“Okeeyy, teman-teman ayo berkumpul dulu….” Ujar Bagas dari pengeras suaranya.
Para siswa berkumpul mengitari api unggun karena acara malam akan dimulai. Mereka sudah dengan pakaian tebalnya dan senter kecil di tangan masing-masing.
“Silakan pak barra, untuk menyampaikan arahannya.” Bagas memberikan pengeras suaranya pada Barra.
“Okey, selamat malam anak-anak.”
“Malam pak….” Sahut mereka bersamaan.
“Gimana, kalian masih semangat, atau ada yang sakit?” perhatian Barra berpedar pada seluruh siswa. Mereka menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Okey, malam ini kita ada kegiatan susur jejak. Jadi nanti tugas kalian mengumpulkan bendera kecil seperti ini, menjawab pertaanyaan yang ada di sana dan berkumpul kembali di sini dalam waktu satu jam. Yang bisa mengumpulkan bendera paling banyak, dia pemenangnya. Nah ketua kalian akan menentukan teman untuk kalian melalui proses undian. Jadi silakan ambil kertasnya dan cocokan dengan tabel di papan sana. Setelah itu, silakan untuk mulai menyusur jejak.” Terang Barra dengan jelas.
Para siswa mulai mengambil undian dan mencocokannya. Selly melonjak gembira saat melihat namanya yang di pasangkan dengan Malik. Sementara Intan mengeram kesal saat ia tahu gagal untuk satu kelompok dengan Bagas.
“Sam…” Bagas menunjukkan kertasnya pada Samira yang memiliki nomor undian sama dengannya. Sungguh kebetulan yang sangat menyenangkan bagi Bagas. “Jalan sekarang?” tanya Bagas kemudian. Samira hanya mengangguk, mengiyakan.
Perjalanan pun dimulai. Masing-masing dengan kelompoknya dan masing-masing juga dengan jalan yang dipilihnya.
“Sam, itu bendera pertama.” Tunjuk Bagas pada sebuah pohon.
“Oh iya.. coba apa pertanyaannya?”
Bagas mulai membuka kertas yang menempel bersama bendera.
“Penemu jam pertama.” Ucap Bagas seraya berfikir. Samira pun ikut berfikir.
“Henlein!” seru Bagas dan Samira bersamaan.
Dengan segera Samira menuliskan jawabannya di bendera. Mereka tersenyum puas dan lebih puas lagi saat Bagas bisa melihat senyuman merekah dari bibir Samira. Ia memandangi Samira dengan lekat.
“Kenapa?” Samira menyentuh wajahnya sendiri. Mungkin ada coretan atau semacamnya di wajahnya.
“Gag pa-pa…” sahut Bagas seraya tersenyum.
Mereka kembali berjalan berdampingan menuju pos . Samira yang tidak ketus membuat Bagas mencoba mengungkapkan perasaannya.
“Sam, lo tau apa yang menurut gue paling indah di dunia ini?” tanya Bagas tiba-tiba.
“Kenapa gue harus tau?” Samira balik bertanya, membuat Bagas kebingungan mencari jawaban.
“Karena itu penting.” Bagas menjeda kalimatnya dengan sebuah tarikan nafas dalam. “Melihat lo tersenyum, itu sesuatu yang sangat indah dan mahal buat gue. Jadi tetaplah selalu tersenyum.” Ujar Bagas seraya menatap jalanan gelap di depannya.
Tanpa Bagas ketahui, tali sepatu Samira terlepas dan mengharuskannya berjongkok, hingga tanpa ia sadari ia meninggalkan Samira. Samira segera berdiri setelah menalikan kembali tali sepatunya tapi Bagas sudah tidak lagi terlihat.
“Bagas… Bagassss...” panggil samira berulang kali, namun Bagas tidak menyahutinya.
Samira mulai ketakutan, ia berjongkok di bawah pohon dengan wajah pucat pasi. Bayangan di tinggalkan sendirian kembali menghinggapi pikirannya.
“Dady, samy takut…” lirihnya dengan tubuh gemetaran.
Samira membenamkan wajahnya di sela lututnya yang terlipat , ia pun menutup telinganya agar tidak mendengar apapun. Ia hanya bisa mendengar suara nafasnya sendiri yang memburu karena ketakutan.
****
“Pak, samy hilang!” seru Bagas sesampainya di area camping.
“Hilang? Maksud kamu apa?” tanya Barra dengan segera.
“Ta-tadi samy ada di samping saya tapi tiba-tiba saja hilang. Saya cari kemana-mana, saya panggil-panggil tapi gag ada nyahutin.” Terang Bagas dengan ketakutan.
“Kamu gimana bagas, jaga temen kamu aja gag bisa?!” gertak Isma yang membuat Bagas semakin kalut.
Selly mulai terisak dengan beragam pikiran buruk di kepalanya.
“Astaga, jangan-jangan samy terperosok ke jurang atau di gigit ular…” cetus Intan yang sebenarnya bersorak dalam hatinya.
“Berisik lo!” teriak Selly karena ucapan Intan semakin menambah kegetirannya. Intan hanya mengerlingkan matanya malas dengan senyum tipis di bibirnya. Dalam fikirannya, itu karma karena Samira satu kelompok dengan Bagas.
Bagas coba menghubungi telpon Samira, tapi tidak aktif.
“Sepertinya dia masuk ke hutan.” Tebak Barra. “Gini, kalian berempat laki-laki semua, cari samira lewat jalan sini. Kalau dalam satu jam belum ketemu, kalian kembali ke sini dan cari bantuan ke warga desa. Saya akan mencari lewat jalur sini.” Terang Barra yang berusaha tenang. “Bu isma, saya titip siswa yang lainnya.” Imbuh Barra yang diangguki setuju oleh Isma.
Mereka segera berpencar. Dengan berbekal senter kecil Barra dan teman-teman Samira memulai pencarian.
“Samiraaa…. Sam….” Teriak Barra dan teman-teman Samira bergantian, namun tidak ada sahutan dari Samira.
Udara semakin dingin dan Samira semakin ketakutan. Ia mendengar suara ranting yang jatuh hampir mengenai dirinya.
“Arrggghhh!!!” teriak Samira. Samira benar-benar takut, pikirannya buntu. Ia hanya bisa menangis tanpa isakan. Ia mencoba menguatkan dirinya sendiri namun ternyata sangat sulit.
Terdengar suara ranting kering yang patah karena terinjak atau tertindih sesuatu. Juga suara desisan yang bisa di dengar jelas oleh Samira. Samira menutup telinganya dengan kedua tangan semakin erat dan erat lagi. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menyentuh bahu Samira,
“Aarrggghhh…” teriak Samira.
“Samira tenang, ini saya barra.” Ujar Barra. Dengan segera Samira memeluk Barra semakin lama semakin erat. Nafasnya terdengar memburu dengan isakan yang perlahan mulai pecah.
“Saya ketakutan, kenapa bapak gag bersuara?” lirih Samira seraya meremas jaket Barra.
“Tadi ada ular, kalau saya berisik nanti kamu bisa di gigit ular. Makanya saya diam-diam.” Terang Barra seraya mengusap kepala Samira dan membenamkan wajahnya di dada bidangnya.
Samira hanya terangguk pelan. Pelukan Barra seolah menghapus semua rasa takutnya.
“Kamu baik-baik aja, apa ada yang luka?” tanya Barra seraya menatap wajah Samira yang berada di bawah pandangannya. Wajah yang ketakutan dengan linangan air mata yang bahkan masih menetes.
Samira hanya menggeleng, ia kembali membenamkan wajahnya di dada Barra tanpa ia menyadari ketakutannya untuk kembali tergantung pada Barra. Sebentar saja, ia ingin merasakan kenyamanan pelukan seseorang yang tidak pernah Samira rasakan sebelumnya.
Samira mulai tenang. Barra membawa Samira ke suatu tempat yang mungkin akan ia sukai. Benar saja, mata Samira terlihat berbinar saat melihat pemandangan di hadapannya. Sebuah danau kecil dengan air yang berkilauan terkena cahaya rembulan. Banyak bunga-bunga yang berguguran menghampar di bawah pohon juga kunang-kunang yang bercahaya saat bersembunyi di antara dedaunan.
“Bapak tau dari mana tempat ini?” tanya Samira seraya memainkan air di tepian danau.
“Tadi siang, saat saya mencari air untuk kalian.” Terang Barra yang ikut berjongkok di samping Samira.
Samira menjentik-jentikan jarinya di air hingga menghasilkan bebunyian dan beberapa ekor ikan tampak mendekat.
“Kamu menyukainya?” tanya Barra seraya menoleh pada Samira.
“Sangat!” ungkapnya dengan senyuman manis yang membuat jantung Barra berdebar tak menentu. “Apalagi kalau kayak gini.”
Samira mencipratkan airnya pada Barra.
“Hey, jangan, nanti baju saya basah.” Protes Barra. Bukan Samira kalau dia mendengarkan ujaran Barra begitu saja. Ia semakin semangat mengerjai Barra dengan menyiramkan air dari tangannya pada Barra dan Barra membalasnya. Mereka tertawa bersamaan hingga perutnya terasa sakit.
Mereka tertegun menatap satu sama lain. Tatapan yang belum pernah mereka berikan sebelumnya. Biasanya Samira hanya menatap lawan bicaranya selama 3 detik, itu pun kalau ia tertarik. Namun kali ini sangat lama dan waktu rasanya berhenti berputar.
Perlahan Barra semakin mendekat dan tangannya terangkat meraih bahu Samira. Dengan jantung berdebar Samira memejamkan matanya, entah untuk alasan apa.
“Ada bunga…” cetus Barra yang memperlihatkan sekuntum bunga yang terjatuh di bahu Samira. Dengan segera Samira membuka matanya dan memalingkan wajahnya dari Barra. Pipinya terasa menghangat, dan ia menangkup kedua belah wajahnya dengan tangan untuk menutupi rona kemerahan di wajahnya.
“Ehm!” Barra berdehem mengusir rasa canggung. “Kita pulang.” Ajaknya seraya mengulurkan tangan.
Samira terangguk, ia menerima uluran tangan Barra untuk membantunya berdiri. Namun siapa sangka, tanah yang basah membuat mereka terpeleset dan terjatuh bersamaan terlentang di atas tanah. Barra dan Samira tertawa bersamaan menertawakan kebodohan mereka. Dalam beberapa saat mereka sama-sama terdiam. Mengirup udara yang sama dengan debaran tak beraturan yang dirasakan keduanya.
“Kamu tau, terkadang masalah hanya perlu di tertawakan untuk membuatnya terasa ringan.” Cetus Barra seraya menoleh Samira yang berbaring di sampingnya. Samira membalas tatapan Barra namun ia tak menimpalinya.
Menatap sepasang mata dengan manik hitam tersebut selalu membuat Samira merasa takut. Ya, ia takut karena saat menatap Barra ia menemukan ketenangan sementara logikanya kukuh untuk tidak menggantungkan harapan dan perasaannya pada siapapun. Ia takut suatu hari ia kecewa, ia takut suatu hari ia kesakitan dan ia takut jika suatu hari ia kembali di tinggalkan bahkan di abaikan.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Bunda dinna
Makin dekat,,pingin lihat Samira bahagia dan ada tempat untuk bersandad
2023-02-19
1
unyuu_@
critaa nya menarikk bguss...
smua karya mu aku sukaa thorrt😆😆😆
2021-08-30
2