Menjelang dhuzur Rey tiba di kedai makan milik orang tua Dian. Tempat itu berada di sebelah barat kota menuju wilayah pinggiran. Kedai yang berupa pondokan- pondokan kecil yang di buat di pinggir sungai dengan pemandangan permatang sawah yang menghijau.
Pondokan-pondokan ini milik salah satu pengusaha daerah yang disewakan pada pedagang. Tidak heran jika variasi menu di sini banyak sekali. Tapi lebih dominan menu khas daerah Sumatera Selatan.
Orang tua Dian membuka gerai pindang iga sapi sejak destinasi kuliner ini di buka. Meski wilayah jauh dari keramaian kota namun tempat ini cukup banyak pengunjungnya terutama saat jam makan dan akhir pekan atau hari libur.
Rey menemui Dian yang tengah membantu orang tuanya. Mengantarkan pesanan ke pondokan tempat si pemesan ingin menikmati hidangan. Karena situasinya cukup sibuk, Rey menawarkan diri untuk membantu. Orang tua Dian tidak keberatan, ia juga juga sudah kenal baik dengan Rey sebagai sahabat baik putrinya.
Barulah mereka bisa santai setelah pengunjung selesai menikmati hidangan dan kembali ke tempat kerja. Rey dan Dian memilih tempat di bibir sungai agar lebih leluasa berbicara banyak hal.
Angin pedesaan dan suara aliran air membuat hati Rey menjadi tenang. Mereka memilih duduk di bawah pepohonan dan merebahkan diri di bebatuan yang besar.
"Waktu SMP aku sering kemari bersama teman-teman. Tempatnya belum seramai ini. Biasanya kami menyeburkan diri di sana dan mengeringkan badan sambil menikmati bekal yang kami bawa dari rumah," Rey menceritakan kenangan di tempat ini pada Dian.
"Sekarang sudah ramai ya. Untuk refreshing masih ok. Tapi kalau mau menceburkan diri harus ke wilayah hulu sono. Tapi kalau untuk merendam kaki masih ok," jelas Dian
"Bisa jadi tontonan pengunjung ya jika anak perawan menyeburkan diri di sini?"
Mereka tertawa bareng. Membayangkan kelucuan jika apa yang mereka bahas benar-benar terjadi.
Banyak hal yang mereka bahas. Mulai dari cerita masalah pengawas yang kiler saat ujian, kegiatan saat libur sekolah yang sudah hampir dua bulan ini. Hingga betapa jenuhnya menunggu penerimaan ijazah.
Dian berencana melanjutkan kuliah di pulau Jawa, jadi di selang kesibukan nya membantu orang tua, dia tetap mengikuti bimbingan belajar untuk tes seleksi perguruan tinggi. Rey merasa iri melihat sahabatnya ini. Orang tuanya sangat mendukung cita-cita anaknya untuk melanjutkan sekolah.
"Apa kamu tetap ingin kuliah di Jakarta, Rey?" tanya Dian
Rey tiba-tiba menjadi sedih. Pandangannya lurus ke sungai dan menarik nafas dalam-dalam.
"Sepertinya tidak. Hingga detik ini ibu belum mengizinkan. Jika aku ingin kuliah, ibu bilang kuliah di sini saja," jawabnya tanpa semangat.
"Perguruan tinggi yang ada di kota kita juga bagus Rey. Jangan patah semangat. Banyak alumni sini yang bisa diterima menjadi PNS dan perusahaan-perusahaan yang berskala nasional kok," hibur Dian.
"Iya sih," jawab Rey lemas. Dian tidak tahu jika selama ini orang tuanya sudah mengatur pernikahannya usai sekolah. Rey memang tidak pernah cerita apapun prihal Aldy. Baginya, itu adalah aib yang tak baik untuk menjadi konsumsi publik.
"Rey, sebentar ya. Ibu sudah melambai tangan tuh. Mungkin ada yang mau makan,"
"Iya. Maaf kalau aku ganggu kamu ya. Aku jadi ga enak sama bapak ibu," Rey merasa bersalah
"Enggak kok. Aku juga senang kau berkunjung. Sudah dua bulan ga ketemu temen rasanya bete," tambah Dian sembari menepuk pundak Rey dan beranjak ke arah ibunya yang melambai-lambaikan tangan.
Kini tinggal Rey seorang diri di bibir sungai ini. Ia hanya diam melepaskan pandangannya yang jauh dan sesekali melempar kerikil yang ada di sekitar tempat duduknya ke arah sungai. Percikan air membuatnya terhibur. Apalagi sesekali ia juga mendapati ikan yang melompat-lompat ke permukaan air.
Tak jauh dari tempat ini ada orang yang duduk menunggu kail pancingnya. Penduduk setempat maupun pendatang banyak yang iseng mancing disini. Konon hasil yang mereka dapat lumayan banyak. Mereka yang setia duduk menunggu kailnya sesekali teriak girang karena berhasil menangkap ikan.
"Pak Wibie ada di sini?" tanya Rey kaget ketika ia sadar ada seorang pria yang berjalan ke arahnya. Lengkap dengan seragam kerjanya dan sepatu bot yang tinggi.
"Iya. Nganterin bos besar minum kopi," jawabnya singkat.
"Mainnya jauh sekali Rey"
"Itu yang punya kedai pindang iga teman sebangkuku. Aku sering main ke sini, Pak," jelas Rey sambil memonyongkan bibirnya ke arah Dian yang sedang membantu orang tuanya
Wibie hanya tersenyum tipis melihat reaksi Rey yang sangat lucu menurutnya. Gadis dengan tinggi sekitar 170 cm dan perawakan yang lumayan bongsor ini jika tidak mengenakan seragam sekolah kelihatan lebih dewasa dari usianya.
"Kemaren sore mau kemana? Sama pacarnya ya?" selidik Wibie sembari memandang Rey dengan mimik menggoda.
"Itu Aldy pak. Dia bukan pacarku. Pria yang dipilih ibu untuk jadi suamiku," jawab Rey sekenanya.
"Sama aja itu pacarmu, Neng," tawa Pak Wibi membuat Rey merasa dipojokkan.
"Bedalah. Kalau pacaran, sang pria pasti meminta si perempuan ketika ingin berkencan. Menjemput ke rumah dengan pakaian yang rapi dan pamit pada orang tua sang gadis. Bukan sebaliknya,"
Wibie mengerutkan keningnya dan menatap Rey yang masih tenang di tempat duduknya semula. Merasa tertarik dengan cerita gadis ini, wibie menghempaskan pantatnya di samping Rey
"Kau terlihat begitu kesal," selidiknya lagi.
"Bukan lagi kesal pak. Justru dada ini sudah siap meledak," sahutnya lirih dengan nada yang mulai terisak.
"Kamu nangis, Rey?" tanya Wibie gusar.
"Gak. Saya kalau tertawa ya seperti ini," ujarnya sinis.
Wibie tertawa terbahak, mendapati kebodohan.
"Maaf. Aku tidak terbiasa melihat anak perawan menangis. bisa-bisa aku yang dituduh mencuri hatinya," canda pria itu lagi.
"Hem...," Rey hanya berdehem lirih
"Tadi pagi ibu murka," Rey melanjutkan cerita.
"Entah apa yang dilaporkan Aldy tentang insiden semalam. Aku semakin tidak mengenal ibu jika berurusan dengan mahluk yang sombong itu,"
"Aldy maksudmu?"
"La iya. Emang dikira aku bahas siapa dari tadi," Rey mulai jengkel. Namun ia ingin menumpahkan kekesalan.
"Semalam Aldy berencana memperkenalkanku pada keluarganya. Dia sudah memesan tempat di Saung Elok,"
"Tapi menurutku Aldy memang serius denganmu Rey," ujar Pak Wibie.
"Aku belum mau menikah. Lagi pula Aldy bukan tipe pria yang aku mau,"
"Kemarin aku lihat, kalian serasi kok,"
"Ih...iya karena tertutup helm,"
"Apa dia tidak setampan diriku?" canda Wibie
Rey tidak menanggapi candaan pak Wibie. Dia tetap melanjutkan ocehannya.
"Aldy sudah berumur pak. Usianya sudah 28 tahun. Tubuhnya gemuk, berkacamata tebal. Tapi fisiknya yang tidak sesuai standar selera rasa sebenarnya tidak jadi masalah untuk saya jika ia tidak angkuh, sombong dan tidak gentelman,"
"Kenapa kau menyebut begitu?" tanya Wibie lagi.
"Sudah dua tahun ini kami kenal. Selama itu pula ibu selalu menyodor-nyodorkan diriku padanya. Dengan alasan Aldy menyukaiku, ibu menganggap segala apapun menjadi halal baginya. Hampir setiap minggu aku diminta datang ke tokonya jika ia ingin bertemu. Aku menunggunya di lantai atas hingga ia menyelesaikan pekerjaannya. Awalnya kami hanya nonton tv dan ngobrol-ngobrol biasa. Semakin hari dia mulai berani bahkan kemarin sore ia mau ******* bibirku. Jika aku melayani, pasti akan terjadi sesuatu,"
"Kalian kan sudah kenal selama dua tahun. Karena sering berdua, saya rasa bukan suatu yang aneh jika tidak menimbulkan hasrat pada gadis seperti dirimu,"
"Ah, kenapa pak Wibie malah mendukung nya?" Rey menggerutu dalam hati.
"Aku bicara sesuai fakta kok. Katamu Aldy sudah dewasa. Pasti dia punya pantasi yang liar ketika hanya berdua bersamamu,"
"Memang tidak salah. Tapi yang membuatku kesal justru aku merasa ia telah membeli harga diriku. Belum pernah ia datang kerumah saat mengajak kencan. Atau sekedar keluar menikmati indahnya malam. Masa orang pacaran cuma kurungan di gudang," Rey semakin kesal
"Sabar Rey. Ambil nafas. Kau bisa jantungan jika emosi begitu,"
"Jadi kenapa ibumu bisa marah dengan mu?" Lanjut Wibie lagi. Ia semakin penasaran dengan kelanjutan cerita itu
"Semalam aku meninggal Aldy sebelum acara keluarga di mulai,"
"Kamu kabur?"
"Kabur karena malu, lebih tepatnya,"
"Maksudmu?"
"Aku begitu tegang, takut, dan jadi serba salah jika harus bertemu dengan keluarga besarnya. Semakin dekat waktu kedatangan mereka, aku semakin tidak menguasai diri. Apalagi sikap Aldy yang mengambil kesempatan itu dengan merekatkan tubuhnya. Aku menjadi semakin panas dan akhirnya aku kencing di tempat yang sudah kami pesan. Aldy menghardikku dan begitu garang mukanya. Aku meninggalkan tempat itu meski Aldy berteriak memintaku kembali. Aku cukup sakit hati ia tidak berusaha menyusul ku. Membiarkanku pulang seorang diri di malam hari,"
Wibie berusaha menahan tawa pada bagian akhir cerita yang disampaikan Rey. Namun ketika gadis itu semakin terisak dia menjadi kasihan tak mengurungkan diri untuk tertawa.
Sebegitu takutnyakah gadis ini pada calon suaminya hingga ia bisa terjencing-kencing di celana? Sungguh suatu drama percintaan yang menarik untuk dibukukan
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
wnd🌶
Pak wibie culik Rey ke jakarta haha
2022-04-10
1
Matheldathelda Kadobo
Hhhh..jadi ngakak
2021-08-01
0
Di Za 🍁DF🍁
😂😂😂😂,ngakak.d part ni。。。
2021-05-28
0