Seorang gadis dengan mata biru gelap dan rambut pirang berkilau, perlahan - lahan bangun dan memandang sekelilingnya dengan bingung. Kakinya terasa lemas dan tak bertenaga. Dengan usaha yang luar biasa, akhirnya dia bisa berdiri.
Seolah-olah menyambutnya, beratus-ratus pintu muncul dengan tiba-tiba membentuk sebuah lorong yang tanpa ujung. Dengan langkah gontai, gadis itu mencoba membuka salah satu pintu. Tapi pintu itu terkunci. Tak menyerah, Ia mencoba pintu yang lain, berharap pintu berikutnya akan terbuka. Tapi harapannya tidak terkabul.
Dengan nafas yang mulai memburu karena panik, dia mulai menggedor pintu-pintu itu. Semakin dia berjalan rasa putus asa itu juga semakin besar, karena dia mulai sadar, bahwa dari semua pintu itu tak satupun yang terbuka untuknya. Akhirnya isakkan lemah mulai terdengar..
"Tolong aku.."
^^^^^^^^^^^^^
"Lui... Lui.. "
Seseorang memanggil dan mengguncang bahuku dengan lembut. "Hmmm .." desahku malas, tapi tetap mencoba untuk membuka mata.
"Oh My God.. Oh My.. Kau sadar!!" pekik suara itu dengan girang.
What?? Apa aku pingsan lagi?
Dengan usaha yang lumayan keras, akhirnya aku berhasil membuka mata. Pandanganku mulai fokus mencari asal suara yang menggumamkan namaku tanpa henti.
"Charlie?? Kaukah itu?" tanyaku, sambil mencoba mengangkat tangan kananku mencarinya.
Berat sekali.
Aku hanya bisa menggeser tanganku sedikit. Kemudian aku merasa ada tangan yang menggenggam tanganku.
Aku menoleh ke samping. "Yeah.. It's Charlie" gumamku.
"What's with the tears?" tanyaku. Mendengar pertanyaanku, air mata Charlie turun semakin deras, di pipi yang mulai keriput di makan usia itu. Sedu sedan mulai terdengar juga.
"Apa aku pingsan lama sekali?" tanyaku.
"Berapa lama aku pingsan?" ulangku, melihat Charlie masih tak menjawab pertanyaanku.
"Oh..no" desahku.
"Berapa lama? Sebulan? Atau setahun? " Tanyaku bertubi - tubi.
"Gumpalan sialan" Aku mengutuk dengan kesal.
"Tidak..tidak" kata Charlie, dia menghapus air matanya, kemudian bangkit dan memelukku erat.
"Kau pingsan lagi tadi malam" tambahnya, berbisik karena tenggorokannya yang masih tercekat oleh tangis.
"Heehh? Tadi malam? Lalu kenapa kau menangis? "
Aku heran, ini sama sekali tidak seperti Charlie yang biasa. Aku mencoba untuk mengangkat tangan dan membalas pelukannya.
Tapi..sekali lagi tidak berhasil.
Tunggu...!! Aku mencoba untuk menggerakkan kaki dan hasilnya hanya sedikit hentakkan saja.
"Kau yakin aku pingsan semalam? Kenapa seluruh badanku tidak bertenaga?" tanyaku, setelah Charlie melepas pelukannya dan duduk di tempatnya semula.
"Ya.. Kau pingsan semalam" jawabnya sambil memandangku heran. "Kau tak ingat?"
"Tidak"
"Wait.. ..kenapa aku pingsan? Kenapa aku tidak bisa mengingat apa yang menyebabkan aku pingsan? Ini aneh"
"Kau tak ingat?" tanya Charlie, matanya melebar tak percaya dengan kata-kataku barusan.
Aku menggeleng pelan. Sambil mencoba untuk menggali memori dari sebelum aku pingsan.
Nihil...!
Aku benar-benar tidak ingat apapun.
"Apa yang terakhir kau ingat?" tanya Charlie dengan nada khawatir. Aku memejamkan mata, menenangkan diri dan mulai mengingat-ingat.
"Oh..Oh.." seruku, ketika satu bayangan akhirnya mulai terbentuk samar di pikiranku.
"Kita makan malam dengan Oscar di bawah. Oscar bilang dia akan pergi ke Mesir. Kemudian aku menyuruhnya mencari kekasih di sana" ujarku puas, ingatanku mulai terasa semakin jelas.
Charlie tiba-tiba berdiri dari kursinya, sambil memandangku dengan mata melebar terkejut.
"Aku akan memanggil Oscar" katanya sambil berjalan terburu-buru keluar dari kamarku.
"Apa?? Tunggu..tunggu. Charlie..?" Panggilku, mencoba untuk mencari kejelasan tentang apa yang terjadi.
"Oscar!!" kudengar teriakan dan langkahnya menuruni tangga di depan kamar.
"Ada apa ini?"
Aku ingat dengan jelas tadi malam aku makan bersama Charlie dan Oscar. Charlie memasak makanan kesukaanku yaitu sup dengan banyak daging sapi. Oscar bilang dia akan pergi ke Mesir untuk mengurus bisnisnya, kemudian aku mengatakan padanya untuk segera mencari pacar, karena ..........
Dan kosong!!!!
Ingatanku terhenti di titik itu. Aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku katakan setelahnya. Hitam..kosong.
Apa ini?? Aku menutup mataku kembali. Mencoba mengurutkan kejadian di memori itu. Tapi tak juga berhasil, memoriku hanya berkisar pada kejadian itu. Aku juga tidak bisa mengingat apa yang aku lakukan sebelumnya.
Aku memandang sekeliling kamar, semuanya masih sama seperti yang aku ingat. Sisi timur kamar terdiri dari kaca tanpa tembok, balkon penuh dengan bunga berada di luar sisi kaca. Tirai berwarna biru muda terjuntai di kedua sisinya.
Rak buku yang penuh dengan jurnal balet dan beberapa piala yang aku menangkan berada di pojok kamar. Pintu geser yang sewarna dengan tembok kamar, menyembunyikan lemari besar yang berisi baju dan sepatu milikku.
Sofa nyaman berbentuk bulat juga masih teronggok dengan manis di sebelah meja tempat alat riasku. Di depannya pesawat televisi hitam tertanam di tembok. Aku masih mengenali semuanya dengan baik-------tapi kenapa aku tak bisa mengingat kejadian tadi malam?
Langkah kaki mulai mendekat ke pintu kamar. Aku mengalihkan pandangan dan melihat Oscar masuk dengan nafas terengah-engah, karena menaiki tangga sambil berlari mungkin.
"Pagi..!!" sapaku dengan tersenyum. Karena tahu, kakakku semata wayang itu akan khawatir jika aku menunjukkan sesuatu yang tidak beres.
"Kau sudah sadar" ucapnya, sambil berjalan menghampiriku. Seperti Charlie, dia memelukku erat, sampai separuh badanku terangkat dari tempat tidur.
"Oscar!" seruku kaget. "Ada apa ini?" tanyaku.
"Aku memang pingsan, tapi kata Charlie aku pingsan tadi malam. Seharusnya kau tidak usah terlalu khawatir" kataku sambil memandang heran ke arah Charlie, yang sekarang berdiri di dekat pintu. sambil menggigit bibir bawahnya, serta meremas-remas kedua tangannya di depan perut.
Setelah melepaskan pelukannya,Oscar duduk di tepi ranjang tempatku berbaring.
"Kau tak ingat kenapa kau pingsan?" tanyanya sambil menatap wajahku tajam.
Aku kembali menggeleng bingung. "Aku hanya ingat kita makan malam, kemudian kau bilang akan pergi ke Mesir hari ini. Jam berapa penerbangannya? Kenapa kau belum bersiap?" Aku memandang pakaian di tubuhnya yang jelas bukan jenis pakaian yang akan dipilihnya untuk perjalanan bisnis.
"Sweety..mmmmmm" Dia mengusap rambutku lembut, sambil mengerutkan dahi berpikir tentang sesuatu.
"Apa??" tanyaku tak sabar, karena Oscar terdiam agak lama setelahnya.
Dia tidak pernah memanggilku Sweety, kecuali ada sesuatu yang sangat gawat setelahnya. Yang aku ingat jelas, dia memanggilku Sweety, ketika dia memberitahuku tentang kabar jika Mom tidak selamat dari tembakan itu.
Oh.. Not now!!
Kenapa ingatan yang datang padaku adalah yang paling menyakitkan?
Aku memejamkan mata mencoba mengusir ingatan itu dari otak, sebelum air mata berlomba untuk turun dan akan membuat Oscar semakin khawatir. Aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diri.
"Lui----Aku pergi ke Mesir sebulan yang lalu" katanya pelan, tetapi bagiku itu terdengar seperti pukulan palu yang menghantam kepalaku.
Aku bisa mendengar ledakan kepanikan di otakku.
"Ap..Apa??"
"Tidak mungkin!!!". Aku menggeleng panik.
"Tenang..tenanglah..oke?" Oscar memelukku sambil terus mengusap kepalaku lembut. " Kau tidak ingin pingsan lagi bukan? Tenangkan perasaan dan pikiranmu"
"Aku telah memanggil dokter sebelum naik tadi. Sebentar lagi dia akan datang dan memeriksa keadaanmu. Oke?".
Aku mengangguk pasrah. Seolah membenarkan kata-kata Oscar, bel pintu menggema di penjuru rumah.
"Aku akan membuka pintu" Kata Charlie sambil berjalan keluar kamar.
Oscar kemudian bangkit dan duduk d kursi sebelah ranjang. Dia mengusap-usap tanganku dan berbisik "Everything just gonna be fine..everything just gonna be fine. I promise."
Dengan pandangan mata yang tidak tertuju padaku, entah kenapa aku merasa jika kata-kata itu tidak hanya ditujukan untukku.
"Apakah keadaanku memburuk hingga ingatanku mulai hilang sedikit demi sedikit? Aku kehilangan ingatanku!" bisikku pelan pada diriku sendiri, mencoba untuk mencerna kenyataan yang tiba-tiba ini. Oscar yang juga mendengarnya, tersentak.
"No..No. Kau tidak tahu itu. Karena itu aku memanggil dokter agar semua jelas." Jawabnya dengan sedikit keras. "Jangan pikirkan apapun, kita tunggu penjelasan dokter nanti. "
Cklek.. !!
Suara pintu terbuka membawaku kembali dari lamunan membingungkan.
Cantik--- batinku, wanita berumur sekitar 35-an berambut dark brown pendek, membawa tas cokelat, berpakaian rapi dengan rok selutut biru tua dan blazer sewarna, berjalan menghampiriku, dengan Charlie mengikuti di belakangnya.
"Siapa ----" aku urung menyelesaikan kalimat, karena kata itu telah membuat semua pergerakan di kamar itu berhenti serempak.
Charlie yang separuh jalan menutup pintu kamar, sekarang memandangku dengan muka pucat, demikian juga Oscar yang berada dalam posisi setengah berdiri dari ranjang, sedangkan wanita itu menghentikan langkahnya sebelum mencapai ranjang, sambil memandangku dengan wajah yang menggambarkan kekagetan amat sangat.
"Kau tidak mengenalku?" tanyanya pelan, sambil meneruskan langkah dan duduk di pinggir ranjang.
Aku menggeleng dengan lemas. Karena memang aku tidak mengenali siapa dia. Tapi dari reaksi yang ditunjukkan oleh mereka semua, seharusnya aku mengenalinya.
This is big problem!
Charlie kembali terisak pelan. Sambil berkata akan menyiapkan minum di bawah, dia keluar dari kamar. Aku tahu, dia hanya ingin agar aku tidak melihatnya menangis. Oscar kembali duduk tanpa berkata apapun. Dia hanya memandang kosong kepada wanita itu.
" A...aku Dokter Alva, aku dokter yang telah merawatmu sejak 2 tahun yang lalu" Ucap wanita itu tersendat, mungkin karena masih terkejut dengan keadaanku.
Aku merasa aliran darah telah meninggalkan wajahku. "Dua tahun?? Bagaimana----- "
Aku memejamkan mata, lidahku seolah lumpuh karena benar - benar tidak tahu apa yang harus kukatakan. Bagaimana bisa aku tak mengingatnya??
Emosiku mulai meledak dan mencari jalan keluar melalui sudut-sudut mata yang mulai menghangat dan basah.
"No..no..please don't cry" bisik Oscar lembut sambil mengusap air mataku. "Aku tak ingin kau pingsan lagi" ujarnya
"Jangan khawatir" kata dr. Alva, sambil mengusap tanganku.
"Mungkin ini hanya sementara, kau akan bisa mengingat semua lagi nanti" tambahnya sambil tersenyum ceria.
Aku tahu senyum itu hanya untuk menghibur agar tangisanku berhenti. Tapi senyum tulus itu menular, aku berusaha tersenyum agar air mataku terhenti.
Ya Eluira...kau bisa. Setelah apa yang kau lalui selama ini kau pasti bisa!!!
"Good girl" dr. Alva memuji setelah melihat senyum simpulku.
Dia meraih tas yang terletak di sebelah ranjang, mengeluarkan stetoskop dan mulai memeriksa.
Sesaat sunyi, hanya suara peralatan dokter yang satu persatu dikeluarkan dari tas itu yang terdengar.
"Apa yang kau rasakan?" tanyanya sambil melihat angka di alat pengukur tekanan darah.
"Lemas---lemas sekali. Aku bahkan kesulitan menggerakkan kaki tanganku. Dan lapar.... like----super----duper-- hungry" jawabku dengan heran.
Dr. Alva tersenyum. " Nah itu sudah terjawab, kau lemas karena lapar sayang" dia mencolek hidungku lembut.
"Jangan terlalu khawatir, aku akan menyuruh Charlie memasak bubur yang super lezat setelah ini. Istirahatlah, tenagamu akan kembali pulih pelan-pelan"
"Aku akan meminta Charlie untuk membuatnya sekarang" sahut Oscar setelah sekian lama membisu, beranjak pelan meninggalkan kamar.
"Sekarang aku akan menguji ingatanmu. Sejauh mana kau bisa mengingat" Dr. Alva mengambil buku catatan dari tasnya dan mulai menulis.
"Aku akan bertanya, jawablah sesuai ingatanmu yang ada oke? Jangan terlalu dipaksa. Biarkan ingatan itu mengalir sesuai apa adanya. Siap???" tanyanya. Aku mengangguk.
"Nama lengkap??"
"What??" kataku sambil memandangnya tak percaya.
"Jawab sayang.." katanya manis.
"em.. Eluira Ignes Delmora"
"Good, Saudara"?
"Oscar Gustin Delmora"
Aku memutar bola mata, karena tak percaya. Mustahil aku akan melupakan namaku atau Oscar.
"Wanita yang berambut abu-abu tadi? "
Ini keterlaluan.
"Doc...." kata-kata ku segera di putus olehnya.
"Jawab sayang..ini penting, aku harus tahu apa saja, siapa dan kapan saja ingatan mu ada...Please?" Dia memandangku dengan senyum memohon.
"Okey.. Charlie Dexter" Jawabku
"hmmmm?" sahutnya sambil mengangkat kedua alisnya.
"Alright..Alright.. Charlotta Dexter, aku dan Oscar memanggilnya Charlie karena lebih mudah mengucapkannya ketika kami kecil. Dia mengasuh aku dan Oscar dari bayi sampai sekarang, and I love her so much" cerocosku, dengan terlalu bersemangat mungkin.
"That's my girl" Dr. Alva bertepuk tangan pelan sambil tersenyum lega.
"Alamat?"
"Park Castle, London, England" aku mulai malas membantah, dan menjawab dengan pasrah.
"Orang tua?" lanjutnya
"Dad?.. Daniel Delmora. Dad sekarang ada di Perancis mengurus vineyard setelah Mom..." suaraku menghilang karena tenggorokanku tiba-tiba tercekat mengingat soal Mom.
"Setelah Mom meninggal, Dad menyerahkan perusahaan pada Oscar kemudian pindah ke Perancis untuk menenangkan diri" lanjutku dengan sedikit terengah, menahan air mata yang kembali datang.
"Maaf sayang. Aku harus bertanya soal ini juga. Aku tak ingin hal ini menjadi luka baru, jika ternyata kau melupakannya juga" Dia mengelus tanganku lembut.
"Aku tidak akan mungkin melupakan Mom.." bisikku sambil menahan tangis.
"Of course dear..., kita lanjutkan atau kau ingin istirahat dulu?"
"Lanjutkan saja, aku ingin pikiranku teralihkan secepatnya".
"Ceritakan soal Oscar padaku"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu, ini akan mudah.
"My only brother, 29 tahun. Sekarang bekerja sebagai CEO di perusahaan milik Dad, playboy akut--"
"Heyyy.. Aku dengar itu" teriak Oscar yang rupanya telah kembali dan berada di depan pintu.
"Opsss!!!" Aku pun terkekeh. Dr. Alva tersenyum sambil mencubit hidungku "Jangan menggoda kakakmu"
"Itu kenyataan Doc, fakta.." ujarku, sambil tersenyum jahil.
"Aku masih bisa mendengarnya.." sahut Oscar sambil berjalan masuk. "Kurasa aku perlu hadir agar evaluasi ini hasilnya akurat " gerutunya.
"Sorry..." ucapku, tanpa suara sambil memandangnya.
"Never mind.. Aku maafkan karena keadaanmu masih seperti ini" dia menjawab sambil tersenyum setengah hati.
"Ceritakan tentang dirimu" dr. Alva melanjutkan, tidak terusik dengan pertengkaran kami.
"hmm... 23 tahun, mantan balerina---pekerjaan---hmmm, aku tak ingat..!!" ucapku dengan ngeri. Bagaimana aku bisa tak mengingat tentang hal ini juga? Panik mulai menyerang lagi.
"Karena kau memang tidak bekerja" sahut Oscar tiba-tiba, sambil menatap ke lantai. "Setelah kau berhenti menari balet kau--- "
Jeda sejenak.. "---kau hanya di rumah" lanjutnya masih tanpa memandangku.
"Benarkah???" Tanyaku tak percaya. What kind of life is that?
Seolah mendengar pikiranku, Oscar kembali menjelaskan "Kau berhenti balet karena kau semakin sering kehilangan kesadaran ketika tampil bukan ?"
Aku mengangguk membenarkan.
Aku mengingat hal ini dengan baik, aku sangat kecewa dan sedih ketika itu, kemudian Oscar mengirimku ke Perancis agar aku menenangkan diri, kemudian---
Nothing!!----Aku lupa apapun yang terjadi setelahnya.
"Ini gila" ... Ucapku tanpa sadar. "A--aku melupakan apapun yang terjadi setelah itu"
"Eluira... Cukup! Jangan terlalu memaksakan diri untuk mengingat" dr. Alva menegur. "Tenanglah sebentar!!"
Aku menarik nafas panjang, mencoba untuk tidak panik lagi.
"Tapi itu sebelum Mom meninggal. Aku ingat Mom meninggal tertembak. Tapi aku tak ingat apapun tentang pemakaman sebagainya"
Ingatan bercampur-aduk mulai berkelebat dengan cepat di benakku. Ingatan yang berupa potongan ganjil yang tak aku mengerti.
"Kau tidak akan ingat. Kau pingsan dan kemudian koma selama kurang lebih satu tahun setelah tahu Mom meninggal." Oscar menyambung dengan suara serak karena emosi.
"Tunggu " kataku. " Aku ingat tentang koma selama setahun itu, tapi aku tidak bisa mengingat bagaimana aku terbangun--This is weird. Apa yang terjadi?" Gelisah mulai menguasai hatiku lagi.
"Lui--- Aku mohon hentikan memikirkan hal yang menambah beban otakmu. " dr. Alva menggenggam tanganku erat sambil memandangku tajam.
"Baiklah!!---tapi dok.."
"Stop.!" Potongnya. " Jawab saja pertanyaan yang aku ajukan oke..?"
Aku kembali mengangguk pasrah. Aku menarik nafas panjang untuk meredakan aliran ingatan kacau yang menyerbu otak.
"Soal gumpalan di kepalamu---kau ingat juga penyebabnya?" Tanya Dr. Alva kemudian.
"Ya..aku ingat semuanya" jawabku
"Kecelakaan pesawat hampir 4 tahun yang lalu, penerbangan ke Swiss. Hanya 4 orang yang selamat termasuk aku, koma selama 3 bulan karena kepalaku terbentur dengan keras, terdapat gumpalan darah beku di otakku. Tidak besar, tidak bisa di operasi, aku harus hidup dengannya seumur hidupku. Dan gumpalan itu juga, yang membuatku bisa pingsan secara tiba-tiba" Jelasku, dengan lancar.
"Haaa---bahkan aku masih bisa mengingat kecelakaan itu dengan jelas, seharusnya aku melupakan kejadian itu" tambahku pahit.
Terbayang jelas, detik-detik horor ketika pesawat yang aku tumpangi tiba-tiba oleng. Belum lagi teriakan ngeri dari penumpang lain. Aku sungguh berharap aku bisa lupa tentang ini.
"Jangan seperti itu! Semakin sedikit yang terlupa semakin baik" kata dr. Alva.
"Ini yang terakhir dan terpenting, oke? Apa kau masih ingat apa saja yang harus kau hindari, agar tidak pingsan lagi secara tiba- tiba?"
Aku mengangguk sambil menjawab, "Stress berlebihan, kelelahan akut, menangis berlebihan hingga sakit kepala, dan alkohol terlarang juga---apakah lengkap?" Aku menguraikan segala larangan yang aku ingat.
Gumpalan di kepalaku akan bereaksi dan membuatku pingsan, jika ada sesuatu yang mempengaruhi kerja otak. Stres parah, menangis berlebihan, alkohol yang memabukkan --atau kurang lebih hal-hal yang akan menyebabkan sakit kepala-- adalah beberapa hal\, yang harus aku untuk hindari seumur hidup.
Aku masih merasa bersyukur karena sudah sejak dulu, aku hanya meminum alkohol ringan sejenis wine atau champagne saat perayaan.
Itu juga yang membuat dokter menyuruhku berhenti menjadi balerina. Stress saat latihan dan juga tekanan di atas panggung, sering membuatku tak sadarkan diri.
Dengan hati hancur, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti. Hanya itu yang bisa aku lakukan karena kelemahanku ini sangat mengganggu penari lainnya saat pertunjukan.
Aku sudah terbiasa dengan semua larangan itu sekarang.
Dr. Alva tersenyum puas mendengar jawabanku, kemudian menuliskan sesuatu di catatannya. "Kau mengingat keluargamu dan keadaan tubuhmu dengan baik, aku rasa itu cukup bagus"
"Entahlah doc, aku sepertinya melupakan sesuatu yang sangat penting" ujarku sambil memejamkan mata erat. Kegundahan aneh tidak juga hilang dari hatiku.
"Tentu saja kau akan merasa seperti itu. Semua memori kehidupan itu penting. Kehidupan itu sendiri adalah sekumpulan kenangan" ucapnya, sambil memandangku dengan kalem.
"Then I'm done. I have no life" sahutku dengan muram. Aku bahkan tak bisa mengingat siapa Dr. Alva, padahal melihat sikapnya saat ini, aku yakin dia sangat dekat denganku.
"Apa maksudmu? Kau masih memiliki kakakmu, Charlie, bahkan ayahmu, walaupun dia tak ada di sini. Merekalah kehidupanmu, kau bisa dengan mudah membangun kenangan yang baru dengan mereka bukan?" nasehat Dr. Alva sambil mengusap rambutku lembut.
Dan sekali lagi perkataannya terdengar sangat masuk akal. Dua orang yang paling aku sayangi --dan tentu saja mereka juga menyayangiku-- ada di sini bersamaku.
Dan karena duniaku yang sangat sempit, kemungkinan besar ingatanku yang hilang hanya berisi tentang hari-hariku bersama Charlie dan Oscar. Aku melirik Oscar yang duduk di sampingku. Dia masih diam, sambil menunduk.
"Kau benar dokter!" ujarku, mencoba mengatakannya dalam suara yang lebih bersemangat. Aku tidak tahan melihat Oscar yang sekarang terlihat kacau karena mengkhawatirkanku.
Dr. Alva tersenyum, "Gadis pintar, tidak usah terlalu memikirkan hal ini. Yang terpenting adalah sekarang kau sadar dan sehat" ujarnya sambil beranjak membereskan peralatannya.
"Oscar, bisa bicara sebentar di luar? " tanyanya pada Oscar. Dia mengangguk dan berjalan keluar. Apa yang terjadi padanya? Wajah khawatirnya terlihat sedikit aneh.
Melihat pandangan curiga dariku, dr. Alva kembali menjawil hidungku sambil tertawa.
"Aku hanya ingin membicarakan soal jadwal kontrolmu ke rumah sakit. Kau harus di CT Scan lagi agar aku bisa tahu penyebab ini semua..Oke? Jangan terlalu curiga".
"Aku hanya merasa kalian akan menyembunyikan sesuatu dariku" rajukku kesal.
"Tidak..tidak. Aku berjanji akan memberi tahu hasil diagnosa CT scan itu nanti kepadamu dan Oscar secara bersamaan. Jangan merajuk. Bisa hilang nanti cantikmu " godanya ceria.
Mau tak mau, aku tersenyum mendengarnya. "Sudah ya.. Sampai jumpa di rumah sakit" Dia mencium lembut keningku. Kemudian berjalan keluar menyusul Oscar.
Secercah rasa bersalah muncul lagi di hatiku.
Bagaimana bisa aku tidak mengenalinya? Sikapnya baik dan lembut sekali padaku. Sementara aku merasa dia adalah orang asing. Aku benar- benar menginginkan ingatanku tentang dr. Alva kembali, sehingga bisa membalas sikap lembutnya kepadaku sesuai dengan yang seharusnya. Aku menarik nafas panjang dengan kesal.
Gumpalan sialan!!!
Dan satu lagi yang tak kumengerti, seberapa lapar diriku sampai menggerakkan badanpun tak bisa!!!! Ini konyol sekali.
Bosan..Aku sangat bosan!!!.
Dua minggu terakhir ini, kegiatanku hanya berkisar antara rumah sakit dan rumah. Dr. Alva memeriksa dan memberikan terapi apalah itu --yang bahkan aku tak mau repot - repot mengingat namanya karena rumit sekali --sehingga aku harus bolak balik ke rumah sakit.
Selama terapi berlangsung, aku selalu dalam keadaan terbius, karena itu aku juga tak tahu, bentuk terapi apa yang aku terima.
Dan sesuai dengan janjinya, semua hasil diagnosa juga dijelaskan padaku dan Oscar secara bersamaan.
Menurut dokter, ingatanku hilang kemungkinan besar karena beberapa syaraf ingatanku terganggu oleh adanya gumpalan darah itu,
Ingatanku sangat random. Aku lupa sama sekali tentang apa yang terjadi selama sebulan kebelakang, tapi aku ingat dengan baik, hari saat dinner dengan Oscar dan Charlie. Ingatanku kembali absen untuk hari sebelumnya.
Analoginya, otakku seperti jaringan pipa yang tersumbat. Bagian yang tersumbat itulah yang terlupakan, sementara bagian lain masih mengalirkan ingatan dengan lancar.
Yang pasti, aku masih belum mengerti bagaimana aku bisa melupakan Dr. Alva secara sempurna, tak satupun hal yang aku ingat tentangnya.
Dan lebih parahnya, dia juga tak tahu bagaimana itu bisa terjadi.
Mengutip penjelasannya kemarin 'Syaraf otak dan ingatan manusia tak seperti ilmu kedokteran lain yang telah pasti. Masih banyak misteri dalam otak manusia yang bahkan belum terpecahkan oleh science and medic yang ada saat ini'
Well.. If you said so. Aku sudah pasti tak ingin mendebatnya.
Hari ini, adalah hari terakhir terapi di rumah sakit. Memikirkan apa yang akan aku lakukan besok benar- benar membuatku bosan.
"Benarkah aku tidak bekerja setelah aku berhenti balet?" tanyaku pada Charlie yang sedang berbicara dengan sopir keluargaku, Alex --aku juga ingat tentang dia, bahkan aku masih ingat nama kedua anaknya dan berapa umur mereka ck...ck--
"Apa...? Ya, tentu saja sayang. Kau tidak bekerja dan hanya di rumah" kata Charlie sambil terus menatap jalan raya di depan mobil yang berlalu lintas padat. "Melakukan apa di rumah?" tanyaku lagi.
"Well you know..berbelanja, jalan-jalan, ke salon..".
"Sendiri??" sergahku, tak habis pikir. Aku tidak suka berbelanja apa lagi ke salon, aku tahu itu dengan pasti.
"Tentu saja tidak!!, bersamaku" jawab Charlie. "Ada apa ini? Kenapa kau menanyakan hal ini lagi? Dr. Alva melarangmu untuk memikirkan hal-hal yang memang telah kau lupakan bukan?" tanyanya sambil menoleh ke kursi belakang.
"Aku hanya bosan, aku tak habis pikir, bagaimana aku bisa melewati hari tanpa punya pekerjaan"
Seperti bukan aku, tambahku dalam hati.
"Hmm.. Bagaimana kalau kau meminta pekerjaan pada Oscar? " kata Charlie setelah sekian lama terdiam.
"Di Delmor Corp punya Dad? Aku tak suka pekerjaan kantoran" sahutku.
Membayangkan aku harus berkutat dengan angka penjualan dan akuntansi membuatku bergidik. Aku sama sekali tidak berbakat akuntansi.
Nilai akutansi selama aku sekolah, tidak pernah jauh dari angka 3 dan 5 --ha..ha bahkan aku ingat memory memalukan ini. Ayolah otak..kau seharusnya menyumbatnya juga--
"Kita akan membicarakannya lagi dengan Oscar nanti ya, jangan dipikirkan OK?" Kata Charlie.
Helooooo... Kalo semua tak kupikirkan, jadi apa isi otakku???
Hanya karena rasa sayangku kepada Charlie yang luar biasa, yang akhirnya membuatku menelan kembali kata-kata barusan. Aku tak ingin menambah kekhawatirannya.
"Aku akan memasak makanan kesukaanmu untuk makan malam nanti, cerialah sedikit"
Kedua jempolku mengudara untuk menjawabnya, Aku sudah malas berdebat.
Aku kembali memandang keluar jendela mobil.
Perasaan entah apa yang selama dua minggu terakhir telah menghantuiku, kembali datang. Aku merasa benar-benar telah melupakan sesuatu yang penting.
Semua ingatan itu penting Lui, batinku, mengulangi ucapan dr. Alva. Tapi rasa hampa dan kosong yang kurasakan sangat nyata. seolah aku memandang lubang hitam tanpa ujung.
Belum lagi rasa sakit yang amat sangat , entah karena apa membuatku sangat ingin menangis. Ini ironis sekali, aku tak boleh menangis agar tetap sadar, tapi sekarang aku ingin menangisi sesuatu yang tidak aku ingat lagi.
Hahhh!!!!!
Bersusah payah aku menahan air mata. Aku tidak menceritakan tentang hal ini kepada siapa pun. Oscar dan Charlie sudah cukup khawatir dengan keadaanku.
Dr. Alva? dia hanya akan menyuruhku melupakannya.
Tapi tak akan semudah itu Dok! Karena sebagian diriku merasa, bahwa aku akan benar-benar hancur jika melupakannya.
\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~\~
Sampai di rumah aku memilih untuk menonton tv --membosankan memang. But I'll give it a chance-- di kamarku. Jika ingatanku tentang hal ini benar, aku sangat jarang menonton TV.
Dan... Aku menyesalinya hanya dalam waktu 5 menit.
Separuh dari stasiun tv yang ada, entah kenapa sedang menayangkan berita selebriti --Yang isinya gosip kehidupan artis dll -- dan luar biasanya sedang membahas hal yang sama. Penyanyi entah siapa nama nya --like I care-- hilang di laut karena badai.
Yeahh.. Mereka menayangkan berganti-ganti bagaimana sedihnya para fans dan teman-teman penyanyi itu karena kehilangan. Tangisan dan tak lupa musik yang menyedihkan menjadi BGM yang sempurna untuk tayangan itu.
Huhh.. Sudah cukup tangisan dan masalah dalam hidupku, tak perlu lagi tambahan dari yang lain.
Setelah gumpalan sial itu, aku benar-benar menghindari tontonan yang berpotensi mendatangkan air mata. Konyol sekali kalau tiba-tiba aku pingsan karena menonton drama. Dan aku tahu kelemahanku yang ini. Aku gampang sekali menangis karena drama.
Bosan memencet remote tv, aku menyerah dan berhenti di channel Animal Planet.
Aku menontonnya dan memutuskan itu adalah acara yang lumayan. Aku selalu menyukai binatang, terutama harimau dan kucing. Kebetulan acara itu sedang membahas kehidupan panther. Tapi sayangnya acara itu ternyata sudah hampir berakhir. Dengan kesal aku memencet tombol power ketika credit title telah tampil di layar.
Aku memang tidak berjodoh dengan TV hari ini. Satu acara yang aku nikmati dan itu telah berakhir.
Aku akan mencoba untuk membaca! putusku dengan segera.
Rasa bosanku sudah mencapai tingkat paling maksimal sekarang. Membaca adalah kegiatan yang paling aku hindari, karena aku sadar sekali, otakku kurang imajinatif.
Kemampuanku menerjemahkan imajinasi penulis sangat kurang, akibatnya aku tak bisa menikmati membaca novel seperti Oscar.
Aku turun ke ruang baca di lantai satu. Ruangan ini adalah tempat favorit Oscar di rumah ini. Dulu dia sering menghabiskan banyak waktu di sini jika sekolah libur, tapi karena kesibukannya, sekarang ruangan ini sudah lama tak tersentuh.
Aku mengenali deretan buku baru yang biasanya selalu bertambah hampir setiap minggu. Tapi melihat dari jumlahnya yang tidak bertambah dari terakhir aku melihatnya-- yaitu sekitar 2 bulan yang lalu-- itu berarti Oscar sangat sibuk sehingga tak punya watu untuk membaca.
HaHh....!!!
Otakku yang istimewa ini, tak bisa mengingat kejadian sekitar 2 minggu yang lalu, tapi bisa mengingat dengan detail buku apa yang di letakkan Oscar disini sekitar 2 bulan yang lalu....lucu sekali.
Luar biasaaaaa!!! batinku dengan jengkel.
Sudahlah Lui, tak ada gunanya kau mengutuk!!
Aku menenangkan diri sebelum rasa jengkelku berubah menjadi emosi yang berlebihan.
Setelah mengambil novel dan mencari posisi yang nyaman akupun mulai membaca.
Dan seperti biasa otakku menolak untuk bekerjasama menerjemahkan apapun yang diinginkan penulisnya. Tak lama kemudian, mataku tak fokus lagi pada halaman buku dan pikiranku melayang bebas menuju lamunan.
Yahh.. Dua minggu ini dengan banyak nya waktu luang yang aku punya untuk melamun, aku berhasil menemukan titik pasti dimana memoriku mulai berkabut.
Sesaat setelah aku berhenti balet!!
Aku bisa mengingat semua jalur kehidupanku dengan baik sebelum titik itu.
Tempat aku sekolah, --Royal Ballet School di New York-- apa dan dengan siapa saja pementasan yang sudah kulakukan, kecelakaan pesawat itu, bangun di rumah sakit dengan badan terasa seperti mumi.
Tangisan Mom dan Charlie saat melihatku bangun, kemudian ketika dokter memutuskan aku harus berhenti balet, My late Mom, Charlie dan Oscar melakukan bermacam cara untuk menghiburku. Salah satunya adalah dengan mengajakku liburan ke Perancis. Semua ingatan tentang hal itu sangat sempurna.
And that's it!!!!
Setelah itu memoriku benar benar kacau.
Aku bahkan tak ingat bagaimana perjalanan ke Perancis itu akhirnya. Aku melupakan dengan total kejadian beberapa bulan setelahnya, ingatanku kosong selama 6 bulan lebih, kemudian ingatanku melompat pada saat Oscar memberitahu bahwa Mom tertembak dan akhirnya meninggal.
Tentu saja hal itu terlalu berat untukku karena itu aku pingsan dan koma selama setahun.
Aku ingat ini, tapi aku sama sekali tidak mempunyai memori bagaimana aku bangun dan akhirnya melewati masa-masa berat -- terapi otot, fisik dll, karena percayalah, tidur selama setahun akan membuat tubuhmu hampir lumpuh-- setelah koma itu.
Semakin banyak jeda dan lubang pafa memoriku pada titik ini. Sangat sedikit ingatanku yang tersisa, bahkan tak cukup untuk merangkainya menjadi cerita.
Potongan ingatan itu menurutku, adalah tempat-tempat yang telah aku kunjungi.
Bukit di tepi pantai entah di mana, padang bunga lavender, hutan lebat yang juga tak tahu dimana, bahkan pantai berpasir putih yang sangat indah.
Potongan-potongan itu meninggalkan sesuatu kesan yang membuatku ingin selalu mengingatnya.
Dokter Alva telah melarangku untuk memikirkan soal memori-memori itu, tapi ada rasa hangat menentramkan yang menyelimutiku ketika aku mencoba mengingatnya, seolah kabut yang mengaburkan memoriku hilang tersapu sinar matahari.
Hangat...
Tapi entah kenapa kehangatan itu malah kadang membuatku sedih dan kosong. Hampa karena aku sama sekali tak tahu asal dan bagaimana kehangatan itu ada.
Aku ingin menghentikan aliran memori berkabut ini. Tapi disaat bersamaan, aku juga ingin terus merengkuhnya erat, walaupun menyakitkan, aku enggan melepaskannya.
"Ini akan benar-benar membuatku gila" gumamku akhirnya membanting novel tak bersalah itu ke meja di sebelahku.
"Jelek ya bukunya?"
"Aaaaghh" teriakku kaget. "Oscar, jangan suka berjalan seperti hantu tanpa suara seperti itu" teriakku lagi.
"Aku tidak mencoba berjalan seperti hantu, kau saja yang terlalu tenggelam dalam buku itu" kata Oscar sambil berjalan dan memungut buku yang aku banting tadi kemudian mengembalikan ke tempatnya.
"Mengapa kau sudah pulang? Biasanya kau tak pernah di rumah sebelum pukul 9." tanyaku sambil menariknya duduk di sebelahku.
Aku tidak meralat ucapannya, yang menganggap aku tadi sedang membaca, bukan melamun.
"Karena kata Charlie kau sedang bosan" Jawabnya, sambil menatapku dengan lembut.
Aku pun tersenyum lebar mendengarnya. "You're the best, brother" Aku bergeser agak menjauh kemudian meletakkan kepalaku di pahanya.
Kakakku dan aku memang sangat dekat. We only have each other.
Mom and Dad memang tak pernah membuat kami merasa terlantar.
Tapi dengan pekerjaan Mom yang seorang penari balet --lumayan ternama-- dan Dad yang merupakan CEO perusahaan yang lumayan besar, waktu mereka untuk kami tentu saja sangat terbatas. Masa kecilku sampai remaja, aku habiskan bersama kakakku dan tentu saja Charlie
Hubungan kami agak mulai berjarak ketika kami mulai dewasa, bukan keinginanku tentu saja.
Selain karena aku mulai sibuk dengan balet profesional, penyebab lainnya adalah Oscar mulai disibukkan oleh gadis-gadis yang menempel padanya bagai lintah. Pesona kakakku memang berlebihan.
Hhhh..
Wajah Oscar nyaris sempurna, hidung mancung, rahang persegi, mata biru gelap --seperti mataku--, rambut pirang keemasan berkilau --seperti aku juga..he..he--.
Belum lagi sifatnya yang play...okelah, dia bukan playboy, hanya saja dia tak akan tahan melihat rengekan dan air mata dari wanita manapun --Dan aku tahu soal ini dari kecil, jadi yaahh..pokoknya aku telah memanfaatkannya dengan baik--
Karena sifat itulah, dia sering terlihat kencan dengan gadis yang berbeda-beda.
Bayangkan, hampir setiap hari ada saja yang meminta dia untuk kencan dan hampir seluruhnya diterima --yang ditolak pun karena aku yang minta, mereka jelas bukan gadis baik-baik..ck..ck-- . Tentu saja akhirnya julukan playboy melekat padanya sampai sekarang.
Did he ever fall in love? Like truly love someone?
Aku juga tak tahu soal ini. Kakakku akan dengan sukarela membagi seluruh cerita hariannya jika kuminta, tapi kalau berhubungan dengan kekasih,pacar atau selingkuhan --maybe-- dia selalu menutup mulutnya rapat-rapat seperti kerang.
"Aku benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa menghabiskan waktuku hanya untuk diam di rumah" kataku.
"Hmm......" Oscar mulai membelai rambutku dengan lembut. "Bekerjalah untukku"
"Oscar..!! Kau tau aku paling membenci pekerjaan kantoran " ujarku tak sabar.
"Iya, dengarkan aku sampai selesai dulu" Ditariknya telingaku dengan gemas.
"Sakiittt!!" teriakku.
"Bohong!!! Kau mau dengar tidak?"
Kali ini hidungku yang menjadi sasarannya. Aku hanya tersenyum sambil mengangkat jempol.
"Kau akan aku tempatkan di bagian Charity"
"Charity? ... We have charity division?"
Aku sama sekali belum pernah mendengar ini Atau mungkin aku sudah melupakannya.
"Ya! Mom yang membuatnya beberapa bulan sebelum meninggal" lanjutnya.
"Ini memang divisi yang sangat tidak populer, karena divisi ini sama sekali tidak menghasilkan uang, sangat jarang ada karyawan yang dengan sukarela mau bekerja di divisi ini. Bahkan beberapa ada yang menyebut divisi ini sebagai 'Hell Hole' "
"What? How come?" tanyaku tak habis pikir.
"Karena di divisi ini dapat dipastikan tak akan ada bonus, kenaikan pangkat atau apapun. Mereka hanya akan menerima gaji, itu saja. Yah...pegawai divisi itu memang cuma 2 orang sih"
"Ohh" anggukku mengerti.
"Aku sebenarnya tak ingin membuatnya menjadi seperti itu, karena bagaimanapun juga itu adalah peninggalan Mom, tapi aku benar-benar tak punya waktu lagi untuk mengurusnya. Aku hanya mempercayakan semua pengelolaan pada mereka. Aku bahkan jarang membaca laporan bulanan mereka" Oscar mengakhiri penjelasannya dengan nada penuh penyesalan.
Actually it doesn't sound so bad. No pressure, no argument, just giving away money. It's awesome, pikirku girang.
"Errr... Yang membuat laporan bulanan bukan aku kan?" tanyaku kecut.
"Of course not! Kau akan punya sekretaris di sana. Suruhlah dia yang membuat oke? Tugasmu adalah memilih apa saja atau siapa saja yang akan memperoleh bantuan, it's nice isn't it?"
Aku pun mengangguk-angguk dengan bersemangat mendengarnya.
"Eh.. Darimana sumber uang yang kita bagikan? Dari sumbangan orang-orang?" tanyaku lagi. Agak susah membayangkan bagaimana divisi non profit seperti itu bisa berjalan sampai beberapa tahun.
"Ada yang merupakan sumbangan, tapi sebagian besar berasal dari keuntungan perusahaan yang memang sengaja disisihkan. Untuk tahun ini sekitar 5% keuntungan perusahaan aku alirkan kesana." Jelas Oscar. "
That's not much.." kataku, mengerutkan dahi.
Sentilan lembut mendarat di dahiku. "Kau tahu berapa keuntungan Delmor pertahunnya? 5% itu setara dengan $10.000.000 " Aku menutup mulutku dengan kaget mendengar penjelasan Oscar.
5% dari keuntungannya $10.000.000??? Berarti total keseluruhan pendapatan pertahunnya adalah....errr okay, I m not that smart.
"Kau tak perlu menghitungnya, bisa-bisa kau pingsan nanti" kata Oscar sambil terkikik. Aku pun melayangkan jeweran ke telinganya dengan sebal.
"That's a lot of money. You're so great brother" Ku acungkan kedua jempolku padanya.
Aku tahu kakakku memang pintar --sangat pintar bahkan-- tidak heran, setelah Delmor beralih ke Oscar, pertumbuhannya sangat pesat. Oscar mengembangkannya menjadi perusahaan yang bahkan jauh lebih besar dibandingkan ketika Dad yang memegangnya.
"Karena uang sejumlah itu, ada banyak sekali proposal bantuan yang dikirim ke kantor setiap harinya. Kau harus melakukan evaluasi secara menyeluruh untuk setiap proposal itu. Akan sangat menyebalkan kalau ternyata yayasan yang kita berikan bantuan adalah palsu, waspadalah akan banyak yang seperti ini. Mengerti? "
"Aye..aye captain." Hormatku sambil tersenyum.
"Beri aku waktu 3 hari untuk membereskan berkas karyawan yang ada sekarang, setelah itu kau bisa mulai bekerja" lanjutnya.
"Kau akan memecatnya?!!" Cicitku kaget.
Aku tak ingin bekerja di sana, jika itu berarti akan ada seseorang yang kehilangan pekerjaan.
"Tentu saja tidak. Aku hanya akan memindahkannya ke divisi yang lain." jawabnya, sambil mencubit pipiku gemas.
"Kau kira aku akan berlaku sekejam itu pada karyawanku? Dan aku rasa mereka akan gembira karena akan terlepas dari hell hole itu. It's a win win solution. Mereka bisa mengembangkan karirnya di divisi yang lain, sedangkan kau, tidak akan membutuhkan pengembangan karir bukan? "
"Oh.. Aku tak akan mendapatkan bonus juga berarti?" gumamku otomatis tanpa berpikir.
Oscar memegang kepalaku dengan kedua tangannya dan mulai mengacak-acak rambutku.
"Eluira Ignes Delmora, kau adalah pemegang saham nomor 3 terbesar di Delmor Corp. Uang yang mengalir ke rekeningmu per-tahun jumlahnya jauh melebihi jumlah uang yang mengalir ke divisi itu. So, I'm sorry to say this. Aku bahkan tidak akan menggajimu sepeserpun mengerti?"
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Okey boss. Can I call you boss in the office?" tanyaku sambil mengerling nakal.
"Nope.. Don't even dare to try..you little devil" geramnya.
Aku tertawa semakin kencang mendengar itu.
"Oh.. But you still love me right?"
Oscar tak menjawabku, tapi sebuah kecupan hangat mendarat di keningku.
"Sering-seringlah tertawa seperti ini"
"Okey brother..I love you too"
Aku tahu, Oscar sangat khawatir dengan keadaanku belakangan ini.
Well.. Aku akan memastikan ini tak terjadi lagi. Aku benci melihatnya bersedih karena aku.
"Oh iya--aku sudah membelikan ponsel baru untukmu" katanya tiba-tiba, sambil meraih paper bag di lantai sebelah kursi.
"Ponsel baru?", sahutku bingung.
"Kau merusakkan ponsel lamamu sebelum kau pingsan, yah setidaknya aku bisa membelikanmu ponsel terbaru sekarang. Kemarin-kemarin kau selalu menolaknya dengan alasan tidak butuh kan?"
"Aku lupa kalau ponselku rusak" jawabku getir.
Aku memang bukan seorang gadget freak, absennya ponsel sama sekali tak menggangguku. Bagiku ponsel hanya untuk menelpon.
Aku kurang suka mengetik pesan atau pun bersosial di dunia maya -- jangan tanya soal akun SNS. Email saja jarang aku buka -- Aku memakai ponsel yang sama selama 5 tahun kebelakang.
Ingatanku terpatri jelas untuk hal ini.
Aku meraih ponsel di dalam paper bag itu dan memeriksanya.Oscar membeli ponsel dengan model yang lebih baru dari pada yang dulu.
Aku memencet icon contact di ponsel, dan melihat hanya ada 6 nama disana --Oscar, Dad, Charlie, dr. Alva, Alex, dan Mark (sopir keluarga juga)-- Menyedihkan sekali, batinku.
Pergaulanku memang sangat terbatas.Sebelum aku berhenti balet, duniaku hanya berputar di sekeliling Balet.
Ya.. Latihan, makan, tidur. Hanya itu kegiatanku sehari-hari. Mungkin karena itu juga aku sampai sekarang sama sekali tak punya teman selain dari dunia balet.
Tetapi karena aku memutuskan semua hubungan dengan teman-teman di Royal Ballet School ketika aku berhenti --terlalu menyakitkan melihat mereka masih bisa menari dengan bebas--, praktis sekarang aku sama sekali tak punya teman.
Aku sebenarnya tak ingin memutuskan begitu saja hubunganku dengan mereka.
Tapi ketika aku bertemu dengan mereka, aku selalu merasa putus asa dan tertinggal.
Aku tak memiliki hal lain yang bisa kami bicarakan selain balet.
Akhirnya kami semua menjadi berjarak, dan mulai menjauh dengan alami. Dan sejujurnya aku menjadi lebih lega setelah itu, tak perlu berpura-pura senang saat melihat mereka, sering kali aku harus berusaha tersenyum saat mendengar pembahasan mereka tentang balet.
Ketika dokter --bukan dokter Alva, aku ingat ini-- memberitahuku bahwa aku harus berhenti balet, saat itu juga, aku merasa duniaku runtuh.
It's my everything, everything I have. I work really hard to be a great ballerina. Beratus ribu jam yang telah aku habiskan untuk berlatih, terbuang sia-sia!!
Aku menangis selama berhari-hari ketika itu --pingsan berkali-kali juga tentu saja-- , mengurung diri, tak mau bertemu dengan siapa pun.
Aku tak mungkin bisa menikmati pembicaraan santai dengan semua temanku. Keputusanku untuk menjauh dengan perlahan membuatku lebih tenang.
Hhhh.... Aku sekarang sudah merasa lebih baik tentu saja.
Dan yang paling bodoh adalah, aku tak ingat lagi bagaimana aku bisa melewati depresi itu.
Ini sangat tidak masuk akal!!
Untuk bisa memikirkan hal ini dengan bebas terasa seperti keajaiban. Well...gumpalan sialan.
Sekali lagi memberiku ingatan yang tidaak lengkap untuk masalah ini.
"Ada yang salah?" tanya Oscar tiba-tiba. "Kau memandangi ponselmu tanpa melakukan apapun"
"Tidak..tentu saja tidak. Maaf, aku hanya melamun"
Oscar mendadak meraih tanganku dan berdiri. "Ayo kita makan, Charlie pasti sudah menunggu"
"Eh..ayo"kataku sedikit kaget dengan ajakkan tiba-tiba itu.
Mungkin dia sudah lapar pikirku.
Gadis itu terisak pelan.. Tangannya telah lelah berusaha untuk membuka pintu-pintu itu, tapi tak ada yang terjadi. Semua pintu itu tetap tertutup rapat.
Dengan langkah gontai. dia kembali berjalan, berharap menemukan satu pintu yang akan terbuka dan membebaskannya dari kehampaan yang mengurungnya.
^^^^^^^^^^
Aku melihat bayanganku sendiri di cermin dengan ragu.
Hari ini aku akan mulai bekerja. Dan Aku gugup sekali.
"Kau cantik sayang" kata Charlie sambil merapikan kepangan rumit di belakang kepalaku.
"Apakah bajuku tidak aneh?" tanyaku.
Hari ini Charlie memilihkan baju yang terdiri dari celana dan blazer hitam, serta blouse berwarna biru langit, hampir sewarna dengan mataku.
Kenapa Charlie yang memilih?
Yeah.. FYI aku benar-benar mempunyai selera yang buruk dalam berpakaian --setidaknya itu kata Charlie dan Oscar-- karena itulah hampir seluruh isi lemariku merupakan sumbangan ide dari Charlie . Bukan masalah besar\, seperti yang aku katakan\, aku benci berbelanja.
Aku menatap bayanganku di cermin sekali lagi dan mendengus tak puas.
Aku mempunyai tubuh yang mungil. Mungkin bentuk tubuh dan posturku bagus, karena aku penari balet, tapi soal tinggi aku benar-benar minder. Tinggi Oscar 189 cm, sedangkan aku..hhh---------158 cm.
Mom pernah bercanda dan mengatakan padaku, jika Oscar mengambil semua gen peninggi badan dari mereka, sehingga aku tidak mendapatkan apapun.
Mungkin Mom benar, karena akulah penghuni rumah ini yang paling kecil. Ahh---sebersit rasa duka menghampiriku ketika aku memikirkan Mom.
Girl, it's not the right time to get mellow!
"Lui... Kau sudah siap? Kita bisa terlambat sampai kantor". Suara Oscar memanggil dari bawah.
"Ya". Sahutku pendek. Beranjak dari depan cermin.
"Kau akan baik-baik saja dear" kata Charlie sembari menyerahkan tas kerja dan memelukku.
"Berbahagialah" tambahnya.
"Eh.. Bukankah seharusnya semoga sukses?" tanyaku heran mendengar harapan Charlie.
"Ya.. Semoga sukses" kata Charlie sambil tersenyum.
Aku melihat mata Charlie dan kulihat ada rasa khawatir di sana.
"Ayolah!!" teriak Oscar lagi.
Aku mengurungkan niat untuk bertanya, mencium pipi Charlie sekilas, kemudian berlari turun.
Mungkin Charlie hanya khawatir jika aku tiba-tiba pingsan di kantor. Aku berlari menuruni tangga, dan sesampainya di bawah seseorang mencekal lenganku.
"Kau berlari? Kau ingin pingsan dulu sebelum sampai kantor?!" kata Oscar sambil menatapku tajam.
Rupanya dia menungguku di bawah tangga. Aku tak melihatnya tadi.
"Jangan berlebihan Oscar, aku masih bisa berlatih balet selama 1 jam dan baik-baik saja" jawabku sambil memutar bola mataku.
"Itu dulu" sahutnya pendek kemudian berjalan keluar menuju mobil.
"Pagi Alex!" sapaku.
Alex berdiri menunggu kami di sebelah pintu mobil yang telah terbuka.
"Pagi Nona" balasnya sambil tersenyum ramah.
Alex sudah bekerja kepada keluarga kami selama hampir 10 tahun. Dia menjadi supir pribadi Dad sebelumnya. Setelah Dad pergi ke Perancis, otomatis sekarang dia menjadi sopir Oscar.
Aku mencoba menenangkan diri dengan melihat pemandangan di luar. Aku melirik Oscar, dia sedang membaca sesuatu di I-pad dan sedang berbicara dengan seseorang di wireless earphone.
Ya Tuhan!
Dia bahkan sudah mulai bekerja sebelum sampai kantor. Aku menjadi sedikit kasihan kepada siapapun yang sedang diajak berbicara olehnya saat ini. Dia harus mendengarkan segala instruksi Oscar sejak jam 6 pagi.
Perjalanan dari rumah kami ke kantor memakan waktu yang cukup lama. Hampir 2 jam perjalanan --hebatnya Oscar tidak pernah telat datang ke kantor, Alex pernah bercerita tentang ini padaku-- karena letak rumah kami memang jauh dari perkotaan. Bahkan rumah kami dekat dengan perbatasan hutan Blubell.
Kenapa kami memilih lokasi itu sebagai rumah padahal Dad mampu membeli rumah megah di tengah kota? Jawabannya, karena Mom.
Mom sangat menyukai alam. Pohon, bunga, dan teman-temannya. Sebab itulah Dad membangun mansion di luar kota. Lengkap dengan taman, dan tentu saja pagar berlistrik untuk mencegah binatang masuk ke wilayah rumah kami.
Hutan Blubell memang tidak terlalu luas, tapi sangat lebat dan merupakan hutan lindung yang telah berusia ratusan tahun.
Tak heran banyak hewan liar yang menghuninya --Thanks God I never met one of them-- Dan karena kami sejak kecil telah memilih sekolah berasrama, letak rumah kami yang tidak biasa itu tidak pernah menggangguku.
"Kita sampai" Kata Oscar memotong lamunan panjangku, yang terdiri dari banyak hal liar, termasuk bagaimana jika ternyata penampilanku sangat memalukan dan semua pegawai kantor Delmor akan menertawakanku begitu bertemu. Lamunan yang tidak membawa ketenangan jiwa.
"O..oke" sahutku, tergagap karena gugup.
Aku merapikan rambut dan bajuku sebelum turun. "Apa aku terlihat rapi? " tanyaku pada Oscar yang telah turun dan menungguku di sebelah pintu.
Dia hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk membantuku turun. "You look amazing, like always" Jawabnya kemudian, sambil melangkah melewati pintu kaca depan gedung, yang telah dibuka oleh penjaga, begitu melihat mobil Oscar mendekat.
Aku benar-benar bersyukur --dan berterima kasih-- karena Charlie yang memilihkan baju dan merapikan rambutku. Karena begitu aku masuk ke gedung\, seluruh tatapan orang yang berada di dalam terarah kepada kami. --*heyyy apa yang kau harapkan akan terjadi? Aku memasuki gedung bersama dengan Oscar, bukan saja karena dia CEO, tapi aku harus mengakui, He look amazing in a sui*t --
Belum pernah aku merasa gelisah seperti ini. Bahkan ini lebih buruk dari pentas balet pertamaku. Setidaknya saat itu aku tahu, apa yang akan aku lihat saat tirai terangkat. Tapi hari ini, aku benar-benar buta. Aku bahkan belum pernah ke gedung Delmor sebelum hari ini.
Ughh.. Aku belum siap untuk ini.
Besok aku akan memilih pintu lain untuk masuk, atau akan menyuruh Oscar masuk terlebih dahulu.
Setelah perjalanan yang terasa seabad --melewati lautan bisikan, bahkan beberapa karyawan wanita terang-terangan menunjukku, sementara Oscar berjalan dengan santai dan membalas beberapa sapaan dari karyawannya-- mengarungi jarak antara pintu depan dan lift\, aku bernafas lega.
Akhirnya bisa sendirian bersama Oscar di lift.
Nafas panjang yang aku hembuskan dengan keras, membuat Oscar tertawa geli.
Memutuskan untuk tak berkomentar mengenai keadaanku, dia memencet tombol nomor 6.
"Kantormu ada di lantai 6, sedangkan aku di lantai 40. Paling atas. Aku akan memperkenalkan pada sekretaris yang akan membantumu nanti. Setelah itu aku ada meeting, jadi maaf aku tak bisa menemanimu lama"
"Tidak apa, aku di sini untuk bekerja, tentu saja aku tak butuh ditemani" kataku agak ketus, aku masih kesal karena dia menertawakanku tadi.
Ketika mendengar nada kesalku, Oscar malah tertawa semakin kencang.
Tawa renyah Oscar menular padaku. Yeah brother.. Tertawalah, don't worry about me. I'm gonna be just fine.
Sampai di lantai 6, aku berjalan di belakang Oscar yang melangkah dengan terburu-buru --dia tak ingin terlambat meeting pastinya--sambil menerangkan tata ruang di lantai itu untukku.
"Di lantai ini ada 2 divisi, divisi HRD dan Charity. Sebagian besar HRD karena Charity sendiri hanya berisi 2 orang"
"Pagi juga!" katanya membalas sapaan karyawan yang berlalu lalang di lorong.
Oscar berhenti di depan pintu cokelat besar bertuliskan Charity dengan plat berwarna keemasan tertempel dan membukanya.
"Selamat datang di kantormu yang baru!!" senyumnya dengan lebar.
Kantor itu mempunyai interior yang hampir mirip dengan ruangan-ruangan yang sebelumnya --nuansa hijau dan hitam yang mewah-- sofa hitam teronggok di sudut ruangan dan lengkap dengan bunga segar di mejanya. Di ujung yang lain terdapat meja kantor dengan model yang elegan.
Asumsiku meja itu adalah untuk sekretaris, karena aku melihat ada pintu lain di tembok sebelah kanan meja itu, tentu saja itu yang akan menjadi ruang kerjaku.
Belum sempat aku berkata apapun, seorang wanita menghampiri kami dan menganggukkan kepala kepada kami dengan hormat.
"Selamat pagi Mr.Delmora! And Ms. Delmora, selamat datang di kantor anda" Katanya dengan nada resmi sampai membuatku merinding.
Aku mengamatinya dengan seksama. Rambutnya ikalnya yang diikat kebelakang berwarna gelap hampir hitam, tapi aku masih bisa melihat sedikit warna cokelat disana.
Dia lebih tinggi dariku --tentu saja--, kacamata berbentuk bulat menempel dengan nyaman di hidung mancungnya. Dia cantik, apalagi ketika tersenyum, lesung pipinya terlihat.
"Ini Jovita Norine, sekretaris yang nanti akan membantumu di sini, dan Jovi, ini adalah Eluira Delmora adikku satu-satunya yang akan bertanggung jawab di divisi ini mulai sekarang " kata Oscar memperkenalkan kami.
"Senang bertemu anda Ms.Delmora, anda bisa memanggil saya Jovi" katanya, sambil mengulurkan tangan dan tersenyum gugup.
Aku menyambut tangannya dan menyadari bahwa tangannya sedikit basah.
Rupanya bukan hanya aku yang gugup pagi ini. Akupun tersenyum dan menjawab.
"Eluira Delmora dan panggil saja aku Lui atau Elui. Dan tolong bersikaplah yang santai" Ucapku, sambil bergidik risih oleh nada resminya yang nyaris seperti robot.
"Benarkah?" tanyanya, sambil melebarkan mata tak percaya.
Matanya indah berwarna cokelat tua, mukanya jadi terlihat lucu karena melotot.
"Ya, panggil saja aku Lui, aku tak suka hal-hal yang terlalu resmi" jawabku
"Oh..syukurlah" katanya sambil menghembuskan nafas lega.
Aku tertawa geli melihatnya, sedangkan Oscar hanya tersenyum kecil.
"Jovi sudah bekerja di divisi ini sejak pertama kali terbentuk, jadi dia yang akan menjelaskan semua yang perlu kau ketahui nanti. Dia sangat mencintai divisi ini, karena ketika aku menawarinya untuk pindah ke divisi lain, dia menolaknya! Bahkan Mrs. Olsen --kepala divisi yang lama-- juga sempat menolak tawaranku untuk pindah. Aku harus membujuknya dengan jabatan yang lumayan tinggi sebelum dia akhirnya menyerah. Tapi Jovi bahkan tidak tergiur dengan tawaran yang aku berikan" cerita Oscar panjang lebar.
"Aku mulai tidak mengerti kenapa karyawan lain menamai divisi ini hell hole, mereka betah sekali berada di sini" tambahnya.
"Bukan begitu Mr. Delmora, hanya saja saya sudah merasa cukup bekerja di divisi ini, dan saya bukan orang yang tahan dengan persaingan dan tekanan kerja yang berat. Saya rasa saya lebih cocok berada di divisi ini dari pada yang lain" sahut Jovi dengan menunduk.
"Oscar, kau akan telat meeting" ucapku memotong pembicaraan mereka.
"Oh **" umpatnya sambil melihat jam tangan.
"Baiklah, Jovi tolong jelaskan semua apa yang perlu Lui kerjakan semua, oke?" Jovi hanya mengangguk patuh.
"Dan kau, nanti akan pulang bersama Alex, aku akan lembur sampai malam. Aku akan pulang sendiri" Tambahnya sambil memandangku tajam, yang berarti aku tidak boleh membantahnya.
"Kenapa bukan aku yang pulang sendiri? Kau akan sangat lelah karena lembur" usulku.
"Apa kau ingin membuatku mati karena khawatir? Bagaimana kalau kau tiba-tiba kau pingsan saat menyetir di jalan? Jangan membantah!!" tambahnya dengan kejam, ketika melihatku mencebikkan mulut karena kesal.
"Okey.. Aku harus pergi sekarang sebelum benar-benar terlambat"
Dia mengelus pipiku sekilas kemudian keluar.
"Ohh...aku iri sekali" kata Jovi tiba-tiba.
"Kenapa?" tanyaku tak mengerti, dia baru saja melihat Oscar membentakku.
"Karena dia bersikap manis sekali padamu" jawabnya sambil tersenyum kecil. "Aku punya seorang adik laki-laki, dan hal yang termanis yang pernah dilakukannya adalah melemparkan sepatu ke arahku, ketika aku meminta tolong untuk mengambilkannya" tambahnya getir.
Aku terkekeh geli mendengarnya.
"Yah..dia masih 15 tahun, aku hanya berharap dia akan menjadi lebih baik nanti" Jovi mengendikkan bahu dengan pasrah.
"Hey..siapa saja bisa menjadi kasar ketika masa puberty. Bahkan Oscar juga, dia selalu melarangku mendekatinya ketika dia mulai puberty, aku sedih sekali saat itu. Tapi akhirnya kami baik-baik saja sekarang" hiburku dengan simpati.
"Ya, aku harap begitu" pungkas Jovi.
Dia gadis yang baik dan ramah, jarak usia Jovi yang hanya tiga tahun lebih tua dariku, membuat kami cepat akrab. Ia menjelaskan tentang apa-apa saja yang perlu aku kerjakan di divisi ini dengan terperinci.
Menjawab sejuta pertanyaan dariku --karena aku nyaris buta dan tak tahu apapun mengenai kehidupan kantor-- dengan sabar pula. Aku rasa aku menyukainya. Mungkin kami bisa berteman, tekadku dalam hati.
Untuk makan siang, Jovi mengajakku ke cafe yang terletak beberapa blok dari gedung kantor. Katanya burger di situ sangat lezat.
Oh..aku tak sabar ingin mencobanya.
Cafe itu sangat sibuk siang itu. Aku dan Jovi beruntung mendapatkan tempat duduk kosong di ujung sebelah kanan. Kami pun menikmati makan siang dengan mengobrol panjang. Dia menceritakan padaku tentang keluarganya.
Ayah dan Ibunya mempunyai sebuah toko kue dan adiknya bersekolah di salah satu sekolah untuk atlet yang sangat ternama.
Adiknya memperoleh beasiswa penuh di sana karena kemampuannya bermain football. Melihat matanya yang berbinar ketika bercerita --walaupun dia sempat berkata bahwa mereka tak akur-- aku tahu dia sangat menyayangi adiknya.
"Kita baru saja mengenal, tapi kau sudah menceritakan hampir seluruh kisah hidupmu padaku" kataku sambil tersenyum lebar.
"Jangan salah sangka, aku menyukainya, aku merasa kita menjadi lebih dekat karena ini" tambahku dengan terburu-buru, karena Jovi terlihat agak gelisah dan meletakkan burger yang sedang dimakannya--she is right by the way, the burger is awesome--
"ehmmm.. Lui. Sebenarnya..emm" katanya ragu-ragu.
"Kenapa?..teruskanlah" ucapku penasaran. "Kemarin, ketika Mr. Delm.."
"Sebut saja Oscar, aku tak nyaman mendengarnya. Setidaknya ketika hanya bersamaku" potongku cepat.
"Eh.. Aku tak b..."
"Sshh.." aku memotongnya lagi dengan lambaian tanganku mengisyaratkan aku tak mau dibantah.
"Baiklah...O..oscar" ucapnya dengan gugup.
"Sebenarnya aku agak merasa bersalah kepadamu. And I'm so sorry about this" terusnya.
"Ada apa?" Tanyaku dengan bingung.
"Sebelum kita bertemu tadi pagi, kemarin Oscar sudah bercerita banyak hal tentangmu. You know.. About 'something' in your head, about your jumbled memory. Aku rasa hal itu terlalu pribadi untuk diceritakan kepadaku. Tapi Oscar bilang, hal itu perlu karena menyangkut kesehatanmu dan soal apa saja yang boleh dan tidak boleh kau lakukan. Aku jadi merasa agak bersalah. Aku tahu hampir semua hal tentangmu, tapi kau tidak tahu apa soal diriku. "
"Jadi sekarang kau memutuskan untuk menceritakan semua soal hidupmu agar kita sama?" simpulku.
Jovi mengangguk pelan dan menunduk. Aku meraih tangannya dan meremasnya dengan lembut.
"Tak apa, aku tak keberatan. Yah..memang seperti itulah keadaannya. Kalau ada seseorang yang perlu mendapat peringatan itu adalah Oscar. Dia memang terlalu paranoid, I'm not that fragile" Ucapku sambil cemberut.
Jovi akhirnya tersenyum lebar mendengarnya. "Thanks" katanya. "Untuk apa?"
"Yah..untuk sikapmu yang menganggapnya biasa saja, padahal itu merupakan rahasia besar, apalagi aku hanyalah pegawai rendahan di kantor itu. Sedangkan kau..?"
"Heyy.. Siapa yang mengatakannya? Berani sekali dia, kau sekretarisku bukan pegawai rendahan " ucapku dengan nada jengkel dan sombong. Jovi terkikik geli melihatku.
"Sebagian besar orang-orang HRD paling tidak pernah mengucapkannya sekali" katanya sambil lalu.
"Ck..ck.. That's bullying" kataku. Apa maksud mereka mengatakannya?
"Yeah. But, what can I do? Mereka dari HRD. Merekalah yang menerima aduan jika karyawan dari divisi lain mendapatkan masalah. Jadi kalau bully-an itu berasal dari mereka hmm....."
"Dasar gila.. Aku akan memberi tahu Oscar soal ini" kataku dengan berapi-api. "Tidak!!.. Jangan lakukan itu" cegahnya. "Kenapa?"
"Karena sekarang ini bully-an itu sudah sangat jauh berkurang. Tak apa" tambahnya ketika aku masih menggeleng tak puas.
"Dan kurasa mereka takkan berani lagi mengulanginya, bayangkan saja, sekarang aku menjadi sekretaris the Great Eluira Delmora. " Ucapnya sambil menepuk dada dengan berlebihan dan tertawa.
Tawa keras kami menarik perhatian beberapa pengunjung cafe yang menoleh penasaran. Dengan masih terkikik geli kami pun berjalan keluar dari cafe itu.
Dia benar-benar gadis yang baik. Akhirnya aku bisa menambahkan satu nama lagi di contact ponselku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!