“Daddy….. Daddy…..” Samira terus memanggil laki-laki yang dirindukannya.
Saat itu Samira kecil berjalan di lorong gelap dengan boneka kelinci di tangannya. Genggamannya mengerat menahan takut yang menyergap perasaannya. Tak ada jawaban yang ia dengar selain gaungan suaranya yang terdengar menggema.
Dari kejauhan, Samira melihat cahaya yang bersinar terang, dengan senang ia berlari secepat mungkin. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti, saat sebuah kaca besar menghalangi jalannya. Di depannya, terlihat seorang laki-laki tengah dikerumuni beberapa orang berpakaian putih yang terus memanggil namanya.
“Pak andika, bertahan pak, ayo bertahan!” seru seorang laki-laki yang tengah menekan-nekan dada Andika dengan sekuat tenaga.
“Daddy….” Lirih Samira dengan air mata berurai saat menyadari orang-orang tersebut sedang membantu Andika melewati masa kritisnya.
“Ada respon! Cepat hubungi ruang operasi!” teriak laki-laki tersebut. Seorang wanita berlari meraih gagang telpon dan berbicara dengan cepat di sana. Samira tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka.
Laki-laki itu memasangkan beberapa alat di tubuh andika. Lalu mendorong tubuh andika di atas sebuah blankar. Samira berlari mengikutinya. Blankar tersebut masuk ke sebuah ruang operasi. Di depan rungan tersebut telah menunggu Ananta, handoko dan dirinya dengan wajah polos tanpa mengerti apapun.
“Pak handoko, daddy kenapa?” tanya Samira dengan wajah pucatnya. Handoko menoleh samira dengan tatapan sendu. Ia meraih tangan kecil Samira dan membawanya duduk di kursi tunggu.
“Non samy, dady sedang berjuang untuk melawan sakitnya. Non samy jangan nangis ya… non samy berdo’a supaya dady baik-baik saja. Do’a anak baik itu di dengar tuhan, hem…” Lirih Handoko seraya mengusap punggung Samira.
“Samy takut pak handoko. Samy takut kalo daddy nggak keluar dari tempat itu. Samy mau liat daddy…” rengek samira dengan bibir gemetar menahan tangis dan mata yang berkaca-kaca.
Handoko menggelengkan kepalanya. “Kita nunggu di sini saja ya….” bujuk Handoko dengan suara parau.
Samira melihat Ananta yang duduk di hadapannya. Ia terlihat tegang dengan tangan mengerat sempurna. Matanya merah dan basah. Samira turun dari kursi, berjalan menghampiri Ananta.
“Mamih, pak handoko bilang jangan nangis… kita do’ain dady….” Lirih Samira kecil seraya mengusap air mata di wajah Ananta.
Ananta mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Perasaannya bercampur aduk. Gadis kecil di hadapannya, gadis yang merubah hidupnya menjadi sesuatu yang tidak ia inginkan. Wajahnya begitu polos, cantik, mirip sekali dengan dady nya. Tak ada satupun yang mirip dengan dirinya. Namun lagi, egonya menahan dia untuk menyentuhnya. Ia hanya bisa menatapnya tanpa menggenggam tangannya yang terlihat gemetar.
“ Pak handoko, bawa samira keluar.” Ujar Ananta seraya memalingkan wajahnya dari Samira.
“Samy mau sama mamih…” rengek Samira yang segera memeluk tubuh ibunya.
“Pak handoko!” Ananta mengeraskan suaranya.
Dengan berat hati Handoko beranjak.
“Ayo non samy ikut sama saya dulu…” bujuk Handoko seraya memegang tubuh Samira. Ia tak tega, tapi ia tak bisa membiarkan Samira menerima penolakan dan kekasaran yang lebih besar lagi.
“Gag mau, samy mau sama mamih…” Samira mengeratkan pelukannya. Saat ini yang ia butuhkan hanyalah pelukan hangat dari ibunya untuk mengusir ketakutannya.
“Ikut dengan pak handoko sekarang!” ujar Ananta dengan penuh penekanan.
Samira beringsut. Ananta melepas paksa pelukan anaknya. Samira segera berbalik menghadap Handoko dan memeluk tubuh tegap laki-laki tersebut. Ia terisak di bahu Handoko. Lagi, sebuah penolakan yang di terimanya dari wanita yang melahirkannya.
Handoko menggendong samira di tangannya. Sesekali samira masih terisak dan menoleh Ananta yang masih terpaku. Namun Ananta tak bergeming, bahkan tidak menatap Samira sedikitpun. Handoko merasakan panasnya tubuh Samira yang tengah demam. Ia mendekap erat tubuh kecil yang terisak di bahunya. Ia bisa merasakan rasa sakit yang dirasakan gadis berusia 7 tahun ini. Handoko sadar, saat seperti ini, hanya pelukan hangat seorang ibu yang di perlukan oleh Samira, namun hingga saat ini, ia tidak pernah mendapatkannya.
“Pak handoko, apa mamih benci sama samy?” lirih gadis tersebut dengan tatapan penuh kesedihan.
Handoko tercengang mendengar pertanyaan gadis tersebut. Entah apa yang harus ia jawab. Sebuah senyuman palsu coba Handoko berikan pada Samira.
“Mamih sayang sama non samy. Hanya saja, saat ini ia sedang bersedih.” Hibur handoko. Sebuah kebohongan lagi harus ia utarakan lagi untuk menghibur gadis kecil ini. Gadis kecil yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.
“Tapi mamih gag pernah mau bicara sama samy. Mamih juga gag pernah mau peluk samy. Dan mamih jugaa gag pernah nyebut nama samy.” gumam Samira dengan putus asa.
Handoko semakin mengeratkan pelukannya. Ia mengusap kepala Samira dengan penuh kasih. Demi apapun hatinya ikut sakit mendengar ujaran gadis kecil ini. Ia selalu teringat saat nyonya besarnya selalu berusaha menggugurkan kandungannya saat mengandung Samira, hanya karena ia merasa tidak siap Samira hadir dalam hidupnya.
Tak ada kata-kata yang terucap dari bibir handoko. Hanya butiran bening yang menetes di pelupuk matanya, yang coba ia sembunyikan di balik senyum hangatnya.
“Cepatlah besar nak, kelak kamu bisa bertanya sendiri.” Batin Handoko dengan dada yang terasa sesak.
*****
Beberapa hari ini, Samira terus menginap di rumah sakit. Demamnya berangsur sembuh, karena ia pun menerima perawatan untuk kesehatannya. Samira memang mudah sekali sakit. Namun beberapa kali ia diperiksa, dokter mengatakan tidak ada masalah dengan kesehatannya, namun psikologisnya merasa tidak nyaman.
Setiap malam, ia tertidur di bed kecil yang berada di ruangan sebelah ayahnya. Dari tempat perawatannya ia bisa melihat sang ayah yang masih belum sadarkan diri. Sering ia melihat Samira memekik, menahan tangisnya sendiri melihat sang ayah yang tak kunjung membuka mata.
Sesekali ia berdialog dengan tuhan, yang diajarkan Andika sebagai tempatnya meminta segala hal. “Tuhan, kenapa dady masih belum bangun? Samy kangen sama dady. Samy mau main lagi sama dady. Samy janji samy akan jadi anak yang baik, makan yang banyak, belajar yang rajin dan gag bikin mamih marah lagi. Samy mohon tuhan, bantu dady sembuh, hem…” ujar Samira seraya menatap tembokan menghadap kiblat.
Tubuhnya terlihat semakin kurus. Setiap malam, ia berceloteh di samping ayahnya hingga ia terlelap dengan sendirinya. Barulah Handoko memindahkannya ke kamar sebelah.
“Permisi pak, pasien andika raharja mulai sadar.” Sebuah suara mengusik Handoko yang tengah menjaga Samira yang baru terlelap.
“Hah, baik sus, saya segera ke sana.” Sahut Handoko yang segera beranjak. Ia menyelimuti tubuh kecil samira hingga ke dada, dan mengecup keningnya sebelum akhirnya meninggalkannya sendirian.
“Tuan, saya handoko. Apa tuan mendengar suara saya?” ujar Handoko di telinga Andika.
Mata Andika sedikit terbuka. Bibir pucatnya bergetar, mengeluarkan suara yang nyaris tidak terdengar.
“Saa mii raa…” lirih Andika.
“Ada tuan, nona muda ada di kamar sebelah sedang tertidur.” Terang Handoko dengan penuh keharuan.
“Saa mii raaa…” lagi-lagi Andika mengulang perkataannya.
Handoko menoleh dokter dan perawat yang berdiri di sampingnya.
“Mungkin beliau ingin bertemu dengan putrinya…” ujar dokter tersebut. Tanpa berfikir panjang, Handoko segera membangunkan Samira yang tengah terlelap.
Dengan cepat Samira terbangun saat mendengar laki-laki kesayangannya mencarinya.
“Daddy….” Samira berlari menghampiri Andika. “Dady udah bangun? Samy nungguin dady dari tadi. Kata dokter, samy udah sembuh, jadi bisa jagain dady lebih baik.” Cerocos Samira dengan wajah bahagianya.
“Sam….” Bisik Andika seraya tersenyum kelu.
“Ya daddy,,,” Samira mendekatkan wajahnya pada Andika. Ia mengusap butiran bening yang menetes di wajah pucat Andika lalu mengecup pipi sang ayah dengan lembut.
“Janji sama dady, kamu gag boleh sakit-sakit lagi ya nak… “ kalimat pertama terdengar parau dari mulut Andika. Samira mengangguk dengan cepat. “Samy harus jadi anak yang kuat. Hidup dengan baik dan bahagia. Pilihlah laki-laki yang bisa jaga samy lebih baik dari dady. Dady sayang Samy…” ujar Andika dengan terbata-bata. Samira kembali terangguk dengan patuh. Ia menggenggam tangan Andika yang kekuningan karena pucat.
“Handoko, tolong jaga putri saya, seperti kamu menjaga anak kamu sendiri. Lindungi dia dari mereka.” Lanjut andika dengan nafas yang terasa berat dan dangkal.
“Nggak daddy, samy cuma mau di jagain sama dady. Dady harus sembuh… nanti samy bikinin roti isi pake coklat lagi. Nanti kita jalan-jalan ke pantai, samy janji samy gag akan minta di gendong. Samy akan jalan sendiri dan tidak akan menginjak duri bulu **** lagi” cerocos Samira terbata-bata sambil mengusap sendiri air matanya dengan kasar.
Andika hanya tersenyum. Ia mengusap lembut wajah samira. Ia begitu merindikan gadis ceria yang mengisi hidupnya selama 7 tahun ini. Samira adalah hidupnya dan Andika adalah segalanya bagi Samira. Mereka adalah dua orang yang selalu ada untuk satu sama lain dengan kasih sayang yang terjalin erat.
“I love you sam… Maafkan dady…” tukasnya. Nafas Andika semakin berat. Beberapa kali monitor jantungnya berbunyi.
“Dok, kenapa ini?” tanya Handoko yang mulai panik.
Dokter segera memeriksa Andika dengan cepat. Namun ia hanya menggelengkan kepalanya. Jantung Samira berdetak tak menentu. Andika mulai menutup matanya perlahan, nafasnya begitu pelan nyaris tidak terdengar.
“Tuan andika, sepertinya menyerah tuan. Kami mohon maaf. Mohon bisikkan do’a di telinganya…” terang sang dokter dengan wajah sendunya.
“Nggak, dady akan bangun. Dady janji mau nemenin samy sampe samy kuliah terus menikah. Daddy sendiri yang akan mengusir laki-laki yang mengganggu samy. Dady, ayo dady bangun, dady harus tepati janji dady…” rengek Samira seraya membuat janji kelingking dengan Andika. Namun nyatanya tangan Andika terkulai lemas di hadapan Samira. Samira hanya bisa terpaku dengan lelehan air mata di kedua pipinya.
“Non Samy….” Handoko meraih tangan samira. Berusaha menghentikan semua yang samira lakukan. Kini tatapan polos itu beralih menatap Handoko.
“Ssttt… Dady lelah, dia tidur. Jangan ada yang mengganggunya.” Lirih Samira.
Handoko menggelengkan kepala lalu tertunduk lesu. Ia terisak di hadapan Samira yang tengah mengingkari semua yang dilihatnya.
Detak jantung Andika semakin melemah, Samira tidak lagi merasakan hembusan hangat nafas Andika. Sementara Handoko, terus melafalkan do’a-do’a di dekat Andika, membuat suasana semakin mencekam bagi Samira kecil.
Samira berusaha membaca situasi saat ini. Ia menatap satu per satu orang yang ada di hadapannya. Rasanya ia mulai paham kondisi saat ini.
“Dady, jangan tinggalin samy… samy sama siapa kalo dady gag ada…..” teriak Samira dalam tangisnya. Handoko memeluk Samira dengan erat.
“Non samy harus kuat, jangan seperti ini. Nanti dady bersedih…” lirih Handoko. Samira merasa tubuhnya begitu lemas.
Ia ikut melafalkan do’a yang dibisikan Handoko. Dengan tangis berurai bibirnya mengucap do’a-do’a untuk ketenangan ayahnya.
“Ttiiiit……” sebuah suara panjang terdengar dari monitor. Nafas Andika benar-benar terhenti. Pun detak jantungnya tak lagi terasa. Waktu Andika berakhir, kesempatannya menjaga Samira telah habis, kini Samira sendirian. Dunianya hancur seketika dan langit yang terasa runtuh menimpanya. Sesak, tak bertenaga, hanya itu yang ia rasakan. Mengikhlaskan, jalan satu-satunya yang harus ia pilih kata Handoko. Tapi seperti apa bentuk ikhlas itu? Nalar kecilnya tidak sampai sana. Tidak ada yang memberinya pengertian, ia sendirian tak mempunyai siapa-siapa tanpa Andika di sampingnya.
“Dady…. I love you….” Lirihnya dalam kesedihan yang mendalam.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Tia rabbani
😢
2024-04-18
0
Bunda dinna
Trlalu menyayat hati
2023-02-18
1
Kurnit Rahayu
sumpah nysek bnget bkin gw mwek...ne air mata ngalir trus kga MW d rem jdi gdek m ci ananta
2022-05-09
1