"Astaghfirullah... Mbak Fafa, kenapa wajahnya?" Mbok Yem terkejut saat melihat wajahku yang berantakan.
Dengan muka cemberut, aku duduk di kursi yang ada di dapur lalu mengambil cermin kecil dan menatap pantulan wajahku.
Banyak bekas cakaran kuku Melsa, bergores-gores dan berwarna kemerahan. Bahkan ada yang mengeluarkan darah. Rasanya perih, ingin nangis tapi malu.
Setelah keluar dari ruangan Pak Handoyo aku langsung pulang naik ojek. Aku tidak di perbolehkan bekerja selama tiga hari. Alamat nggak bakal dapat insentif bulan ini nih! kesalnya aku!!!
"Kenapa kamu?"
Aku menoleh memandang Vian yang tiba-tiba muncul dan menatapku. Lebih tepatnya menatap wajahku yang kacau.
"Ng.. nggak apa-apa.." Ucapku sambil memalingkan muka.
Vian mendekat dan merengkuh wajahku, "coba lihat." Ucapnya sambil menggerakkan wajahku ke kiri dan kanan.
"Ck! apaan sih." Aku menepis tangan Vian.
"Kamu habis berantem?" Vian terkejut.
"Ada kucing garong tadi." Kesalku.
Banyak sekali julukan ku untuk si Melsa, dari Genderwo, Sundel Bolong dan sekarang Kucing garong... ahh suka-suka aku lah!
"Kamu berkelahi sama kucing? kurang kerjaan apa?"
Mbok Yem tiba-tiba muncul sambil membawa kotak P3K. "Sini Mbak, saya obati dulu."
"Jangan pakai Betadine Mbok, nanti membekas." Aku menangkup pipiku, takut.
"Lalu bagaimana?" Mbok Yem jadi bingung dengan sikap ku yang sedikit manja.
"Biar aku saja Mbok, Mbok Yem lanjutin masak aja." Tiba-tiba Vian mengajukan diri untuk merawat lukaku.
Aku melihat Mbok Yem tersenyum senang, lalu dia buru-buru kembali ke dapur kotor untuk melanjutkan memasak.
"Sini!" Vian menangkup wajahku.
Dia membersihkan lukaku dengan handuk basah lalu mengolesi lukaku dengan salep antibiotik, aku mengernyit.
"Sakit?" Tanya Vian.
"Perih..." jawabku, lirih.
Vian menarik wajahku agar mendekat ke arahnya, lalu, "Huff.. huff.." Vian meniup lukaku yang sudah di olesi salep.
Aku menutup mataku karena hembusan angin dari mulut Vian terasa menggelitik.
Lagi-lagi jantungku berdebar-debar tak terkontrol.
"Habis berantem sama siapa?" Tanya Vian lagi, sambil terus meniupi wajahku.
"Sama Melsa."
"Siapa Melsa?"
"SPG Mo*** Po***." Aku terus memejamkan mata sambil menikmati hembusan angin dari mulut Vian, baunya wangi sekali.
"Kenapa kalian bertengkar?"
"Dia bilang, aku merebut pacarnya."
Vian mencengkram daguku erat dan menjauhkan wajahku darinya.
"Kamu berantem gara-gara lelaki?!" Bentaknya, hilang sudah kelembutan yang baru saja aku nikmati.
"Nggak! itu cuma salah paham!"
"Salah paham bagaimana?"
"Melsa mengira aku mendekati pacarnya, padahal sebenarnya pacar dia yang mendekatiku."
"Huh!" Vian memutar kursi rodanya, "percuma aku mengobati lukamu!"
"Mas, ini belum selesai.. masih perih..."
"Tiup saja sendiri!!" Ucap Vian ketus sambil berlalu.
"Gimana caranya??" Aku mencoba memanyunkan bibirku agar bisa meniupi luka di pipiku, tapi gagal.
"Ck! kalau melakukan sesuatu itu sampai tuntas dong! jangan setengah-setengah!" Teriakku. Tapi Vian tak menggubris, dia terus memutar roda kursinya menuju Lift, sepertinya dia hendak kembali ke kamarnya.
.
Sudah jam 3 sore, saatnya aku mengantarkan cemilan ke kamar Vian. Aku membawa nampan berisi sepiring kecil chooco chip cookies, beberapa potong semangka dan mangga serta teh hijau yang wangi.
Hmm.. enak banget jadi orang kaya.
"Aku nggak mau tau!"
Tiba-tiba aku menghentikan langkahku tepat di depan pintu kamar Vian yang sedikit terbuka. Aku mendengar Vian sedang berbicara lewat ponselnya.
"Pokoknya aku mau, dia tidak menginjakkan kakinya lagi di sana. Bilang pada management Bulan Departemen store, suruh dia di rolling atau bagaimana aku nggak peduli!"
"Mas..." Aku masuk perlahan setelah Vian menutup telponnya.
"Eh, sejak kapan kamu di situ?"
"Baru saja." Ucapku datar. "Habis marah sama siapa?" Aku meletakkan nampan berisi cemilan di dekat Vian.
"Bukan siapa-siapa." Vian mencomot sepotong semangka dan memakannya.
"berarti besok kamu nggak kerja?"
"Iya, aku di skors 3 hari.."
"Lho? kok Mas Vian tahu?" Aku penasaran.
Vian hanya menaikkan kedua pundaknya sambil terus memakan buah yang aku bawa tadi.
"Mau ngapain di rumah?" tanyanya, lagi.
"Apa ya? paling temani Mas Vian terapi. sudah, memangnya mau apa lagi." Aku menghela napas. Mau jalan-jalan juga nggak punya uang.
"Besok setelah terapi, kita jalan-jalan ke pantai. Sudah lama aku nggak lihat pantai."
"Mau...." Teriakku girang.
...***...
Sepulang terapi, seperti janjinya kemarin, Vian mengajakku ke Pantai Parangtritis.
Pak Slamet memarkirkan mobil di pinggiran jalan yang langsung menghadap ke pantai.
Sebenarnya aku ingin turun dan bermain dengan gulungan ombak yang menyentuh kaki, tapi meninggalkan Vian di dalam mobil rasanya sangat tak tega.
Vian tidak mungkin turun ke pantai dengan kursi roda, bisa-bisa rodanya selip ke dalam pasir.
Aku hanya bisa menurunkan kaca jendela mobil dan menikmati hembusan angin yang menerpa wajahku.
"Maaf Den. Mbok Yem tadi pesan agar saya membeli udang dan cumi-cumi. Saya ijin ke pasar ikan sebentar, boleh?" Tanya Pak Slamet, ragu-ragu.
Vian mengangguk.
Lalu Pak Slamet bergegas keluar dari mobil hendak membeli bahan makanan titipan Mbok Yem.
Yumie.. makan malam nanti pakai udang dan cumi dong... Aku tersenyum girang.
"Kenapa?"
"Uh?" Aku menatap Vian.
"Kenapa tersenyum?"
"Oh.. aku membayangkan makan malam pakai udang dan cumi yang Pak Slamet beli. Hehehe..."
"Dasar rakus!"
"Anginnya sejuk banget ya Mas?" Girangku. Sudah lama sekali aku tak pergi ke pantai. Aku senang sekali berada di sini.
Angin pantai, walau sedikit berbau amis, tapi aku sangat menyukainya.
Rambutku bahkan sampai berkibar-kibar karena anginnya begitu kencang.
Tiba-tiba Vian menyentuh tengkukku, Aku terbelalak dan menahan napas karena terkejut. Aku tak berani menoleh memandang Vian, mataku terus terpaku ke luar.
Vian mengumpulkan rambutku yang menari-nari terkena hembusan angin, lalu mengikatnya asal-asalan dengan karet gelang.
"Aa.. aapa.. apa-apaan?" Akhirnya aku beranikan diri menoleh ke arah Vian.
"Rambutmu mengganggu tauk! terbang-terbang menggelitik hidung ku!!" Bentak Vian kesal.
Aku cemberut, "maaf..." lalu aku merapihkan rambutku dan mengikatnya dengan benar.
Dasar gila! apa yang baru saja aku khayalkan!!
Semua ini gara-gara Mbok Yem dan Nunung! pikiran mereka sudah meracuniku! membuatku berpikir yang aneh-aneh tentang Vian.
"Bagaimana lukamu? masih sakit?"
Aku menoleh ke arah Vian yang ternyata sedang menatapku.
"Emm.. sudah nggak perih."
"Coba, mendekat. Aku ingin lihat."
Aku menurut, aku mendekatkan wajahku ke arah Vian. Vian menangkup pipiku dengan kedua tangannya. Wajahku langsung terasa panas. Semoga saja wajahku tidak merona.
Vian memperhatikan bekas luka yang menghiasi wajahku dengan seksama, aku pun memperhatikan wajah Vian yang sangat dekat dengan terpana. Aku bahkan menahan napas karena gugup. Wajah Vian hanya beberapa centimeter dari wajahku, hembusan napasnya bahkan terasa, hangat sekali. Ahh, lebih baik aku memejamkan mata dari pada bertambah gugup karena pemandangan indah yang terpampang tepat di depan mataku.
"Tidak terlalu dalam kok, nggak akan berbekas." Ucap Vian.
"Heh!" Vian menepuk pipiku pelan.
Aku langsung membuka mata, kaget.
"Kamu ingin di cium ya?"
"Haah??"
"Kenapa pakai tutup mata segala?"
"Aa... aaku.. aku ngantuk." Ucapku asal.
"Aku mau tidur, bangunkan aku saat sudah sampai rumah." Aku langsung bersandar dan memejamkan mata.
Vian memang menyebalkan. Bikin sport jantung terus!! Arghhh!!!
Tak lama kemudian, Pak Slamet muncul dan mulai menjalankan mobil untuk pulang ke rumah.
Mataku masih terus terpejam, berpura-pura tidur. Aku merasa malu pada Vian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
cha
mbok Yem aku juga mau
2022-12-05
0
Atieh Natalia
sumpah ya gemes banget
2021-09-01
0
Isyeu Lismaya
ngeliatin salah, merem jg salah, hahaha
2021-08-21
0