Aku bangun pagi sekali hari ini, kemudian mandi dan langsung menuju kamar Vian.
Dan sesuai dengan dugaan, sang pangeran masih tidur dengan lelapnya.
Aku mendekat dan memandangi wajah Vian yang pulas tertidur. Wajahnya tampan sekali kalau diam begini. Cute seperti bayi yang tanpa dosa, tapi kalau sudah bangun, huh! menyebalkan!
"Untung ganteng, coba kalau enggak.." Lirihku, sambil mengangkat tanganku ingin mencakar nya.
"Aku nggak ngerasa di puji walaupun di bilang ganteng." Ucap Vian tiba-tiba dengan mata yang masih terpejam.
"Oh, su.. sudah bangun ya?" Ucapku kaget, campur malu.
"Ngapain pagi-pagi masuk ke kamar lelaki! kamu mau berbuat mesum ya!" Vian menarik selimutnya, menutupi tubuhnya yang berpakaian lengkap.
"Heh! Dimana-mana itu lelaki yang mesum, perempuan mana ada!"
"Siapa tau kamu abnormal."
Aku mendelik ke arah Vian, "aku mau ajak kamu jalan-jalan."
Vian menatap jam wekernya, "baru jam 5 pagi! Gila kamu ya!"
"Jam lima itu, pasar Beringharjo sudah ramai! Kamu aja yang pemalas!"
"Ngapain ke pasar Beringharjo?!" Vian menjerit, entah karena takut atau kaget.
"Siapa yang mau ajak ke pasar? itu kan cuma perbandingan. Aku cuma pengen ajak kamu jalan-jalan sekitar komplek aja. Biar kamu bisa menghirup udara segar. Nggak mendekam di dalam rumah saja."
"Aku kan lumpuh! nggak bisa jalan!" Ucap Vian, ketus.
Aku menarik napas panjang, "Ya kamu pakai kursi roda, aku yang dorong. Begitu Den Mas..." Sabar.. sabar.
Dengan susah payah, akhirnya aku berhasil mengajak Vian untuk keluar dari kamar.
Aku mendorong kursi rodanya menuju lift kecil yang sengaja di buat agar Vian bisa dengan leluasa naik dan turun dari lantai dua menuju lantai satu ataupun sebaliknya.
"Udara pagi segar ya..." Ucapku, setelah sampai di halaman depan rumah.
Vian masih cemberut dan memeluk selimutnya yang tidak mau dia lepaskan.
Dasar anak kecil!
"Segar dari mana?! Ini dingin tauk! Aku bisa kena radang paru-paru!"
"Ayolah... nggak ada orang bangun pagi kena radang, yang ada itu mereka sehat. Udara pagi itu masih bersih, belum tercampur asap dan polusi. Segarrr..." Ucapku sambil membentangkan tangan.
"Ayo, hiruplah sebanyak-banyaknya, mumpung masih gratis loh!" Candaku sambil tersenyum ke arah Vian
Vian tetap tak bergeming, dia malah mendekap selimutnya makin erat.
Aku juga sebenarnya merasa dingin, seharusnya tadi aku pakai jaket.
Kenapa dingin ya? sekarang kan sudah bukan lagi musim hujan.
Aku terus menggerakkan tangan dan kaki ku agar berkeringat dan mencoba mengusir hawa dingin yang mulai menusuk.
"Huachim!" Ups!
Vian melirikku sambil tersenyum sinis. "Ternyata kamu kedinginan juga! Dasar sok tau! Aku mau masuk saja!" Vian memutar roda kursinya dan masuk ke dalam rumah. Aku pun berlari kecil mengikutinya.
"Aku pikir, nggak akan sedingin itu..." Ucapku sambil meringis malu, tapi Vian sama sekali tak menanggapi ku. Dia memutar roda kursinya menuju dapur.
"Mbok Yem, buatkan aku jahe susu hangat. Sama si bodoh satu ini juga!"
"Baik Den." Jawab Mbok Yem dan segera menjalankan perintah majikannya.
"Lain kali, kalau kamu ganggu tidurku lagi, aku lempar kamu pake vas bunga." Vian mengancam sambil mengangkat kepalan tangannya ke arahku.
"Kalau tidur terus nanti kamu jadi uler loh!" Teriakku.
Vian hanya melirikku sinis, lalu masuk ke dalam lift dan kembali menuju kamarnya. Mungkin untuk melanjutkan tidurnya yang sudah terganggu.
Aku mendekati Mbok Yem, dan duduk di kursi makan, "memangnya, Mas Vian tiap hari bangun siang, Mbok?"
"Enggak kok Mbak, kalau hari Sabtu dan Minggu biasanya dia bangun pagi terus ke halaman depan."
"Hari Sabtu dan Minggu? ada apa dengan hari itu?"
"Dulu non Arina selalu kemari di hari Sabtu dan Minggu. Tapi sudah hampir tiga bulan ini dia tak pernah datang lagi. Kasihan Den Vian, sedang sakit tapi pacarnya malah nggak peduli."
Dengan sifat arogan Vian, mana ada cewek yang bisa bertahan lama.
"Pacarnya cantik, Mbok?"
Mbok Yem meletakkan secangkir besar jahe susu hangat di depanku. "Cantik sekali."
Lalu Mbok Yem pergi menuju kamar Vian untuk mengantarkan jahe susu pesanannya.
Aku menyeruput jahe susu, badanku langsung terasa hangat. Nikmat sekali.
Aku memandang ke arah lantai dua, menanti Mbok Yem turun. Jawaban Mbok Yem tadi makin membuatku penasaran. Dia bilang 'cantik'. Cantik yang bagaimana sih? aku ini kan juga termasuk dalam definisi cantik. Helow.. semua cewek itu kan cantik, masa ganteng.
Saat melihat Mbok Yem turun, aku jadi bersemangat.
"Mbok Yem, cerita dong.. cerita.."
"Cerita apa Mbak?"
"Itu loh, tentang Arina."
"Apa yang mau di ceritakan?"
"Orangnya seperti apa? ciri-cirinya? sifatnya seperti Mas Vian apa gimana?"
"Oh.. orangnya cantik. Kulitnya putih, rambutnya hitam dan panjang. Ya, cantik."
Mulutku membentuk huruf 'o'.
Mbok Yem sepertinya nggak suka bergosip, dia sama sekali nggak memberikan informasi yang akurat tentang pacar Vian.
Tapi ya, sudahlah. Tau pun aku mau apa.
Aku harus konsentrasi pada terapi Vian.
...*...
Hari ini aku sift siang, jadi sebelum berangkat kerja, aku harus memastikan Vian untuk meminum obatnya.
Aku mampir dulu ke kamar sang Pangeran.
"Mas Vian, aku berangkat kerja dulu ya. Obatnya sudah di minum?"
Vian yang sedang asyik dengan laptopnya hanya menatapku sekilas dan menjawab ku dengan dengungan.
Aku mendekati meja kecil yang ada di samping ranjang Vian. " Kok belum di minum?" dan melihat masih ada dua butir obat di piring kecil.
"Nanti saja, sudah sana pergi!"
"Aku nggak mau pergi sebelum obatnya di minum." Kataku sedikit memaksa.
Dengan kesal, Vian mengambil dua butir obat itu dan menelannya tanpa air. "Puas!"
Aku menyerahkan segelas air dan Vian menerimanya lalu minum beberapa teguk.
"Terima kasih, semoga lekas sembuh." Ucapku sambil tersenyum manis seperti saat melayani customer ku di toko.
Buru-buru aku keluar dari kamar Vian, jam tanganku sudah menunjuk di angka 12.30. Setengah jam lagi aku harus sudah sampai di toko atau gajiku akan di kurangi karena terlambat.
12.55
Aku memandang cetak jam yang muncul di kartu absenku dan menghela napas lega. Lima menit lagi, bisa-bisa uang makan ku di potong.
"Fa..."
Aku menoleh, aku hapal betul suara ini. Suara yang sangat ku rindukan tapi sekaligus membuatku kesal.
Adnan sudah berdiri di belakangku, sambil tersenyum manis.
Aku malah sebal melihat senyumnya. Hampir satu minggu setelah janji palsunya padaku, dia baru mengajakku bicara. Ngapain aja dia selama ini?!
"Ada apa ya?" tanyaku sedikit ketus. Hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya pada Adnan. Biasanya aku selalu bicara dengan manis saat berhadapan dengannya.
Aku sangat memuja dirinya.
"Waktu itu, maafkan aku ya."
Ternyata dia ingat punya salah rupanya.
"Nggak apa-apa, aku juga sudah lupa." Lalu aku berjalan menjauh darinya.
"Bagaimana kalau minggu depan kita jalan? Kamu Off hari apa? biar aku bisa samakan jadwal." Adnan terus mengikutiku dari belakang.
Buat apa janjian kalau cuma bikin orang kecewa!. "Aku sudah ambil off dua kali minggu ini. Kayaknya nggak bisa."
"Kamu masih marah ya?"
Aku menghela napas, "Nggak lah, buat apa marah?"
"Fa," Adnan meraih tanganku. Dan aku menepisnya kasar.
"Aku harus kerja, aku sudah terlambat." Aku segera berlalu meninggalkan Adnan yang masih menatapku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Jangan bilang kalo yg belanja di mall tdi itu dia..
2023-04-25
0
cha
di Fafa marah 🤣
2022-12-05
0
Anonymous
syuka ma karakter fafa...be strong girl
2022-09-03
0