Sore itu, jalanan begitu macet. Penghuni kota serasa tumpah di jalanan. Sebagian dari mereka ada yang pulang dari pekerjaan, ada pula yang sekedar jalan-jalan bersama keluarga menikmati akhir pekan.
Jalanan begitu padat terutama yang menjadi pusat kuliner dan pasar kaget. Jalan yang hanya terdiri dari dua jalur itu harus rela berbagi antara pengguna jalan dan pedagang kaki lima yang memakan badan jalan.
Aldy mengendarai motor hondanya dengan pelan. Rey yang ada dibelakangnya sejak tadi hanya diam. Sesekali merespon apa yang dibicarakan dengan kata "iya,".
Ini kali pertama ia jalan berdua dengan pria. Apalagi pria yang bisa dikatakan teman spesialnya saat ini. Ia malu jika ada teman yang memergokinya. Apalagi kalau ada yang bilang jalan sama om-om.
"Rapatkan sedikit, kenapa kau begitu menjaga jarak," tegur Aldy ketika motornya terpaksa berhenti karena ada pengguna jalan yang menyebrang.
"Pegangan. Jika kau malu-malu begitu, kau akan jatuh begitu aku menambah gas kendaraan ini," ujarnya lagi.
"Iya," jawab Rey singkat. Namun ia hanya menggeser sedikit pantatnya. Tangannya berpegangan pada sisi motor, bukan pada pinggang laki-laki itu.
Rey tidak tau dimana rumah orang tuanya Aldy. Namun laju motor itu sepertinya akan menuju ke pinggiran kota. Rey tidak mau bertanya, ia akan mengikuti kemana Aldy akan membawanya.
"Kok arahnya ke sini?" gumam Rey dalam hati.
"Apa mungkin rumah orang tuanya di luar kota?" pikir Rey lagi.
Saat di lintasan kereta api, mereka berpapasan dengan pegawai pertambangan yang bubar dari kantornya usai apel sore.
Jalanan yang mulai legang setelah jauh dari pasar tumpah, kini mulai padat lagi. Beberapa pegawai yang mengendarai mobil membuat jalan sempit yang hanya dua jalur ini harus antri.
Rey menoleh ke arah mobil sampingnya, setelah pengemudi itu membuka kaca dan menegurnya.
"Malam mingguan ya, neng?"
Rey tersenyum malu sebelum ia menjawab pertanyaan pak Wibie.
"Iya pak,".
Melihat situasi itu, Aldy juga mengalihkan pandangannya ke arah pengemudi itu dan membuka kaca helmnya.
Pak Wibie melemparkan senyumnya pada Aldy. Namun Rey tidak bisa memastikan bagaimana reaksi Aldy. Yang ia tau, begitu palang kereta naik Pak Wibie menarik gas mobilnya dan berlalu dari mereka. Sebelum kaca di tutup, sempat terdengar suaranya.
"Selamat bermalam Minggu Rey," ujarnya sembari meleparkan senyuman.
Aldy juga melakukan hal yang sama. Ia juga menyalakan mesin motornya dan mengikuti arah mobil itu berbaur dengar jendaraan lainnya.
"Kamu kenal orang itu," tanya Aldy dengan nada kurang senang.
"Tidak juga. Dia pelanggan ibu. Setiap dua hari sekali ia memloundry pakainannya pada kami,"
Tak ada tanggapan dari Aldy. Ia tetap melaju dengan pelan meski matahari nyaris tenggelam dari bumi.
Aldy membelokkan motornya pada sebuah kafe yang cukup megah di pinggiran kota. Tempat ini biasanya sering digunakan oleh pejabat-pejabat untuk menjamu rekan kerja, siminar, atau untuk acara keluarga.
Rey tau tempat ini mulai booming sejak setahun yang lalu namun baru kali ini ia bisa menginjakkan kakinya di sini. kafe dengan gaya kekinian yang menjadi tempat favorit segala usia untuk sekedar ber-selfie ria.
"Kita sampai duluan. Baguslah kalau begitu. Jadi kita bisa menyambut ayah, ibu dan saudara-saudara ku ketika mereka datang," Aldy membuka pembicaraan setelah ia memarkirkan motornya dan melangkah menuju sebuah meja yang ada di ruangan yang luas itu. Rey mengikutinya dari belakang.
"Duduklah dulu. Meja ini sudah kita pesan semuanya. Aku mau ke resepsionis dulu,"
Aldy menunjuk pada Gasebo yang terbuat dari bilik bambu dan ditengahnya tergelar meja bundar yang besar.
Tak lama, Aldy sudah datang ke tempat itu. Duduk di samping Rey. Seperti biasanya. Tubuh mereka tanpa jarak.
Aldy memandang lekat kekasihnya itu. Tubuhnya berputar 45 derajat ke arah Rey. Sepertinya Ia ingin memastikan sesuatu hal.
"Keluargaku akan datang jam 7 nanti. Bicaralah yang sewajarnya pada mereka. Aku ingin mereka punya kesan yang baik padamu dan tidak mempersulit rencana kita,"
Rey hanya menganggukkan kepalanya sambil menggigit bibir atasnya.
"Jangan takut. Mereka sudah tau tentang rencana kita,"
Dalam hati Rey ingin berteriak.
"Apapun pendapat mereka itu tidak penting. Yang perlu kau tau, aku belum siap dengan rencana pernikahan ini bodoh"
Namun Rey tidak punya keberanian untuk mengucapkan itu. Ia samakin serba salah dan tidak nyaman berada di ruanga ini
Aldy meraih bahunya. Membawa Ray dalam dekapannya. Lagi-lagi ia mengusap lembut rambut gadis yang begitu ingin dimilikinya.
Sebuah kecupan lembut mendarat di pipi kiri Rey. Lama mereka terdiam. Rey sendiri merasa ajalnya sudah semakin dekat mendapati situasi seperti ini.
Aldy tetap merangkul gadisnya dan membenamkan kepala Rey dibagi kirinya. Sesekali ia mencium lembut rambut dan pipi gadis yang ada di sampingnya itu
Sebentar-sebentar Rey mencuri pandang ke arah jarum jam yang ada di tangan kanan Aldy. Jantungnya semakin tak bisa untuk dikendalikan. Ia benar-benar ketakutan dan membuatnya setres seketika hingga hilang pikiran sehatnya.
Ia menarik tubuh dari bahu Aldy. Dengan muka yang pucat pasi ia begitu memelas pada pria itu.
"Aku tidak bisa melakukan. Maafkan aku ya,"
Seketika muka Aldy yang begitu putih menjadi merah karena kaget dan marah.
"Apa maksudmu. Kita sudah ada di sini. Sebentar lagi mereka akan datang,"
"Aku mohon. Jangan sekarang. Aku takut,"
"Jika kau tak bisa bicara ketika mereka mengajakmu ngobrol. Kau cukup tersenyum dan menjawab secukupnya. Kenapa hal seperti ini begitu sulit engkau lakukan?" suara Aldy mulai meninggi dan mukanya semakin merah karena marah.
"Tolong aku. Jangan sekarang ya," Rey tidak lagi memelas. Kali ini ia memegang kedua tangan Aldy dan begitu ingin pria itu mengabulkan permintaannya.
"Jangan membuatku malu, Rey. Mengertilah. Mereka tidak akan menelan mu mentah-mentah," ujar Aldy sekenanya. Ia sudah tidak tahu harus bicara apalagi untuk meyakinkan Rey bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Rey juga sudah tidak sanggup menahan ketakutannya. Jantung sudah siap meledak. Namun ia tidak mungkin berlari dari tempat ini untuk melepaskan diri. Tanpa ia sadari, Rey buang air kecil di tempat itu. Rey ngompol karena rasa takut yang tidak mampu ia kuasai
"Apa-apaan ini. Bagaimana bisa kau melakukan," teriak Aldy yang mengundang orang-orang yang ada di sekitar itu menoleh ke arah mereka
Aldy segera bangkit dari tempat duduknya. Celana yang ia kenakan sudah rembes oles air seni Rey. Rey begitu malu dan tidak berani menatap wajah Aldy yang begitu marah padanya. Rey berlari meninggalkan tempat itu tanpa perduli panggilan Aldy yang berteriak-teriak memanggilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
wnd🌶
terakhir baca ini setahun lalu, ceritanya ringan ,relatable dan berkesan... ahhh baca lagii dah wkwk
2022-04-10
1
Ida Irsyad
Hahah 😄😄 ngomfol...
2021-08-29
0
Matheldathelda Kadobo
Wooowww sebegitu takutnya kamu Rey?
2021-08-01
0