam dengan tangisnya. Mereka semua membiarkan Karina puas dengan tangisnya. Bu Lia, mami Rossa masih memeluk Karina sambil mengusap-usap punggungnya. Air matanya ikut menetes melihat kondisi Karina, sementara Pak Rudy, papi Rossa hanya bisa memandangi Karina dengan perasaan sedih.Ya…. pasangan paruh baya inilah yang sekarang dianggab sebagai orang tuanya.
“Mi.... Karin nggak sanggup lagi, Karin lelah....” Kata Karina masih terisak di pelukan bu Lia.
“Karin... mami paham nak. Kamu sekarang yang tenang dulu ya.... istirahat saja, sudah malam. Besok kita ngobrol lagi ya.....” Bu Lia mencoba menenangkan Karina.
“Tapi mi....pi.... Karin pengen pergi yang jauhhh.... Karin udah nggak punya siapa-siapa lagi di sini... Nggak ada lagi yang menjadi alasan Karin bertahan dengan pernikahan ini..”
“Karina sayang.... masih ada kami di sini. Papi, mami, Rossa dan Rian yang akan selalu ada di sampingmu. Kamu tidak sendiri sayang... Ingat kami juga keluargamu, orang tuamu dan sodaramu.” Kata bu Lia dengan lembut, yang membuat Karina makin terisak.
“Karin... kamu istirahat dulu ya. Besok pagi kita bicara, biar pikiranmu tenang dulu...” Terdengar suara pak Rudy, juga dengan suara lembut tapi berwibawa.
Karina melepaskan diri dari pelukan bu Lia dan memandang wajah catik wanita separo baya itu. Bu Lia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Sungguh, Karina merasa beruntung berada di tengah-tengah keluarga yang bukan siapa-siapa dia tetapi sangat menyayanginya.
“Papimu benar, kamu istirahat dulu gih di kamar Rossa, besok kita ngobrol lagi..”
Pagi hari di rumah Rossa, saat Karina sarapan bersama keluarga Rossa, terlihat matanya sembab dan wajahnya pucat. Memang semalaman Karina tidak bisa tidur. Kata-kata Seno yang dangat menyakitkan serasa mengikuti kemanapun telinganya berada. Awalnya Karina masih mencoba akan tetap bertahan, karena Karina merasa akhir-akhir ini hatinya sering berdebar-debar bila menerima tatapan mata Seno. Ah.... apakah ini cinta? Apakah aku mulai jatuh cinta? Karina mencoba menyangkal kata hatinya, tapi....... Sampai saat Karina mendengar ucapan Seno semalam, hatinya benar-benar hancur. Dia merasa tidak ada lagi gunanya untuk tetap bertahan.
Ya...... akhirnya keputusan untuk pergi, dia pilih. Karina menyerah, hatinya benar-benar lelah.....
“Karin.... ayo makan sayang.... jangan cuma diliatin aja nasinya....” Sentuhan lembut tangan bu Lia dibahunya mengagetkan Karina.
“Eeee... ii.... iya mi...” Karina tergagap.
“Makan dulu ya.... nanti kita bicara.”
Karina makan dalam diam, akhirnya setelah beberapa suap, dia menghentikan makannya.
“Ayo dong dihabisin, mukamu pucat lho....” Kata bu Lia lagi.
“Udah cukup mi...” Karina menggelengkan kepalanya.
“Ya sudah.... kalau begitu habisin susunya ya....”
Setelah semua menyelesaikan sarapannya, kemudian bergeser duduk di ruang keluarga.
“Sekarang kamu gimana Karin.... sudah merasa lebih lega?” Tanya bu Lia. Karina hanya menundukkan kepalanya. Air mata mulai menetes. Bu Lia mendekati Karina dan duduk di sebelahnya sambil memeluk bahu Karina.
“Sekarang katakan, apa yang kamu inginkan Karin...” Pak Rudy mulai bicara dengan suara lembut.
“Pi.... Karin pengen pergi yang jauh..... tapi nggak tahu harus kemana. Kalau Karin pulang ke rumah nenek, Karin nggak mau membuat nenek sedih. Apalagi belum lama ibu meninggal....” Kembali Karina tersedu-sedu karena teringat orang tuanya. Suasana menjadi hening, hanya terdengar isakan Karina. Tak lama terdengar pak Rudy menarik nafas panjang, kemudian mengembuskan pelan-pelan.
“Apa kamu yakin akan pergi yang jauh Karin?” Tanya pak Rudy lagi. Karin mengangkat kepalanya, memandang
pak Rudy dan bu Lia bergantian. Sementara Rossa memandangi wajah Karina dengan tatapan sedih.
“Karin yakin pi.... Karin lelah....”Jawab Karina pelan.
“Baiklah.... gimana kalau kamu ke Perth bareng Rossa. Kamu bisa kuliah di sana. Soal biaya tidak usah kamu pikirkan. Dari dulu kami sudah tawarkan agar kamu kuliah bareng Rossa, tetapi ayah ibumu keberatan.”
Karina tidak menjawab, hanya menoleh memandang wajah bu Lia, dan bu Lia hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
“Pi.... Karin ada uang peninggalan orang tua hasil penjualan rumah, itu bisa untuk biaya kuliah.” Jawab Karina pelan.
“Karin.... kamu juga anak papi dan mami, jadi uang itu biar kamu simpan saja. Siapa tahu suatu saat kamu perlukan. Kamu nggak usah mikir macam-macam kalau memang berniat pergi jauh, konsentrasi belajar saja.”
Karina sangat terharu, begitu besar perhatian keluarga Rossa pada dirinya. Padahal dia hanya dari keluarga yang sangat sederhana, berbeda jauh denga keluarga Rossa yang memiliki segalanya. Akhirnya Karina menerima tawanan orang tua Rossa.
“Besok papi akan suruh orang untuk mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Papi minta rahasiakan semua ini, jangan sampai ada yang tahu kecuali kita. Papi tidak enak, karena mertuamu teman bisnis papi, dan kami punya hubungan baik. Jadi kamu jangan kemana-mana sebelum berangkat dengan Rossa. Matikan ponsel selama masih di sini, setelah sampai Perth ganti nomor. Soal tempat kuliah, biar Rian yang urus, untuk jurusan terserah kamu mau pilih apa. Gimana Karin..?”
“Iya pi.... Karin ikut saja. Terima kasih banyak untuk papi dan mami sudah sangat perhatian sama Karin. Karin tidak tahu lagi harus kemana kalau tidak ada keluarga di sini.” Kembali Karina terhisak.
“Sudah sayang.... Kita ini keluarga, jadi kamu kalau ada apa-apa bilang aja sama mami ya....”
******
Hai.... up lagi ya.... Tadi ada gangguan sinyal, jadi pending dech
Jangan bosan-bosan ya....
Dukung terus dengan vote, like & komen....
Tetap smangat....💪💪💪
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 292 Episodes
Comments
Amarantha Chitoz
sedih banget thorrrr.../Cry//Cry//Cry/
2024-08-12
0
Huriyahade
sedih bacanya.. buat karin sabar
2022-02-09
0
mom's ana
nah gitu donk...jgn nertahan terus kalobtersiksa mending pergi jauuhh gpi kebahagiaan
2021-11-19
0