Sebuah pesan masuk di handphone Barra. Ia segera pergi setelah membaca pesan tersebut. Ia turun dengan menggunakan lift dan menunggu dengan tak sabar untuk sampai di lobby.
“Ding” pintu lift terbuka.
Ia segera menekan nomor handphone dan menghubungi seseorang.
“Papah dimana?” ujarnya dengan tergesa-gesa.
“Papah udah di jalan pulang. Papah baik-baik aja.” Terang suara di sebrang sana.
“Tapi pah,….” Kalimat Barra terhenti saat ia melihat bayangan Samira masuk ke dalam lift lain dan menunggu pintu lift terbuka.
“Halo barra? Barra!” panggil suara di sebrang sana.
“Pah, nanti Barra hubungi lagi!” ujar Barra yang segera mengakhiri panggilannya. Ia berlari menuju lift, tapi pintu lift sudah tertutup. “Shit!” dengusnya.
Ia yakin, yang ia lihat barusan adalah Samira. Sayangnya tidak ada seorangpun di sana, sehingga Barra tidak bisa bertanya. Barra segera masuk ke lift satunya. Ia menekan lantai 16 untuk menuju apartemennya.
Selama di dalam lift, Barra benar-benar tidak tenang. Ia terus memikirkan Samira yang ia yakin dilihatnya beberapa saat lalu. Barra menggenggam handphonenya erat-erat. Selama beberapa hari ini, ia dibuat galau dengan tidak bisa melihat wajah Samira. Saat akan bertanya pada Selly pun, ia mengurungkan niatnya karena merasa gengsi. Tapi, setiap hari sebagian nyawanya serasa hilang karena terus memikirkan Samira. Bahkan sempat beberapa kali ia serasa melihat Samira di sekolah, padahal itu siswa lain yang sedang mencoba menggodanya. Entah mengapa, semua wajah terlihat mirip Samira. Halusinasinya sungguh sudah tingkat dewa.
Barra memutar otaknya berusaha mencari jalan. “Ya! Gue tau!” seru Barra saat ia keluar dari dalam lift. Ia segera masuk ke apartemennya. Mencoba menghubungi nomor yang ada di handphonenya.
“Halo pak Barra, selamat malam….” Sapa suara di sebrang sana yang berusaha untuk terdengar lembut. Barra menjauhkan sebentar handphonenya, karena ia merasa kalau ia akan muntah. “Halo pak Barra..” suara itu kembali terdengar. Barra berdehem berusaha mengendalikan dirinya.
“Iya bu isma. Saya mau bertanya alamat… samira.” Ujar Barra dengan ragu.
“Samira? Kenapa dengan anak itu, apa dia buat masalah lagi?” cerocos Isma membuat Barra mulai malas.
“Bukan bu, dia kan gag ikut kelas saya, jadi saya mau mengirimkan tugas untuk dia. Supaya pas masuk bisa dikumpulin bareng temen-temennya.” Karang Barra sambil menyilangkan jarinya tanda berbohong.
“Oh gitu… tapi dia ada alamat rumah sama apartemen. Bapak mau alamat yang mana?” tanya Isma dengan jelas.
“Ooo ada 2 ya alamatnya.”
“Iya pak, kalo saya kirim surat skorsing, biasanya ke alamat rumahnya, supaya langsung di terima walinya. Tapi kalo dia kayaknya tinggal di apartemen gitu.” Terang Isma.
“Ya udah apartemen aja bu. Biar tugasnya langsung dia terima.” Sahut Barra sambil tersenyum.
“Oh okey pak, nanti saya kirim alamatnya ya…”
“Ya terima kasih!” sahut Barra yang segera mengakhiri panggilannya.
“YES!” seru Barra yang merasa mendapatkan jalan. Tak lama handphonenya berdering. Sebuah pesan masuk dari Isma. Dahi Barra berkerut saat melihat alamat yang dikirim Isma. Alamat yang sama persis dengan tempat tinggalnya.
“Ibu gag salah kirim alamat kan?” tanya Barra lewat sebuah pesan.
“Ya enggak dong pak. Mana ada saya berani bohong sama pak barra ganteng.” Tulis Isma dengan emiticon love.
Barra bergidik sendiri. Sejurus ia tersenyum, saat ia tau, ia dan Samira tinggal di bangunan yang sama.
“Begok!” umpatnya seraya tertawa. Ia menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. “Kok gag ada nomor apartemennya ya?” perasaan Barra dibuat jungkir balik hanya dengan masalah alamat Samira.
Ia berusaha menghubungi pengelola apartemen melalui telpon. Ia merasa pekerjaannya belum tuntas walaupun malam sudah sangat larut.
“Halo selamat malam, ada yang bisa saya bantu…” ujar seorang perempuan di sebrang sana.
“Malem mba, saya mau nanya, kalo atas nama samira, itu di unit apartemen nomor berapa ya?” Barra bertanya dengan tergesa-gesa..
“Mohon maaf , bapak dengan siapa?”
“Oh em ini, saya kurir ekspedisi mau mengirim barang tapi alamatnya kurang lengkap. Barangkali mba bisa bantu?” lagi-lagi Barra menyilangkan jarinya.
“Oh, bapak bisa menitipkannya di petugas kami di lobby.” Terang wanita tersebut.
“Shit! Kenapa juga gue ngehubungi cewek ganjen malem-malem kalo bisa nanya ke lobby? Bodoh, bodoh, bodoh!!!!” batin Barra mengutuki dirinya sendiri.
“Oh , petugasnya sedang tidak ada di tempat mba. Dan saya buru-buru. Bisa minta alamat jelasnya?” Barra tidak pantang menyerah.
“Oh begitu ya pak? “ terdengar jeda dari panggilan tersebut. Sepertinya petugas tersebut sedang mengecek kebenaran ucapan Barra. Barra mulai gugup, ia takut ketauan. Untuk pertama kalinya mencari alamat seorang gadis di rasa begitu sulit. “Terima kasih telah menunggu. Mohon maaf sepertinya petugas kami sedang ke toilet. Bapak bisa mengantar barangnya ke apartemen nomor 601. Atas nama Samira alesya putri.” Terang wanita tersebut.
“Yes!!!!” Barra melonjak girang. Ia tidak lagi memperdulikan operator yang memanggil namanya. Ia melemparkan handphonenya ke kasur lalu berbaring dengan senyum lebar di bibirnya. “Samira Aleysa putri.” Lirihnya. Jantungnya berdegub kecang hanya karena menyebut namanya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. “Kenapa gue bisa sesenang ini cuma karena dapet alamat bocah itu?” Gumam Barra sambil mengacak rambutnya.
Sepertinya malam ini Barra akan tertidur dengan lelap. Ia tak sabar menunggu matahari terbit esok hari.
****
Pagi-pagi samira sudah terbangun. Ia segera menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Tidak terlalu banyak waktu yang ia habiskan untuk mandi. Sebuah handuk membungkus tubuhnya dengan rapat. Samira membuka lemari bajunya. Ia melihat seragam sekolah yang tergantung di hanger. Samira mendengus kesal, saat ini ia masih belum bisa memakai seragamnya ke sekolah.
“Kenapa gue sedih banget ya, gag bisa ke sekolah? Biasanya juga gue bolos , happy-happy aja…” dengus Samira seraya mengerucutkan bibirnya. Ia kembali menutup lemarinya dan hanya mengambil sebuah hotpants putih dengan kaos berwarna abu muda.
Samira segera berpakaian. Perutnya terasa keroncongan. Ia menuju dapur dan membuka kulkas. Namun hanya satu butir telur yang tersisa dengan nasi yang sudah kering.
“Hemmhh,,, mana kenyang…” gumamnya sambil membawa telur tersebut dan akan memasaknya.
Samira menyalakan kompor. Ia menggoreng telur hingga matang. Hanya garam yang ia bubuhkan di telur mata sapinya. Tanpa beranjak dari depan kompor, ia mengambil sendok dan memakan langsung telurnya di atas wajan.
“Aguuhhh hanasss…” gumam Samira yang merasa kepanasan saat potongan telur menyentuh lidahnya. Ia meneguk segelas air putih dan melanjutkan sarapannya di atas wajan hingga habis tak bersisa.
“Ting tong…” suara bell berbunyi nyaring.
“Siapa sih bertamu pagi-pagi!” dengus kesal Samira. Samira segera membukakan pintu. Matanya membelalak saat melihat sosok yang ada di hadapannya.
“Kenapa , kamu kaget?” ujar Ananta seraya membuka kacamata hitamnya. Samira tak menjawab. Ia berlalu tanpa menutup pintu. Tidak mungkin juga ia mengusir ibunya sendiri.
“Kamu bikin ulah apalagi sampe di skors?” tanya Ananta dengan tatapan mengintimidasi.
“Bukan urusan anda.” Sahut Samira acuh. Ananta menarik tangan Samira dan membuatnya berbalik menghadapnya.
“Hey! Jaga kelakuan kamu! Kamu harus sadar siapa diri kamu, apa kamu akan mempermalukan kami di hadapan orang banyak dengan kelakuan minus kamu?!” teriak Ananta yang sudah tidak bisa menahan kesabarannya.
Berulang kali ia menerima surat skorsing dan peringatan untuk Samira. Dan berulang kali ia mengelus dadanya menahan kesal.
“Kamu harus belajar menghormati orang lain , jangan berprilaku seenaknya!” cerca Ananta dengan mata melotot.
“Menghormati orang lain? pelajaran macam apa itu? Apa anda pernah mengajari saya?” tutur Samira dengan seringai penuh dendam.
“Plak!” sebuah tamparan mendarat di pipi Samira. Ananta tidak dapat mengendalikan emosinya. Samira tersenyum pedih.
“Hanya pelajaran ini yang pernah saya terima, dan saya sudah menerapkannya dengan sangat baik.” Ujar Samira dengan tenang.
Ananta semakin melotot. Tanpa takut Samira memandang balik Ananta. Ia tidak memperdulikan telinganya yang ikut berdengung karena tamparan keras Ananta.
“Apa anda sudah puas? Kalau sudah, pintu keluarnya sebelah sana.” cetus Samira tanpa menatap Ananta sedikitpun.
“Samira, saya ibu kamu! Hormati saya sebagai ibu kamu!” teriak Ananta dengan mata membulat.
“Cih! Ibu?" Samira berdecik sebal. "Sejak kapan anda tau nama saya? Sejak kapan anda sadar bahwa anda menjadi ibu saya nyonya ananta? Bukannya saya adalah aib yang selalu ingin anda sembunyikan? Bukannya saya adalah sebuah kesalahan yang selalu ingin anda lupakan? Dan bukankah saya, adalah sebuah beban yang selalu ingin anda singkirkan?” teriak Samira dengan lantang. Matanya berkaca-kaca, dan nyaris pecah.
“Pernahkah anda bertanya bagaimana kabar saya? Pernahkah anda bertanya apa saya makan atau tidak? Pernahkah anda bertanya saya tidur nyenyak atau tidak? Dan pernahkah ada bertanya, bagaimana rasanya menjadi seseorang yang diabaikan? Pernahkan anda sedetik saja memikirkan perasaan saya? Pernahkan nyonya Ananta?” tangis Samira pecah. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Ia terduduk di sofa dengan kedua tangan menangkup wajahnya. Bahunya bergetar terbawa tangis yang tak lagi tertahan.
Ananta hanya terpaku melihat Samira yang menangis dalam kesendiriannya. Lelehan air matapun menetes di pipinya. Tangannya bergerak, hendak meraih Samira.
“Pergilah, itu lebih baik untuk kita berdua…” lirih Samira tanpa memandang Ananta sedikitpun.
Ananta mengurungkan niatnya. Ia segera pergi dan membanting pintu apartemen Samira. Ia menyandarkan tubuhnya di daun pintu. Tangisnya pecah tanpa bisa di tahan. Ia tidak mengerti, apa yang sudah ia lakukan selama ini. Samira, putri satu-satunya, kini bagai orang asing di hidupnya. Dan ialah yang membuat jarak itu semakin jauh.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Bunda dinna
Dan saat Samira menemukan kenyamanan pada orang lain,,bu Ananta akan.semakin menyesal
2023-02-19
1