"Kring kring..."
Bunyi alarm shalat subuh membangunkan Intan. Sambil mengucek matanya, Intan kaget mendapati dirinya yang hanya menggunakan handuk. Diapun segera mencuci wajahnya dan mengambil air wudhu kemudian shalat. Selepas shalat, Intan membereskan dan merapikan tempat tidurnya. Tak lupa dia mengabari kedua orang tuanya di kampung kalau dia sudah berada di Surabaya.
Rasanya waktu begitu cepat, padahal kemarin dirinya masih di kampung halamannya dan sekarang tiba-tiba dia sudah berada disini." hhhmm," dehem Intan.
Intan berdiri bermaksud untuk ke kamar mandi, namun tiba-tiba langkahnya tercekat dengan suara dering ponselnya.
"Siapa sih pagi-pagi bgni sudah nelpon," gumam Intan.
Diapun menghampiri ponselnya yang berada di atas meja dekat tempat tidur. "Pak Hendra" nama yang muncul di layar ponsel.
"Halo, assalaamu alaikum, " sapa Pak Hendra.
"Waalaikumussalam Pak," jawab Intan.
"Kamu sudah di rumah?" tanya Pak Hendra.
"Iya pak," jawab Intan.
"Ya sudah. Nanti sekitar jam sepuluh saya akan kesana," ucap Pak Hendra.
"Baik Pak," balas Intan.
Masih pagi Pak Hendra sudah menelpon Intan. Memastikan bahwa dia sudah berada di rumahnya. Sebenarnya dia sudah tahu karena supirnya telah memberitahukan sebelumnya. Namun, dia rasanya tak puas jika tidak memastikannya sendiri.
Di kamarnya, Intan tiba-tiba menjadi gugup. Mungkin karena sudah lama dia tak pernah bertemu dengan Pak Hendra, dan ini juga terasa begitu mendadak. Mulai dari tawaran kerja itu hingga dia berada di sini, semua terjadi kurang dari seminggu.
Tiba-tiba Intan teringat kalau dia belum mengabari sahabatnya Dina. Kemudian dia mengambil kembali ponselnya dan mengirim pesan.
"Assalamualaikum Din, aku udah di surabaya," tulis Intan pada pesannya.
"Waalaikumussalam. Alhamdulilah. Kamu dimana sekarang?" tanya Dina.
"Aku udah di rumah Pak Hendra. Rumahnya berada di sebuah kawasan perumahan, tapi aku ngga tahu ini perumahan apa namanya. Karena ketika tiba tadi malam, aku masih tertidur," ujar Intan.
"Syukurlah kalau begitu. Tan, udah dulu yaa. Aku mau siap-siap untuk pergi kerja. Nanti kita kontekan lagi yaa," ucap Dina segera menyudahi pembicaraan karena waktu sudah hampir pukul delapan.
"Iya Din," balas Intan.
"Assalamualaikum," ucap Dina.
"Waalaikumussalam," balas Intan lalu menutup telpon.
Setelah mengabari Dina, Intan langsung turun ke bawah. Dia bermaksud untuk membantu Bi Ani di dapur. Dapurnya sangat luas, di dalamnya terdapat satu meja makan yang berukuran sedang dengan empat kursi di sisi kiri dan kanannya. Tak jauh dari situ, terletak kulkas yang berukuran agak besar dan berbagai peralatan dapur lainnya.
"Selamat pagi, Bi," sapa Intan dengan senyum mekarnya.
"Pagi Non Intan," balas Bi Ani.
"Intan Bi," jawab Intan memperingatkan.
"Iya Neng, Maaf, bibi lupa," balas Bi Ani sambil tersenyum.
"Iya nggak apa-apa, Bi."
"Bi, apa yang bisa saya bantu?" tanya Intan kemudian.
"Nggak usah Neng, biar bibi saja yang kerjakan semuanya," jawab Bi Ani.
"Nggak apa-apa, Bi. Aku udah biasa kok," ujar Intan lagi.
Karena Intan maksa, akhirnya Bi Ani mengijinkannya membantu. Pekerjaan seperti ini sudah Intan lakukan sejak kecil. Jadi baginya ini bukanlah sesuatu yang baru.
"Bi, bibi udah lama kerja disini?" tanya Intan.
"Udah tiga tahun Neng," jawab Bi Ani.
"Sama suami bibi juga?" tanya Intan lagi.
"Iya, Neng."
"Pak Hendra sering kesini ya, Bi?" tanya Intan penasaran.
"Jarang Neng, tuan kesini kadang dua minggu sekali, bahkan biasanya sampai satu atau dua bulan," jawab Bi Ani.
"Ohh!" balas Intan sambil mengangguk angguk.
"Neng, sudah waktunya sarapan, biar bibi siapkan," ujar Bi Ani di tengah mereka sedang ngobrol.
"Yaa udah biar saya bantu," ucap Intan.
"Nggak usah Neng, biar bibi saja," tolak Bi Ani lagi.
"Udah nggak apa-apa," ucap Intan sedikit memaksa.
Akhirnya Bi Ani lagi lagi menurut. Dia tahu pasti Intan akan tetap memaksa jika tidak diijinkan. Setelah siap, Bi Ani mempersilahkan Intan untuk sarapan dan dia pun langsung menuju ke dapur. Namun, baru beberapa langkah, Intan langsung memanggil Bi Ani untuk sarapan bersama. Bi Ani menolak. Intan tak mau kalah. Dia lagi-lagi memaksa dan akhirnya mau tak mau Bi Ani pun mengikuti perintahnya. Tak lupa Intan menyuruh Bi Ani untuk memanggil suaminya agar sarapan bersama.
Setelah sarapan, Intan meminta ijin kepada mereka untuk melihat-lihat pemandangan di luar rumah. Namun, tak lama berjalan jalan di halaman, Intan teringat harus mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Pak Hendra.
Intan bergegas masuk ke rumah. Sebelum naik, dia melewati ruang tamu dan melihat jam dinding yang terletak di atas sebuah lemari pajangan. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan. Intan masih mempunyai waktu satu jam untuk mempersiapkan diri.
Pukul 10.15 menit, Pak Hendra tiba dengan mobil sport warna merah yang di kendarainya sendiri. Intan mendengar ada suara mobil berhenti di depan. Sontak saja tiba-tiba dia merasa gugup.
"Aku kenapa sih. Kok jadi gini," gumam Intan.
"Aku mesti gimana, harus keluar atau nunggu di dalam kamar saja sambil nunggu Bi Ani manggil. Aduhh... Aku kok jadi bingung gini. Ahh, lebih baik aku nunggu saja, pura-pura nggak tahu kalau Pak Hendra sudah datang," ucap Intan bicara pada dirinya sendiri.
Akhirnya Intan memutuskan untuk tidak keluar dari kamarnya. Di lantai bawa, Pak Hendra terlihat sedang berbincang dengan Bi Ani. Dan tak berapa lama setelah berbincang, Pak Hendra pun naik ke lantai atas.
Intan yang berada di kamarnya semakin gugup mendengar derap langkah sepatu yang semakin lama semakin jelas. Namun, tak lama kemudian suaranya hilang.
"Hhmmm...." hela Intan yang sedari tadi menahan nafasnya.
"Mungkin dia masuk ke kamarnya," bisik Intan pada dirinya.
Tidak tahu kenapa Intan benar-benar gugup. Padahal ini bukan pertama kali dia bertemu dengan Pak Hendra.
Di dalam kamar, Pak Hendra membuka sepatunya. Kemudian keluar dan duduk di sofa putih yang terletak tak jauh dari pintu kamar Intan. Dia mengambil ponselnya dan mengirim sebuah pesan kepada Intan.
"Aku di ruangan lantai atas, kamu keluar!" pinta Pak Hendra dalam pesannya.
Intan mengambil ponselnya dan melihat pesan yang masuk. Intan semakin gugup. Sambil menghela nafas panjang akhirnya dia membalas pesan itu.
"Iya pak," balas Intan.
Sebelum Intan keluar, dia menyempatkan diri untuk sedikit mengoles bibirnya dengan lisptik yang berwarna pink lembut sehingga semakin menambah seksi bibirnya yg mungil dan tipis. Intan memakai rok berwarna hitam yang sedikit panjang melewati lutut serta sebuah kemeja putih lengan panjang dgn bagian leher agak sedikit terbuka. Rambutnya yang panjang sepinggang dibiarkan terurai. Diapun bercermin selama beberapa detik untuk memastikan tak ada yang aneh dengan penampilannya.
Ini adalah hari pertama dia bertemu dengan calon bosnya sehingga dia ingin menampilkan yang terbaik. Tak lupa juga Intan menyiapkan jawaban-jawaban yang sekiranya akan di tanyakan oleh Pak Hendra.
Setelah yakin, diapun keluar dan karena memang pintu kamarnya terletak tak terlalu jauh dari sofa tempat duduk Pak Hendra, maka ketika membuka pintu otomatis arahnya langsung tertuju pada Pak Hendra.
Pak Hendra yang sudah duduk di sofa seketika memandang ke arah Intan dan merekapun beradu pandangan. Degg...!!!
Intan merasa jantungnya seperti mau copot apalagi pandangan Pak Hendra yang tajam seperti tak mau lepas darinya. Intan menjadi kikuk dan salah tingkah. Menyadari itu, Pak Hendra segera melepas pandangannya dan mempersilahkan Intan duduk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Alya Dewina Maryam
mulai ada rasa2 😀😀
2021-04-07
0