Gadis itu menatap kosong ke arah pintu di depannya. Pintu itu seolah membeku, karena tidak ada perubahan apapun.
Tanpa ada harapan, gadis itu memalingkan muka dengan putus asa. Sekali lagi dia menyerah.
Dia kembali membenamkan wajah diantara kedua lututnya yang telah dipeluk erat olehnya. Tidak terdengar suara apapun darinya.
Bahkan untuk sekedar terisak, dia tak lagi mampu.
^^^^^^^^^^^^
Taman ini sangat indah. Aku duduk dan memandang lepas seluruh isi taman peninggalan Mom di halaman belakang rumah.
Mom menanam hampir semua jenis bunga yang bisa ditemui di negara ini, bahkan beberapa ada yang bukan endemik lokal. Tak ayal, walaupun sekarang sedang musim gugur, taman itu tetap menyajikan pemandangan yang artistik nan elok.
Yah... sampai sekarang Charlie mengatur perawatan taman ini dengan ketat. Hanya pakar pertamanan bersertifikat-- dan pasti dengan bayaran mahal-- yang boleh bekerja di taman ini.
Charlie menjaga keindahan taman ini dengan serius, sama seriusnya seperti ketika memilihkan baju untuk kencanku. Tidak akan menyerah sebelum mendapatkan yang tepat dan cantik katanya.
Darn it... enough Lui!!!.
Tidak ada kata kencan yang boleh disebut dalam waktu dekat ini. Aku mengutuk dalam hati. Sudah cukup dengan segala kekacauan yang ada sekarang gara-gara itu.
Oscar melarang aku keluar dari rumah selama hampir dua minggu ini. Setelah berita aku dan Zeno menyebar. Dia melarang aku pergi kemanapun, bahkan ke kantor. Jadilah aku hanya berada di rumah selama ini.
Membosankan!!
Aku mengeratkan sweater hijau yang aku pakai, karena angin musim gugur yang tiba-tiba bertiup membawa hawa dingin. Bukan musim yang cocok untuk memandang taman di halaman belakang secara langsung memang, tapi aku bisa gila jika tidak keluar rumah, walaupun hanya sekedar ke halaman belakang.
Aku melirik tumpukan map di meja sebelahku.
Setelah memohon dengan sangat kepada Oscar, akhirnya Jovi diizinkan untuk mengirim beberapa proposal yang menumpuk di kantor, ke rumah. Aku kasihan pada Jovi jika harus bekerja sendirian.
Aku meraih tumpukan map paling atas dan menggeser laptopku mendekat. Setidaknya aku bisa melupakan sejenak kehebohan di luar sana ketika bekerja.
"Cuaca yang tidak mendukung untukmu bekerja di sini, Lu"
Suara berat menyapa dari samping, saat aku akan meraih proposal ke-empat
Aku menoleh, dan mendapati Oscar sedang berjalan mendekat, kemudian menyampirkan selimut ke bahuku agar lebih hangat.
"Aku tahu, tapi aku bosan berada di dalam rumah terus" ujarku, sambil cemberut.
Oscar menjawil pelan pipiku yang menggelembung itu sambil tersenyum, kemudian duduk di kursi sebelahku.
"Apa yang kau lakukan di rumah?" tanyaku dengan heran. Tiak biasanya dia kembali sebelum malam, dan sekarang bahkan belum sore.
"Aku harus mengurus sesuatu di daerah dekat sini. Dan mengirimkan kabar untukmu, Zeno sudah memberikan klarifikasi tadi pagi" kata Oscar, menjawab pertanyaanku dengan wajah berseri.
Segera aku mengetikkan pencarian di browser.
Aku memilih artikel paling atas dan segera membacanya. Aku sangat menghindari berita dan televisi sekarang ini. Berita tentang aku dan Zeno, membuatku semakin tidak ingin menonton apapun, selain Animal Planet.
Berita itu memuat wawancara dengan Zeno, lengkap dengan video. Intinya, Zeno menjelaskan jika tidak ada hubungan apapun diantara aku dan dia, kami hanya berteman saja.
Dia juga memohon agar wartawan tidak menggangguku lagi, karena aku hanyalah orang biasa, bukan artis ataupun selebriti.
Dia masih bersikap baik setelah penolakan itu. Rasa bersalah kembali muncul membebani hatiku. Pikiranku kembali melayang pada waktu Zeno menelponku, tadi malam.
"Aku benar-benar minta maaf Lui" kata Zeno, dengan pelan penuh penyesalan.
"Tidak.. tak apa-apa, aku yang seharusnya meminta maaf" ujarku lirih, aku akan merasa lebih baik jika dia membentak atau bersikap ketus padaku. Aku memang pantas menerimanya.
"No..no it's fine, itu adalah hakmu sepenuhnya untuk menolakku Lui, tapi aku tidak seharusnya menyeretmu dalam kegaduhan ini. Aku terlalu lengah" ucapnya dengan nada sedikit geram.
"Maafkan aku juga karena membutuhkan waktu lama untuk melakukan konfirmasi, aku baru mengetahui hal ini kemarin" lanjutnya dengan suara lebih pelan penuh penyesalan.
"Tidak apa, Oscar sudah bilang kalau kau sedang ada jadwal syuting di pedalaman jadi tidak mungkin tahu soal ini" jawabku segera, aku tidak ingin dia merasa lebih bersalah karena ini.
"Aku langsung berangkat syuting malam itu juga, dan tak melihat berita apapun selama seminggu kemudian. Para kru yang ada di lokasi juga sama sekali tidak memberitahu tentang hal itu. Mereka tidak ingin konsentrasiku terganggu. Aku kaget sekali ketika tahu beritanya sudah terlanjur menyebar. Aku berharap bisa menuntut seseorang untuk gambar itu, tapi ternyata itu mustahil, walaupun aku tahu siapa pelakunya, tuntutan itu hanya akan membawa lebih banyak kerusakan di pihak kita" kata Zeno dengan nada getir sekarang.
"Kau tahu siapa yang melakukannya?" tanyaku agak kaget.
"Ya, kau ingat lelaki brengsek yang tidak kau kenal itu? Rasa tidak sukaku padanya terbalas. Dia yang mengambil foto itu. Itulah salah satu caranya mempunyai banyak koneksi, menjual rahasia orang lain" Zeno menjelaskannya dengan panjang lebar.
"Ewwww... ya, tentu saja aku ingat, dia menggoda hampir setiap pelayan wanita di restoran itu" kataku sambil mengernyit jijik. "Ternyata dia memang sampah"
"Yupp.. sampah dengan tingkat kebusukan tinggi"
Aku tertawa mendengarnya. Aku sangat lega mendengar gurauan Zeno. Sikapnya tidak berubah padaku. Aku harap itu berarti penolakanku, tidak terlalu menyakitinya.
"Lui.." Panggilnya dengan nada lebih serius.
"Aku berharap kita bisa tetap berteman setelah ini. Aku tentu kecewa dengan penolakan itu, tapi aku tidak ingin jika kita menjadi jauh. Kurasa kau teman yang cukup menyenangkan menurutku. Mungkin setelah ini kita bisa tetap menonton film, atau menonton drama musical bersama, sebagai teman tentu saja" ucapnya, panjang lebar dengan sopan.
"Ya, tentu saja kita bisa pergi sebagai teman Zeno" jawabku dengan tersenyum . "Aku akan mengajak Jovi mungkin, sehingga kita semua bisa berteman"
"Ide yang bagus, aku akan mengajak Oscar" ujarnya dengan nada bercanda.
"Aku suka ide itu" balasku, sambil terkekeh geli.
\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~
"Kau baik-baik saja sekarang?" tanya Oscar, memutus lamunanku.
"Ya, tentu saja" jawabku secepatnya.
"Care to share with me, what really happen that night?" Matanya tajam menatapku.
Aku memang tidak pernah menceritakan detail apapun tentang apa yang terjadi malam itu, karena memang tidak ingin.
"Apa maksudmu? Sudah jelas aku menolak Zeno malam itu"
Aku membuang muka untuk menghindari pandangan Oscar. Percayalah, mata Oscar berbahaya jika kau ingin menyembunyikan sesuatu.
"Well, it's nothing like explanation to me. Setahuku seharusnya hanya Zeno yang sedih karena kau yang menolaknya. Bagaimana mungkin justru kau ikut menangis darah malam itu!" katanya lagi dengan berlebihan, karena jelas aku tidak menangis darah.
Aku menarik nafas panjang untuk kesekian kalinya. Mungkin ini waktunya untuk menceritakan semua apa yang kurasakan sebenarnya kepada Oscar. No where to run.
"Aku sebenarnya juga tak tahu harus memulai darimana untuk menjelaskan ini, karena aku sendiri tidak mengerti bagaimana mungkin ini terjadi " kataku dengan pahit.
Ya.. bagaimana cara aku menjelaskan sesuatu yang juga membuatku bingung?
"Try me"kata Oscar pendek dengan nada memerintah. Kau akan menyesalinya, batinku.
Aku akhirnya menceritakan padanya apa yang sebenarnya kurasakan saat itu. Tapi ada satu bagian yang tetap aku rahasiakan. Memori berkabut itu,aku masih tidak ingin menceritakan itu padanya.
Setelah beberapa saat mendengarkan ceritaku, Oscar hanya terdiam sambil mengerutkan kening.
"Maksudmu, kau sebenarnya menyukai Zeno, tetapi kau tidak ingin bersamanya?" Oscar , mengambil kesimpulan, walau terdengar ragu.
"Kurang lebih seperti itu" jawabku, dengan nada yang tak kalah ragu.
"You're not even sure about this" katanya lagi, sambil menyipitkan mata dengan pandangan menuduh.
"Of course I'm not sure about this!! Aku sudah bilang tadi, aku sendiri juga bingung dengan perasaanku" jawabku, agak keras karena gemas.
"But how come? Jika kau menyukai seseorang, berarti kau juga ingin bersamanya Lui. Itu sudah hukum alam"
Aku hanya mengangkat kedua tangan, pertanda aku juga tidak tahu jawaban untuk pertanyaannya.
"Apa kau sungguh menyukai Zeno? Maksudku-- mungkin kau hanya terpesona pada wajahnya, misalnya" Oscar bertanya,dengan senyum jahil.
Aku melemparkan bantal persegi yang, aku gunakan sebagai tempat bersandar ke wajahnya.
"Jangan bercanda disaat seperti ini Oscar" jawabku dengan kesal. "Dia memang tampan, tapi aku sudah sering melihat lelaki yang lebih tampan darinya, jadi tidak mungkin aku terpesona dengan tampangnya" tambahku.
"Benarkah? Siapa?" Oscar sekarang penasaran.
"Kau" jawabku, singkat.
"What?, oh ha..ha..ha kau benar soal itu" Tawa terbahak, memenuhi udara selama beberapa saat setelah itu.
"Kau terdengar seperti memuji dirimu sendiri Lui" kata Oscar masih sambil sedikit terkekeh.
Aku mengernyitkan kening tanda tidak mengerti.
"Karena kita mirip, jadi jika kau memujiku tampan, berarti kau juga memuji dirimu sendiri bukan?" katanya, sambil menarik lembut ujung hidungku dan tersenyum.
"Haah.. jangan bercanda! Kau pikir siapa yang akan percaya itu" sungutku, sambil melipat kedua tanganku di dada.
Look who's talking, batinku sambil melirik ke arahnya.
Jika foto Oscar yang sedang memakai jas berada di cover majalah bisnis yang paling membosankan sekalipun, Jovi bilang, majalah itu sudah dipastikan akan laris manis terjual. Dan percayalah, pembelinya sebagian besar bukan pebisnis, tapi wanita biasa.
Bagaimana bisa aku dibandingkan dengan makhluk sempurna seperti dia? Postur tubuhku yang pendek jelas tidak memenuhi syarat.
"Kau cantik Lui!! " katanya lagi sambil mengelus pipiku dengan ujung jarinya.
"Aww" Aku memekik, karena elusan itu berubah menjadi cubitan gemas setelahnya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi" katanya dengan gigi dikatupkan erat.
"Which one?" tanyaku bingung.
"Apakah kau benar-benar menyukai Zeno, atau hanya kau yang salah mengartikan perasaanmu?" jelasnya.
"Oh.. well.." Aku mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk menjelaskan ini padanya. "Kurasa aku menyukainya, dia baik, lucu, dan lumayan tampan" jawabku dengan ragu.
"Banyak orang di luar sana dengan sifat seperti itu Lui, tidak berarti kau akan menyukai mereka semua bukan?"
"Emmm.. entahlah. Tapi jantungku tidak pernah tenang setiap kali dia melihatku dengan mata hijaunya" Aku menjawab setelah terdiam beberapa menit berpikir.
"Apa?" Oscar terlihat kaget mendengar jawabanku.
"Well..Kau tahu bukan? Mata Zeno berwarna hijau gelap. Setiap aku melihatnya, tiba-tiba jantungku tidak tenang, Berdebar-debar tidak terkendali, bukankah itu berarti aku menyukainya?" Jelasku lagi dengan malu.
Aku memalingkan wajah, karena yakin warnanya sudah berubah merah.
Setelah yakin wajahku tidak lagi merona, aku kembali berbalik. Aku lihat Oscar sedang menunduk dan menutup wajah dengan kedua tangannya.
Kurasa dia juga bingung dengan penjelasanku. Aku tahu akan menjadi seperti ini. Lihat saja Jovi. Dia sudah menyerah beberapa bulan lalu untuk sekedar bertanya, soal perasaanku sebenarnya.
"Ha--Ha--Ha--Ha---"
Aku tersentak kaget karena tiba-tiba Oscar tertawa. Jenis tawa yang berbeda jika dibandingkan dengan yang biasa. Terdengar kering dan sinis. "Something funny?" tanyaku, tidak mengerti.
Tidak menjawab, Oscar hanya melihat jam di tangannya dengan seksama. "Aku ada meeting lagi sore ini, aku harus berangkat ke kantor sekarang"
Kemudian dia bangkit dan mengecup keningku sekilas "Bye" bisiknya sambil berlalu.
Tidak akan ada gunanya berteriak atau protes, akhir-akhir ini Oscar suka sekali meninggalkanku secara tiba-tiba tanpa penjelasan.
Menjengkelkan!! umpatku sambil menghentakkan kaki. Apa sebenarnya yang dilakukannya di sini? Muncul begitu saja dan pergi setelah berhasil membuatku kesal!
Aku kembali meraih tumpukan proposal di meja. Tidak ada gunanya memikirkan sikap Oscar, yang semakin lama semakin banyak yang tidak aku mengerti.
\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~
Separuh dari proposal itu sudah aku periksa --sebagian besar lulus tanpa noda, sebagian lagi akan membutuhkan survey lanjutan--ketika aku mendengar bel rumah berbunyi.
Siapa yang datang? Aku tidak punya janji apapun hari ini. Mudah-mudahan bukan salah satu reporter gila, yang masih berusaha untuk mewawancaraiku tanpa ijin. Benar-benar mimpi buruk yang terulang, jika hal itu terjadi lagi.
Setelah beberapa hari foto itu menyebar, salah satu reporter berhasil sampai ke rumah ini. Samarannya sebagai petugas pengiriman barang sangat sempurna, sehingga security gerbang membiarkannya masuk.
Ketika Charlie membuka pintu dan meminta barang kirimannya, dia mengaku sebagai reporter dan memohon untuk mewawancaraiku. Dia mungkin berpikir setidaknya akan susah di tolak karena dia sudah berdiri di depan pintu.
Orang gila!!!
Dengan segera Charlie membanting pintu di depan mukanya dan memanggil security. Oscar sangat murka ketika mendengar kejadian itu. Dia mengatakan akan melayangkan tuntutan kepadanya dan akan mengakhiri karir persnya.
And thanks to that reporter, Oscar memperpanjang waktu 'liburku' menjadi 2 minggu. Dasar reporter sinting!
Setelah beberapa saat tidak terdengar panggilan dari Charlie, aku memutuskan untuk kembali bekerja. Mungkin petugas pengiriman sungguhan yang datang kali ini.
\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~
Setelah memeriksa dua proposal lanjutan, aku melirik jam di sudut layar laptop.
Jam minum teh sudah terlewat sekitar 15 menit yang lalu. Tidak biasanya Charlie terlambat. Biasanya dia tidak akan ragu menarikku --sambil menyeburkan diri-- dari kolam renang, ketika aku berkata 'sebentar lagi' kepada ajakannya untuk minum teh.
Dia sangat serius --yang tidak perlu menurutku, aku akan minum teh jika aku ingin Charlie-- dalam menjaga tradisi minum teh sore hari.
Aku akan memeriksanya, sekaligus mengisi gelas minumku yang telah kosong, putusku.
Aku melangkah ke arah dapur dengan santai. Dari kejauhan aku bisa melihat Charlie sedang bersama dengan seseorang di dapur. Ternyata memang ada tamu yang datang.
Aku tidak bisa melihat wajah tamu itu, karena dia duduk di depan pantry membelakangiku.
Orang itu memakai mantel bepergian panjang berwarna hitam. Dan kurasa dia tahu aku datang, karena detik berikutnya dia bangkit dari kursi, dan Charlie segera mengalihkan pandangan ke arahku.
Aku berjalan masuk ke dapur dengan sedikit bingung. Karena tiba-tiba saja jantungku berdetak kencang. Ini jelas tidak normal. Mungkin aku akan serius meminta kepada dr. Alva untuk memeriksa jantungku juga, selain kepala.
Apapun perbincangan yang terjadi antara Charlie dan orang asing itu, sekarang telah terhenti.
Charlie hanya berdiri memandangku dengan mata terbelalak. Sedangkan orang itu hanya berdiri mematung. Dia juga tidak menoleh untuk melihatku. Sikap mereka aneh sekali.
"Charlie, siapa yang mengunjungimu?" tanyaku penasaran, setelah sampai di dekat mereka.
Aku mencium samar aroma sirup maple yang bercampur dengan aroma petrichor* dari tubuh orang itu. Parfum macam apa yang dipakainya? Aroma ini menyenangkan sekali.
"A...pa?" tanya Charlie sambil tergagap.
Aku melipat dahiku mendengarnya. Apa yang membuatnya gugup seperti ini?
"Dia..? " tanyanya lagi, sambil menunjuk ke arah tamunya, dengan telunjuk yang bergetar.
"Charlie..apa kau sakit ?" Aku menyadari jika wajah Charlie sedikit pucat.
Charlie menggeleng dengan cepat, "Dia teman Oscar, dia ingin bertemu Oscar" jelas Charlie sambil meraih gelas di tanganku, kemudian berbalik dan mengisi gelas itu dengan air putih dari kran.
"Oh!.. tapi Oscar ada di kantor sekarang." kataku dengan heran. Teman macam apa mencari Oscar di rumah pada hari Rabu? Tentu saja Oscar tidak akan ada di rumah. Keberadaannya di rumah seperti tadi adalah keajaiban dunia yang tidak akan terjadi dua kali. Oscar bahkan tidak pernah mengambil liburan.
Aku memandang punggung orang asing itu, yang terus mematung tanpa gerakkan sedikitpun.
"Ya... karena itulah dia akan segera pulang" kata Charlie dengan suara lebih mantap, sambil menyerahkan gelasku.
"Aku pergi dulu Charlie" kata orang itu tiba-tiba sambil berbalik dan menatapku.
Dan----aku nyaris melepaskan genggaman gelas di tanganku yang saat itu juga. Lenganku terasa lemas ketika mendengar suaranya.
Suaranya berat tapi jernih dan terdengar merdu, atau mungkin juga aku beranggapan seperti itu karena sekarang aku bisa melihat wajahnya.
Orang asing itu-----tampan!.
Jika tadi aku bilang Oscar tampan, maka pasti aku buta. Kata tampan saja tidak akan sanggup menjelaskan wajah yang sekarang ada di depanku.
Mata dengan iris cokelat terang memandangku dengan intens, seolah bisa melihat ke dalam jiwaku. Rambutnya hitam legam, sangat serasi dengan kulitnya yang berwarna kuning langsat, khas caucasian mediteranian .
Segaris warna putih perak terserak diantara rambutnya. Bukan uban aku yakin, karena warna putih itu hanya terdapat di rambut bagian atas telinga kanannya. Cat rambut mungkin? Oh.. aku tidak akan mengeluh soal ini. Segaris warna putih itu, menyempurnakan apapun bentuk tatanan rambutnya .
Menilai dari wajah, aku rasa dia berusia lebih muda dari Oscar. Rahangnya kokoh dan tegas, hidungnya mancung. Semua itu bersatu, membentuk wajah yang juga sempurna. Mulutnya yang mengatup erat berwarna merah gelap dan sedikit basah.
Aku segera mengalihkan pandangan dari mulut itu, jantungku seolah akan meledak karena berdebar terlalu kencang ketika memandang bibirnya.
Langkah yang salah, karena sekarang aku tidak sengaja memandang ke arah mata cokelat itu secara langsung.
Ketika pandangan kami bertemu selama beberapa detik, aku merasa ingin menangis!.
Ini menggelikan sekali.
Dia sangat tampan dan aku ingin menangis??? Aku mempertanyakan tingkat kewarasanku sendiri sekarang.
Orang asing itu memutuskan kontak pandangan kami dan berjalan melewatiku dengan cepat menuju pintu depan. Dan dengan anehnya, aku merasa sangat kecewa, aku ingin menikmati mata itu lebih lama lagi.
Hahh... sadar Lui, ini sudah sangat keterlaluan.
Aroma manis dan menyenangkan itu, kembali menerpa hidungku ketika dia berjalan melewatiku tanpa menoleh.
Dan itu cukup untuk kembali membuat jantungku berlomba lebih kencang. Aku agak sedikit terlonjak dan sadar dengan keadaan sekelilingku ketika mendengar bunyi pintu depan terbanting menutup dengan agak keras.
"Aku akan menyiapkan teh sekarang" kata Charlie sambil berjalan mengambil teko.
Aku hanya mampu menjawabnya dengan anggukan pelan.
Mulutku terasa kebas dan kaku. Seluruh badanku terasa seperti dialiri listrik dengan tegangan rendah --aku belum pernah mengalaminya, tapi kurasa akan seperti ini rasanya-- ujung jari-jariku terasa geli, belum lagi bulu halus di seluruh tubuhku berdiri tegak.
Aku meninggalkan dapur dengan terburu-buru, sebelum Charlie menyadarinya dan bertanya. Aku berjalan dengan cepat kembali teras belakang.
Aku menghempaskan tubuhku di kursivdengan agak keras, terus terang saja, kakiku masih agak lemas.
Apa ini?? Apa aku terpesona dengan ketampanannya?
Kata-kata Oscar tentang Zeno tadi kembali terngiang di kepalaku. Aku belum pernah bertemu seseorang yang membuatku merasa seperti ini sebelumnya. Dan--- tentu saja aku memang belum pernah bertemu seseorang setampan pria tadi.
Aku merasakan ada air menetes basah di tanganku.
Hujan??
Reflek aku menengadah ke atas, hanya untuk menyadari kebodohanku. Kau sedang berada di teras dengan atap tertutup Lui.
Sedetik kemudian, aku menyadari pipiku telah basah dengan air mata.
Aku meraba pipiku dengan tidak percaya. Apakah aku benar-benar menangis tanpa sadar? How it's that possible??
Kesadaran itu membawa aliran emosi lain yang datang bagai badai dan menggulungku. Pedih, sakit dan kecewa.
Ada apa ini? Apa lagi ini? batinku dengan kalut.
Aku meremas dadaku erat, berusaha untuk mengurangi rasa sakit, yang mulai membuncah tidak terkendali sekarang. Aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diri.
Bisa-bisa Oscar akan menambah 'liburanku' menjadi 3 minggu, jika aku pingsan sekarang. Aku harus segera membunuh perasaan yang tidak jelas asal usulnya ini.
Kumohon berhentilah, rintihku dalam hati.
Aku menghapus air mata dan meraih sisa proposal yang ada.
Aku harus mengalihkan pikiran jika tidak ingin pingsan. Dengan sedikit tekad yang tersisa, aku berkonsentrasi lagi pada tulisan di dalam map itu.
End of Eluira
*Petrichor : the smell of earth after rain, aroma tanah kering tersiram air hujan
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Meliany Rina
selalu menarik
2023-07-22
0
Melia Suatan
pengen berhenti baca krn terlalu bingung, dg amnesia tp pengen lanjut krn mau tau ada apa ini semua😁
2020-07-07
2
Olip 🐿️
siapa sih ituu.... pingin ku baca pas akhirnya... tp kok gak seru amat
2020-06-08
2