“Sam, apa pipi lo masih sakit?” tanya Selly seraya menyentuh pipi Samira.
“Gue baik-baik aja.” Sahutnya dengan eskpresi datar.
Saat ini Samira dan Selly sudah berada di dalam sebuah taksi online yang mereka pesan beberapa saat lalu.
“Omongan bu isma, jangan lo masukin ke dalam hati….” Hibur Selly dengan hati-hati.
Samira menyandarkan tubuhnya. Matanya pun terpejam. Kata-kata Isma terus mengiang di telinga Samira. Entah mengapa, semua ucapan Isma hari ini, begitu membekas di pikiran Samira. Samira memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.
“Kalo omongan bu isma semua gue masukin ke dalam hati, hati gue bisa penuh sesak.” Sahut Samira berusaha terlihat santai.
Hari ini, Selly melihat sisi lain dari Samira. Samira yang biasanya sangat pemberontak dan bersumbu pendek, jangankan mendapat tamparan, mendapat omelan saja ia akan melawannya hingga berdebat hebat. Tapi hari ini ia malah meminta maaf, sesuatu yang langka yang dilakukan Samira. Dan hingga detik ini, Selly belum sepenuhnya mengerti jalan pikiran Samira.
“Sel, gue lagi pengen sendiri, gag pa-pa lo gag usah temenin gue ya…” ujar Samira seraya menatap Selly.
“Iya, tapi kalo lo perlu apa-apa, lo hubungi gue ya…” sunggut Selly dengan penuh pengertian. Selly tau, saat samira mengatakan ia ingin sendirian, maka ia tidak ingin siapapun mengganggunya, termasuk ia dan bundanya.
“Gue bukan bocah sel…” cetus Samira yang kembali memejamkan matanya.
Selly tersenyum. Ia selalu merasa khawatir, saat Samira ingin sendirian. Karena saat itu, ada sakit atau amarah yang sedang di pendamnya. Segala bayangan buruk serta merta menghinggapi pikiran Selly. Membuatnya hanya bisa menelan ludah dan mencoba menenangkan diri sendiri.
"Lo harus baik-baik aja sam..." batin Selly seraya menatap wajah Samira yang berada di sampingnya.
****
Sampai di apartemen, Samira membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan posisi terlentang. Ucapan Isma benar-benar terus terngiang di telinganya. Dahinya berkerut, dengan pikiran yang terus berputar.
Samira menggenggam liointin yang tergantung di lehernya dan mencengramnya kuat-kuat.
“Dady, hari ini aku di tampar. Tapi gag tau kenapa aku gag bisa marah. Apa hati aku benar-benar udah kebas?” gumam Samira dengan bayangan Andika di pikirannya.
Samira beranjak bangun dan menyandarkan tubuhnya ke head board tempat tidurnya. Ia menyentuh pipinya yang masih kemerahan. Bayangan Barra yang menatapnya dengan penuh kecemasan terlintas jelas di pikirannya.
“Shit! Ngapain sih lo muncul di pikiran gue!” dengus Samira dengan kesal.
Untuk pertama kalinya Samira merasa, sendirian itu tidak terlalu menyenangkan. Ia mengambil handphone dan headset. Ia menyumpal telinganya dengan dua benda kembar tersebut di kiri dan kanan telinganya. Alunan musik mulai mengisi rongga telinganya. Samira berusaha memejamkan mata. Perlahan, terdengar dengkuran halus yang menandakan ia tengah terlelap.
Sementara itu, perasaan Barra tak karuan. Ia berjalan mondar-mandir di kamar rumahnya. Pikirannya terus terpaut pada Samira yang pergi entah dengan perasaan seperti apa. Ucapan Samira terus terngiang di telinganya.
“Apa lo baik-baik aja bocah?” gumam Barra yang mulai terduduk di pinggiran tempat tidur.
Barra bukan tipe laki-laki yang terbiasa berbicara begitu saja dengan seorang wanita. Namun saat bersama Samira, ia menjadi seseorang yang ia sendiri pun tidak bisa kenali. Samira adalah perempuan kedua yang membuatnya harus memikirkan mahluk bernama wanita. Dan yang pertama adalah cinta pertamanya saat SMA.
Namun, walaupun ia peduli dengan wanita tersebut, ia masih dengan sikapnya yang dingin dan cuek. Tapi Samira, Akh! Barra mengacak rambutnya sendiri. Anak kecil ini benar-benar merubah dirinya menjadi Barra yang bukan biasanya.
Sebuah deringan telpon menyadarkan Barra dari lamunannya. Bayangan wajah cantik Samira perlahan memudar.
“Halo!” seru suara di sebrang sana. “Lo dimana bro?!” suara Ben terdengar begitu kencang.
“Di rumah. “ sahutnya.
“Gue kira lo di apartemen, ini gue lagi di cafe deket apartemen lo.” terang Ben.
“Ya udah, bentar lagi gue ke sana. Ada beberapa barang yang mesti gue ambil.”
“Okey, gue tunggu!”
“Hem…”
Barra memutus panggilannya. Matanya mengeliling melihat barang-barang tambahan yang harus di bawanya.
Walau sangat malas untuk untuk beranjak, namun mengingat Ben ia terpaksa mulai merapikan barang yang akan di bawanya. Memasukkannya ke dalam sebuah dus. Tangannya dengan lincah merapikan barang-barang karena ia memang laki-laki yang apik. Barra sudah di tinggalkan mendiang ibunya sejak kecil. Ia terbiasa mengurus barang-barang miliknya sendirian. Ia tidak pernah mempercayakan barang pribadinya di pegang orang lain.
****
“Ting tong…” suara bell beberapa kali mengusik tidur Samira. Perlahan ia bangun dari tidurnya. Handphonenya sudah mati karena di pakai memutar lagu berulang.
Samira berjalan keluar kamar. Dengan malas, ia membukakan pintu untuk tamunya.
“Non samy….” Ujar Handoko dengan wajah cemasnya. Ia melihat tubuh Samira dari atas hingga ke bawah. “Gimana kondisi non samy sekarang?” lanjut Handoko yang segera masuk walau belum mendapatkan izin Samira. Pastinya ia sudah mendengar kabar permasalahannya entah itu dari Dina atau dari surat yang di kirim sekolah.
“Baik.” Sahut Samira dengan wajah tenangnya.
“Non samy sudah makan? Saya membawakan beberapa makanan kesukaan non samy.” Handoko menunjukkan sekantong makanan di tangannya.
Samira merasakan perutnya yang memang sudah lapar. Ia mengenali jelas wangi makanan yang dibawa Handoko, ya sate, makanan favoritnya bersama mendiang ayahnya.
“Saya siapkan dulu makanannya…” ujar Handoko yang masih celingukan melihat isi apartemen Samira.
Samira menunjuk ke arah dapur dan Handoko berjalan cepat ke sana. Ini adalah pertama kalinya ia masuk ke apartemen nona mudanya. Selama beberapa tahun tinggal di apartemen, Samira hanya memperbolehkan Handoko berbicara di depan pintu atau lobby. Kalaupun ada hal penting, Samira biasanya menelpon atau mengirim pesan.
“Silakan nona…” Handoko mengarahkan Samira dengan tangan terbuka. Samira berjalan menuju meja makan. Seporsi besar sate dengan beberapa menu pelengkap lainnya telah tersaji di depan matanya. Handoko menunggunya sambil berdiri.
Handoko menarikkan kursi untuk samira. Samira mulai mengambil sesendok nasi dan beberapa lauk. Tangannya ia cuci dengan air bersih yang telah disiapkan Handoko. Samira mulai menikmati makanannya. Handoko hanya tersenyum, melihat nona mudanya makan dengan tenang. Pemandangan yang jarang ia lihat sebelumnya.
Samira mulai bermain dengan imajinasinya. Dalam khayalannya dia melihat Samira kecil yang tengah makan dengan dadynya.
“Mau dady suapin nak?” tawar Andika sambil menyodorkan sate ke hadapan Samira.
“Nggak dady, samy makan sendiri. Disuapin dady lama!” protes samira yang segera mengambil sate dari tangan Andika. Ia menyantapnya dengan rakus.
“Pake nasi nak…” ujar Andika seraya mengusap sisa-sisa kecap di pipi Samira.
“Daddy ayo makan, ini enak loh…” seru Samira dengan senyum cerahnya.
“Iyaa… jangan cepet-cepet makannya,gag bakalan kehabisan kok. Ingat kunyah 32 kali supaya anak dady gag sakit perut.” Tutur Andika seraya mengusap rambut tebal Samira.
“Iya dady, ayo dady makan…” Samira mengarahkan tusukan satenya pada Andika. Namun saat Andika membuka mulutnya, ia membelokan kembali suapan tersebut ke mulutnya, lalu terkekeh dengan renyahnya.
“Anak dady jahil!” seru Andika sambil mencubit pipi Samira.
“Hahahaha… kena dady aku kerjain.” Samira tertawa dengan renyahnya. Terlihat noda sisa sate terselip di gigi Samira membuatnya terlihat semakin menggemaskan.
Andika mengambil handphone dan menyalakan kamera.
“Coba senyum, Lihat, anak dady lucu ya kayak nenek ompong.” Ledek Andika sambil tertawa.
Samira melihat noda-noda makanan yang berada di giginya.
“Ah dady! Aku gag mau makan sate lagi!!” rengek Samira yang dengan segera menaruh kembali satenya.
“Loh, jangan benci sama satenya dong. Nanti kalau udah selesei makan kan samy bisa gosok gigi…” bujuk Andika dengan lembut. “Ayo aaaaa lagiiii” imbuhnya sambil menyuapi Samira.
“Makasih dady….” sahut Samira seraya kembali tersenyum.
Samira dan Andika menikmati makanannya dengan lahap.
Entah mengapa, baru beberapa tusuk sate Samira habiskan, ia sudah merasa sangat kenyang. Ia kenyang dengan ingatan yang berputar di kepalanya. Ingatan yang begitu indah, namun tidak akan pernah bisa di ulang. Andai saja waktu itu ia tidak menolak untuk Andika suapi, andai saja waktu itu ia tak menjahili Andika, akankah Samira tidak menyesali apapun yang ia lewatkan bersama Andika?
Samira menelan bulat-bulan sisa makanan di mulutnya dengan mata berkaca-kaca. Ia menaruh tusuk sate yang masih di pegangnya, bahkan nasinya masih utuh. Ia mencuci tanganya menggunakan air di hadapannya.
“Satenya masih banyak non…” ujar Handoko seraya mendekatkan makanan pada samira. Samira hanya menggelengkan kepalanya. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju sofa.
Handoko memandangi punggung Samira yang semakin menjauh dari pandangannya. Ia mengikuti langkah Samira dan berdiri di samping Samira yang duduk bersandar pada sofa.
“Non, mengenai guru yang memukul non samira, saya akan membuatkan gugatan langsung.” Ucap Handoko dengan penuh kesungguhan.
“Jangan di perpanjang, dia hanya menjalankan tugasnya dengan baik.” timpal Samira tanpa menoleh sedikit pun.
“Lalu terkait gadis yang mencelakai non samy….” Kali ini Samira menatap Handoko, membuat kalimatnya terhenti begitu saja.
“Dia berurusan dengan saya, saya sendiri yang akan menyelesaikannya.” Tukas samira. “Apa pak handoko sudah menerima surat skorsing saya?” selidik Samira dengan terus terang. Handoko mengangguk. “Berapa lama?” lanjutnya.
“Seminggu… dan diharuskan membuat tulisan permohonan maaf dan janji tidak akan mengulang sebanyak 50 halaman. Tapi nona tidak perlu…”
“Saya akan melakukannya.” Tukas samira.
Handoko hanya menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Nyatanya, menghadapi Samira lebih sulit di banding menghadapi mendiang Andika. Namun Handoko sadar, dinding keangkuhan yang dibangun Samira di hadapannya, untuk melindungi dirinya yang sangat rapuh. Bagaimana tidak, ia menghadapi semua masalahnya sendiri, membuat Handoko harus mengurut dada saat mengingat semua tangis dan sedihnya.
“Dokter orthopedia tidak bisa menemui non samy di apartemen, jadi sepertinya kita harus ke sana sebentar lagi.” Tutur Handoko sambil melihat jam di tangannya. Ia masih melihat kaki Samira yang bengkak karena menolak perawatan. Tapi melihat dari langkah kakinya, sepertinya ia masih kesakitan. Mungkin alasan ini juga yang membuat Samira akhirnya menghubungi Handoko setelah sekian lama.
“Hem…” sahut Samira. Ia berlalu menuju kamarnya. Ia segera mengganti baju dan mengikuti permintaan Handoko. Ia hanya menggunakan celana jeans selutut, dengan hoody yang membalut tubuhnya. Rambut panjangnya di cepol begitu saja, dengan beberapa anak rambut yang masih terurai. Namun tidak mengurangi pesona seorang Samira dimata siapapun.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Bunda dinna
Samira,,semangat
2023-02-19
1
@"siti waluya"🏞
tiap part nya sedih aduuuuh nih ka naya...
2022-01-27
1
Main Zullaikah
duuhh banyak mengandung bawang😭.
2021-11-17
1