Moment pulang camping menjadi kenangan menggemaskan bagi Barra. Saat ini ia tengah berbaring di tempat tidurnya seraya mengenang perjalananya bersama Samira. Tentu saja , ia masih teringat saat Samira berusaha menahan kantuknya di samping Barra. Saat kepalanya hampir bersandar di bahu Barra dengan segera Samira menyadarkan dirinya dan kembali duduk tegak. Namun setengah jam kemudian, sepertinya ia benar-benar sudah tidak bisa menahan kantuknya. Terang saja, ia baru tidur sekitar jam 4 pagi karena asyik berbincang dengan Barra.
Barra menyelipkan tangannya saat kepala Samira hampir membentur kaca bis. Ia jadikan tangannya sebagai bantalan kepala Samira. Ia sangat tak tega. Ia memperhatikan lekat-lekat pahatan sempurna di depan matanya, sangat indah. Perlahan Barra membawa Samira bersandar di bahunya. Ia tak khawatir akan menimbulkan nyinyiran dari teman-teman Samira karena siswa lain pun terlelap karena kelelahan.
Barra mengambil handphone dari saku celananya. Ia menyalakan kamera depan dan bisa dengan leluasa melihat pantulan wajah cantik Samira dari kamera depannya. Beberapa foto di ambilnya dan saat ini tengah ia pandangi. Ia bertanya pada dirinya sendiri, mengapa ia harus tertarik pada gadis kecil ini. Padahal secara fisik tentu wanita yang dulu mendekatinya pun tidak kalah cantik. Tapi sayangnya, tidak ada satu pun yang mengusik perasaannya selain Samira.
“Kamu punya sihir apa hey bocah!” gumam Barra bertanya pada foto Samira.
Semakin banyak yang ia tahu tentang Samira, semakin besar rasa ketertarikannya. Walau ia sendiri tidak yakin apakah Samira memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.
Samira gadis yang pandai menyembunyikan perasaannya. Di balik sikapnya yang angkuh dan dingin, ia hanya gadis lemah yang ingin melindungi dirinya sendiri dari apapun. Hanya itu yang bisa Barra simpulkan saat ia berbincang dengan Samira kemarin.
Semakin Barra mengingat Samira semakin ia berharap hari senin segera tiba. Jika orang-orang mengatakan "I hate monday", sepertinya perasaan Barra berkebalikan. Ia tak sabar menunggu hari itu tiba. Layaknya anak kecil yang sudah sangat ingin pergi ke sekolah karena memiliki tas baru atau seragam baru yang akan ia kenakan nanti. Seperti itulah perasaan Barra saat ini. Sangat berbeda dengan Barra yang sempat bersitegang dengan ayahnya saat awal ia di minta pulang.
“Mengajar? Ayolah pah, jangan bikin lelucon. Apa yang menarik dari hal itu?” ungkapnya kala itu, namun siapa sangka saat ini Ia telah menemukan kenyamanan tersendiri.
****
Menonton drama korea, menjadi kebiasaan baru bagi Samira setelah dulu ia habis-habisan mengejek Selly sahabatnya yang kerap berhalusinasi dengan tokoh-tokoh drama dari negri gingseng ini. Seperti saat ini, ia baru selesai menonton satu drama dan bersiap menonton yang lainnya. Ia membungkus tubuhnya dengan selimut sementara laptopnya menyala terang di hadapannya. Beginilah cara Samira mengisi waktu liburnya.
“Sam, ngafe yuk…” ajak Selly saat panggilan videonya tersambung.
“Mager gue sell. Lo main sini aja lah. Bawa makanan yang banyak.” Sahut Samira.
“Lo lagi ngapain sih, selimutan segala?”
Tanpa menjawab Samira mengarahkan handphonenya ke layar laptop.
“Omooooo… Oppa favorit guee… Okey, bentar lagi gue cabut. Lo tunggu, jangan di skip-skip ya!” seru Selly dengan semangat.
“Hem..” hanya itu sahutan Samira. Ia segera memutus panggilannya dan kembali menyimak drama yang di tontonnya.
Tak sampai setengah jam Selly sudah tiba di unit apartemen Samira. Saat pintu kamar terbuka, Selly segera berhambur ke atas tempat tidur Samira.
“Sam ulang dong, adegan yang tadi tuh.” Rengek Selly.
“Noh lo ulang aja sendiri, gue mau mandi dulu.” Samira beranjak dari tempat tidurnya.
“Okeeyy… Sam, gue pasang in focus yaaa.. gorden kamar lo juga gue tutup dan jangan nyalain lampu. Biar bapernya dapet.” Cerocos Selly yang kegemasan sendiri.
“Lo atur aja. O iya, nanti ada yang nganterin minuman, jangan sampe gag kedengeran kalo dia dateng.”
“Ay ay kapten!” seru Selly seraya memberikan hormat singkat.
Bayangan Samira menghilang di balik pintu kamar mandi. Melihat kamar Samira, Selly menggerutu sendiri. Sampah sisa makanan terserak di mana-mana. Baju bahkan bra, berada di tempat yang tidak semestinya.
“Astaga, Anak gadis kayak begini kelakuannya.”
“Gag usah ngomel, bukan baru sekali lo liat kamar gue kayak begini!” seru Samira dari balik pintu kamar mandi.
“Astaga, lo denger sam?!” Selly segera menutup mulutnya sendiri. Tidak ada sahutan dari Samira hanya suara gemericik air yang terdengar membasahi tubuh Samira.
Sebenarnya, bukan karena Samira mendengar omelan Selly, namun karena ia sudah bisa menebak kalimat apa yang akan terlontar dari mulut sahabatnya. Setelah ini tentu saja Selly akan membereskan kamar Samira dan menyiapkan alat maskeran seperti biasa ia lakukan saat menghabiskan waktunya di unit apartemen Samira. Samira sudah sangat menghafalnya.
Benar saja, 20 menit berlalu Samira baru keluar dari kamar mandinya. Terlihat kamarnya yang sudah rapi dengan in focus yang menyala memantul di dinding kamarnya. Selly mendekatkan meja kecil dan menempatkan makanan serta minuman mereka di sana. Wajahnya pun sudah di tutupi masker. Setelah berpakaian santai, Samira segera bergabung dengan sahabatnya. Ia ikut menggunakan masker dan menikmati waktunya bersama Selly.
****
Hati Barra berloncatan karena akhirnya hari yang di tunggu tiba. Ia memakai kemejanya yang sudah ia siapkan sejak minggu pagi. Juga sepatu yang sudah di semir rapi. Tak lupa ia merapikan rambutnya dengan bantuan pomade, ia benar-benar siap menghadapi hari ini.
Sepanjang perjalanan ke sekolah bibirnya sesekali menyiulkan lagu. Entah lagu apa yang bergema dalam pikirannya. Saat melintasi perempatan menuju sekolah, ia tidak melihat Samira padahal banyak orang yang hilir mudik menyebrang jalan. Dalam satu tancapan gas kemudian, Barra tiba di halaman parkir sekolah.
Sapaan para siswa di angguki Barra begitu saja. Ia berjalan dengan cepat. Langkahnya sempat terhenti di depan kelas Samira, ia menoleh untuk beberapa saat tapi sepertinya tidak ada Samira di sana.
Samira dan selly berdiri di hadapan Isma. Barra yang baru datang segera menuju meja kerjanya. Walau pura-pura tak peduli, ia memperhatikannya dari mejanya sambil mencuri tahu apa yang membuat kedua muridnya tampak tegang terutama Selly.
“Kamu tau apa kesalahan kamu samira?” tanya Isma seraya menunjuk Samira dengan penggaris panjang. Samira menggelengkan kepala. Tentu saja ia tidak tahu, karena setibanya di kelas ia langsung di minta menghadap Isma.
“Hemh! Saya sebenernya udah bosen liat kamu di ruangan saya dan ruangan BK. Kamu selalu saja buat masalah.” Gerutu Isma dengan kasar.
“Emang samira salah apa bu?” tanya Selly yang juga ikut bingung.
“Salah apa? Semalem kamu minum-minum di club kan dengan laki-laki?!” ujar Isma dengan mata melotot.
“Semalam?” tanya Samira dan Selly bersamaan.
Seingat mereka, mereka diam di kamar Samira sambil menonton drama korea, kalaupun mereka minum-minum, mereka hanya minum coffee late yang mereka pesan melalui jasa pesan antar.
Samira dan Selly saling bertatapan sama-sama bingung. Seketika pandangan Samira beralih pada Barra. Ia menatap Barra dengan tajam. Dalam fikirannya, mungkin Barra benar-benar memberikan hukumannya dan Barra lah yang mengadukannya atas kejadian tempo hari.
Samira menggertakan giginya. Tangannya mengepal karena kesal.
“Emm enggak kok bu. Lagi pula, kalo pun saya ke club, itu kan pake uang saya sendiri. Bukan hasil nyuri atau nipu.” Sahut Samira sambil menatap Isma.
“Plak!” sebuah tamparan mendarat di pipi Samira, membuat wajahnya berpaling. Samira menyentuh pipinya yang terasa perih dan panas. Semua yang ada di ruang guru tercengang, termasuk Barra dan Selly.
“Ibu berani ya mukul samira!” gertak Selly. Namun Samira segara menahan tangan Selly.
“Iya! Memang kenapa?! Samira, kamu dengan entengnya bicara seperti itu. Apa kamu tau, kalau kelakuan kamu bisa mencoreng nama sekolah? Kamu 17 tahun aja belum, sudah berani masuk ke dunia hitam. Apa orang tua kamu tidak mendidik kamu?!” teriak Isma dengan mengebu-gebu.
Hati Samira sakit mendengar ucapan terakhir Isma. Ia menyeringai kesal dengan sudut bibir kanan yang terangkat. Ia mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk.
“Iya, saya memang tidak punya orang tua yang mendidik saya. Terima kasih ibu sudah mengingatkan.” Ujar Samira dengan senyuman pilu.
Isma terdiam. Tangannya segera turun dan bibirnya mengatup.
Samira kembali menatap Isma dengan berani. Sejauh apa kata-kata menyakitkan itu akan ia dapatkan.
“Samira, kamu boleh menikmati masa muda kamu, tapi ingat kamu punya masa depan yang harus kamu raih. Dan kamu harus ingat, setiap tindakan memiliki konsekuensi yang bukan hanya untuk kamu sendiri tapi juga bagi orang lain.” lanjut Isma yang mulai merendahkan suaranya.
Entah mengapa, Samira merasa hatinya yang retak, perlahan di tetesi air garam yang membuatnya terasa perih.
“Saya punya hak untuk menentukan hidup saya sendiri bukan?” Samira menjeda kalimatnya dengan sebuah senyuman tipis. Isma tidak bisa menjawabnya. “Maaf, lain kali saya tidak akan melakukan hal-hal yang bisa merugikan siapapun termasuk ibu. Dan bolehkah saya mengetahui orang yang melaporkan saya?” suara Samira ikut merendah.
Untuk pertama kalinya ia minta maaf pada orang lain selain orang-orang terdekatnya. Terasa begitu berat, tapi ia mampu melakukannya. Ia menatap Isma dengan tatapan polosnya lalu beralih menatap Barra yang memandangnya dengan tatapan yang tak bisa di jelaskan.
“Saya tidak bisa memberi tahu kamu.” Cetus Isma.
“Tidak bisa memberitahu saya atau ibu tidak punya bukti dan mengatakan ini hanya untuk memojokkan saya?” tantang Samira.
Isma terdiam. Terdengar dengusan kasar dari bibir Isma. Ternyata tidak mudah menghadapi Samira dan membuatnya tunduk serta mengakui kesalahannya.
“Intan keluar!” ujar Isma yang mengeraskan suaranya.
Intan keluar dari tempat persembunyiannya. Samira tersenyum palsu pada Intan. Rupanya ini kartu As yang dimaksud Intan tempo hari.
“Mana buktinya lo liat gue ke club?” tanya Samira yang tidak melepaskan pandangannya dari Intan.
“Beneran kok gue liat lo masuk ke club malem. Malah lo nari erotis di antara cowok-cowok. Nih buktinya!” seru Intan seraya memperlihatkan foto Samira tengah di kerumuni laki-laki.
“Lo yakin itu gue?” Samira mengernyitkan dahinya.
“Iya lah yakin! Orang gue sendiri yang fotoin lo!” jawab Intan dengan cepat.
Samira tersenyum mendengar jawaban Intan. Ada sesuatu yang tidak disadari Intan dari jawabannya.
“Kalo lo bisa fotoin gue sedeket itu, berarti lo juga ada di club itu dong? Lo ngapain di sana?” tutur Samira dengan seringai penuh kemenangan di bibirnya.
Intan terdiam. Ia tak bisa berkata-kata bahkan ia telah termakan kata-katanya sendiri.
“Main lo kurang jauh, pulang lo kurang malem kalo lo mau berurusan sama gue.” Ujar Samira seraya tersenyum. Barra ikut tersenyum seraya menggelengkan kepala mendengar ujaran Samira.
“Intan, berarti kamu?!” Isma menatap Intan dengan tatapan kecewa.
“Kalo ibu mau skors saya, ibu bisa kirim suratnya ke alamat biasa. Lagi pula pipi saya sakit, untuk beberapa hari tidak bisa masuk sekolah. Saya permisi.” Tukas Samira seraya mengangguk dan tersenyum pada Isma yang di tingggalkannya begitu saja.
Isma mengeram kesal melihat tingkah gadis yang berlalu pergi dari hadapannya.
Samira berlalu dengan sekelumit perasaan dalam dadanya.
“Samiraaaaaa!!!!!” teriak Isma dengan gemasnya. Namun tak mampu menghentikan langkah kaki Samira. Ia hanya tersenyum mendengar teriakan Isma yang entah untuk ke berapa kalinya. Dan Intan hanya bisa terdiam mendapat tatapan dari para guru di hadapannya terlebih Isma.
Siapa sangka, keinginan Barra untuk bertemu Samira malah menjadikan kejutan bagi dirinya dan Samira. Ia tidak pernah menduga bahwa hari ini akan tiba dan ia melihat kembali ekspresi dingin dan penuh kebencian dari wajah Samira yang entah tertuju pada siapa. Barra gusar, semua di luar perkiraannya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Bunda dinna
Intan maling teriak.maling.
Kurang pinter intan
2023-02-19
1