Siang yang melelahkan. Lepas dari kegilaan Aldy, sedikit menghirup udara siang. Ya, sedikit bebas kalau boleh dibilang begitu.
Sedikit lega meski terjebak di jalan yang mulai ketularan macetnya ibu kota. Rey berusaha menikmati teriakan sopir angkot yang berdebat dan berebut jalan dengan seorang tukang becak, juga suara pengamen cilik dengan kentrungnya naik turun dari satu angkutan ke angkutan yang lain, ada lagi gesekan suara memelas pengemis tua yang seolah sengaja dibuat-buat, dan aaahhh ... sebuah melodrama yang dipertontonkan secara cuma-cuma hanya mampu membuat senyum segaris di wajah gadis itu.
"Maaf, pak," ujar Rey dengan sopan ketika seorang pengemis yang masih gagah tiba-tiba bergelayut di angkot dan meminta recehan pada penumpang.
Rey tidak mau memberikan uang pada pengemis itu karena saat ini ia menang sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun
Hatinya berdegup tak menentu. Ia berdoa dalam hati, semoga sepanjang jalan ini ia tak bertemu orang yang mengenalinya.
"Mudahkan, Ya Allah," ujarnya berkali-kali.
Entah mengapa, tiba-tiba saja ia merinding. Ya, merinding saja. Mendadak pula ingatannya kembali terlempar pada peristiwa di lantai dua bersama Aldy.
"Pria itu begitu kasar. Kenapa ia memperlakukan diriku seperti wanita murahan," pekik Rey dalam hati.
"Ya, mungkin saja aku begitu murah dihadapannya. Aku sendiri yang mendatangi dan menyodorkan diri padanya," ujarnya lagi.
"Ibu, kenapa ibu seperti itu padaku,"
Kali ini Rey begitu tersayat hatinya. Ada perasaan yang begitu melukai hatinya jika harus mengingat tentang Aldy dan juga ibu.
Tak lama setelah angkot yang ditumpanginya berjalan, Rey segera memberi kode agar kendaraan itu menepi ke bahu jalan yang kebetulan di tepinya lagi berdiri pohon asam yang tinggi dan rindang. Ia tau tempat itu bukan arah menuju ke rumahnya, juga bukan ke toko Aldy.
"Kiri Bang," Teriak Rey sedikit keras agar suaranya terdengar oleh sopir angkot itu.
"Iya, dek,"
Rey segera turun dari angkutan setelah membayar ongkosnya. Kini ia melangkah pelan menuju pohon besar yang ada di sisi jalan
Dalam hati mbatin juga, "aku harus kuat dan berhasil," jauh dibisikkan dalam hatinya
Ya, meletakkan kata, bahkan doa pada apa yang akan dilakukannya dan pada peristiwa yang tak semestinya terjadi pada dirinya.
Rey menyembunyikan tubuhnya yang tinggi di balik pohon asem yang rimbun sambil mengamati rumah yang ada di sebrang jalan itu. Sepertinya belum ada tanda-tanda sang empunya datang. Tidak terparkir kendaraan roda dua atau mobil yang biasa ditumpangi terparkir di depan rumah.
"Dia belum pulang. Mobil yang biasa ia bawa belum terlihat,"
Rey melihat jam sudah menunjukkan pukul 16.20. Berati ia harus sedikit bersabar menunggu empunya datang.
"Mungkin lagi diperjalanan. Semoga saja ia tidak pergi ke tempat lain," harap Rey sedikit khawatir.
Cukup lama ia bersembunyi. Sesekali menggeser tubuhnya jika ada orang yang melintasi jalan itu. Ia duduk seorang diri. Pandangannya terlempar begitu jauh pada apa yang sedang di nanti.
Hatinya mulai berdengup ketika dari kejauhan satu persatu kendaraan masuk ke mess itu. Penghuni yang didominasi kaum laki-laki itu sudah kbsli ke markasnya setelah bekerja di wilayah pertambangan.
Sosok yang ia tunggu sudah masuk ke rumahnya. Namun situasi belum aman. Masih ada beberapa penghuni yang datang atau berlalu lalang di komplek itu. Beberapa pintu juga masih terbuka begitu saja.
Rey tetap mengatur posisinya agar keberadaan tidak mencurigakan. Jika berpapasan dengan orang, sesekali ia pura- pura sedang memandang ke arah jalan. Seolah-olah sedang menunggu angkutan. Setelah senja meninggi dan penghuni rumah sudah mulai menutup rapat pintunya, Rey mengayunkan langkahnya menuju mes 105
Rey mengetuk pintu dengan pelan. Tak lama suara langkah sendal terdengar ke arah pintu.
"Rey. Bukannya laundry sudah diambil?" tanya Wibie heran sembari melongok ke arah kursi dimana ia meletakkan cucian
Rey tidak menjawab namun ia menerobos masuk dan membanting tubuhnya di atas sofa. Wibie mengikutinya dan duduk di samping Rey dengan perasaan heran.
"Bantu saya pak. Antar saya ke Jakarta. Aku sudah tidak bisa melanjutkan hidup dibawah tekanan ibu dan Aldy," pintanya begitu memelas sembari berlutut didepan Wibie dan memegang kedua tangan laki-laki itu.
Wibie jadi bingung dan panik. Ia bangkit dan menutup pintu. Kemudian ia kembali duduk di tempatnya semula.
"Tenangkan dirimu, Rey. Jangan mengambil keputusan dengan emosi," ujarnya menghibur.
"Sebentar ya,"
Pria itu melangkah ke arah kulkas dan mengambil minuman.
"Minum dulu. Tarik nafas. Ceritakan padaku apa yang terjadi?"
Pria itu duduk kembali di samping Rey. Rey mengambil botol minuman yang disodorkan ke arahnya dan menenggaknya hingga kering.
Rey menceritakan semua. Bagaimana ibu memintanya agar dia menjadi pelayan di toko Aldy dan juga melayani nafsu bejat laki-laki itu hingga kejadian siang ini yang sangat melukai dirinya.
Wibie mendengar penuturan Rey dan mengeryitkan keningnya atas apa yang dialami gadis itu. Cukup lama ia tak bersuara.
"Bantu saya pak. Saya ingin meninggalkan kota ini. Saya mau ke Jakarta, ke rumah Tante saya,"
Wibie masih berpikir bagaimana membantu gadis itu sedangkan dia tidak mungkin mengantarnya. Waktu istirahatnya baru akan dimulai minggu ini.
"Apa kamu bisa menemukan alamat tantemu di Jakarta?" tanya wibie. Rey menggelengkan kepalanya.
"Apa kamu punya alamatnya?"
Reye mengangguk dan mengeluarkan sebuah kertas kecil dari saku tas ranselnya. Mengulurkan kertas itu kepada Wibie. Ia melihat tulisan itu sepintas dan kembali menatap Rey yang masih penuh harap padanya.
"Aku bisa mengantarmu hari Minggu. Jumat dan Sabtu masih ada urusan penting,"
"Tolong pak. Saya tidak mau lagi pulang ke rumah. Aku tidak mau kalau besok pagi harus kembali ke toko itu," pinta Rey dengan suara yang makin memelas dan menahan Isak.
"Apa kamu mau nginep di hotel seorang diri. Kamu tunggu di situ hingga Minggu. Aku akan menjemputmu dan kita berangkat bareng ke Jakarta,"
"Saya ga punya uang, pak. Bagaimana saya harus membayar sewa hotelnya," Wibie tertawa seketika.
"Ga usah kau bilang saya juga sudah tau kalau kau tidak punya uang. Modal nekat yang membuatmu kemari kan?" Rey hanya menganggukkan malu.
"Kita keluar magrib ini ya. Aku tak mau membuat masalah. Jangan sampai aku dibilang membawa lari anak di bawah umur,"
"Terimakasih pak," ucap Rey berulang-ulang.
"Tunggulah disini. Aku mau membersihkan diri dan bersiap-siap dulu. Jangan menampakkan diri jika ada yang datang,"
Wibie segera beranjak dari tempat duduknya. Rey masih terpaku ditempatnya semula namun dengan hati yang sedikit lega
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Matheldathelda Kadobo
semoga pak Wibie tulus membantu Rey
2021-08-01
0
Titi Azreycute
bagus rey keputusan yang tepat
2021-02-23
0
Srihartati
kasian rey
2020-09-17
1