Flash Back
Rasa gerah dan lelah di rasakan Samira yang saat itu baru pulang dari sekolah. Handoko sudah menyambutnya di depan pintu dengan senyum ramah yang biasa ia berikan.
“Selamat siang non. Bagaimana sekolahnya hari ini?" sapa Handoko dengan hangat.
"Sama seperti biasanya." sahut Samira seraya memberikan tas sekolahnya pada Handoko.
"Non samy ganti baju dulu, nanti saya minta pelayan siapkan makan siangnya.” tutur Handoko seraya mengambil tas punggung milik Samira.
“Hem…” Samira menjawab singkat.
Di ruang keluarga, ia melihat keluarga dari ibunya tengah berkumpul. Mereka tertawa terbahak-bahak namun entah apa yang mereka bicarakan. Samira lewat begitu saja, tidak memperdulikan orang-orang yang ada di sekitarnya.
“Heh, kamu!” sebuah suara memanggilnya dan membuat langkahnya terhenti. Samira menoleh pada pemilik suara yang tengah menatapnya tajam. “Kasih salam dulu sama om andreas, tante vina dan kak tania.” perintah wanita tersebut yang tak lain adalah Ananta, ibu kandungnya.
Samira hanya mengangguk tanpa sepatah katapun. Bahkan air mukanya tidak berubah.
“Samira apa kabar? Gimana hari ini, gag bikin masalah lagi kan di sekolah?” tanya Vina dengan nada menyindir.
Samira tidak menjawab. Walaupun ia baru kelas 1 SMP, Samira bisa membedakan, pertanyaan mana yang memang menunjukkan kepedulian dan pertanyaan mana yang hanya ingin mencibirnya.
Samira hanya menarik garis bibirnya sebelah kanan. Tatapannya penuh kebencian. Ia segera berlalu tanpa memperdulikan orang-orang yang selalu mengganggu hidupnya. Ya, samira merasa bahwa orang-orang yang sekarang ada di hadapannya, hanya orang-orang yang selalu mengganggu hidupnya, mereka selalu disibukan dengan menghitung jumlah bagian dari harta kekayaan ayahnya tanpa peduli pada dirinya.
Samira bergegas pergi, tanpa memperdulikan mereka.
“Heh, mau kemana kamu?” gertak Ananta, namun Samira tidak bergeming, ia terus melanjutkan langkahnya menuju tempatnya yang dirasa paling nyaman dari seluruh bagian di rumah mewah tersebut. Ya, kamarnya.
“Dasar anak gag tau di untung!” Ananta mengumpati.
Hati samira kembali tergores. Entah umpatan ke berapa yang selalu ia dengar sejak ia mengerti bahasa orang dewasa. Hatinya terasa kebas, dengan kata-kata yang kerap keluar dari mulut Ananta. Kata-kata yang selalu menunjukkan ketidak sukaannya pada Samira, bahkan sejak ia masih kecil.
Masih jelas terdengar ocehan Ananta yang semakin lama semakin terredam. Samira berusaha untuk tidak mendengarnya, itulah mengapa ia lebih senang menggunakan headsetnya dalam kondisi apapun.
Samira mengganti bajunya. Perutnya terasa begitu lapar, bahkan beberapa kali berbunyi dengan nyaring.
“Non samy, ayo makan siang dulu…” suara Handoko terdengar dari balik pintu kamarnya. Sepertinya ia paham benar yang dirasakan Samira.
Samira membuka pintu, Handoko menyambutnya dengan senyuman.
Samira berjalan di depan Handoko, dengan langkah malasnya. Dia sudah bisa membayangkan, meja makannya saat ini pasti dipenuhi orang-orang yang tidak ingin di lihatnya.
Benar saja, kursi meja makan sudah di tempati orang-orang yang tersenyum sinis padanya. Handoko menarikkan kursi untuk Samira. Dengan beragam hidangan mewah telah tersaji di atas meja. Namun semuanya hanya sisa, sisa dari orang-orang yang kini duduk berhadapan dengannya.
“Non samy mau makan sama apa? Biar saya ambilkan…” tawar salah satu pelayan.
“Äyam aja.” jawab Samira, singkat.
Dengan sigap pelayan tersebut mengambilkan sepotong ayam ke atas piring Samira. Jejeran gigi putih samira mulai mengigit makanan dari sendoknya.
“Mulai hari ini tania tinggal di sini. Kamarnya sebelah kamar kamu.” ujar Ananta tanpa basa basi, bahkan tanpa menatap Samira sedikit pun. Tentunya ini bukan permintaan izin tapi pemberitahuan yang bahkan Samira tidak punya hak untuk menolaknya.
Samira hanya terdiam. Ia tidak peduli dengan ucapan ibunya.
“Tante, aku mau kalung kayak punya samy, boleh?” tutur Tania dengan manja.
“Boleh dong sayang… nanti kita ke mall nyari kalung yang sama.” Ananta menyahuti dengan senyum hangatnya. Senyuman yang tidak pernah sekali pun Samira terima selama hidupnya.
“Tapi aku maunya sekarang tan….” Tania merengek, membuat suasana hati Samira kesal.
“Kamu, pinjemin dulu kalungnya. Nanti di balikin kalo tania udah beli.” titah Ananta sambil menyodorkan tangannya.
Samira menggenggam kalung di lehernya dengan erat. Ia menatap Ananta yang memalingkan wajahnya. “Maaf ini kalung dari dady, aku gag mau pinjemin…” tolak samira dengan yakin.
“Dasar kamu pelit!” Tania melemparkan sendok yang ada di tangannya ke arah Samira.
“Aww!” Samira mengaduh saat sendok itu menghantam keningnya.
"Makanya jangan pelit!" cetus Tania dengan bibirnya yang menyeringai puas.
“Non tania, tidak boleh begitu…” bela pelayan tersebut seraya menghampiri Samira dan memeriksa dahinya.
“Apa kamu pelayan! Berani-beraninya bentak-bentak tania!” sentak Ananta seraya memukul meja.
“Maaf nyonya, tapi non samy…”suara pelayan tersebut terdengar bergetar.
“Pergi kamu!” teriak Ananta dengan mata melotot. Bahkan ia tidak peduli pada sang putri yang tengah kesakitan. Bukan hanya di dahinya tapi juga di hatinya.
Air mata meleleh di sudut mata Samira. Samira segera berdiri dan mendorong kursinya hingga terjatuh. Walaupun kemarahan Ananta di tujukan pada pelayannya, namun nalar Samira tidak bisa menerima perilaku Ananta yang selalu acuh dan semena-mena terhadap ia dan orang-orang di sekitarnya.
“Mau kemana kamu! Duduk! Selesaikan makanmu!” teriak Ananta tidak kalah keras.
Serasa kebal, telinga Samira tidak bisa menerima kalimat yang di lontarkan Ananta padanya. Ia segera berbalik dan bergegas meninggalkan orang-orang yang tengah menatapnya entah dengan perasaan seperti apa, Samira tidak peduli.
“Hey!!!! Kamu coba melawan saya hah?!” Ananta menghampiri Samira dan membalikkan tubuhnya dengan kasar.
“Saya? Melawan anda?! Bukannya selama ini anda tidak pernah memperdulikan apa saya menerima atau melawan perlakuan anda terhadap saya?!” untuk pertama kalinya Samira menjawab perlakuan Ananta, entah dari mana keberanian itu datang.
“Anak kurang ajar!”,
“PLAK!”
Sebuah tamparan mendarat di wajah Samira. Bibirnya berdarah dengan pipi yang memerah dalam sekektika. Samira menyentuh wajahnya yang terasa panas dan sakit bahkan telinganya terasa berdengung. Ia menangis tanpa isakan, terasa lebih perih dan menyakitkan.
Tangan kanannya mengepal, ingin rasanya ia membalas perlakuan Ananta. Dadanya terasa sesak dan nyaris meledak. Tanpa berfikir panjang Samira segera berlalu.
“Kalau kamu pergi, jangan harap kamu bisa menerima perlakuan saya yang lebih baik!” ancam Ananta.
“Perlakuan yang lebih baik?! Perlakuan lebih baik seperti apa yang anda maksud? Dengan memaki saya? Memukul saya? Atau mengumpati saya? Bukannya memang anda tidak pernah mengharapkan saya ada di hidup anda? Selamat, mimpi anda akan segera terwujud!” teriak Samira yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.
Ia berlari menuju kamarnya. Handoko menghalanginya. Ia menggenggam tangan Samira kuat-kuat. Kepalanya menggeleng tanda tidak setuju.
“Cari kan saya apartemen! Dan ini, silakan anda berikan pada wanita itu!” ujar Samira seraya melepas paksa kalungnya dan membenamkannya di tangan Handoko.
Samira berlari menuju kamarnya. Ia mengambil koper berwarna merah muda. Koper yang biasa ia gunakan untuk berlibur bersama dady nya. Ia masukan baju-bajunya dengan sembarang. Juga beberapa barang berharga miliknya.
“Non samy, tolong pikirkan lagi baik-baik. Nona tidak bisa seperti ini…” lirih Handoko sambil memegangi tangan Samira.
Samira mengibaskannya.
“Carikan saya apartemen, atau besok saya akan mencari penganti anda!” ancam Samira dengan tatapan tajam. Lebih tepatnya tatapan penuh kesakitan seorang anak yang tidak berdaya, namun berusaha kuat. Pertama kalinya, ia merasa Handoko tidak mengerti perasaannya, tidak berada di pihaknya dan ia masuk dalam barisan orang-orang yang ia benci.
Handoko mengalah. Ia menuruti permintaan Samira. Samira membawa kopernya seorang diri. Suara roda koper terdengar nyaring menuruni anak tangga.
Ananta yang masih mematung, hanya bisa terdiam melihat Samira yang berlalu di hadapannya. Perasaannya campur aduk. Untuk pertama kali, gadis lemah yang biasa dia perlakukan seenaknya, melawannya dengan sekuat tenaga. Sementara Tania menyeringai puas melihat bayangan Samira menghilang di balik pintu.
# Flash back off
Samira menangis seraya memeluk kedua kakinya yang tertekuk. Ingatannya kembali mengorek luka lamanya yang bahkan belum kering. Terasa sangat perih dan kembali menganga. Samira membuka genggaman tangannya. Ia menatap kalung yang ada di tangannya.
“Bukan ini yang aku tangisi, tapi perlakuan mereka yang terlalu melukaiku…” lirih Samira dengan tangis yang hampir mencekik lehernya. “Äku bisa memberikan apa saja yang mereka minta, tapi tolong perlakukan aku dengan baik. Jika suatu saat ada waktuku untuk kembali, maka tak ada satu pintu pun yang terbuka yang bisa mengarahkanku ke hadapan mereka.” tekad Samira sambil kembali mengeratkan genggamannya.
Kilatan amarah terlihat jelas di matanya. Bibirnya menipis menahan perasaan marahnya yang meluap-luap. Samira sadar, ia tidak boleh menyiksa dirinya sendiri dengan kondisi seperti ini. Ia bertekad, hidupnya harus ia sendiri yang mengendalikan. Ia akan berusaha kuat untuk itu.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Bunda dinna
Ananta g suka sama ayahnya Samira kah?
Lalu Samira salah apa?
2023-02-18
1
Hesti Ariani
ibu kandung kok gitu sih
2021-10-09
1
⚔️👑𝟚𝟙ℕ⚔️ 𝕁𝕦𝕞ဣ࿐༻
itu ibu kandungnya bukan sh
2021-01-29
7