Toilet perempuan tampak senggang sore ini. Setelah melaksanakan piket kelasnya, Samira pergi untuk membersihkan tangannya. Siapa sangka di sana ada Intan yang sedang merapikan penampilannya dan kembali memoles bibirnya dengan lip stick merah muda.
Samira mengabaikannya begitu saja. Ia segera menuju wastafel agar tidak terlalu lama berada di toilet. Bukan ia tak berani meladeni Intan yang selalu bersumbu pendek saat berhadapan dengannya, hanya saja tenaganya sudah terkuras habis dengan banyaknya pekerjaan yang memerlukan ketahanan otot fisiknya.
“Gue lagi deket sama bagas, lo gag usah cari perhatian dia.” Ujar Intan sambil merapikan lip stick di bibirnya.
Samira tak menanggapi, karena menurutnya tidak penting.
“Lo gag usah sok misterius depan bagas, sok pinter depan bagas ato sok menderita depan bagas. Gue tau, lo palsu.” Kalimat Intan kali ini terdengar lebih menyebalkan.
Samira melap tangannya dengan tisue dan membuang tisue tersebut dengan kasar. Sepertinya ia tidak bisa lagi pura-pura tidak mendengar.
“Banyak banget koreksian lo buat gue, ulangan gue sama lo?” ujar Samira dengan tatapan dinginnya pada Intan.
“Ya anggap aja begitu, karena kelakuan lo banyak minusnya. Emang lo gag sadar?” Intan balik menatap Samira dengan tajam.
Samira tersenyum geli mendengar pertanyaan Intan. “Gue nakal, gue belagu, gue kasar, gag ada hubungannya sama lo. Simpen tenaga dan pikiran lo buat hal lain jangan buat gue. Semakin lo banyak merhatiin gue, nyari kesalahan gue, lo akan semakin tertarik sama gue. Dan lo akan semakin mirip sama gue. Paham?!” ungkap Samira dengan penuh penekanan di kata terakhirnya.
“Tapi gue gag suka sama lo!” Intan meradang.
“Bukan urusan gue! Gue gag akan merubah apapun hanya demi lo suka sama gue. Benci gue sebanyak yang lo mau, tapi gue ingetin, semuanya sia-sia. Gue gag butuh perhatian lo. Gue gag butuh lo suka ato benci sama gue. Lo dengan pilihan lo dan gue dengan pilihan gue.” Tantang Samira.
“Gue ingetin juga lo, jangan berani-beraninya lo deketin bagas. Gue punya kartu As lo dan gue bisa bikin lo dikeluarin dari sekolah ini. Paham?!” ancam Intan dengan penuh kesungguhan.
“I see… toh bagas bukan selera gue. Gue lebih berselera sama cewek galak macam lo!” tandas Samira yang membuat bulu kuduk Intan meremang seketika.
Terlihat senyuman dingin yang di perlihatkan Samira, membuat Intan memalingkan wajahnya dengan segera. Selera? Tentu saja selera yang dimaksud Intan dan Samira berbeda. Ia hanya ingin melepaskan diri dari rasa benci yang bersarang di dada Intan.
****
Hari keberangkatan kemah bhakti telah tiba. Samira terpaku di tempatnya saat melihat Barra yang tengah mengatur para siswa yang akan berangkat sore ini.
“Dia guru pembimbing kita sam..” bisik Bagas dengan bangganya.
Samira menghembuskan nafasnya kasar. Setelah Intan, Barra adalah orang kedua yang ingin Samira hindari. Jika Intan selalu membuat emosinya bergolak, maka Barra selalu membuat perasaannya tak menentu. Dan keduanya sangat tidak disukai oleh Samira.
“Sam!!!” teriak Selly dari pintu masuk bis. Lamunan Samira pun buyar seketika. Ia segera menghampiri Selly dan menyimpan barangnya di bagasi.
“Lo duduk dimana?” tanya Samira yang mencari bangku kosong.
“Hehehehe… gue duduk di sana.. Tapi bareng malik. Lo gag pa-pa kan kalo kita pisah dulu?” ujar Selly seraya senyam senyum tidak jelas.
“Hem… Tapi inget, jaga dahi lo, bibir lo, pipi lo, gunung kembar lo apalagi yang bawah. Jangan lo lengah ato tuh cowok habis sama gue!” ancam Samira dengan sungguh-sungguh.
“Saaammmm… mulut lo yaaa… Lebih nakutin dari mulutnya bunda. Lo gag percaya sama gue?” ungkap Selly yang tiba-tiba saja merasa merinding mendengar kalimat Samira.
“Gue percaya sama lo, tapi gue gag percaya sama temen cowok lo.” Kilah Samira.
“Uuummm baby… Lo kasar tapi sweet banget sih….” Rengek Selly seraya memeluk Samira.
“Udah, gue mau duduk. Lo jaga diri baik-baik.” Pesan Samira yang diangguki paham oleh Selly.
Samira duduk di salah satu bangku. Ia memilih duduk dekat jendela supaya bisa mengalihkan kebosanan selama perjalanan dengan melihat pemandangan hijau yang menyejukkan mata. Ia bisa melihat, Intan yang duduk mepet pada Bagas dan Bagas yang terlihat canggung saat melihat Samira.
Semua siswa sudah masuk ke dalam bis dan menempati tempatnya masing-masing. Tiba-tiba saja Barra datang dan duduk di samping Samira.
“Bapak mau apa?” tanya Samira yang segera menjauh.
“Ya duduk lah… masa saya berdiri.” Sahut Barra dengan santai.
“Ya kenapa juga duduknya di sini?”
“Ya terus saya duduk dimana? Boncengan sama pak supir gitu?”
Samira tak menjawab, matanya mengeliling di seisi Bis. Memang sudah tidak ada bangku kosong karena jok paling belakang di tempati tenda untuk mereka menginap. Samira hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar, memang tidak ada pilihan lain selain duduk berdampingan dengan Barra.
Samira menggeser tubuhnya agar menjauh dari Barra. Ia memalingkan wajahnya dan melihat keluar jendela. Dari pantulan kaca, ia bisa melihat Barra yang sedang memperhatikannya, dengan segera Samira menutup kepalanya dengan hoodie berbulu dan headset pun terpasang menutupi lubang telinganya.
Barra menyandarkan tubuhnya dengan santai. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Sesekali ia menoleh Samira yang tampak asyik memandangi pemandangan di luar sana. Lampu jalan dan pepohonan tampak berlarian menjauh saat bis melaju dengan kencang.
“Okeeyyy… Supaya perjalanannya gag membosankan, siapa nih yang mau karokean?” tanya Isma yang duduk di bangku paling depan.
“Saya bu…” Selly mengangkat tangannya. Ia memang sangat suka karokean. Terlebih saat pikirannya sedang kalut. Ia akan berteriak sepuasnya, mengeluarkan semua emosinya.
“Okey, kamu mau nyanyi lagu apa selly?” tanya Isma yang bersiap memilihkan lagu.
“Sebentar bu, ehem! Hem, ehem!” Selly mulai menyetel suaranya. “Sam, buka headsetnya, dengerin suara gue!” seru Selly dengan microphonenya.
Samira hanya mengacungkan jempolnya dan melepas headsetnya. Walau suara Selly tidak sebagus juara ajang pencarian bakat, tapi cukup menghibur telinga Samira dan tingkahnya yang kocak serta wajah yang ekspresif bisa membuat Samira tertawa terpingkal-pingkal.
Barra ikut tersenyum melihat Samira yang sesekali tersenyum.
Selly mulai mengeluarkan suara emasnya. Lagu Maudy ayunda yang berjudul tiba-tiba cinta datang membuat para pendengar terbawa perasaan. Selly menyanyikannya dengan penuh perasaan. Barra memperhatikan jemari Samira yang ikut menghentak seirama alunan musik. Jemari yang lentik dan sepertinya sangat nyaman untuk di genggam. Lagi, pikiran itu muncul di kepala Barra.
“Astaga, bener kali ya yang ben bilang. Umur gue udah gag muda, pikiran gue tentang nih bocah terus menerus tentang kontak fisik. Tapi kenapa sama cewek lain gue malah ngerasa males ya? Gila, gag bener nih otak gue.” batin Barra merutuki dirinya sendiri.
Perjalanan pun terasa begitu panjang bagi Barra yang tersiksa dengan perasaannya sendiri.
****
Suara sorakan terdengar nyaring sesaat setelah tiba di area kemah. Para siswa sibuk dengan kegiatannya masing-masing namun sebagian besar mereka asyik berfoto selfi dengan latar pemandangan pegunungan yang sangat indah.
“Sam, lo bawa tripod gag?” tanya Selly dengan antusias.
“Ada tuh di anak logistik, coba lo tanya.”
“Oh okey… Gue foto-foto dulu ya bareng malik. ” Pamit Selly.
“Iya, tapi jangan kebanyakan lo upload, entar lo sibuk ngehapusin kalo kalian putus.” Samira mencoba mengingatkan, sesuatu yang sering berulang namun tetap di ulangi Selly.
“Okeyyy, upload 2 doang…” sahutnya sambil terkekeh.
Samira hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya. Ia mulai mencari tenda miliknya dan bersiap memasangnya. Siapa sangka di ujung talinya ada Barra yang bersiap membantu.
“Saya bisa sendiri pak.” Ujar Samira seraya menarik tali yang di genggamnya.
“Berdua akan lebih cepat.” Timpal Barra yang tidak peduli dengan penolakan Samira.
Samira hanya bisa menggerutu dalam hati.
“Ngomong aja kalo gag suka.” Cetus Barra yang seperti bisa membaca isi hati Samira. Samira hanya berdecik sebal, lagi tatapan Barra membuat perasaannya tak menentu.
Samira berusaha mengatur nafasnya agar bisa menenangkan perasaannya sendiri.
Tenda pun berhasil dibangun. Ia memasukkan barang miliknya dan milik Selly ke dalam tenda.
“Nih, buat nanti malem.” Barra menyodorkan raket listrik pada Samira.
“Gag usah, saya udah bawa lotion anti nyamuk.” Tolak Samira.
“Nyamuk di sini katro, gag paham sama lotion begituan.” Barra melempar raket tersebut ke dalam tenda Samira. Samira hanya terpaku, Barra benar-benar mengurusi kebutuhannya dan Samira semakin tak nyaman. Ia tidak mau kalau Barra membuatnya merasa bergantung.
“Bapak gag bisa denger ya kalo saya bilang gag usah?” semprot Samira, berusaha melindungi perasaannya sendiri.
“Hem… Telinga saya hanya bisa mendengar magic word dan menolak killer word.” Sahutnya santai, bahkan diiringi senyuman tipis. Lagi, Barra membuat Samira terpaku di tempatnya.
“Samira, kemari!” seru Isma dari kejauhan.
Syukulah, ada alasan bagi Samira untuk beranjak meninggalkan Barra. Tanpa menjawab ia segera berlari menuju Isma dan Barra mengikutinya dari belakang.
“Kamu dari mana?” tanya Isma dengan wajah seriusnya.
“Pasang tenda bu.” Tunjuk Samira pada tendanya.
“Oh okey.. Bantu Intan masak nasi.” Pinta Isma. Samira menoleh Intan yang sedang memegangi penanak nasi.
“Bu, saya gag bisa masak nasi. Takutnya malah gagal nanti pada gag bisa makan.” Kilah Samira yang memang apa adanya.
“Apa, gag bisa masak nasi?” seru Intan dengan sengaja dan diikuti kekehan teman perempuannya yang lain. Samira hanya tertunduk. “Masa anak perempuan gag bisa masak nasi. Lo tuan putri?” ledek Intan. Samira hanya terdiam. “Mau di kasih makan apa suami sama anak lo kalo lo nikah nanti…..” sindir Intan yang dirasanya telak memukul mental Samira.
“Gue gag tinggal di zaman batu. Delivery aja, 15 menit juga nyampe.” Sahut Samira santai dan berhasil membuat Intan menggeram kesal.
“Udah, kamu bantu saya ngambil air di sungai.” Titah Barra seraya menyodorkan tempat air pada Samira. Samira mengerlingkan matanya malas. Lagi-lagi orang kedua membuatnya geram.
“Terima kasih atas tawarannya pak barra, tapi sepertinya akan lebih baik kalau saya mencari kayu bakar. Boleh bu?” tanya Samira pada Isma.
“Boleh, kumpulin ranting yang banyak. Supaya malem tetep hangat, kita bikin api unggun.” Sahut Isma yang membuat Samira menatap puas pada Barra.
Barra tak menimpalinya, ia segera pergi meninggalkan para gadis. Samira menghela nafasnya perlahan. Akhirnya ia bisa keluar dari situasi menyebalkan ini.
****
Hay-haayyy... Masih pada baca kan? Jangan lupa like, komen dan vote nya yaa...
Makasih... Happy reading...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Bunda dinna
Pepet terus pak Barra,Samira.nya mulai ada rasa aneh
2023-02-19
1