Finding You, Again
Seorang gadis dengan mata biru gelap dan rambut pirang berkilau, perlahan - lahan bangun dan memandang sekelilingnya dengan bingung. Kakinya terasa lemas dan tak bertenaga. Dengan usaha yang luar biasa, akhirnya dia bisa berdiri.
Seolah-olah menyambutnya, beratus-ratus pintu muncul dengan tiba-tiba membentuk sebuah lorong yang tanpa ujung. Dengan langkah gontai, gadis itu mencoba membuka salah satu pintu. Tapi pintu itu terkunci. Tak menyerah, Ia mencoba pintu yang lain, berharap pintu berikutnya akan terbuka. Tapi harapannya tidak terkabul.
Dengan nafas yang mulai memburu karena panik, dia mulai menggedor pintu-pintu itu. Semakin dia berjalan rasa putus asa itu juga semakin besar, karena dia mulai sadar, bahwa dari semua pintu itu tak satupun yang terbuka untuknya. Akhirnya isakkan lemah mulai terdengar..
"Tolong aku.."
^^^^^^^^^^^^^
"Lui... Lui.. "
Seseorang memanggil dan mengguncang bahuku dengan lembut. "Hmmm .." desahku malas, tapi tetap mencoba untuk membuka mata.
"Oh My God.. Oh My.. Kau sadar!!" pekik suara itu dengan girang.
What?? Apa aku pingsan lagi?
Dengan usaha yang lumayan keras, akhirnya aku berhasil membuka mata. Pandanganku mulai fokus mencari asal suara yang menggumamkan namaku tanpa henti.
"Charlie?? Kaukah itu?" tanyaku, sambil mencoba mengangkat tangan kananku mencarinya.
Berat sekali.
Aku hanya bisa menggeser tanganku sedikit. Kemudian aku merasa ada tangan yang menggenggam tanganku.
Aku menoleh ke samping. "Yeah.. It's Charlie" gumamku.
"What's with the tears?" tanyaku. Mendengar pertanyaanku, air mata Charlie turun semakin deras, di pipi yang mulai keriput di makan usia itu. Sedu sedan mulai terdengar juga.
"Apa aku pingsan lama sekali?" tanyaku.
"Berapa lama aku pingsan?" ulangku, melihat Charlie masih tak menjawab pertanyaanku.
"Oh..no" desahku.
"Berapa lama? Sebulan? Atau setahun? " Tanyaku bertubi - tubi.
"Gumpalan sialan" Aku mengutuk dengan kesal.
"Tidak..tidak" kata Charlie, dia menghapus air matanya, kemudian bangkit dan memelukku erat.
"Kau pingsan lagi tadi malam" tambahnya, berbisik karena tenggorokannya yang masih tercekat oleh tangis.
"Heehh? Tadi malam? Lalu kenapa kau menangis? "
Aku heran, ini sama sekali tidak seperti Charlie yang biasa. Aku mencoba untuk mengangkat tangan dan membalas pelukannya.
Tapi..sekali lagi tidak berhasil.
Tunggu...!! Aku mencoba untuk menggerakkan kaki dan hasilnya hanya sedikit hentakkan saja.
"Kau yakin aku pingsan semalam? Kenapa seluruh badanku tidak bertenaga?" tanyaku, setelah Charlie melepas pelukannya dan duduk di tempatnya semula.
"Ya.. Kau pingsan semalam" jawabnya sambil memandangku heran. "Kau tak ingat?"
"Tidak"
"Wait.. ..kenapa aku pingsan? Kenapa aku tidak bisa mengingat apa yang menyebabkan aku pingsan? Ini aneh"
"Kau tak ingat?" tanya Charlie, matanya melebar tak percaya dengan kata-kataku barusan.
Aku menggeleng pelan. Sambil mencoba untuk menggali memori dari sebelum aku pingsan.
Nihil...!
Aku benar-benar tidak ingat apapun.
"Apa yang terakhir kau ingat?" tanya Charlie dengan nada khawatir. Aku memejamkan mata, menenangkan diri dan mulai mengingat-ingat.
"Oh..Oh.." seruku, ketika satu bayangan akhirnya mulai terbentuk samar di pikiranku.
"Kita makan malam dengan Oscar di bawah. Oscar bilang dia akan pergi ke Mesir. Kemudian aku menyuruhnya mencari kekasih di sana" ujarku puas, ingatanku mulai terasa semakin jelas.
Charlie tiba-tiba berdiri dari kursinya, sambil memandangku dengan mata melebar terkejut.
"Aku akan memanggil Oscar" katanya sambil berjalan terburu-buru keluar dari kamarku.
"Apa?? Tunggu..tunggu. Charlie..?" Panggilku, mencoba untuk mencari kejelasan tentang apa yang terjadi.
"Oscar!!" kudengar teriakan dan langkahnya menuruni tangga di depan kamar.
"Ada apa ini?"
Aku ingat dengan jelas tadi malam aku makan bersama Charlie dan Oscar. Charlie memasak makanan kesukaanku yaitu sup dengan banyak daging sapi. Oscar bilang dia akan pergi ke Mesir untuk mengurus bisnisnya, kemudian aku mengatakan padanya untuk segera mencari pacar, karena ..........
Dan kosong!!!!
Ingatanku terhenti di titik itu. Aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku katakan setelahnya. Hitam..kosong.
Apa ini?? Aku menutup mataku kembali. Mencoba mengurutkan kejadian di memori itu. Tapi tak juga berhasil, memoriku hanya berkisar pada kejadian itu. Aku juga tidak bisa mengingat apa yang aku lakukan sebelumnya.
Aku memandang sekeliling kamar, semuanya masih sama seperti yang aku ingat. Sisi timur kamar terdiri dari kaca tanpa tembok, balkon penuh dengan bunga berada di luar sisi kaca. Tirai berwarna biru muda terjuntai di kedua sisinya.
Rak buku yang penuh dengan jurnal balet dan beberapa piala yang aku menangkan berada di pojok kamar. Pintu geser yang sewarna dengan tembok kamar, menyembunyikan lemari besar yang berisi baju dan sepatu milikku.
Sofa nyaman berbentuk bulat juga masih teronggok dengan manis di sebelah meja tempat alat riasku. Di depannya pesawat televisi hitam tertanam di tembok. Aku masih mengenali semuanya dengan baik-------tapi kenapa aku tak bisa mengingat kejadian tadi malam?
Langkah kaki mulai mendekat ke pintu kamar. Aku mengalihkan pandangan dan melihat Oscar masuk dengan nafas terengah-engah, karena menaiki tangga sambil berlari mungkin.
"Pagi..!!" sapaku dengan tersenyum. Karena tahu, kakakku semata wayang itu akan khawatir jika aku menunjukkan sesuatu yang tidak beres.
"Kau sudah sadar" ucapnya, sambil berjalan menghampiriku. Seperti Charlie, dia memelukku erat, sampai separuh badanku terangkat dari tempat tidur.
"Oscar!" seruku kaget. "Ada apa ini?" tanyaku.
"Aku memang pingsan, tapi kata Charlie aku pingsan tadi malam. Seharusnya kau tidak usah terlalu khawatir" kataku sambil memandang heran ke arah Charlie, yang sekarang berdiri di dekat pintu. sambil menggigit bibir bawahnya, serta meremas-remas kedua tangannya di depan perut.
Setelah melepaskan pelukannya,Oscar duduk di tepi ranjang tempatku berbaring.
"Kau tak ingat kenapa kau pingsan?" tanyanya sambil menatap wajahku tajam.
Aku kembali menggeleng bingung. "Aku hanya ingat kita makan malam, kemudian kau bilang akan pergi ke Mesir hari ini. Jam berapa penerbangannya? Kenapa kau belum bersiap?" Aku memandang pakaian di tubuhnya yang jelas bukan jenis pakaian yang akan dipilihnya untuk perjalanan bisnis.
"Sweety..mmmmmm" Dia mengusap rambutku lembut, sambil mengerutkan dahi berpikir tentang sesuatu.
"Apa??" tanyaku tak sabar, karena Oscar terdiam agak lama setelahnya.
Dia tidak pernah memanggilku Sweety, kecuali ada sesuatu yang sangat gawat setelahnya. Yang aku ingat jelas, dia memanggilku Sweety, ketika dia memberitahuku tentang kabar jika Mom tidak selamat dari tembakan itu.
Oh.. Not now!!
Kenapa ingatan yang datang padaku adalah yang paling menyakitkan?
Aku memejamkan mata mencoba mengusir ingatan itu dari otak, sebelum air mata berlomba untuk turun dan akan membuat Oscar semakin khawatir. Aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diri.
"Lui----Aku pergi ke Mesir sebulan yang lalu" katanya pelan, tetapi bagiku itu terdengar seperti pukulan palu yang menghantam kepalaku.
Aku bisa mendengar ledakan kepanikan di otakku.
"Ap..Apa??"
"Tidak mungkin!!!". Aku menggeleng panik.
"Tenang..tenanglah..oke?" Oscar memelukku sambil terus mengusap kepalaku lembut. " Kau tidak ingin pingsan lagi bukan? Tenangkan perasaan dan pikiranmu"
"Aku telah memanggil dokter sebelum naik tadi. Sebentar lagi dia akan datang dan memeriksa keadaanmu. Oke?".
Aku mengangguk pasrah. Seolah membenarkan kata-kata Oscar, bel pintu menggema di penjuru rumah.
"Aku akan membuka pintu" Kata Charlie sambil berjalan keluar kamar.
Oscar kemudian bangkit dan duduk d kursi sebelah ranjang. Dia mengusap-usap tanganku dan berbisik "Everything just gonna be fine..everything just gonna be fine. I promise."
Dengan pandangan mata yang tidak tertuju padaku, entah kenapa aku merasa jika kata-kata itu tidak hanya ditujukan untukku.
"Apakah keadaanku memburuk hingga ingatanku mulai hilang sedikit demi sedikit? Aku kehilangan ingatanku!" bisikku pelan pada diriku sendiri, mencoba untuk mencerna kenyataan yang tiba-tiba ini. Oscar yang juga mendengarnya, tersentak.
"No..No. Kau tidak tahu itu. Karena itu aku memanggil dokter agar semua jelas." Jawabnya dengan sedikit keras. "Jangan pikirkan apapun, kita tunggu penjelasan dokter nanti. "
Cklek.. !!
Suara pintu terbuka membawaku kembali dari lamunan membingungkan.
Cantik--- batinku, wanita berumur sekitar 35-an berambut dark brown pendek, membawa tas cokelat, berpakaian rapi dengan rok selutut biru tua dan blazer sewarna, berjalan menghampiriku, dengan Charlie mengikuti di belakangnya.
"Siapa ----" aku urung menyelesaikan kalimat, karena kata itu telah membuat semua pergerakan di kamar itu berhenti serempak.
Charlie yang separuh jalan menutup pintu kamar, sekarang memandangku dengan muka pucat, demikian juga Oscar yang berada dalam posisi setengah berdiri dari ranjang, sedangkan wanita itu menghentikan langkahnya sebelum mencapai ranjang, sambil memandangku dengan wajah yang menggambarkan kekagetan amat sangat.
"Kau tidak mengenalku?" tanyanya pelan, sambil meneruskan langkah dan duduk di pinggir ranjang.
Aku menggeleng dengan lemas. Karena memang aku tidak mengenali siapa dia. Tapi dari reaksi yang ditunjukkan oleh mereka semua, seharusnya aku mengenalinya.
This is big problem!
Charlie kembali terisak pelan. Sambil berkata akan menyiapkan minum di bawah, dia keluar dari kamar. Aku tahu, dia hanya ingin agar aku tidak melihatnya menangis. Oscar kembali duduk tanpa berkata apapun. Dia hanya memandang kosong kepada wanita itu.
" A...aku Dokter Alva, aku dokter yang telah merawatmu sejak 2 tahun yang lalu" Ucap wanita itu tersendat, mungkin karena masih terkejut dengan keadaanku.
Aku merasa aliran darah telah meninggalkan wajahku. "Dua tahun?? Bagaimana----- "
Aku memejamkan mata, lidahku seolah lumpuh karena benar - benar tidak tahu apa yang harus kukatakan. Bagaimana bisa aku tak mengingatnya??
Emosiku mulai meledak dan mencari jalan keluar melalui sudut-sudut mata yang mulai menghangat dan basah.
"No..no..please don't cry" bisik Oscar lembut sambil mengusap air mataku. "Aku tak ingin kau pingsan lagi" ujarnya
"Jangan khawatir" kata dr. Alva, sambil mengusap tanganku.
"Mungkin ini hanya sementara, kau akan bisa mengingat semua lagi nanti" tambahnya sambil tersenyum ceria.
Aku tahu senyum itu hanya untuk menghibur agar tangisanku berhenti. Tapi senyum tulus itu menular, aku berusaha tersenyum agar air mataku terhenti.
Ya Eluira...kau bisa. Setelah apa yang kau lalui selama ini kau pasti bisa!!!
"Good girl" dr. Alva memuji setelah melihat senyum simpulku.
Dia meraih tas yang terletak di sebelah ranjang, mengeluarkan stetoskop dan mulai memeriksa.
Sesaat sunyi, hanya suara peralatan dokter yang satu persatu dikeluarkan dari tas itu yang terdengar.
"Apa yang kau rasakan?" tanyanya sambil melihat angka di alat pengukur tekanan darah.
"Lemas---lemas sekali. Aku bahkan kesulitan menggerakkan kaki tanganku. Dan lapar.... like----super----duper-- hungry" jawabku dengan heran.
Dr. Alva tersenyum. " Nah itu sudah terjawab, kau lemas karena lapar sayang" dia mencolek hidungku lembut.
"Jangan terlalu khawatir, aku akan menyuruh Charlie memasak bubur yang super lezat setelah ini. Istirahatlah, tenagamu akan kembali pulih pelan-pelan"
"Aku akan meminta Charlie untuk membuatnya sekarang" sahut Oscar setelah sekian lama membisu, beranjak pelan meninggalkan kamar.
"Sekarang aku akan menguji ingatanmu. Sejauh mana kau bisa mengingat" Dr. Alva mengambil buku catatan dari tasnya dan mulai menulis.
"Aku akan bertanya, jawablah sesuai ingatanmu yang ada oke? Jangan terlalu dipaksa. Biarkan ingatan itu mengalir sesuai apa adanya. Siap???" tanyanya. Aku mengangguk.
"Nama lengkap??"
"What??" kataku sambil memandangnya tak percaya.
"Jawab sayang.." katanya manis.
"em.. Eluira Ignes Delmora"
"Good, Saudara"?
"Oscar Gustin Delmora"
Aku memutar bola mata, karena tak percaya. Mustahil aku akan melupakan namaku atau Oscar.
"Wanita yang berambut abu-abu tadi? "
Ini keterlaluan.
"Doc...." kata-kata ku segera di putus olehnya.
"Jawab sayang..ini penting, aku harus tahu apa saja, siapa dan kapan saja ingatan mu ada...Please?" Dia memandangku dengan senyum memohon.
"Okey.. Charlie Dexter" Jawabku
"hmmmm?" sahutnya sambil mengangkat kedua alisnya.
"Alright..Alright.. Charlotta Dexter, aku dan Oscar memanggilnya Charlie karena lebih mudah mengucapkannya ketika kami kecil. Dia mengasuh aku dan Oscar dari bayi sampai sekarang, and I love her so much" cerocosku, dengan terlalu bersemangat mungkin.
"That's my girl" Dr. Alva bertepuk tangan pelan sambil tersenyum lega.
"Alamat?"
"Park Castle, London, England" aku mulai malas membantah, dan menjawab dengan pasrah.
"Orang tua?" lanjutnya
"Dad?.. Daniel Delmora. Dad sekarang ada di Perancis mengurus vineyard setelah Mom..." suaraku menghilang karena tenggorokanku tiba-tiba tercekat mengingat soal Mom.
"Setelah Mom meninggal, Dad menyerahkan perusahaan pada Oscar kemudian pindah ke Perancis untuk menenangkan diri" lanjutku dengan sedikit terengah, menahan air mata yang kembali datang.
"Maaf sayang. Aku harus bertanya soal ini juga. Aku tak ingin hal ini menjadi luka baru, jika ternyata kau melupakannya juga" Dia mengelus tanganku lembut.
"Aku tidak akan mungkin melupakan Mom.." bisikku sambil menahan tangis.
"Of course dear..., kita lanjutkan atau kau ingin istirahat dulu?"
"Lanjutkan saja, aku ingin pikiranku teralihkan secepatnya".
"Ceritakan soal Oscar padaku"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu, ini akan mudah.
"My only brother, 29 tahun. Sekarang bekerja sebagai CEO di perusahaan milik Dad, playboy akut--"
"Heyyy.. Aku dengar itu" teriak Oscar yang rupanya telah kembali dan berada di depan pintu.
"Opsss!!!" Aku pun terkekeh. Dr. Alva tersenyum sambil mencubit hidungku "Jangan menggoda kakakmu"
"Itu kenyataan Doc, fakta.." ujarku, sambil tersenyum jahil.
"Aku masih bisa mendengarnya.." sahut Oscar sambil berjalan masuk. "Kurasa aku perlu hadir agar evaluasi ini hasilnya akurat " gerutunya.
"Sorry..." ucapku, tanpa suara sambil memandangnya.
"Never mind.. Aku maafkan karena keadaanmu masih seperti ini" dia menjawab sambil tersenyum setengah hati.
"Ceritakan tentang dirimu" dr. Alva melanjutkan, tidak terusik dengan pertengkaran kami.
"hmm... 23 tahun, mantan balerina---pekerjaan---hmmm, aku tak ingat..!!" ucapku dengan ngeri. Bagaimana aku bisa tak mengingat tentang hal ini juga? Panik mulai menyerang lagi.
"Karena kau memang tidak bekerja" sahut Oscar tiba-tiba, sambil menatap ke lantai. "Setelah kau berhenti menari balet kau--- "
Jeda sejenak.. "---kau hanya di rumah" lanjutnya masih tanpa memandangku.
"Benarkah???" Tanyaku tak percaya. What kind of life is that?
Seolah mendengar pikiranku, Oscar kembali menjelaskan "Kau berhenti balet karena kau semakin sering kehilangan kesadaran ketika tampil bukan ?"
Aku mengangguk membenarkan.
Aku mengingat hal ini dengan baik, aku sangat kecewa dan sedih ketika itu, kemudian Oscar mengirimku ke Perancis agar aku menenangkan diri, kemudian---
Nothing!!----Aku lupa apapun yang terjadi setelahnya.
"Ini gila" ... Ucapku tanpa sadar. "A--aku melupakan apapun yang terjadi setelah itu"
"Eluira... Cukup! Jangan terlalu memaksakan diri untuk mengingat" dr. Alva menegur. "Tenanglah sebentar!!"
Aku menarik nafas panjang, mencoba untuk tidak panik lagi.
"Tapi itu sebelum Mom meninggal. Aku ingat Mom meninggal tertembak. Tapi aku tak ingat apapun tentang pemakaman sebagainya"
Ingatan bercampur-aduk mulai berkelebat dengan cepat di benakku. Ingatan yang berupa potongan ganjil yang tak aku mengerti.
"Kau tidak akan ingat. Kau pingsan dan kemudian koma selama kurang lebih satu tahun setelah tahu Mom meninggal." Oscar menyambung dengan suara serak karena emosi.
"Tunggu " kataku. " Aku ingat tentang koma selama setahun itu, tapi aku tidak bisa mengingat bagaimana aku terbangun--This is weird. Apa yang terjadi?" Gelisah mulai menguasai hatiku lagi.
"Lui--- Aku mohon hentikan memikirkan hal yang menambah beban otakmu. " dr. Alva menggenggam tanganku erat sambil memandangku tajam.
"Baiklah!!---tapi dok.."
"Stop.!" Potongnya. " Jawab saja pertanyaan yang aku ajukan oke..?"
Aku kembali mengangguk pasrah. Aku menarik nafas panjang untuk meredakan aliran ingatan kacau yang menyerbu otak.
"Soal gumpalan di kepalamu---kau ingat juga penyebabnya?" Tanya Dr. Alva kemudian.
"Ya..aku ingat semuanya" jawabku
"Kecelakaan pesawat hampir 4 tahun yang lalu, penerbangan ke Swiss. Hanya 4 orang yang selamat termasuk aku, koma selama 3 bulan karena kepalaku terbentur dengan keras, terdapat gumpalan darah beku di otakku. Tidak besar, tidak bisa di operasi, aku harus hidup dengannya seumur hidupku. Dan gumpalan itu juga, yang membuatku bisa pingsan secara tiba-tiba" Jelasku, dengan lancar.
"Haaa---bahkan aku masih bisa mengingat kecelakaan itu dengan jelas, seharusnya aku melupakan kejadian itu" tambahku pahit.
Terbayang jelas, detik-detik horor ketika pesawat yang aku tumpangi tiba-tiba oleng. Belum lagi teriakan ngeri dari penumpang lain. Aku sungguh berharap aku bisa lupa tentang ini.
"Jangan seperti itu! Semakin sedikit yang terlupa semakin baik" kata dr. Alva.
"Ini yang terakhir dan terpenting, oke? Apa kau masih ingat apa saja yang harus kau hindari, agar tidak pingsan lagi secara tiba- tiba?"
Aku mengangguk sambil menjawab, "Stress berlebihan, kelelahan akut, menangis berlebihan hingga sakit kepala, dan alkohol terlarang juga---apakah lengkap?" Aku menguraikan segala larangan yang aku ingat.
Gumpalan di kepalaku akan bereaksi dan membuatku pingsan, jika ada sesuatu yang mempengaruhi kerja otak. Stres parah, menangis berlebihan, alkohol yang memabukkan --atau kurang lebih hal-hal yang akan menyebabkan sakit kepala-- adalah beberapa hal\, yang harus aku untuk hindari seumur hidup.
Aku masih merasa bersyukur karena sudah sejak dulu, aku hanya meminum alkohol ringan sejenis wine atau champagne saat perayaan.
Itu juga yang membuat dokter menyuruhku berhenti menjadi balerina. Stress saat latihan dan juga tekanan di atas panggung, sering membuatku tak sadarkan diri.
Dengan hati hancur, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti. Hanya itu yang bisa aku lakukan karena kelemahanku ini sangat mengganggu penari lainnya saat pertunjukan.
Aku sudah terbiasa dengan semua larangan itu sekarang.
Dr. Alva tersenyum puas mendengar jawabanku, kemudian menuliskan sesuatu di catatannya. "Kau mengingat keluargamu dan keadaan tubuhmu dengan baik, aku rasa itu cukup bagus"
"Entahlah doc, aku sepertinya melupakan sesuatu yang sangat penting" ujarku sambil memejamkan mata erat. Kegundahan aneh tidak juga hilang dari hatiku.
"Tentu saja kau akan merasa seperti itu. Semua memori kehidupan itu penting. Kehidupan itu sendiri adalah sekumpulan kenangan" ucapnya, sambil memandangku dengan kalem.
"Then I'm done. I have no life" sahutku dengan muram. Aku bahkan tak bisa mengingat siapa Dr. Alva, padahal melihat sikapnya saat ini, aku yakin dia sangat dekat denganku.
"Apa maksudmu? Kau masih memiliki kakakmu, Charlie, bahkan ayahmu, walaupun dia tak ada di sini. Merekalah kehidupanmu, kau bisa dengan mudah membangun kenangan yang baru dengan mereka bukan?" nasehat Dr. Alva sambil mengusap rambutku lembut.
Dan sekali lagi perkataannya terdengar sangat masuk akal. Dua orang yang paling aku sayangi --dan tentu saja mereka juga menyayangiku-- ada di sini bersamaku.
Dan karena duniaku yang sangat sempit, kemungkinan besar ingatanku yang hilang hanya berisi tentang hari-hariku bersama Charlie dan Oscar. Aku melirik Oscar yang duduk di sampingku. Dia masih diam, sambil menunduk.
"Kau benar dokter!" ujarku, mencoba mengatakannya dalam suara yang lebih bersemangat. Aku tidak tahan melihat Oscar yang sekarang terlihat kacau karena mengkhawatirkanku.
Dr. Alva tersenyum, "Gadis pintar, tidak usah terlalu memikirkan hal ini. Yang terpenting adalah sekarang kau sadar dan sehat" ujarnya sambil beranjak membereskan peralatannya.
"Oscar, bisa bicara sebentar di luar? " tanyanya pada Oscar. Dia mengangguk dan berjalan keluar. Apa yang terjadi padanya? Wajah khawatirnya terlihat sedikit aneh.
Melihat pandangan curiga dariku, dr. Alva kembali menjawil hidungku sambil tertawa.
"Aku hanya ingin membicarakan soal jadwal kontrolmu ke rumah sakit. Kau harus di CT Scan lagi agar aku bisa tahu penyebab ini semua..Oke? Jangan terlalu curiga".
"Aku hanya merasa kalian akan menyembunyikan sesuatu dariku" rajukku kesal.
"Tidak..tidak. Aku berjanji akan memberi tahu hasil diagnosa CT scan itu nanti kepadamu dan Oscar secara bersamaan. Jangan merajuk. Bisa hilang nanti cantikmu " godanya ceria.
Mau tak mau, aku tersenyum mendengarnya. "Sudah ya.. Sampai jumpa di rumah sakit" Dia mencium lembut keningku. Kemudian berjalan keluar menyusul Oscar.
Secercah rasa bersalah muncul lagi di hatiku.
Bagaimana bisa aku tidak mengenalinya? Sikapnya baik dan lembut sekali padaku. Sementara aku merasa dia adalah orang asing. Aku benar- benar menginginkan ingatanku tentang dr. Alva kembali, sehingga bisa membalas sikap lembutnya kepadaku sesuai dengan yang seharusnya. Aku menarik nafas panjang dengan kesal.
Gumpalan sialan!!!
Dan satu lagi yang tak kumengerti, seberapa lapar diriku sampai menggerakkan badanpun tak bisa!!!! Ini konyol sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Tata
Lebih dari
2022-08-02
0
Kucing Manis
aku dataaaang kak Aiiiii
2022-02-09
0
Yuyun Sri Wahyuni
akhirrnyaa aq maampiirr jugaa...msih bab 1 uda trasa puzzle yg hrua di susun 😁😁
2022-01-23
0