“Gimana hari pertama lo ngajar?” tanya Ben yang baru tiba di unit apartemen Barra dan membantunya merapikan unit apartemen.
Terlihat Barra tersenyum tipis saat di tanya hari pertamanya. “Menarik” sahutnya seraya meneguk minuman bersoda di tangannya. Ben mengernyitkan dahinya, ia memandangi sahabatnya yang tengah senyum-senyum sendiri.
“Dia sekolah di tempat gue ngajar.” Ujar Barra seraya menatap Ben.
“Maksud lo bocah nakal itu?” Ben terperangah hingga mengubah posisi duduknya tegak.
Barra mengangguk tanpa memudarkan sedikitpun senyumannya.
“Terus dia inget gag sama lo?’ Ben semakin penasaran dengan cerita sahabatnya.
Barra menggaruk kepalanya walau tidak gatal. Ia menyilangkan tangannya di depan dada dengan kepala menengadah memandangi langit-langit ruangannya.
“Dia sangat berbeda antara pake seragam dengan penampilannya semalam. Cara bicaranya juga beda, sangat dingin dan anngkuh.” Barra tampak berfikir di akhir kalimatnya.
“Hahay, lo tertarik ya sama tuh bocah?” goda Ben dengan antusias.
“Umur gue hampir dua kali lipat umur dia, gue gag mau dibilang pedofil.” Elak Barra dengan raut wajah yang berubah serius.
“Ya ini kali namanya tuhan nyimpen jodoh lo. Waktu lo puber pertama, dia baru lahir. Makanya jangan buru-buru patah hati.” Goda Ben seraya tertawa renyah.
“Sialan lo!” Bara melemparkan bantal sofanya pada Ben. Namun Ben malah semakin terkekeh geli. "Berisik lo! Bantuin gue susun barang.” Lanjut Barra seraya beranjak dari tempat duduknya. Ben hanya terkekeh melihat kekesalan sahabatnya.
Ia membongkar satu per satu dus yang menampung barang-barangnya. Ia mulai merapikannya dan pikiran tentang Samira pun teralihkan begitu saja. Ben setia membantunya sambil sesekali melirik Barra dengan banyak penasaran yang masih belum dapat penjelasan dari sahabatnya yang melajang bertahun-tahun ini.
****
Pagi menjelang dan perasaan lebih bersemangat terasa benar oleh Barra. Ia berangkat pagi menuju sekolah, membelah jalanan ramai ibu kota di hari sibuk ini. Ia memang hanya memiliki satu kelas yang harus ia ajar hari ini dan itupun selepas jam istirahat. Namun ia memilih berangkat pagi untuk mengurus masalah administrasi kepindahannya ke sekolah barunya.
Lampu merah kembali menyala, padahal hanya satu belokan lagi ia akan tiba di sekolah. Barra menginjak pedal remnya dan dengan setia menunggu lampu tersebut berubah hijau. Suara Adam Levine menemaninya menghabiskann waktu dengan lagu Sugar-nya. Jemarinya ikut menghentak di atas setir seirama alunan musik. Orang-orang berlalu lalang menyebrang di zebra cross yang tepat berada di hadapannya.
Barra mengerjapkan matanya berulang kali saat melihat sosok yang ia rasa kenal. Ia melihat Samira yang menyebrang jalan bersama seorang Nenek. Ia memegangi tangan nenek tersebut dan menuntunnya. Mereka tampak berbincang namun entah berbicara apa. Awalnya Barra tidak yakin bahwa yang dilihatnya adalah Samira, namun ia semakin yakin saat melihat kaki kanan Samira yang masih tetrbalut elastic perban. Hanya saja ia sudah berjalan seperti biasa, tidak lagi kesakitan.
Pandangan mata Barra mengikuti arah gerak Samira. Tiba di sebrang jalan, Samira mengecup tangan wanita tua tersebut dan tersenyum begitu manis. Sang nenek mengusap kepala Samira dan bibirnya tampak mengeluarkan kata-kata, entah apa yang diucapkannya pada Samira.
“Tett teett….” Suara klakson panjang menyadarkan Barra dari lamunannya. Ia segera menyalakan kembali mesin mobilnya dan melajukan kendaraannya menuju sekolah. Bayangan Samira berangsur menjauh dari pandangannya.
“Kamu terlihat lebih baik saat tersenyum.” Gumam Barra yang ikut tersenyum.
Dalam beberapa saat Barra telah sampai di sekolah. Ia memarkir mobilnya di tempat biasa. Tampak juga Selly yang baru turun dari mobilnya dan tanpa Samira. Tentu saja, sepertinya mereka berangkat masing-masing.
“Pagi pak…” sapa para siswa yang berpapasan dengan Barra. Barra hanya terangguk membalas sapaan mereka. Beberapa siswi cekikian tidak jelas saat melihat sosok sempurna Barra yang begitu keren dengan segala kharismanya.
"Suamiable tuh." cetus salah satu siswi yang masih bisa di dengar oleh Barra. Barra mengacuhkannya saja. Bukankah sanjungan seperti itu sudah sangat sering ia terima?
Selly yang melihat Barra mempercepat langkahnya. Ia tidak ingin berbicara apapun apalagi mengingat hukuman yang sedang mengancamnya.
“Hey, kamu!” panggil Barra pada Selly.
Selly pura-pura tidak mendengarnya dan langkah kakinya semakin cepat. Barra hanya menggelengkan kepalanya, siswinya benar-benar sedang menghindarinya. Bayangan Selly pun dengan cepat menghilang di balik pintu kelasnya.
Sekilas Barra menoleh jendela kelas Samira, ia melambatkan langkahnya namun tidak ada sosok Samira di dalam kelasnya. Entah mengapa ia harus merasa kecewa.
Tiba di ruang guru, Barra sudah mendengar nada suara tinggi dari Isma.
“Terus kenapa sampe sekarang kamu gag ngumpulin tugasnya hah?” gertak Isma yang membuat perhatian para guru tertuju padanya. Sepertinya ia sudah sangat gemas pada siswi yang berada di hadapannya.
Barra segera masuk ke ruangannya. Akhirnya ia tahu bahwa yang sedang di marahi Isma adalah Samira. Barra hanya mellirik sekilas dan segera duduk di kursinya yang berada di dekat jendela ruang guru.
“Samira, kamu sudah kelas tiga. Kamu gag bisa main-main lagi sama pelajaran. Tugas kamu tidak sulit, kamu hanya perlu menggambar. Mau itu pohon beringin kek, tong sampah kek, pemandangan sawah anak kayak anak SD kek atau gambar apa lah. Tapi kamu harus tetap mengerjakannya. Kamu tahu seberapa pentingnya tugas seni gambar itu?” cerca Isma.
Samira hanya menggeleng. “Saya tidak akan bekerja di bidang seni bu.” Sahut Samira, santai.
“Astagaaaa… Anak ini….” Isma menggeram dengan gemas. Ia menyentuh dadanya yang terasa sesak karena marah-marah sepagi ini. “Setelah ini, kamu bersihkan kaca ruang guru. Jangan berhenti sebelum kamu sadar kesalahan kamu. Mengerti?!” teriak Isma yang sudah kehabisan kata-kata.
“Baik bu…” sahut Samira.
“Ya udah, ambil alat kebersihan kamu. Mulai bersihkan kaca-kacanya.” Akhirnya Isma menyerah.
Samira berlalu pergi meninggalkan Isma yang sedang meneguk air mineralnya. Sepertinya tenaganya habis terkuras karena memarahi Samira.
****
“Sam, lo kan bisa minta bantuan gue kalo lo belom ngerjain. Kenapa bikin bu isma marah sih?” protes Selly saat mendengar sahabatnya kembali di hukum.
“Mending gue di hukum daripada gue bohong. Lagian seni bukan mata pelajaran pokok kok.” Sahut Samira dengan santai.
“Isshh… Lo ini yaaa… bukan masalah nilainya, tapi masalah lo dihukumnya. Lo gag capek hampir tiap hari di hukum bu isma?” Selly menatap Samira penuh tanya.
Samira hanya tersenyum tipis. “Ini salah satu alasan gue datang ke sekolah. Karena ada bu isma yang sangat peduli sama gue.” Terangnya. “Gue ke ruang guru dulu. Jangan lupa absenin.” Lanjutnya yang membuat Selly kembali ternganga.
Selly hanya bisa menggelengkan kepalanya bingung. Ia masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya.
Samira mulai membersihkan kaca ruang guru. Tangan kirinya memegang semprotan pembersih kaca dan tangan kanannya memegangi lap. Ia mulai membersihkan kaca-kaca besar yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya. Barra tidak pernah menyangka kalau ia akan melihat pemandangan ini di sekolah. Barra terus memperhatikan Samira sementara Samira asyik sendiri seraya mendengarkan lantunan merdu suara Ariana Grande. Sepertinya ia tidak menyadari sama sekali perhatian orang-orang yang tertuju padanya.
Sudah banyak kaca yang Samira bersihkan. Kini ia menaiki bangku untuk menjangkau jendela yang terlalu tinggi. Barra cemas sendiri melihat Samira yang naik-naik bangku tanpa memperhatikan pijakannya.
“Aiishh awas..” lirih Barra saat melihat Samira oleng dan hampir jatuh. Untung saja ia tidak benar-benar terjatuh. Barra mengusap wajahnya kasar dan segera menyembunyikan kembali tangannya.
Kaca berikutnya yang di bersihkan Samira adalah yang berada tepat di samping Barra. Barra menatap wajah Samira yang mulai bercucuran keringat. Ia mengibas-ibaskan tangannya pada Samira namun Samira mengabaikannya. Berkali Barra melakukannya, tetap tidak menarik perhatian Samira.
Barra mendekat, ia mengeluarkan hawa di mulutnya pada kaca yang sedang di bersihkan Samira. Ia tersenyum saat akhirnya Samira sadar akan keberadaannya.
Ia menulis beberapa kata yang di tujukan pada Samira.
“Yang bersih!” tulisnya.
Samira melotot kesal namun Barra hanya terkekeh. Hiburan tersendiri baginya mengerjai murid nakalnya. Samira mengarahkan bogemnya pada Barra namun Barra hanya tersenyum, acuh.
“Pak, barra, maaf bapak di panggil pak kepala sekolah.” Ujar salah satu guru yang menghampiri Barra.
“Oh iya.. Terima kasih.” Sahutnya.
Barra segera mengakhiri rasa ketertarikannya untuk menggoda Samira. Sebelum meninggalkan mejanya, ia kembali menulis sesuatu di kaca.
“Semangat anak nakal!” tulisnya dengan emoticon senyum.
Samira mengerlingkan matanya kesal.
“Dasar, guru gila!” umpatnya. Dengan tenaga ekstra karena kesal Samira segera menyelesaikan pekerjaannya.
****
Hay-hayy.... baru di episode ini nih authornya muncul... Terima kasih ya buat yang sudah baca... selamat menikmati ceritanya yang nano-nano. Salam kenal.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Bunda dinna
Anak nakal yg bikin Barra kelimpungan
2023-02-19
1
Ririn
candu banget baca novelnya
lope lope sekebon...
2022-12-26
1
Dwi Alviana
lucu 😂😂😂
2021-10-22
2