“Saaamm!!!!” seru Dina saat melihat Samira yang datang bersama putrinya. Ia memeluk Samira dengan erat, layaknya seorang ibu yang merindukan anak gadisnya. “Ästaga, liat anak bunda tambah cantik aja….” Imbuh Dina seraya mengecup pipi kiri dan kanan Samira lalu menatapnya dengan hangatt.
“Bunda, anak bunda tuh ini… kok malah samy lagi samy lagi..” protes Selly dengan bibir mengerucut.
“Kamu kan udah bunda kelonin semaleman. Sekarang giliran Samy.” Dina menyahuti seraya mengusap rambut Selly yang tengah kesal.
“Tau nih selly serakah banget bun…” timpal Samira sambil tersenyum geli. Selly hanya mengerlingkan matanya. “Bunda gimana kabarnya? Samy kangen sama bunda.” ungkap Samira seraya menggenggam tangan Dina dengan erat. Mereka bersama-sama duduk di sofa tanpa melepaskan pandangan satu sama lain.
“Bunda baik sayang. Kamu gimana kabarnya?”
“Samy juga baik bun… gimana urusan bisnisnya, lancar?”
“Iya sayang, Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Bunda juga ketemu pak handoko, dia nanyain kabar kamu.” terang Dina seraya mengusap rambut lurus gadis cantik dihadapannya. Samira hanya tersenyum tipis. Dina sepertinya paham saat ekspresi wajah Samira berubah begitu cepat saat nama Handoko di sebut.
“O iya, bunda bawa oleh-oleh buat kamu, ayo kita liat.” Dina berusaha mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Samira hanya terangguk setuju.
Beberapa papper bag tersusun rapi di atas meja. Berbagai merk terkenal menjadi label pada masing-masing papper bag tersebut.
“Wah, banyak banget bun…” Samira takjub sendiri melihat beberapa kantong oleh-oleh yang ada di hadapannya. “Ini pasti ngerepotin bunda banget.” imbuh Sambira sambil membuka satu per satu papper bag yang ada di hadapannya. Selly ikut senang, ia duduk di samping Samira dan ikut membukanya.
“Enggak sayang, gag ngerepotin sama sekali.” Dina mengusap lembut puncak kepala Samira. Samira tersenyum dengan senang.
Walaupun Dina bukan ibu kandungnya, ia sangat dekat dengan bundanya Selly ini. Dina adalah sahabat dari ayah Samira..
“Gimana di sekolah, baik-baik aja kan?” Dina masih asyik mengelus rambut hitam Samira yang terasa begitu halus.
“Samy di kejar-kejar cowok-cowok bun…” cetus Selly sambil terkekeh.
Dengan cepat Samira menyikut lengan Selly, matanya membulat dengan sempurna. “Hus asal ngomong aja. Selly tuh bun, baru putus sama pacarnya, sekarang lagi nyari cowok baru.” Timpal Samira seraya menjulurkan lidahnya pada Selly.
“Hem… dua anak bunda ini ternyata jadi incaran para laki-laki yaaa….” Goda Dina sambil tergelak. "Dan selly, kok gag bilang kalo udah putus lagi? Pacar yang mana nih?" selidik Dina yang penasaran dengan sang putri.
Samira dan Selly saling berpandangan. Mereka menaruh kembali papper bagnya dan suasana mendadak hening. Mereka lupa kalau Dina hanya tau satu pacar Selly, yaitu anak dari rekan bisnisnya. Padahal entah sudah berapa anak laki-laki yang menggantikan mantan pacarnya tersebut.
"Em... Anu bun, aku ngambil minum dulu." sahut Selly dengan cepat. Ia segera pergi meninggalkan Samira dan Dina yang masih diliputi rasa penasaran.
Kini tatapan Dina beralih pada Samira. Jelas terlihat, Dina memerlukan penjelasan.
"Samy gag ikutan bun. Cuma denger doang." ungkap Samira dengan perlahan.
"Yakin, kamu gag tau?" Selidik Dina yang seolah bersiap menerkam Samira.
"Beneran bun..." Samira mundur menjauh dari Dina. Ia sudah bisa menebak serangan seperti apa yang akan diberikan oleh Dina.
"Bilang, atau....." Benar saja, Dina mulai menggelitik pinggang Samira hingga tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahahahaha... ampun bun... ampun..." protesan Samira tak lantas menghentikan aksi Dina. "Selly, bantuin gue!!!" serunya yang mulai kewalahan.
Namun Selly hanya terkekeh mendengar suara Samira.
"Bunda gag akan berhenti sebelum kamu jawab." Dina tak pantang menyerah.
Suasana rumah Selly berubah menjadi hangat. Suara gelak tawa terdengar begitu nyaring. Melihat Samira tertawa lepas adalah kebahagiaan tersendiri bagi Dina dan Selly. Karena mereka tau, masalah besar yang selalu dihadapi gadis cantik ini.
****
“Bun, aku pulang dulu ya…” ucap Samira seraya mengecup punggung tangan Dina.
“Sayang, apa gag sebaiknya kamu tinggal di sini aja sama bunda dan selly? Rumah ini juga rumah kamu.” tutur Dina dengan tatapan cemasnya.
“Bun, bunda kan udah setuju aku pengen mandiri. Jadi jangan paksa aku buat ngerubah keputusan…” pinta Samira dengan penuh keyakinan.
“Tapi bunda selalu cemas kalo ngebayangin kamu sendirian di apartemen itu. Gimana kalo kamu mau laper malem-malem atau butuh sesuatu.” Dina masih berusaha membujuk Samira.
“Ish bunda, sekarang zamannya udah canggih, gag mungkin aku mati kelaperan kan…” sahut Samira yang tersenyum tipis. Dina memeluk tubuh langsing Samira yang tingginya melebihi Dina. Ia mengusap kepala Samira dengan lembut, seolah begitu banyak kecemasan yang tersimpan di dadanya.
“Kalo ada apa-apa, kabarin bunda ya nak….” lirih Dina
“Ïya bun…”Samira menyahuti. Ia melepaskan pelukannya. “Gue pulang dulu, jangan kebanyakan ngerengek lo sama bunda, kasian bunda capek!” imbuh Samira pada Selly.
“Iyaaa, iyaa… ada bunda lo jadi bawel deh!” timpal Selly seraya tersenyum.
Setelah mengucap salam, Samira segera menaiki taksi online yang sudah dipesannya. Lambaian tangan menjadi akhir pertemuannya dengan Dina dan Selly. Dan bayangan Samira pun menghilang di balik pintu mobil. Dina menoleh Selly dan menarik tangannya untuk masuk ke dalam pelukan.
"Kamu bantu bunda jagain dia kan sayang?" Tanya Dina yang masih memandangi jalanan walau taksi itu sudah membawa Samira pergi.
"Hem... Jangan cemas bun, dia kuat seperti biasanya." sahut Selly.
Pandangan Dina beralih menatap manik coklat sang putri. Bibirnya melengkungkan sebuah senyuman. " Terima kasih sayang..." tandasnya seraya mengecup dahi Selly.
Di dalam mobil, Samira kembali membuka 2 papper bag yang ada di sampingnya. Ia tersenyum memandangi coklat-coklat dan biscuit oleh-oleh dari Dina. Betapa ia bersyukur dalam hidupnya masih ada orang yang menyayanginya dengan tulus.
"Makasih bun, makasih selly." batinnya seraya tersenyum.
Mobil berhenti di depan sebuah apartemen berlantai 16. Di apartemen ini lah Samira tinggal seorang diri. Waktu yang panjang, ia nikmati seorang diri dalam sebuah sepi yang tidak pernah berakhir. Saat pintu unitnya terbuka, kembali ia sadar kalau ia hanya sendirian dan kesepian.
****
Semburat lembayung di sore itu terlihat sangat indah, membuat Samira ingin sejenak saja berjalan kaki menikmati indahnya sore itu. Ia duduk di salah satu bangku yang berada di taman apartemen. Anak-anak berlarian berkejaran dengan riang. Orang tua mereka menemaninya sambil sesekali mengambil foto anak-anak yang tertawa bahagia. Terkadang ada yang menangis di antara mereka, namun dengan cepat para orang tua tersebut menenangkannya. Sungguh pemandangan yang sangat indah bagi Samira.
Samira merasakan kehampaan dalam hatinya. Dimana, masa itu telah lama ia lewati tidak bisa terulang bahkan hanya cukup untuk dikenang. Hatinya merasa iri, melihat anak-anak yang tertawa riang kala rengekan manjanya di turuti oleh ayahnya. Mereka berseru senang, saat pelukan hangat ibunya mendekap mereka dengan erat.
Sesuatu hal yang sangat mahal, bahkan dengan uang sebanyak apapun kebahagiaan itu tidak pernah bisa Samira miliki. Itulah salah satu alasan Samira tidak ingin menggunakan segala fasilitas mewah yang dimiliki orangtuanya. Cukup dengan kesendirian dan kenangan yang tak pernah lekang dari ingatannya. Dengan semua itu, ia bisa bertahan walau sesekali harus meringis. Tapi nyatanya, ia merasa lebih kuat.
Samira melangkahkan kakinya menuju apartemen, menaiki lift dan menekan tombol lantai 6. Saat pintu lift kembali terbuka, dari kejauhan ia melihat seorang laki-laki tengah berdiri di depan pintunya. Ia tersenyum seraya mengangguk melihat kedatangan Samira.
“Selamat sore non samy…” sapa laki-laki paruh baya bernama Handoko.
Samira tak membalasnya sama sekali. Wajahnya berubah dingin tanpa ada garis senyum sedikitpun.
“Ada apa?” Tanya Samira tanpa menatap Handoko sediikitpun.
“Ini, saya membawakan beberapa makanan kesukaan non samy.” Ujar handoko, seraya menyodorkan sebuah papper bag yang sama seperti yang di pegangnya.
“Hem, saya sudah memiliki banyak di sini dan saya rasa cukup.” sahut Samira seraya mengangkat paper bag di tangannya.
Handoko terpaku. Benar, oleh-oleh yang ia bawa pasti sama dengan yang saat ia di pegang Samira, karena Dina juga yang memilihkannya. Handoko menghembuskan nafasnya perlahan, lagi langkahnya terlambat untuk meraih hati sang nona mudanya.
"Tidak ada urusan lain kan?" Samira menyadarkan Handoko dari lamunannya.
"Iya non samy, kalau begitu saya permisi." pamit Handoko
“Hem…” jawaban singkat Samira.
Samira menempelkan ibu jarinya ke kunci apartemen. Kemudian masuk dan menutup pintunya rapat-rapat. Handoko membungkukkan badannya saat bayangan Samira menghilang di balik pintu unit apartemennya.
Samira menaruh papper bag tersebut di atas tempat tidurnya. Di lemparnya tas sekolah dengan sembarang. Ia merobohkan tubuhnya dengan menelungkup di atas tempat tidur. Cukup lama ia terdiam dan merasakan tubuhnya yang terasa lelah, ia berbalik. Kini ia duduk bersandar pada head board ranjangnya. Samira membuka paper bag yang diberikan oleh Dina. Ia teringat paper bag yang sama yang di bawa handoko.
“Cih! Dia pikir dia bisa baik-baikin gue pake coklat dan biscuit juga?!” Samira berdecih.
Perhatiannya beralih pada meja riasnya. Ada sebuah kotak hitam yang beberapa hari lalu juga diberikan oleh Handoko. Hingga saat ini Samira belum membukanya. Ia beranjak dari tempat tidurnya, dengan langkah malas ia duduk di depan meja rias dan memandangi kota hitam tersebut.
Samira mulai penasaran. Ia membuka kotak tersebut dan ternyata isinya adalah sebuah kalung dengan liontin bulat. Samira membuka penutup liontin tersebut. Ia tersenyum sendiri saat wajahnya dan sang ayah tersenyum dengan gembira di sana. Rupanya ini adalah liontin Samira saat ia berulang tahun yang ke 7. Ulang tahun terakhirnya yang ia rayakan bersama sang ayah.
Saat itu, karena dalam kondisi marah, Samira memberikan liontin ini pada Handoko. Liontin yabg membuatnya keluar dari rumah mewah miliknya.
"Mau apa dia sebenarnya? Selalu sangat menyebalkan dengan berpura-pura baik padahal gue tau, dia melakukannya dengan terpaksa." lirih Samira.
Ia membenamkan liontin tersebut dalam genggamannya dan menempatkannya di dada. Perlahan buliran bening mulai menetes dari sudut matanya.
"I miss you..." lirihnya seraya terisak.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Bunda dinna
Masih nyimak
2023-02-18
1
Ririn
baru baca 2 novelmu bagus semuaa
2022-12-26
1
erik yk
masih memulai
2022-01-13
1