"Apa kau harus memakai sepatu itu?" tanya Zeno, sambil menahan senyum.
Ketika melihat untuk kesekian kalinya, dia melihat aku memperbaiki posisi kaki.
"Charlie's death stare almost kill me, when I said I'll wear flat shoes with this dress" jawabku, yang segera membuatnya tertawa.
"Aku masih beruntung, untuk sekarang dia memberiku wedges shoes, kurasa diaa masih ingin aku bisa berjalan ketika sampai rumah lagi nanti" tambahku dengan cemberut.
"You're cute" kata Zeno sambil menatapku lembut ketika tawanya reda.
Pandangan itu seketika membuat jantungku kembali melompat aktif. Aku sungguh berharap ini berhenti, sehingga aku bisa menolak ajakannya untuk berkencan dengan yakin dan tenang
Tapi tentu saja tidak, karena disinilah aku berada. Duduk berdua dengan Zeno di mobilnya.
Untuk kencan kami yang ke-5 ini, Zeno mengajak aku ke acara soft opening restoran milik salah satu temannya. Karena itu, aku memakai cocktail dress panjang berwarna abu-abu perak, lengkap dengan sepatu tinggi. Zeno memakai jas rapi, tanpa kumis hari ini.
Kata Zeno, temannya akan tertawa sampai mati, jika melihatnya memakai kumis itu.
Dan katanya lagi, karena yang datang hanya tamu undangan, tidak akan ada yang mengganggu -- mengambil foto untuk majalah, ataupun meminta tanda tangan padanya misalnya-- kami\, jadi dia tidak tak perlu memakai penyamaran apapun malam ini.
Aku masih bisa merasakan pandangannya tertuju padaku. "Eyes on the road please" kataku sambil menoleh padanya.
"Yes..my princess" katanya dengan nada hormat yang berlebihan dan tertawa. Aku pun tersenyum juga.
He's fun, nice and handsome. Apa lagi yang kau cari Lui?
Aku mengulang-ulang kalimat itu dalam hati seperti mantra, agar perasaan gelisah yang biasa aku rasakan musnah. Gelisah itu membuatku ingin menghentikan mobil dan berbalik pulang. Tapi detak jantung yang tidak tenang, membuatku ingin tinggal dan menikmati malam ini sampai selesai.
Jovi benar, I have one twisted mind....
Restoran itu luar biasa mewah, di langit-langitnya, entah berapa chandelier yang tergantung, lengkap dengan panggung, piano, dan juga dance floor yang besar.
Zeno membawaku --menggandengku lebih tepatnya-- berjalan mengikuti salah satu pelayan yang menunjukkan meja untuk kami. Suasana di restoran itu belum terlalu ramai\, hanya beberapa meja yang telah terisi.
Setelah duduk dan mengamati sekitarnya, Zeno tiba-tiba mengerutkan dahinya sambil menatap ke arah salah satu meja yang telah terisi. "Aku tak percaya dia mengundangnya juga" desisnya kesal.
Aku mengikuti pandangan Zeno dan melihat kearah meja yang telah terisi.
"Kau mengenal mereka?" tanyaku. Zeno menatapku tak percaya, kemudian tersenyum simpul. "Kau memang tak pernah gagal memberiku kejutan Lui"
"Ya, aku mengenal mereka, ah bukan.. tapi dia, hanya yang laki-laki. Aku beberapa kali syuting dengannya. Tapi dia benar-benar brengsek!! Aku tidak menyangka Nyad mengundangnya juga"
Nyad adalah pemilik restoran ini sekaligus teman Zeno, dia memperkenalkannya padaku,ketika Nyad datang untuk menyambut kami di depan pintu.
"Tapi dia memang lumayan terkenal dan mempunyai banyak koneksi, langkah promosi yang bagus untuk sebuah tempat yang baru beroperasi" Katanya lagi, dengan nada memaklumi.
"Dia tidak terkenal, aku bahkan tidak mengenalnya!" sergahku agak kesal, pria itu terus memberi pandangan mesum pada waitress perempuan yang sedang lewat, padahal wanita yang menjadi pasangannya berpenampilan luar biasa cantik.
Tawa terbahak Zeno, membuat beberapa tamu di sekitar kami menoleh. Aku hanya tersenyum lebar sambil menaruh telunjuk di mulutku, isyarat agar dia menurunkan volumenya.
"Jika tolok ukur yang digunakan adalah kau, maka aku kasihan sekali pada semua orang di sini, kau tidak mengenal satupun dari mereka bukan? Berarti mereka semua tidak terkenal" Sambil masih terkekeh pelan, Zeno menambahkan.
Aku hanya bisa menyetujuinya dalam tawaku. Karena memang aku tidak mengenal satupun tamu yang telah hadir saat itu.
Dan tentu saja acara malam ini sempurna. Musiknya, makanannya, pelayanannya, semua tanpa cela.
"Aku rasa restoran ini akan sukses" ujarku, ketika kami berjalan kembali dari lantai dansa.
"Kurasa juga begitu" Kata Zeno, sambil menyendok dessert yang telah disediakan di meja kami.
"Ini juga sempurna.." kataku sambil mendesah puas, desert dengan tatanan indah itu benar-benar lezat.
Cake dengan rasa cokelat kopi itu sangat lembut, hampir meleleh ketika menyentuh lidahku, dan tidak terlalu manis, karena rasa manis yang berlebihan kadang akan membuat rasa cake seperti ini membosankan.
Musik yang lembut berasal dari dentingan piano terdengar, aku melirik ke arah panggung. Ada seseorang yang memainkan piano di sana, merdu sekali. Dentingan piano itu menyebarkan atmosfer sentimental ke seluruh penjuru restoran.
Aku mencoba menikmati dentingan lembut piano itu, berharap agar suara itu menenangkan batinku yang bergejolak.
Tapi aku salah lagi mengenai ini. Karena dentingan itu justru membuatku semakin gelisah.
"Kau suka rasa coklat dan kopi" kata Zeno sambil menatapku.
"Kau tahu?" Aku menatapnya dengan heran.
Aku cukup yakin aku tidak pernah mengatakan apapun soal ini padanya.
"Tentu saja!!" Jawab Zeno sambil tersenyum geli. "Kau selalu memesan minuman, atau kue apapun dengan rasa itu" tambahnya.
"Benarkah?" Aku tidak sadar telah melakukannya.
"Aku tak tahu kau akan memperhatikan ataupun mengingatnya" ucapku dengan malu, aku tidak berani lagi memandang ke depan. Aku tahu dia masih menatapku seperti tadi.
"Tentu saja aku perhatikan, karena itu kau" ucapnya dengan lembut, tangannya terangkat ke atas meja kemudian menggenggam tangan kiriku yang bebas tanpa sendok.
He's nice Lui, dia perhatian sekali padamu...
Aku kembali merapal mantra untuk mencegah diriku mengibaskan tangannya.
Denting piano itu sekarang benar-benar mempengaruhiku dengan nyata.
Tidak hanya membuatku gelisah, setiap dentingan yang kudengar seolah mengiris hatiku dengan pisau yang tidak nampak, rasa apa lagi ini?
Aku tidak mengerti.
Mantra yang aku rapal berulang-ulang dalam hati itu, tidak bisa lagi membendung gelisah yang terus menggerus.
Tiba-tiba Zeno mengeratkan genggaman tangannya,
"Lui, Bisakah aku mengharapkan sesuatu yang lebih dari hubungan kita?"
Jangan! Seruku dalam hati.
Aku mungkin amatir dalam hubungan asmara, tapi aku tahu benar, arah apa yang akan diambil Zeno dalam pembicaraan ini. Dan aku tak ingin mendengar sisanya.
"Aku sangat menikmati setiap waktu yang kita habiskan bersama. Aku sebenarnya tidak berharap banyak saat pertama kali mengajakmu keluar. Tapi seperti biasa, kau selalu penuh kejutan"
"Do you want to be mine Eluira? Karena aku sangat menginginkan kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama"
Aku bisa merasakan aliran darah ke wajahku berhenti, karena tiba-tiba saja aku merasa dingin.
Zeno mengucapkan semua itu dengan lemah lembut, tapi ucapannya ternyata sanggup menjebol tembok pertahanan diri yang selama ini aku bangun.
Lelehan rasa bersalah menenggelamkan pikiranku.
Oh.. kumohon jawab saja iya, rintihku dalam hati.
Kau selalu gembira bersamanya. Apa lagi yang kau inginkan? Aku memohon dengan seluruh batinku.
Tapi mulutku seolah tidak mendengarnya, karena detik berikutnya yang keluar dari sana adalah suara isakkan pedih menyuarakan kesakitanku sendiri.
Aku tahu sekali pilihan apa yang akan kuambil setelah ini. Dan aku sama sekali tidak menyukainya. Hatiku merasa ini adalah pilihan yang benar. Tapi aku tidak menyukainya, tidak sedikitpun.
"Lui.. Ada apa? kau pucat sekali" Mata Zeno melebar karena melihatku terisak semakin keras. Dia pasti tidak menyangka, jika pernyataan cintanya akan disambut oleh tangisan merana.
"I'm sorry, I'm really sorry Zeno, aku tidak bisa" ucapku dengan berat di antara isakkan.
Aku akan melukainya, aku akan memadamkan cahaya dari mata hijau menawan itu.
Aku juga tahu sebagian hatiku yang menginginkannya, akan sakit dengan penolakan ini.
Tapi aku tidak bisa lagi mengabaikan rasa gelisah dan rasa bersalah yang menggerogotiku, hari demi hari ketika aku bersamanya.
"Aku harus pergi"
Aku bangkit dan dengan sisa pandanganku yang telah tertutup genangan air mata, aku mencoba mencari pintu keluar restoran.
"Aku akan mengantarmu" kata Zeno, suaranya agak serak, penuh dengan emosi.
Ya Tuhan, aku benar-benar melukainya.
Dari suaranya saja aku bisa menebak seberapa dalam luka yang aku torehkan di sana. Aku tidak berani memandang wajahnya, karena pasti akan lebih buruk keadaannya.
"Tidak, aku akan naik taksi" kataku sambil meraih tas kecil bawaanku malam ini, berhasil menghindari tangan Zeno yang mencoba mencegahku.
"Lui, biarkan aku mengantarmu" kata Zeno agak keras, karena aku telah berlari menjauhi meja tempat kami makan.
Dan syukurlah aku berlari ke arah yang benar, karena tidak lama, aku sudah berada di tepi jalan. Aku beruntung, karena ada taksi yang sedang lewat. Tanpa banyak pertimbangan aku segera naik.
Pandangan mataku benar-benar kabur sekarang. Air mata, tidak bisa lagi aku tahan, mereka telah membanjiri pipi pucatku dengan deras.
Aku sangat bersalah dalam hal ini.
Aku memberinya segala tanda bahwa aku menikmati kebersamaan kami. Tapi kemudian aku menginjak perasaanya tanpa ampun. Aku benar-benar kejam padanya. Aku seharusnya menuruti perkataan Jovi, yang menyuruhku untuk menolaknya jauh-jauh hari.
Tapi aku menikmati seluruh perhatiannya untukku, aku tidak ingin kehilangan semua itu.
Kau egois Lui!! Aku mencela diriku sendiri dalam hati.
Kumohon berhentilah menangis, batinku. Kau tidak bisa pingsan di taksi, Lui.
Akal sehatku yang masih sedikit tersisa mencoba mengingatkan.
Aku menghapus air mata dan menyebutkan alamat apartemen Jovi sebagai tujuan. Aku tak bisa pulang dengan keadaan seperti ini. Charlie akan panik.
Aku akan pulang setelah menenangkan diri.
\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~
Jovi membuka pintu dengan muka tercengang, karena melihat keadaanku yang sangat kacau.
Tanpa peduli apapun, aku menghambur ke pelukannya dan menangis. Menangis dan meraung dengan keras.
Aku melepaskan semua rasa yang telah menggayuti hatiku selama beberapa bulan ini. Aku selalu menahan tangis dan emosi apapun yang muncul karena memoriku yang berkabut dan tidak stabil.
Tapi sekarang tidak, aku membiarkannya mengalir keluar. Satu demi satu gelombang emosi mulai menerjangku.
Sakit itu,
Hampa itu,
Sunyi itu,
Gelisah itu,
Pedih itu,
Rindu itu,
Jovi sama sekali tidak bertanya. Dia hanya membawaku ke sofa dan membiarkanku menangis dengan leluasa di pahanya.
Tapi siapa yang aku bodohi? Kepalaku tidak akan mampu menahan serangan emosi sedahsyat ini.
\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~
Aku membuka mata karena terang yang menembus kelopak mataku.
Dream catcher berwarna biru tergantung di langit-langit adalah benda yang pertama kali aku lihat. Ini kamar Jovi. Aku menoleh kesamping dan melihat Jovi berbaring miring terlelap di sebelahku.
Kurasa aku pingsan semalaman batinku, matahari pagi menerobos dari tirai jendela Jovi.
Sial!!... aku pasti membuat Oscar cemas, belum lagi Charlie, dia akan membunuhku pastinya.
Kesadaranku yang perlahan kembali, membuat semua akibat perbuatanku malam tadi mulai terbayang.
Zeno!!.....Ughhh. Rasa mual karena bersalah memenuhi perut kosongku sekarang.
Hebat sekali Lui!!! Dalam beberapa jam saja kau telah mampu membuat semua orang di sekitarmu susah dan khawatir.
Kemudian sudut mataku menangkap sesosok tubuh yang tidur berselimut di atas sofa di depan TV Jovi.
Apartemen Jovi, tidak memiliki sekat apapun kecuali, untuk dapur dan kamar mandi, membuatku dengan bebas bisa memandang seluruh isinya.
Aku mengenali rambut pirang madu yang menyembul dari balik selimut.
Yeah.... aku bisa merasa akan ada badai amarah yang datang sebentar lagi. Aku telah membuat Oscar tidur di sofa Jovi semalaman.
Setelah merasa kekuatanku terkumpul 100%, aku bangkit dan mencoba turun dengan perlahan untuk menuju ke kamar mandi.
Gagal... karena gerakan ranjang saat aku turun, Jovi membuka matanya.
Melihatnya hendak bersuara, aku memberinya isyarat diam dengan jariku, dan menunjuk ke arah Oscar, yang belum terusik. Jovi mengangguk pelan dan kembali berbaring sambil memandangku dengan mata bertanya.
Aku menunjuk ke kamar mandi dan kemudian berjalan dengan pelan agar tak menimbulkan suara.
Setelah melakukan apa yang kubutuhkan, aku membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati. Aku ingin mencegah datangnya badai lebih lama lagi.
"Kau baik-baik saja" Suara berat Oscar karena baru bangun tidur membuatku terlonjak. Dia telah duduk di sofa tempatnya tidur sambil memandang tajam ke arahku.
Hmmm........ badai datang lebih cepat dari pada perkiraanku.
"Aku baik-baik saja" jawabku dengan pelan sambil berjalan ke arah sofa tempat tidur Oscar,
Aku menghempaskan pantat ke lantai, duduk tepat di hadapannya sambil memeluk lutut. Pasrah menerima nasibku
Selama beberapa menit, Oscar hanya memandangku tanpa suara. Kesunyian yang mencekam. Tapi aku melihat sekelebat rasa khawatir di mata marahnya.
Yah.. aku harap tak akan ada badai besar. Mungkin hanya hujan disertai petir.
Jovi mendekat sambil membawa 3 kopi berbau sangat harum di atas nampan. Aku melempar pandangan menyalahkan padanya. Seharusnya dia tidak perlu melapor pada Oscar.
"Jangan memandangku seperti itu" Jovi melihatku sambil mengibaskan tangannya. "Kau tahu aku harus melakukannya, aku belum mahir menyuntikkan obat itu. Aku tidak mau membuat keadaanmu lebih buruk Lui"
"Kau tidak boleh menyalahkan Jovi. Kau pikir apa yang akan terjadi jika dia tidak menghubungiku?" Suara berat Oscar yang sarat dengan amarah membuatku berjengit.
"Kau tidak boleh melakukannya Lui. Kau berlari pergi dari Zeno sambil menangis??" tanyanya retoris.
"Kau bisa pingsan di manapun!! Beruntung Zeno menceritakan apa yang terjadi. Aku sudah akan membalik seluruh isi kota ini untuk mencarimu, ketika akhirnya Jovi menghubungiku, dan mengatakan kau pingsan di rumahnya"
Dia menembakkan banyak omelan lain sebelum akhirnya berhenti dan meminum kopi yang dibawa Jovi. Aku juga akan haus jika mengeluarkan kata sebanyak itu tanpa berhenti.
"Kau bisa pulang bersama Zeno saat itu" tambahnya lagi, belum puas.
"Jangan menyalahkan Lui soal itu---Mr. Delmora" Kata Jovi tiba-tiba dengan agak tersendat.
Dan menurutku itu terdengar lucu. Dia ingin membentak Oscar untuk menghentikan amarahnya padaku, tapi sekaligus masih ingin terdengar sopan.
"Itu akan kejam untuk mereka berdua, dan saya rasa hasilnya akan sama, Lui akan tetap pingsan" sambungnya dengan menunduk. Sadar dia sudah terlalu berani.
"Tapi setidaknya dia akan bersama orang yang kita kenal Jovi" kata Oscar dengan lebih pelan.
Amarah Oscar, hanya tertinggal sebagai hujan rintik. Petir telah berlalu.
"Maaf, aku tidak berpikir jernih saat itu. Aku hanya ingin secepatnya pergi dari sana" ucapku dengan lirih.
Aku benar-benar menyesal, aku bisa membayangkan bagaimana paniknya Oscar dan Charlie mencariku. Rasa bersalah menggayut dengan berat di hatiku.
Oscar mendesah panjang dan bangkit dari duduknya kemudian melangkah menghampiriku. Ditariknya tanganku agar aku berdiri kemudian memelukku.
Aku balas memeluknya dengan hangat, berharap pelukan itu membuatnya tahu bahwa aku benar-benar menyesal.
Dia menangkupkan kedua tangan pada wajahku setelah melepas pelukannya. "Jangan bertingkah seperti ini lagi Lui, aku mohon!" Matanya birunya memandangku dengan tajam.
Aku mengangguk dengan sungguh-sungguh. Aku sendiri tidak pernah bermimpi akan mengalami kejadian seperti tadi malam, apalagi untuk mengulanginya, nyaris tidak mungkin.
Pekikan kaget Jovi memutus percakapan antara aku dan Oscar. Jovi memandang kearah smartphone di tangannya dengan ngeri, sementara tangan yang lain menutup mulutnya.
"Ada apa?" tanyaku, Jovi memang suka bersikap dramatis kadang-kadang.
Tidak menjawab, Jovi meraih remote TV dan menyalakannya. Setelah memindah beberapa channel, akhirnya dia berhenti di channel yang menayangkan infotainment.
"....aku tidak percaya ini. Ketika melihat berita itu di internet, aku segera menghubungi beberapa temanku agar tahu bahwa aku sedang tidak bermimpi, Zenobia Terence sedang bersama seorang gadis!!"
Host acara itu mengucapkannya dengan nada histeris dibuat-buat.
Dan slide foto di tayangan TV itu membuatku nafasku berhenti sesaat.
Foto itu adalah aku dan Zeno, sedang makan malam di restoran tadi malam. Belum lagi foto yang lain menunjukkan saat aku berlari keluar.
Wajahku memang agak kabur, tapi siapapun akan tahu itu aku, karena dengan baik hati host acara itu memberikan informasi lengkap tentang siapa diriku.
Bahkan mereka menambahkan, bahwa kami bertemu pertama kali saat pesta amal beberapa bulan lalu. Keakuratan yang tidak paa tempatnya sungguh menyebalkan.
Makian multilingual --Oscar menguasai hampir delapan bahasa dengan sempurna, aku hanya bisa mengenali 3 kata dari makiannya-- terlontar dari mulut Oscar ketika melihat tayangan itu.
Getaran ponsel milik Oscar yang tergeletak di meja menarik perhatian kami. Oscar segera menyambarnya sebelum aku sempat membaca caller Id yang muncul.
"Ya?" jawabnya dengan kasar, dia terdiam sejenak mendengarkan kata-kata penelpon itu.
"Kau-- tidak--berhak--- " Ucapan bernada geram terlontar dari mulut Oscar diputus oleh entah kata-kata apa yang dikeluarkan oleh lawan bicaranya.
Oscar kemudian memutuskan telepon itu dengan sedikit kasar. Sekarang dia mengacak-acak rambutnya dengan kesal.
"What do we do now? Zeno bilang takkan ada yang berani mengambil gambar malam tadi, karena semua yang hadir adalah tamu undangan" ujarku sambil kembali menatap dengan nanar, layar TV yang telah dimatikan oleh Jovi.
"Kau seharusnya sudah belajar Lui, tidak perlu menjadi orang biasa dan miskin untuk melakukan perbuatan hina, orang yang kaya dan terpandang juga bisa. Bahkan kadang jauh lebih buruk dari sekedar perbuatan hina" kata Oscar dengan wajah muak.
Intinya adalah, walaupun semua tamu yang ada di sana adalah undangan VIP, tetap saja ada kemungkinan mereka akan membocorkan apa yang mereka lihat di sana. Semurah itulah hubungan pertemanan di dunia selebriti.
Menjijikkan!
"Aku harus pergi ke suatu tempat, aku akan menelpon Alex agar menjemputmu disini" ucapnya dengan tergesa-gesa mengambil mantel panjang miliknya yang tergantung di belakang pintu masuk.
"Terima kasih untuk semuanya Jovi" Oscar melemparkan senyuman menawan sambil berjalan keluar dari pintu, yang membuat Jovi merona dengan cepat sehingga hanya bisa menanggapinya dengan anggukan.
Jovi hanya terbiasa dengan Oscar yang berperan sebagai atasan yang kaku, sikap ramah Oscar jelas akan mengejutkannya.
"Ini balasan untukku karena sudah memanfaatkan Zeno, dipermalukan secara global" ucapku dengan pasrah pada Jovi.
"Jangan bodoh!!, kau tak perlu malu dengan berita itu, kau hanya terlihat sedang makan malam dengannya. Untung di foto itu kau belum menangis"
"Jika kau tertangkap kamera sedang menangis, bisa-bisa headline beritanya akan berbunyi 'putri seorang konglomerat telah di tolak oleh Zenobia' ,Gosip memang sampah" tambah Jovi, dengan nada kejam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Ryan Dani
cool
2020-12-09
2
L A
as always.....keren 👍😍
2020-07-27
1