Angkot yang membawa Rey berhenti ketika sudah berada di pinggir jalan, depan rumah Rey. Gadis itu segera turun dan berlari kecil menuju ke rumahnya. Rumah terlihat begitu sepi, namun pintu depan dibiarkan terbuka lebar.
"Dingin banget," tubuh Rey tiba-tiba menggigil. Wajar saja, sudah cukup lama tubuhnya terguyur air hujan.
Terbayang oleh Rey, mandi air hangat agar suhu tubuhnya netral kembali. Perutnya juga sudah menahan lapar, terakhir kali ia hanya sarapan dan minum susu sebelum berangkat ke sekolah.
"Ibu masak apa ya?" tanya Rey dalam hati. Terbayang olehnya segelas teh hangat dan sepiring nasi akan menuntaskan masalah perutnya.
Lumunan Rey buyar seketika kala ibu muncul dari ruang tamu dan berteriak sekencang mungkin.
"Kenapa kau telat" hardik ibu begitu mendapati Rey datang dan mengibas-ibaskan rambutnya di teras rumah.
"Hujan, Bu. Angkot tidak ada yang lewat di depan sekolah. Aku harus ke simpang dulu dan menunggu beberapa waktu baru ada yang lewat"
ujarnya dengan suara yang begitu lembut. Memberi penjelasan pada ibunya.
"Sudah jam berapa sekarang? Bukannya bel pulang sebelum hujan turun," protes ibu.
"Sebelum hujan kau bisa menumpang motor temanmu. Selalu ada saja alasannya akhir-akhir ini" tambahnya lagi.
"Ini kan hari Kamis, Bu. Sesuai jadwal , ada PM matematika di kelasku. Lagi pula Rina sudah pulang lebih dulu karena jadwal PM kami berbeda" jelas Rey membela diri.
"Ah sudahlah. Ada-ada saja alasanmu itu. Cepat kau ambil loundry di mess besar. Sejak pagi penghuni barunya sudah menelpon, minta kita menjemput pakaian kotornya," perintah ibu.
"Dia calon pelanggan baru, jangan sampai kecewa dengan pelayanan kita," perintah ibu lagi sembari meninggal Rey yang masih berdiri di depan pintu. Di teras rumahnya itu.
Rey sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya memandangi punggung ibunya yang kemudian hilang di balik tembok pembatas antara ruang tamu dan dapur.
"Kenapa ibu harus menungguku pulang untuk menjemput cucian itu? Di rumah ada Kak Nay dan juga Doni!" keluh Rey dalam hati.
Tubuhnya masih berjuang menahan dingin sementara perutnya makin melilit karena lapar namun ibunya sudah menyuruhnya untuk menembus hujan kembali.
"Seharusnya ibu faham dengan keadaanku. Aku sudah kelas XII, sebentar lagi ujian. Setiap Senin hingga Kamis ada pelajaran tambahan sepulang sekolah. Kenapa ibu masih saja memaksaku untuk membantu urusan laundry dan pekerjaan rumah lainnya," sesal Rey karena sikap ibu yang tidak berpihak padanya.
Bukankan Doni sudah bisa diminta tolong untuk menjemput cucian untuk sementara waktu atau Kak Nay juga bisa membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah.
Setiap pulang sekolah aku selalu disibukkan dengan menjemput dan mengantarkan cucian, belum lagi mencuci piring yang bertumpuk-tumpuk . Membersihkan rumah dari depan hingga belakang berikut pekarangan juga.
Jika kondisinya bukan seperti sekarang, aku tidak akan mempermasalahkan hal ini. Dengan senang hati aku membantu pekerjaan ibu di rumah. Namun kali ini beda. Ujian nasional sudah di depan mata. Rey menarik nafas panjang. Dia tak habis pikir.
"Seperti tidak ada orang lagi di rumah ini!"
"Kenapa ibu memperlakukan dirinya seperti ini?" lagi-lagi Rey mengucapkan pertanyaan itu di dalam hati
Aku sendiri tidak bisa protes atas perlakuan ibu. Ibu selalu punya alasan jika aku merasa keberatan atas tugas-tugas yang selalu dibebankan padaku.
"Kakakmu juga sudah lelah mencuci dan menunggu usaha laundry kita. Jika ia lelah, sakitnya akan kambuh. Sakit apa, dia?"
Seumur hidup menjadi adiknya, aku hanya mengingat Kak Nay kerasukan setan. Ia sempat tidak sadarkan diri dan ngoceh-ngoceh tidak karuan. Itu juga karena kelakuannya sendiri, menjelang magrib ia menangis tak henti-hentinya minta dibelikan baju baru. Itu terjadi sudah lama sekali. Dulu sekali, waktu ia masih berumur delapan tahun. Ketika ingin pergi ke acara ulang tahun temannya, ia ingin baju baru yang bergaya princess.
"Apa kesurupan juga bagian dari penyakit?"
Ibu terlalu berlebihan pada kak Nay. Sikap kurang percaya diri dan tidak mau mencoba dianggap sebagai sesuatu yang perlu dilindungi. Pada akhirnya, Kak Nay menjadi sosok yang selalu bergantung pada orang lain, tidak bisa mandiri.
"Doni masih kecil jika harus ibu suruh untuk antar menjemput cucian- cucian pelanggan," alasan ibu untuk membela Adiknya itu.
Doni sudah berumur 13 tahun. Anak kelas satu SMP segala sesuatunya masih dilayani orang tua. Tidak diajarkan tanggung jawab dan membantu orang tua.
Rey hanya tersenyum kecut jika ibu sudah mengeluarkan jurus pamungkas nya itu satu persatu.
Kami bertiga dilahirkan dari rahim yang sama, dari benih ayah yang sama. Lalu, kenapa perbedaan itu begitu terlihat nyata.
"Bagaimana dengan aku?" pekik Rey
Ibu lupa. Atau memang ia tidak mau mengingatnya. Rey sejak kecil sudah dibebankan banyak pekerjaan.
Sejak usia enam tahun ia sudah diminta untuk membereskan cucian piring pagi dan sore hari, menyapu dan mengepel lantai. Sebelum berangkat sekolah ia harus membuat rumah dalam kondisi yang rapi.
Belum lagi jika ibu malas keluar rumah, dia juga yang harus ke warung, bolak balik ke pasar, atau pekerjaan lainnya. Rey lebih mirip sebagai pesuruh di rumah itu dibanding saudaranya yang lain.
Bila ia menolak, tangan ibu dengan ringannya mendarat di pipinya bahkan tak segan-segan ibu melemparkan benda apapun yang dipegangnya ketika murka padanya.
Tidak hanya itu, ocehan ibu bisa berlanjut beberapa episode atas kesalahan kecil yang dibuat oleh anak keduanya itu.
"Kenapa ibu tidak berlaku adil pada anak-anaknya?"
Kak Nay sudah selesai sekolah. Selain mencuci tidak ada pekerjaan yang dibebankan ibu padanya. Itu juga tidak mengeluarkan banyak tenaga, mesin cuci yang membantunya bekerja. Ibu yang menyetrika pakaiannya. Sedangkan aku yang menjemput dan mengantarkan cucian pelanggan. Selain itu juga masih ditambah pekerjaan rumah, membantu ibu.
Rey segera menyambar helm yang ada di atas rak sepatu dan menyalakan motornya. Ia meninggalkan rumah dengan laju kendaraan yang cukup kencang.
Ia meninggalkan ibu dengan segala kegondokkan yang ada di dadanya. Ia kembali menembus hujan dengan mengendarai motor hondanya. Tetap dengan seragam sekolahnya yang masih basah dan kotor terkena cipratan air kubangan. Kecuali tas ranselnya yang sudah lebih dulu ia lempar begitu saja di sofa ruang tamu.
Ia melaju pelan begitu melintas di jalan raya menuju mess besar. Menembus hujan yang lebat, petir dan kilat yang saling bersahutan serta cuaca yang terlihat begitu gelap.
Mess besar adalah tempat dimana para pegawai pendatang yang bekerja di perusahaan tambang bermukim. Letaknya hanya sekitar 2 kilo meter dari rumah. Sejak mess itu berdiri memang menjadi ladang bagi keluarga Rey untuk mengais rezeki dari usaha laundry.
***Ilustrasi Tokoh Ibu***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Matheldathelda Kadobo
jangan2 Rey bukan anak kandung ibunya
2021-08-01
0
NityShu
Aku mampir mom's😘
2020-10-18
0
Alya Beb Noura
Thor aku mampir membawa like LG.. Sering mampir di Karyaku jg ya thor.. Jgn lupa sering lah berbagi Jempol, tip, n vote dgn seikhlasnya.. Sucses terus
2020-09-01
0