Hari ke empat mereka di hotel, Pak Hendra akhirnya meminta izin untuk tidur di atas tempat tidur karena badannya terasa pegal-pegal akibat empat malam berturut turut dia harus tidur di sofa.
"Tan, malam ini aku tidur di kasur yaa. Badanku pegal-pegal rasanya karena kelamaan tidur di sofa," ucap Pak Hendra dengan mimik memelas.
Intan ingin menolak tapi dia kasian melihat Pak Hendra.
"Ya udah kalo gitu kita gantian aja. Aku yang tidur di sofa dan Mas Hendra tidur di kasur," jawab Intan.
"Ehh ngga usah kalo gitu. Biar aku aja yang tidur di sofa," balas Pak Hendra.
"Ngga apa-apa, kasian Mas Hendra udah beberapa malam ini tidur di sofa. Supaya adil sekarang gantian," sahut Intan kembali.
"Ngga ngga. Aku ngga mau, pokoknya aku biar tidur di sofa aja," icap Pak Hendra bersikeras.
Karena Intan tak punya pilihan akhirnya dia mengalah untuk tidur satu kasur dengan Pak Hendra
"Lagian kan tempat tidurnya besar, jadi ngga apa-apalah," gumam Intan.
"Ya udah, Mas Hendra tidur di kasur aja dan aku juga tidur di kasur," ucap Intan.
"Nahh gitu dong," jawab Pak Hendra dengan wajah sumringah.
"Hahh!" sela Intan dengan pikiran curiga.
"Nggaa, maksudku masa sih cewek tidur di sofa sementara cowoknya tidur di kasur. Kan ngga etislah. Kamu jangan mikir yang macam-macam," jawab Pak Hendra ngeles sambil tersenyum senang.
"Awas yaa kalo macam-macam," ancam Intan sambil melihat ke arah Pak Hendra dengan tampang serius.
"Iya ngga," jawab Pak Hendra.
"Oke. Sekarang aku akan membagi wilayah tidur kita masing-masing. Mas Hendra di sini dan aku di sini. Dan Mas ngga boleh melewati batas ini, oke!" ucap Intan sambil menaruh bantal di antara dia dan Pak Hendra.
"Baik ratu. Hamba akan menuruti seluruh titah ratu," ucap Pak Hendra bercanda membuat Intan tersipu malu.
"Apaan sih. Tidur sana udah larut malam!" ucap Intan malu-malu langsung merebahkan diri dan menghadap ke arah lain.
Pak Hendra hanya tersenyum karena berhasil menggoda Intan. Sementara Intan pun terus tersenyum. Entah kenapa dia malah merasa senang mendapat perlakuan-perlakuan seperti itu dari Pak Hendra. Pak Hendra yang melihat Intan tersenyum malu-malu menjadi gemas sendiri. Rasanya ingin ia tepuk jidatnya dengan lembut. Lalu Pak Hendra pun merebahkan dirinya menghadap ke arah Intan yang membelakanginya.
"Tan," panggil Pak Hendra dengan lembut.
"Ya," jawab Intan pelan.
"Kamu pernah ngga jatuh cinta sama seseorang?" tanya Pak Hendra.
"Kenapa Mas Hendra nanya gitu?" tanya Intan sambil membalikkan badan menghadap Pak Hendra.
"Ngga, hanya nanya aja. Kan kamu pernah bilang bahwa kamu ngga pernah menjalin hubungan dengan laki-laki. Meskipun tidak sampai menjalin hubungan setidaknya mungkin kamu pernah jatuh cinta pada seseorang," ucap Pak Hendra sambil menatap Intan.
Sejenak Intanseperti mengingat-ingat, lalu kemudian mulai bercerita.
"Aku ngga tahu apa ini cinta atau hanya sekedar rasa suka. Dulu sewaktu baru masuk kuliah, aku pernah suka teman sekelasku. Dia orangnya baik dan selalu membantu ketika aku kesulitan di salah satu mata kuliahku. Karena memang dia adalah mahasiswa yang paling pintar di kelas. Seiring berjalannya waktu hingga masuk semester tiga, aku masih tetap menyukainya meskipun lebih sering aku berusaha untuk menghilangkan perasaan itu. Karena bagiku saat itu yang terpenting adalah cepat lulus kuliah dan membahagiakan kedua orang tuaku. Hubungan kami masih baik seperti waktu awal-awal sampai pada semester empat. Aku mendengar bahwa dia berpacaran dengan adik tingkat. Aku merasa kecewa dan cemburu hingga aku mulai berusaha menjauh darinya hingga lulus kuliah." tutur Intan sambil menghela nafas.
"Kalau suatu waktu, kamu tanpa sengaja tiba-tiba bertemu sama dia lagi. Kira-kira bagaimana perasaanmu?" tanya Pak Hendra penuh selidik.
"Aku ngga tahu, tapi sepertinya mungkin aku akan biasa-biasa aja," jawab Intan.
"Lagian dia juga hanya masa lalu aku," ucap Intan lagi.
"Kalau Mas Hendra gimana? Pernah ngga jatuh cinta?" tanya Intan mengagetkan Pak Hendra.
"Hahh, hmm, whoam....Aku kayaknya udah ngantuk Tan. Kita tidur aja yaa. Besokkan ada sidang pagi takutnya nanti bangun kesiangan," ucap Pak Hendra pura-pura mengantuk berusaha menghindari pertanyaan Intan.
Intan hanya mengernyitkan dahi menatap Pak Hendra yang langsung membelakanginya.
"Giliran aku yang nanya ee pura-pura tidur, dasar licik," gumam Intan yang terdengar oleh Pak Hendra.
Pak Hendra menutup mulutnya menahan tawa mendengar Intan menggerutu. Intan pun berbalik kembali membelakangi Pak Hendra. Beberapa menit kemudian mereka masing-masing sudah hanyut dalam buaian mimpi mereka.
Keesokan paginya seperti biasa, setelah sarapan mereka langsung berangkat mengingat macet di jakarta yang tak bisa kompromi. Namun hari ini bukan sang supir yang menyetir melainkan Pak Hendra.
"Mas, kok Mas Hendra yang nyetir, supirnya mana?" yanya Intan.
"Supirnya lagi sakit jadi ngga bisa jemput," jawab Pak Hendra bohong.
Hari ini adalah hari terkahir sidang yang akan di jalankan oleh Pak Hendra karena ada beberapa perubahan jadwal yang membuat sidang terlaksana lebih cepat. Itu artinya mereka masih punya dua hari di hotel. Karena sebelumnya Pak Hendra sudah memesan kamar untuk seminggu. Sebenarnya jadwal sidangnya memang hanya enam hari, namun Pak Hendra sengaja memesan hotel untuk seminggu. Dia berencana untuk mengajak Intan jalan-jalan di satu hari sisanya. Malam sebelumnya Pak Hendra sudah memberitahukan sang supir agar meninggalkan mobil di hotel. Dia berencana, selesai sidang nanti mengajak Intan makan malam di luar. Selama beberapa hari di jakarta mereka tak pernah sekalipun keluar hotel selain ke pengadilan.
Sidang selesai pukul empat lewat. Pak Hendra langsung mengajak Intan ke mobil dan melaju meninggalkan pengadilan. Namun tujuannya bukan ke hotel melainkan ke pantai ancol untuk untuk menikmati senja di sana.
"Loh...Mas kok kita stop di sini?" tanya Intan yang melihat Pak Hendra memarkir kendaraan di tempat yang asing baginya.
"Udah, kamu ikut aja," jawab Pak Hendra.
Pak Hendra lalu menarik tangan Intan menuju sebuah restoran dekat jembatan cinta untuk menikmati waktu senja. Waktu sudah menunjukan pukul setengah enam, matahari sudah mulai menuju ke pembaringannya. Itulah waktu yang di tunggu-tunggu oleh setiap orang yang berkunjung di situ untuk menikmati senja. Sejenak Intan kagum melihat pemandangan laut dan matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Intan tak menyangka Pak Hendra akan mengajaknya kesini. Tadinya dia berpikir mereka akan langsung pulang karena capek seharian bergulat dengan pekerjaan.
"Kamu suka senja?" tanya Pak Hendra memerhatikan Intan yang seperti tak mau berkedip menyaksikan keindahan pemandangan itu.
"Ya. Aku sangat menyukainya," jawab Intan tanpa menoleh.
Lalu mereka mulai memandang detik-detik matahari tenggelam dengan warna emasnya yang memancarkan keindahan. Tanpa bicara, Pak Hendra mengambil tangan Intan dan menggegamnya erat. Tak ada penolakan sama sekali. Mereka seperti hanyut dalam keindahan senja yang sedang mereka nikmati.
Setelah menikmati senja, Pak Hendra mengajak Intan menikmati makan malam. Setelah itu mereka langsung kembali ke hotel. Tiba di kamar mereka langsung rebahan bersamaan di atas kasur.
"Aku atau Mas Hendra yang duluan mandi?" tanya Intan setelah beberapa menit merebahkan diri.
"Bagaimana kalau berdua?" jawab Pak Hendra sambil menggoda.
"Apa? iihh dasar mesum!" seru Intan sambil melempar bantal ke arah Pak Hendra.
Pak Hendra tertawa terbahak-bahak melihat Intan dengan ekspresi paniknya yang berusaha dia tutupi.
"Siapa yang mesum? Kitakan ngga ngapa-ngapain, hanya mandi bareng," ucap Pak Hendra santai sambil terus menggoda Intan.
"Sama aja tupai," balas Intan sambil mengolok-olok Pak Hendra.
"Kok kamu manggil aku tupai? Memangnya wajahku mirip sama tupai apa?" ucap Pak Hendra dengan nada tanya yang menyiratkan bahagia.
"Iya. Tupai itukan licik kayak Mas Hendra, bilangnya mandi bareng padahal maunya yang lain," balas Intan sambil melihat dengan ekspresi manjanya.
"Loh! akukan bilangnya mandi bareng aja, ngga ngomong yang lain. kok kamu mikirnya sampai kesitu. Jangan-jangan kamu yang pikirannya mesum." balas Pak Hendra masih terus menggoda.
"Iiihhhh Mas Hendra!" pekik manja Intan sambil memukulkan bantal ke arah Pak Hendra.
Saat memukulkan bantal, Pak Hendra yang saat itu sedang tiduran berusaha menangkis dan menariknya hingga tak sengaja membuat Intan jatuh tertarik menindih dada bidangnya. Wajah keduanya hampir saling menyentuh. Sejenak mereka hanya terpaku saling berpandangan.
Degg....Dada keduanya berdegup kencang seperti orang yang sedang di kejar binatang buas. Pak Hendra hendak mencium Intan namun refleks Intan menyadari dan segera menghindar.
Sadar akan apa yang sedang mereka lakukan, Intan langsung berpindah tempat. Dia terlihat salah tingkah dan langsung berlalu menuju ke kamar mandi tanpa bicara. Tak seperti Intan yang salah tingkah, Pak Hendra justru tersenyum bahagia. Dia memang merasa deg degan tapi sesungguhnya dia begitu menikmatinya. Di kamar mandi, Intan membayangkan kejadian yang baru saja menimpanya. Rasa sesal dan bahagia menjadi satu. Dia merasa menyesal mengapa melakukan hal-hal konyol seperti tadi yang membuat dia terjatuh ke arah Pak Hendra, namun dia tak menampik ada bagian lain dari hatinya yang merasakan kebahagiaan.
"Ahhh dasar aku!" keluh Intan pada dirinya sendiri.
Akhirnya dia memutuskan untuk langsung membersihkan tubuhnya.
Setelah selesai, Intan keluar dan mendapati Pak Hendra sedang duduk di sofa dekat jendela melihat ke arah luar.
"Mas Hendra ngga mandi?" tanya Intan berusaha untuk bersikap biasa.
"Sebentar lagi. Kamu udah mandi?" tanya Pak Hendra secara serampangan.
"Emang dia ngga liat apa, kalau aku udah mandi," gumam Intan dalam batinnya namun tetap menjawab.
"udah" jawabnya pendek.
Lalu Intan mengambil remot hendak menyalakn tv. Di saat bersamaan Pak Hendra berdiri menuju kamar mandi. Selesai mandi Pak Hendra langsung menuju ke ruangan yang meyediakan berbagai minuman. Dia menyeduh kopi lalu duduk di samping Intan.
"Kenapa Mas Hendra ngga bilang kalau mau nyeduh kopi, kan bisa aku buatkan," ucap Intan saat melihat Pak Hendra membawa secangkir kopi.
"Ngga apa-apa, nyeduh kopi mah gampang," jawab Pak Hendra santai.
"Ohh gitu," jawab Intan sambil memonyongkan mulutnya.
"Ohh jadi kamu ngeremehin aku yaa. Gini-gini aku pernah jadi kerja di kafe loh," jawab Pak Hendra membanggakan diri.
"Iiihhh siapa yang ngeremehin Mas Hendra, orang tadi ngga ngomong apa-apa kok," balas Intan mengelak manja.
"Itu tadi kenapa mulutnya di monyong-monyongin kalo bukan ngeremehin namanya," dahut Pak Hendra.
"Ngga kok. mulutnya tadi monyong sendiri," jawab Intan ngeles.
"Mana ada mulut monyong sendiri kalau ngga di monyongin sama tuannya," balas Pak Hendra yang refleks hendak mencubit mulut Intan karena gemas. Namun dia tertahan karena Intan langsung menunduk.
Pak Hendra langsung menarik tangannya,
"Maaf Tan, aku..."
Belum selesai Pak Hendra bicara Intan sudah memotong.
"Ngga apa-apa kok Mas. Aku tahu Mas Hendra ngga bermaksud melakukan itu," ucap Intan masih tetap menunduk.
Sejenak suasana menjadi hening. Hanya ada suara orang bicara di balik layar tv. Masing-masing tenggelam dalam arus pikiran mereka.
"Kring kring" suara dering ponsel Intan mengagetkan mereka.
Intan langsung berdiri mengambil ponselnya yang terletak di meja dekat jendela. Tertera di layar nama Dina.
"Halo, assalamua alaikum Din," sapa Intan.
"Waalaikum salam Tan, kamu ngapain?" tanya Dina.
"Aku lagi nonton tv. Kamu ngapain?" tanya Intan kembali.
Pak Hendra yang sedang menonton sesekali melihat ke arah Intan yang sedang mengobrol dengan sahabatnya.
"Tidur-tiduran aja. Kamu kapan jalan-jalan kesini say? Aku udah kangen loh," tanya Dina.
"Masih belum tahu say. Muda-mudahan setelah dari Jakarta ada waktu luang," balas Intan.
"Hah! Kamu di lagi di Jakarta sekarang?" tanya Dina kaget.
"Iya say. Aku udah hampir seminggu disini menemani Pak Hendra menyelesaikan urusannya." jawab Intan.
"Berdua aja?" tanya Dina kepo.
"Iya," balas Intan singkat.
"Aku curiga loh Tan," ucap Dina serius.
"Curiga apaan? Kamu jangan sembarangan yaa," ucap Intan.
Pak Hendra terlihat memperhatikan Intan yang sepertinya serius ngobrol.
"Aku curiga Pak Hendra suka sama kamu Tan. Ngapain dia hanya mengajak kamu tanpa asistennya?" ujar Dina.
" Ngga mungkinlah dia suka sama aku. Dia memang sengaja ngga mengajak asistennya karena kalau dia mengajaknya nanti pekerjaan di Surabaya ngga ada yang ngurus," jawab Intan sambil berbisik agar Pak Hendra tak mendengarnya.
"Kamu kok suaranya kecil banget kayak orang bisik-bisik?" tanya Dina.
"Ada Pak Hendra di sini," jawab Intan masih berbisik.
"Kalian sekamar?" tanya Dina sedikit berteriak yang kemudian menyadarkan Intan.
"Nnngga. Kamu jangan sembarangan yaa. Tadi itu ada berkas-berkas yang mau di kerjakan jadi dia minta bantuan, makanya sekarang dia ada ada di kamarku," ucap Intan bohong.
"Aduh! Aku kok bisa keceplosan kalau Pak Hendra ada di sini," batin Intan.
"Ohh. Kirain kalian sekamar. Yaa udah kamu lanjutin kerjaanmu. Nanti Pak Hendra bisa ngamuk kalo dia kelamaan nunggu kita ngobrol." ucap Dina bercanda yang membuat Intan tertawa terbahak-bahak sehingga refleks Pak Hendra melihat padanya.
Intan langsung menutup mulutnya ketika sadar Pak Hendra sedang melihat ke arahnya.
"Kamu tuh yaa suka sembarangan bicara. Ya udah nanti kalau udah di Surabaya aku kabarin. Nanti kita jalan bareng, ok," ucap Intan.
"Ok, bye. Assalamu alaikum" balas Dina.
"Waalaikumussalam," balas Intan sambil menutup telpon.
"Siapa? Serius banget ngobrolnya," tanya Pak Hendra pura- tak tahu.
"Dina," jawab Intan singkat.
"Oh," balas Pak Hendra.
"Tan, aku boleh minta tolong ngga?" tanya Pak Hendra.
"Iya Mas," jawab Intan.
"Kamu capek ngga?" tanya Pak Hendra lagi.
"Ngga," jawab Intan singkat.
"Kalo kamu ngga capek, aku minta tolong yaa. Pijitin punggungku, rasanya pegal sekali," pinta Pak Hendra.
"Oh, ya udah mana minyaknya?" tanya Intan.
"Aku ngga punya. Kamu punya nggak?" tanya Pak Hendra balik.
"Sebentar," jawab Intan sambil menuju ke lemari.
Intan kembali dengan sebotol baby oil di tangannya.
"Aku tengkurap atau duduk aja?" tanya Pak Hendra.
"Duduk aja. Nanti kalau tengkurap malah bukan hanya punggung tapi seluruh badan," jawab Intan.
"Emang kamu mau pijitin aku seluruh badan?" tanya Pak Hendra mulai menggoda.
"Iihh ngga maulah," jawab Intan manja.
Pak Hendra pun duduk dibawa sofa yang diduduki Intan. Intan menahan nafasnya ketika Pak Hendra membuka bajunya sehingga tubuh atletisnya sangat terlihat jelas olehnya.
"Sini mendekat! Belakang Mas Hendra harus nempel di sofa," pinta Intan.
Pak Hendra membalik badannya dan mendekatkan dirinya ke Intan. Seketika Intan menjadi gugup, namun dia berusaha untuk mengatasinya dan mulai memijat punggung Pak Hendra.
"Tadinya aku mau minta tolong ke pihak hotel untuk mencarikan tukang pijat, tapi aku batalkan" ucap Pak Hendra.
"Kenapa di batalkan?" tanya Intan.
"Rasanya aku nggak Ikhlas badanku di di pegang-pegang oleh orang lain selain kamu," ucap Pak Hendra nyerocos saja.
"Iiihh apaan sih Mas Hendra ini," balas Intan sambil memukul punggung Pak Hendra.
"Aww sakit tau," ucap Pak Hendra sambil meringis.
"Ouwh maaf Mas. Kamu sih suka godain aku," balas Intan dengan suara manjanya.
"Siapa yang godain. Aku ngomong serius kok," ujar Pak Hendra.
"Udah udah," ucap Intan berusaha mengakhiri pembicaraan karena malu.
"Tapi pijitanmu lumayan oke juga. Ngga kalah sama tukang pijit profesional, serius" ucap Pak Hendra.
"Hii mulai lagi. Aku ngga mau pijitin lagi nih," ancam Intan pura-pura.
"Oke oke aku berhenti. Tapi jangan stop dong yaa, pliss," ujar Pak Hendra berbalik ke arah Intan sambil memelas.
"Yaa udah, aku pijitin lagi," ucap Intan sambil memijit kembali punggung Pak Hendra.
Sekitar lima menit akhirnya acara pijit memijit selesai dan Pak Hendra kembali memakai bajunya.
"Kamu ngga mau aku pijitin?" tanya Pak Hendra bercanda sambil menatap Intan.
"Maksudnya?" tanya Intan pura-pura tak mengerti.
"Masa kamu ngga ngerti pertanyaanku?" balas Pak Hendra dengan senyum menggoda.
"Iiihh apa-apaan sih Mas Hendra," teriak Intan manja sambil berlalu.
Pak Hendra tertawa terbahak-bahak. Dia rasanya bahagia sekali karena baru saja mengerjai Intan dengan godaan-godaan nakalnya. Pak Hendra menengok ke arah jam. Waktu sudah menunjukan pukul setengah sepuluh.
"Waktu rasanya begitu singkat saat bersama dengan orang yang kita cintai," gumam Pak Hendra.
Tak lama kemudian Intan muncul dari tempat mengambil air dan mendapati Pak Hendra sudah berbaring dia atas tempat tidur.
"Malam ini aku masih tidur di atas kasur kan?" tanya Pak Hendra sambil melirik Intan.
"Iya" jawab Intan singkat.
"Yesss" teriak Pak Hendra yang membuat Intan mengernyitkan dahi heran.
"Maksudnya?"
"Yaa aku senang aja karena aku ngga tidur lagi di sofa yang membuat punggungku jadi pegal," ujar Pak Hendra mengalihkan keheranan Intan.
"Ohh" balas Intan cuek sambil menonton tv.
Setelah sekitar lima belas menit mereka menonton, akhirnya Pak Hendra tertidur sedangkan Intan masih asyik duduk menikmati acara tv. Tak lama kemudian Intan pun menyusul Pak Hendra ke alam mimpinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
apakah Hendra dan Intan berjodoh..
lanjut kak thor
2023-03-04
0
Rin's
q msh baca nih thorr,,cerita nya bagus gak mbosenin
2021-08-20
1