Gadis itu terisak pelan.. Tangannya telah lelah berusaha untuk membuka pintu-pintu itu, tapi tak ada yang terjadi. Semua pintu itu tetap tertutup rapat.
Dengan langkah gontai. dia kembali berjalan, berharap menemukan satu pintu yang akan terbuka dan membebaskannya dari kehampaan yang mengurungnya.
^^^^^^^^^^
Aku melihat bayanganku sendiri di cermin dengan ragu.
Hari ini aku akan mulai bekerja. Dan Aku gugup sekali.
"Kau cantik sayang" kata Charlie sambil merapikan kepangan rumit di belakang kepalaku.
"Apakah bajuku tidak aneh?" tanyaku.
Hari ini Charlie memilihkan baju yang terdiri dari celana dan blazer hitam, serta blouse berwarna biru langit, hampir sewarna dengan mataku.
Kenapa Charlie yang memilih?
Yeah.. FYI aku benar-benar mempunyai selera yang buruk dalam berpakaian --setidaknya itu kata Charlie dan Oscar-- karena itulah hampir seluruh isi lemariku merupakan sumbangan ide dari Charlie . Bukan masalah besar\, seperti yang aku katakan\, aku benci berbelanja.
Aku menatap bayanganku di cermin sekali lagi dan mendengus tak puas.
Aku mempunyai tubuh yang mungil. Mungkin bentuk tubuh dan posturku bagus, karena aku penari balet, tapi soal tinggi aku benar-benar minder. Tinggi Oscar 189 cm, sedangkan aku..hhh---------158 cm.
Mom pernah bercanda dan mengatakan padaku, jika Oscar mengambil semua gen peninggi badan dari mereka, sehingga aku tidak mendapatkan apapun.
Mungkin Mom benar, karena akulah penghuni rumah ini yang paling kecil. Ahh---sebersit rasa duka menghampiriku ketika aku memikirkan Mom.
Girl, it's not the right time to get mellow!
"Lui... Kau sudah siap? Kita bisa terlambat sampai kantor". Suara Oscar memanggil dari bawah.
"Ya". Sahutku pendek. Beranjak dari depan cermin.
"Kau akan baik-baik saja dear" kata Charlie sembari menyerahkan tas kerja dan memelukku.
"Berbahagialah" tambahnya.
"Eh.. Bukankah seharusnya semoga sukses?" tanyaku heran mendengar harapan Charlie.
"Ya.. Semoga sukses" kata Charlie sambil tersenyum.
Aku melihat mata Charlie dan kulihat ada rasa khawatir di sana.
"Ayolah!!" teriak Oscar lagi.
Aku mengurungkan niat untuk bertanya, mencium pipi Charlie sekilas, kemudian berlari turun.
Mungkin Charlie hanya khawatir jika aku tiba-tiba pingsan di kantor. Aku berlari menuruni tangga, dan sesampainya di bawah seseorang mencekal lenganku.
"Kau berlari? Kau ingin pingsan dulu sebelum sampai kantor?!" kata Oscar sambil menatapku tajam.
Rupanya dia menungguku di bawah tangga. Aku tak melihatnya tadi.
"Jangan berlebihan Oscar, aku masih bisa berlatih balet selama 1 jam dan baik-baik saja" jawabku sambil memutar bola mataku.
"Itu dulu" sahutnya pendek kemudian berjalan keluar menuju mobil.
"Pagi Alex!" sapaku.
Alex berdiri menunggu kami di sebelah pintu mobil yang telah terbuka.
"Pagi Nona" balasnya sambil tersenyum ramah.
Alex sudah bekerja kepada keluarga kami selama hampir 10 tahun. Dia menjadi supir pribadi Dad sebelumnya. Setelah Dad pergi ke Perancis, otomatis sekarang dia menjadi sopir Oscar.
Aku mencoba menenangkan diri dengan melihat pemandangan di luar. Aku melirik Oscar, dia sedang membaca sesuatu di I-pad dan sedang berbicara dengan seseorang di wireless earphone.
Ya Tuhan!
Dia bahkan sudah mulai bekerja sebelum sampai kantor. Aku menjadi sedikit kasihan kepada siapapun yang sedang diajak berbicara olehnya saat ini. Dia harus mendengarkan segala instruksi Oscar sejak jam 6 pagi.
Perjalanan dari rumah kami ke kantor memakan waktu yang cukup lama. Hampir 2 jam perjalanan --hebatnya Oscar tidak pernah telat datang ke kantor, Alex pernah bercerita tentang ini padaku-- karena letak rumah kami memang jauh dari perkotaan. Bahkan rumah kami dekat dengan perbatasan hutan Blubell.
Kenapa kami memilih lokasi itu sebagai rumah padahal Dad mampu membeli rumah megah di tengah kota? Jawabannya, karena Mom.
Mom sangat menyukai alam. Pohon, bunga, dan teman-temannya. Sebab itulah Dad membangun mansion di luar kota. Lengkap dengan taman, dan tentu saja pagar berlistrik untuk mencegah binatang masuk ke wilayah rumah kami.
Hutan Blubell memang tidak terlalu luas, tapi sangat lebat dan merupakan hutan lindung yang telah berusia ratusan tahun.
Tak heran banyak hewan liar yang menghuninya --Thanks God I never met one of them-- Dan karena kami sejak kecil telah memilih sekolah berasrama, letak rumah kami yang tidak biasa itu tidak pernah menggangguku.
"Kita sampai" Kata Oscar memotong lamunan panjangku, yang terdiri dari banyak hal liar, termasuk bagaimana jika ternyata penampilanku sangat memalukan dan semua pegawai kantor Delmor akan menertawakanku begitu bertemu. Lamunan yang tidak membawa ketenangan jiwa.
"O..oke" sahutku, tergagap karena gugup.
Aku merapikan rambut dan bajuku sebelum turun. "Apa aku terlihat rapi? " tanyaku pada Oscar yang telah turun dan menungguku di sebelah pintu.
Dia hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk membantuku turun. "You look amazing, like always" Jawabnya kemudian, sambil melangkah melewati pintu kaca depan gedung, yang telah dibuka oleh penjaga, begitu melihat mobil Oscar mendekat.
Aku benar-benar bersyukur --dan berterima kasih-- karena Charlie yang memilihkan baju dan merapikan rambutku. Karena begitu aku masuk ke gedung\, seluruh tatapan orang yang berada di dalam terarah kepada kami. --*heyyy apa yang kau harapkan akan terjadi? Aku memasuki gedung bersama dengan Oscar, bukan saja karena dia CEO, tapi aku harus mengakui, He look amazing in a sui*t --
Belum pernah aku merasa gelisah seperti ini. Bahkan ini lebih buruk dari pentas balet pertamaku. Setidaknya saat itu aku tahu, apa yang akan aku lihat saat tirai terangkat. Tapi hari ini, aku benar-benar buta. Aku bahkan belum pernah ke gedung Delmor sebelum hari ini.
Ughh.. Aku belum siap untuk ini.
Besok aku akan memilih pintu lain untuk masuk, atau akan menyuruh Oscar masuk terlebih dahulu.
Setelah perjalanan yang terasa seabad --melewati lautan bisikan, bahkan beberapa karyawan wanita terang-terangan menunjukku, sementara Oscar berjalan dengan santai dan membalas beberapa sapaan dari karyawannya-- mengarungi jarak antara pintu depan dan lift\, aku bernafas lega.
Akhirnya bisa sendirian bersama Oscar di lift.
Nafas panjang yang aku hembuskan dengan keras, membuat Oscar tertawa geli.
Memutuskan untuk tak berkomentar mengenai keadaanku, dia memencet tombol nomor 6.
"Kantormu ada di lantai 6, sedangkan aku di lantai 40. Paling atas. Aku akan memperkenalkan pada sekretaris yang akan membantumu nanti. Setelah itu aku ada meeting, jadi maaf aku tak bisa menemanimu lama"
"Tidak apa, aku di sini untuk bekerja, tentu saja aku tak butuh ditemani" kataku agak ketus, aku masih kesal karena dia menertawakanku tadi.
Ketika mendengar nada kesalku, Oscar malah tertawa semakin kencang.
Tawa renyah Oscar menular padaku. Yeah brother.. Tertawalah, don't worry about me. I'm gonna be just fine.
Sampai di lantai 6, aku berjalan di belakang Oscar yang melangkah dengan terburu-buru --dia tak ingin terlambat meeting pastinya--sambil menerangkan tata ruang di lantai itu untukku.
"Di lantai ini ada 2 divisi, divisi HRD dan Charity. Sebagian besar HRD karena Charity sendiri hanya berisi 2 orang"
"Pagi juga!" katanya membalas sapaan karyawan yang berlalu lalang di lorong.
Oscar berhenti di depan pintu cokelat besar bertuliskan Charity dengan plat berwarna keemasan tertempel dan membukanya.
"Selamat datang di kantormu yang baru!!" senyumnya dengan lebar.
Kantor itu mempunyai interior yang hampir mirip dengan ruangan-ruangan yang sebelumnya --nuansa hijau dan hitam yang mewah-- sofa hitam teronggok di sudut ruangan dan lengkap dengan bunga segar di mejanya. Di ujung yang lain terdapat meja kantor dengan model yang elegan.
Asumsiku meja itu adalah untuk sekretaris, karena aku melihat ada pintu lain di tembok sebelah kanan meja itu, tentu saja itu yang akan menjadi ruang kerjaku.
Belum sempat aku berkata apapun, seorang wanita menghampiri kami dan menganggukkan kepala kepada kami dengan hormat.
"Selamat pagi Mr.Delmora! And Ms. Delmora, selamat datang di kantor anda" Katanya dengan nada resmi sampai membuatku merinding.
Aku mengamatinya dengan seksama. Rambutnya ikalnya yang diikat kebelakang berwarna gelap hampir hitam, tapi aku masih bisa melihat sedikit warna cokelat disana.
Dia lebih tinggi dariku --tentu saja--, kacamata berbentuk bulat menempel dengan nyaman di hidung mancungnya. Dia cantik, apalagi ketika tersenyum, lesung pipinya terlihat.
"Ini Jovita Norine, sekretaris yang nanti akan membantumu di sini, dan Jovi, ini adalah Eluira Delmora adikku satu-satunya yang akan bertanggung jawab di divisi ini mulai sekarang " kata Oscar memperkenalkan kami.
"Senang bertemu anda Ms.Delmora, anda bisa memanggil saya Jovi" katanya, sambil mengulurkan tangan dan tersenyum gugup.
Aku menyambut tangannya dan menyadari bahwa tangannya sedikit basah.
Rupanya bukan hanya aku yang gugup pagi ini. Akupun tersenyum dan menjawab.
"Eluira Delmora dan panggil saja aku Lui atau Elui. Dan tolong bersikaplah yang santai" Ucapku, sambil bergidik risih oleh nada resminya yang nyaris seperti robot.
"Benarkah?" tanyanya, sambil melebarkan mata tak percaya.
Matanya indah berwarna cokelat tua, mukanya jadi terlihat lucu karena melotot.
"Ya, panggil saja aku Lui, aku tak suka hal-hal yang terlalu resmi" jawabku
"Oh..syukurlah" katanya sambil menghembuskan nafas lega.
Aku tertawa geli melihatnya, sedangkan Oscar hanya tersenyum kecil.
"Jovi sudah bekerja di divisi ini sejak pertama kali terbentuk, jadi dia yang akan menjelaskan semua yang perlu kau ketahui nanti. Dia sangat mencintai divisi ini, karena ketika aku menawarinya untuk pindah ke divisi lain, dia menolaknya! Bahkan Mrs. Olsen --kepala divisi yang lama-- juga sempat menolak tawaranku untuk pindah. Aku harus membujuknya dengan jabatan yang lumayan tinggi sebelum dia akhirnya menyerah. Tapi Jovi bahkan tidak tergiur dengan tawaran yang aku berikan" cerita Oscar panjang lebar.
"Aku mulai tidak mengerti kenapa karyawan lain menamai divisi ini hell hole, mereka betah sekali berada di sini" tambahnya.
"Bukan begitu Mr. Delmora, hanya saja saya sudah merasa cukup bekerja di divisi ini, dan saya bukan orang yang tahan dengan persaingan dan tekanan kerja yang berat. Saya rasa saya lebih cocok berada di divisi ini dari pada yang lain" sahut Jovi dengan menunduk.
"Oscar, kau akan telat meeting" ucapku memotong pembicaraan mereka.
"Oh **" umpatnya sambil melihat jam tangan.
"Baiklah, Jovi tolong jelaskan semua apa yang perlu Lui kerjakan semua, oke?" Jovi hanya mengangguk patuh.
"Dan kau, nanti akan pulang bersama Alex, aku akan lembur sampai malam. Aku akan pulang sendiri" Tambahnya sambil memandangku tajam, yang berarti aku tidak boleh membantahnya.
"Kenapa bukan aku yang pulang sendiri? Kau akan sangat lelah karena lembur" usulku.
"Apa kau ingin membuatku mati karena khawatir? Bagaimana kalau kau tiba-tiba kau pingsan saat menyetir di jalan? Jangan membantah!!" tambahnya dengan kejam, ketika melihatku mencebikkan mulut karena kesal.
"Okey.. Aku harus pergi sekarang sebelum benar-benar terlambat"
Dia mengelus pipiku sekilas kemudian keluar.
"Ohh...aku iri sekali" kata Jovi tiba-tiba.
"Kenapa?" tanyaku tak mengerti, dia baru saja melihat Oscar membentakku.
"Karena dia bersikap manis sekali padamu" jawabnya sambil tersenyum kecil. "Aku punya seorang adik laki-laki, dan hal yang termanis yang pernah dilakukannya adalah melemparkan sepatu ke arahku, ketika aku meminta tolong untuk mengambilkannya" tambahnya getir.
Aku terkekeh geli mendengarnya.
"Yah..dia masih 15 tahun, aku hanya berharap dia akan menjadi lebih baik nanti" Jovi mengendikkan bahu dengan pasrah.
"Hey..siapa saja bisa menjadi kasar ketika masa puberty. Bahkan Oscar juga, dia selalu melarangku mendekatinya ketika dia mulai puberty, aku sedih sekali saat itu. Tapi akhirnya kami baik-baik saja sekarang" hiburku dengan simpati.
"Ya, aku harap begitu" pungkas Jovi.
Dia gadis yang baik dan ramah, jarak usia Jovi yang hanya tiga tahun lebih tua dariku, membuat kami cepat akrab. Ia menjelaskan tentang apa-apa saja yang perlu aku kerjakan di divisi ini dengan terperinci.
Menjawab sejuta pertanyaan dariku --karena aku nyaris buta dan tak tahu apapun mengenai kehidupan kantor-- dengan sabar pula. Aku rasa aku menyukainya. Mungkin kami bisa berteman, tekadku dalam hati.
Untuk makan siang, Jovi mengajakku ke cafe yang terletak beberapa blok dari gedung kantor. Katanya burger di situ sangat lezat.
Oh..aku tak sabar ingin mencobanya.
Cafe itu sangat sibuk siang itu. Aku dan Jovi beruntung mendapatkan tempat duduk kosong di ujung sebelah kanan. Kami pun menikmati makan siang dengan mengobrol panjang. Dia menceritakan padaku tentang keluarganya.
Ayah dan Ibunya mempunyai sebuah toko kue dan adiknya bersekolah di salah satu sekolah untuk atlet yang sangat ternama.
Adiknya memperoleh beasiswa penuh di sana karena kemampuannya bermain football. Melihat matanya yang berbinar ketika bercerita --walaupun dia sempat berkata bahwa mereka tak akur-- aku tahu dia sangat menyayangi adiknya.
"Kita baru saja mengenal, tapi kau sudah menceritakan hampir seluruh kisah hidupmu padaku" kataku sambil tersenyum lebar.
"Jangan salah sangka, aku menyukainya, aku merasa kita menjadi lebih dekat karena ini" tambahku dengan terburu-buru, karena Jovi terlihat agak gelisah dan meletakkan burger yang sedang dimakannya--she is right by the way, the burger is awesome--
"ehmmm.. Lui. Sebenarnya..emm" katanya ragu-ragu.
"Kenapa?..teruskanlah" ucapku penasaran. "Kemarin, ketika Mr. Delm.."
"Sebut saja Oscar, aku tak nyaman mendengarnya. Setidaknya ketika hanya bersamaku" potongku cepat.
"Eh.. Aku tak b..."
"Sshh.." aku memotongnya lagi dengan lambaian tanganku mengisyaratkan aku tak mau dibantah.
"Baiklah...O..oscar" ucapnya dengan gugup.
"Sebenarnya aku agak merasa bersalah kepadamu. And I'm so sorry about this" terusnya.
"Ada apa?" Tanyaku dengan bingung.
"Sebelum kita bertemu tadi pagi, kemarin Oscar sudah bercerita banyak hal tentangmu. You know.. About 'something' in your head, about your jumbled memory. Aku rasa hal itu terlalu pribadi untuk diceritakan kepadaku. Tapi Oscar bilang, hal itu perlu karena menyangkut kesehatanmu dan soal apa saja yang boleh dan tidak boleh kau lakukan. Aku jadi merasa agak bersalah. Aku tahu hampir semua hal tentangmu, tapi kau tidak tahu apa soal diriku. "
"Jadi sekarang kau memutuskan untuk menceritakan semua soal hidupmu agar kita sama?" simpulku.
Jovi mengangguk pelan dan menunduk. Aku meraih tangannya dan meremasnya dengan lembut.
"Tak apa, aku tak keberatan. Yah..memang seperti itulah keadaannya. Kalau ada seseorang yang perlu mendapat peringatan itu adalah Oscar. Dia memang terlalu paranoid, I'm not that fragile" Ucapku sambil cemberut.
Jovi akhirnya tersenyum lebar mendengarnya. "Thanks" katanya. "Untuk apa?"
"Yah..untuk sikapmu yang menganggapnya biasa saja, padahal itu merupakan rahasia besar, apalagi aku hanyalah pegawai rendahan di kantor itu. Sedangkan kau..?"
"Heyy.. Siapa yang mengatakannya? Berani sekali dia, kau sekretarisku bukan pegawai rendahan " ucapku dengan nada jengkel dan sombong. Jovi terkikik geli melihatku.
"Sebagian besar orang-orang HRD paling tidak pernah mengucapkannya sekali" katanya sambil lalu.
"Ck..ck.. That's bullying" kataku. Apa maksud mereka mengatakannya?
"Yeah. But, what can I do? Mereka dari HRD. Merekalah yang menerima aduan jika karyawan dari divisi lain mendapatkan masalah. Jadi kalau bully-an itu berasal dari mereka hmm....."
"Dasar gila.. Aku akan memberi tahu Oscar soal ini" kataku dengan berapi-api. "Tidak!!.. Jangan lakukan itu" cegahnya. "Kenapa?"
"Karena sekarang ini bully-an itu sudah sangat jauh berkurang. Tak apa" tambahnya ketika aku masih menggeleng tak puas.
"Dan kurasa mereka takkan berani lagi mengulanginya, bayangkan saja, sekarang aku menjadi sekretaris the Great Eluira Delmora. " Ucapnya sambil menepuk dada dengan berlebihan dan tertawa.
Tawa keras kami menarik perhatian beberapa pengunjung cafe yang menoleh penasaran. Dengan masih terkikik geli kami pun berjalan keluar dari cafe itu.
Dia benar-benar gadis yang baik. Akhirnya aku bisa menambahkan satu nama lagi di contact ponselku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments