Ch 2- Meminta Restu

Dua hari setelah percakapannya dengan Pak Hendra via pesan, akhirnya Intan memutuskan untuk membicarakan ini dengan kedua orang tuanya. Intan adalah anak ke enam dari tujuh bersaudara. Mereka adalah keluarga yang sangat sederhana. Orang tua Intan adalah petani. Intan sangat beruntung karena bisa mengenyam bangku kuliah dibanding kakak-kakaknya yang hanya sebatas lulusan SMP dan SMA.

Intan punya adik yang masih bersekolah di bangku SMA. Dulu waktu masih sekolah, Intan adalah siswa yang berprestasi. Sejak masih SD sampai SMA, Intan selalu masuk tiga besar. Itulah mengapa orang tuanya sangat menaruh harapan besar padanya, kelak suatu hari nanti Intan bisa memperbaiki perekonomian keluarganya.

Dari luar rumah sudah terdengar radio pengajian dari masjid. Rumah Intan memang hanya terletak beberapa meter dari masjid. Intan kaget karena waktu sudah hampir magrib. Segera dia berkemas untuk bersiap-siap ke masjid. Sambil berkemas, dia berbisik sendiri "Mungkin sebaiknya aku membicarakan rencanaku setelah makan malam."

Setelah sholat magrib, Intan segera menyiapkan makanan untuk makan malam. Itu sudah menjadi kebiasaan dalam keluarganya. Makan malam diadakan ketika selesai sholat magrib. Setelah siap, Intan memanggil kedua orang tuanya dan adiknya untuk menyantap makan malam dengan menu yang sederhana.

Selesai makan dan membersihkan meja, Intan pun menghampiri kedua orang tuanya yang sedang duduk bersantai diruang keluarga. Ruangan itu ukurannya tidak terlalu luas. Di ruangan itu, hanya ada sebuah kursi kayu, lemari yang sudah hampir lapuk serta meja yang diatasnya ada TV jadul berukuran 21 inci yang dikirimkan oleh kakaknya yang menikah diluar kota hanya karena supaya mereka tak lagi menonton di rumah tetangga. Terlihat bapak dan ibu Intan sedang menonton TV.

Kehidupan mereka yang begitu pas-pasan membuat Intan tumbuh menjadi gadis yang tidak manja. Ia harus bekerja keras agar kehidupannya kedepan lebih baik daripada orang tuanya. Selain itu, ia selalu mengingat pesan orang tuanya untuk selalu bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan kepadanya. Setelah duduk, Intan pun membuka pembicaraan.

"Pa, bu, ada yang mau Intan bicarakan," ucap Intan sambil melihat ke arah bapaknya yg duduk di atas kursi kayu serta ibunya yg duduk berdampingan dengannya.

"Mau bicara apa, Nak?" tanya bapaknya sambil melihat ke arah Intan

Bapaknya adalah sosok lelaki pendiam. Sesekali bicara hanya kalau itu memang diperlukan. Namun, beliau adalah sosok yang sangat penyayang dan pekerja keras. Itu terlihat dari garis-garis wajahnya yg terlihat keras dan garang karena sering diterpa sinar matahari. Beliau adalah laki-laki yang tak pernah mengeluh sedikitpun. Bekerja dari sebelum terbit matahari hingga menjelang magrib. Semua ia lakukan hanya untuk membahagiakan keluarganya. Bagi Intan, sosok bapaknya takkan pernah tergantikan oleh sosok lelaki manapun.

Ibunya, hanya diam mendengar anak dan bapaknya bicara. Sambil sesekali menengok ke arah suami dan anaknya. Ibunya adalah perempuan yang sangat penurut dan tak pernah membantah. Dia sangat menghargai suaminya, apalagi ketika sedang bicara. Dia tak pernah sedikitpun menyelah pembicaraan.

"Jadi, begini pak, bu," ucap Intan sambil menatap keduanya saling bergantian.

Intan pun menceritakan tentang tawaran dari Pak Hendra dua hari yang lalu serta tak lupa juga menjelaskan siapa Pak Hendra dan bagaimana dia bisa mengenalnya. Bapak dan ibunya hanya diam mendengarkan tanpa menyelah pembicaraan. Mendengarkan orang lain bicara tanpa menyelah adalah tanda kita menghargai org lain. Dan orang lain akan senang jika diperlakukan seperti itu, mereka merasa dihargai.

Itu salah satu pesan yang selalu orang tuanya tanamkan padanya. Dan itu memang mereka lakukan sebagai contoh bagi anak-anak mereka. Seperti saat anaknya bicara, mereka hanya diam mendengarkan sampai selesai. Selesai bicara, Intan pun langsung meminta pendapat kepada keduanya, terutama kepada bapaknya. Karena memang sebagai kepala keluarga, pendapat beliau selalu menjadi patokan utama ketika memutuskan sesuatu.

Terlihat bapaknya diam sejenak, lalu kemudian mulai bicara. "Nak, kalau kamu merasa itu yang terbaik untuk dirimu, bapak dan ibu hanya bisa mendukungmu. Bukankah juga itu sesuai dengan yang kamu inginkan? Setidaknya menjadi awal untuk kamu menuju kesitu. Pikirkan baik-baik, minta petunjuk kepada Allah. Meskipun berat bapak dan ibu akan mengikhlaskan kamu, Nak. Hanya ingat pesan bapak, tetap jaga diri dan jangan pernah lupakan ibadah. Karena kita tidak ada apa-apanya." ucap bapaknya sambil menghela nafas panjang.

Intan begitu khidmat dan meresapi kalimat per kalimat yang diucapkan bapaknya. Tak terasa dua bulir air matanya mengalir dari sudut matanya. Intan memang mempunyai hati yang sangat lembut. Sedikit saja kata-kata yang menyentuh hati, pasti dia akan meneteskan air mata. Apalagi yang bicara adalah orang tuanya.

Seketika, diapun memeluk bapaknya dengan erat dan menangis di pelukannya. Dia merasakan kerinduan yang sangat dalam. Apalagi dengan elusan rambut dari bapaknya, membuat dia semakin tak bisa menahan air matanya.

Ibunya, yg melihat pemandangan itu ikut meneteskan air mata.

Lalu, setelah memeluk bapaknya, gantian Intan memeluk ibunya dengan erat sambil air matanya terus mengalir. Karena dia sadar, dia akan berpisah lagi untuk waktu yang lama.

Sambil mengelus rambut anaknya, ibunya membisikkan kata-kata. "Ibu akan selalu mendoakanmu, Nak."

Hanya itu yang keluar dari mulut ibunya. Doa yang begitu tulus dari seseorang yang sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk Intan. Intan pun semakin terisak kala mendengar kata-kata dari ibunya. Rasanya dia tidak mau jauh dari orang tuanya. Namun, semua itu juga untuk kebaikan mereka. Di tengah isak tangis keduanya, terdengar suara radio pengajian dari masjid yang menandakan sudah hampir memasuki waktu Isya. Intan pun melepas pelukannya dan menghapus air matanya.

"Kalau Intan menerima tawarannya, beberapa hari ke depan mungkin Intan sudah harus berangkat. Karena posisi itu harus segera terisi untuk memudahkan pekerjaan Pak Hendra," ucap Intan dengan suara serak dan berat seperti sukar untuk mengatakannya.

"Iya, Nak. Kamu harus menyiapkan segalanya dan harus bisa memberikan yg terbaik untuk Pak Hendra," ucap bapaknya dengan wajah yang serius.

"Iya, Pa. Intan akan berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk bapak dan ibu," ucap Intan.

"Ya sudah. Bapak mau siap-siap untuk sholat."

"Iya, Pa." balas Intan.

Sebenarnya, Intan masih mau tetap di kampungnya dan mencari pekerjaan yang tak terlalu jauh dari tempatnya. Dia merasa harus mengurus kedua orang tuanya yang sudah semakin tua, karena di rumahnya hanya ada adik laki-lakinya yang sedang bersekolah. Intan pun baru sebulan di kampungnya dan masih menikmati kerinduannya bersama orang tuanya. Karena semenjak kuliah diluar kota, Intan sangat jarang pulang. Terhitung tiga tahun lebih kuliah, dia hanya dua kali pulang kampung. Sehingga, rasanya terlalu terburu-buru kalau dia harus kembali lagi ke Surabaya. Namun, ini adalah kesempatan satu-satunya untuk memulai meniti karir sesuai dengan yang dia inginkan yaitu menjadi seorang pengacara.

Terpopuler

Comments

Alya Dewina Maryam

Alya Dewina Maryam

masih nyimak..

2021-04-07

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 50 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!