Ayah sosok pria yang hangat, penyayang dan senantiasa lemah lembut pada siapapun dalam bertutur kata.
Seingatku, belum pernah aku mendengar suaranya yang meninggi ketika terjadi keributan- keributan kecil yang dibuat oleh anak-anaknya. Ia orang yang lemah lembut dan begitu perhatian pada keluarga.
Satu hal yang tak pernah aku lupa tentang ayah. Ia selalu menjengukku setiap malam sebelum ia beranjak ke kamarnya.
"Tidur yang rapi, kakinya jangan di getar-getar begini," kalimat yang selalu diulanginya ketika ia masuk ke kamarku.
Ia benahi selimutku yang senantiasa berantakan setiap tidur. Mengelus- elus punggungku dengan tangannya yang lembut dan membacakan alfateha saat memegang ubun-ubunku. Rutinitas yang selalu ia lakukan pada anak-anaknya.
Menurut ayah, aku mempunyai kebiasaan yang cukup lucu sebelum tidur. Begitu merebahkan diri ke tempat tidur, aku selalu menggoyang- goyangkan kaki kananku seperti orang yang meggigil kedinginan.
Jadi ayah bisa mengetahui apa aku sudah tidur atau belum akan terbaca dari getaran kakiku. Jika sudah berhenti berarti aku sudah pulas dalam mimpiku.
Entah sejak kapan kebiasaan itu muncul. Menurut ayah sejak kecil memang sudah seperti itu dan semakin aku tumbuh besar gerakannya semakin kencang.
"Anak perempuan itu kalau tidur posisi nya harus semanis mungkin, dong" canda Ayah.
"Rapikan kakinya, jangan telentang menghabiskan tempat seperti ini.
"Kenapa kakimu selalu saja kau getar-getarkan begini. Belum lagi, kalau tidur bisa berputar 360 derajat. Rusuh sekali anak gadis satu ini," protesnya lagi
"Bagaimana jika kelak kau harus berbagi tempat tidur dengan temanmu atau pasangan hidupmu. Kasian kan, Dia," guman ayah lagi.
"Belum tentu ia bisa tidur jika bertemu teman yang seperti ini," Ayah menasehati.
Aku sering mendengar ia mengulangi kata-kata itu saat ia mengunjungiku di kamar.
Pernah ayah mencoba untuk menghilangkan kebiasaan itu dengan menemaniku sebelum tidur. Kakiku dipegang olehnya dan dipijit-pijit lembut untuk menghilangkan perhatian.
Namun itu tidak pernah berhasil, justru jika ada yang menyentuh kakiku, aku malah tidak bisa terpejam sama sekali. Akhirnya ayah menyerah sendiri.
Ayah juga seorang pria yang sangat peka terhadap urusan hati. Ketika aku berselisih faham dengan ibu atau dengan kakak dan adikku, ia tidak akan marah. Justru ia akan mendekapku dan kita bicara layaknya teman.
Ayah adalah pria yang begitu sempurna yang pernah aku kenal.
"Jika kau sedih atau emosi. Diamlah sejenak. Tarik nafas yang dalam dan istighfar. Kau akan bisa mengendalikan semuanya dengan baik" begitu katanya.
"Kemarahan tidak selamanya dapat menyelesaikan masalah, justru akan memperkeruh suasana,"
"Orang yang tidak pernah marah bukan berarti dia tidak punya masalah, namun ia adalah orang yang sukses menguasai diri. Mereka lebih berpikir untuk mencari solusi dari pada mengedepankan emosi," begitu kata-kata Ayah yang kerap ia sampaikan pada anak-anaknya.
Ia tidak hanya berperan sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Ia juga menjadi teman dan kekasih pertama bagi anak perempuan. Begitulah dia.
"Keluarga mempunyai ikatan satu sama lain bagi anggota. Jika salah satu dari mereka menemukan masalah, keluarga adalah orang nomer satu yang bisa mencari penyelesaiannya,"
"Keluarga yang rukun adalah keluarga yang mempunyai ikatan yang kuat satu dengan yang lain,"
Hingga setiap ada masalah apapun kami tak segan-segan untuk curhat padanya. Bak malaikat penolong, ia dapat menyelesaikan setiap masalah yang kami temui.
Sewaktu ayah masih sehat, keluarga kami begitu bahagia. Ayah sebagai kepala keluarga dan malaikat di rumah kami senantiasa memberikan sintuasi keluarga yang harmonis.
Diantara ketiga anaknya, aku yang paling dekat dengan ayah. Menurut ayah, jika menangis aku akan diam dengan sendirinya ketika sudah dalam gendongan Ayah. Makanku juga lahap jika ayah yang menyuapiku.
"Kamu itu anak yang paling manja, Rey. Makan saja harus sama Ayah," ucapnya kala itu.
"Kalau sudah ngambek ga ada obatnya. Mesti sama ayah baru mau diem,"
"Kamu memang anak yang paling suka bikin gemes,"
Selain pada anaknya, Ayah juga sosok yang begitu mesra dengan ibu. Sering kali kami melihat ayah membuat lelucon-lelucon hanya untuk memancing senyum ibu.
Setiap malam, sebelum mereka tidur, kerap terdengar mereka bercengkrama di kamarnya. Tawa renyah acap kali terdengar dari mereka.
Ayah juga pria yang ringan tangan. Ayah senantiasa bangun begitu adzan subuh berkumandang. Sebelum berangkat kerja, ia sekalu menyempatkan diri untuk membantu ibu menyiapkan sarapan untuk kami semua.
"Nasi goreng putih dan telor mata sapi" menu sarapan yang sering ayah buat untuk kami.
Setiap Sabtu dan Minggu, ayah juga membantu ibu mencuci dan menyetrika pakaian. Semua ia kerjakan dengan senang hati. Kami juga diajak untuk bekerja sama, bergotong royong membersihkan rumah.
"Rey nyapu,"
"Nay ngepel,"
"Doni membuang sampahnya,"
Pembagian tugas yang dijadwalkan ayah setiap akhir pekan kepada kami. Dengan begitu, Ibu jadi sedikit terbantu. ia bisa istirahat dari pekerjaan mengurus rumah karena semua anggota keluarga saling bahu membahu.
Semua itu tinggal cerita yang bisa kami ingat. Setelah ia sakit, sebagian tubuhnya lumpuh. Sewaktu-waktu memorinya juga bisa terganggu sehingga susah untuk berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya.
"Ayah,"
"Senyum itu nyaris kelam dari bibirmu. Senandung merdu suaramu yang kerap kami dengar menjelang tidur, kini seolah lenyap tersapu angin,"
"Aku merindukan ayahku,"
"Ayah yang begitu hangat dekapannya dan begitu manis senyumnya,"
Sejak itu pula, aku kehilangan sosok yang begitu aku kagumi dalam hidupku. Tak ada tempat bagiku untuk berkeluh kesah ketika aku harus mehanan luka karena prilaku ibu dan saudara-saudaraku.
Aku rindu bunyi pintu kamarku yang dibuka perlahan ketika malam dan langkah kakinya yang halus mendekati tempat tidurku. Duduk di pojok tempat tidur, mengelus punggung dan memijit-mijit pelan kakiku.
Aku juga sangat rindu berada dipelukannya. Merasakan kehangatannya dan elusan pelan di rambutku ketika aku datang padanya dengan tangis dan luka hatiku.
Ayah telah berubah, begitu juga hidupku yang harus menjadi kuat karena aku ingin ayah melihatku terluka.
Sekarang ini pundak yang begitu kokoh itu tak mampu lagi untuk menopang tubuhku yang semakin tinggi dan berat. Kini aku hanya bisa berbicara satu arah pada ayah.
Meski ia kadang Hank dengan apa yang aku ucapkan, tapi cukup bagiku untuk sekedar mengajaknya tetap saling berkomunikasi. Namun jika kondisinya lagi sehat, ia bisa berbicara layaknya orang sehat dan mampu tersenyum jika aku bercerita tentang kekonyolan teman-temanku di sekolah.
Aku masih mempertahankan kesetiaanku pada laki-laki yang menjadi cinta pertamaku. Kami sering nonton tv bersama atau sekedar menghirup udara segar di luar rumah jika aku libur sekolah
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Widya Iskandar
hihihi q pun jg gtu sampai sekarang,bhkan pun Uda pnya ank msih ttp gtu low mo tdr atau sekedar
tdr pasti mainin kaki gesek²kn kebetis sebelah,tp kaki kiriku yg ku gesekkn kekaki kanan
2023-01-14
0
Matheldathelda Kadobo
sedih..jadi terharu bacanya
2021-08-01
0
Bibir Cantik
bagussssssss
2021-06-01
0