Ketika acara itu telah sampai puncaknya dan menyisakan no.6 --Mr. Lawrence memenangkan lelang untuk lady no.3, sedangkan Oscar bahkan tak menyentuh papannya sama sekali-- jantungku seolah menjadi tidak sabar lagi.
Aku yakin, jika saja tidak ada suara musik di sekitar, aku akan mendengar suara detak jantungku dengan jelas.
Dan aku lihat Jovi juga gelisah, karena dia mulai bergerak-gerak di kursinya.
Aku tahu Jovi tidak mungkin mengikuti lelang ini, nilai awal untuk lelang ini adalah $10.000, yang jelas sudah melampaui gaji sebulannya.
Dengan cepat --karena banyaknya peminat dari para wanita-- harga lelang dari pria no.6 merangkak naik.
Rupanya tidak hanya Jovi yang mengenali sosok dibalik topeng itu. Ketika menyentuh angka $50.000 kulihat hanya tersisa dua orang yang menawar.
Tiba-tiba Jovi memekik kecil, aku memandangnya dengan tanya.
"Dia!!" sambil menunjuk dengan tatapan ngeri salah satu penawar yang menggunakan gaun merah dengan belahan dada sangat berani -- Charlie pasti akan membunuhku, jika berani memakai gaun seperti itu keluar rumah-- Aku masih tidak mengerti.
"Itu Florence Lockhart, salah satu pewaris hotel Lockhart"
Masih dengan pandangan tidak mengerti, aku kembali menatap Jovi. Menjelaskan identitas gadis itu, tidak membuat penyebab kecemasan Jovi menjadi jelas.
"Gadis itu adalah ular, dia sering kali membuat skandal dengan selebriti untuk membuatnya terkenal. Dia benar-benar sampah. Aku bahkan tidak tahu dia datang hari ini, siapapun asal bukan dia yang memenangkan lelang. Ya Tuhan!" jelasnya sambil menutup mukanya dengan tangan.
"Sebenarnya aku hanya mengundang ayahnya, tapi dia ikut sebagai plus one. Dan mereka menyumbangkan $150 ribu untuk proyek ini" sahut Oscar dengan nada agak jijik dari sebelah kiriku, rupanya dia juga mendengar perkataan Jovi.
"Tapi aku setuju, dia memang sampah!!" tambahnya.
Ketika MC menyebut angka $60 ribu, penawar lain selain Lockhart terlihat menyerah.
"Tidak!!!" desis Jovi dengan panik.
Entah kekuatan apa yang mendorong --mungkin karena topeng itu-- aku mengangkat papan bernomor 2 di depanku.
Pekikan terkejut terdengar dari beberapa penjuru, termasuk dari Jovi yang memandangku tak percaya, sedangkan Oscar melihatku dengan dahi mengernyit bertanya.
Aku hanya menjawab dengan mataku, menyuruh mereka untuk diam.
Lampu sorot temaram bergerak ke arahku. Dan MC berteriak dengan bersemangat melihat ada penawar baru muncul.
Lockhart menatap seolah ingin membunuhku. Bisa dimengerti, aku mengacaukan rencananya.
"$65ribu" pekik MC memecah lamunanku. Tidak menyerah, Lockhart kembali mengangkat papannya.
"$70ribu" sahut Mc dengan cepat.
"$100ribu" seruku sambil mengangkat papan.
Dengungan berisik langsung menyebar ke penjuru ruangan.
"Aku akan menghitung tiga kali, satu...dua.." MC langsung menyahut ketika melihat tangan Lockhart tidak bergerak, mata gadis itu masih menatapku dengan penuh dendam.
"Daaan---Tiga!! Sold, to the lady with blue dress" Teriak MC dengan kekuatan maksimal di suaranya.
Bersamaan dengan itu No.6 membuka topengnya.
Sesaat aku tuli dengan kerasnya sorakan yang memenuhi ballroom itu --tentu saja Jovi juga, aku harus menutup telinga kananku sekarang-- .
Tepuk tangan dan suitan terus terdengar, dan ketika aku mengarahkan pandangan ke arah panggung, aku menjadi mengerti.
Dia tampan, cukup tampan menurutku --side effect punya kakak yang terlalu tampan, standar ketampanan menurutku harus lebih tampan dari Oscar-- , rambutnya ikal cokelat tua dengan panjang sebahu, mata hijaunya menatap ke arah meja kami, senyuman puas terbentuk di bibirnya yang--Oke! Bibir itu sexy.
Tapi anehnya, debar jantungku tidak lagi secepat tadi.
Senggolan di perut sebelah kananku memutus pandangan mataku ke depan.
"Mengapa kau melakukannya?" kata Jovi dengan heran.
"Kau bilang siapapun asal bukan ular itu" ucapku pelan. "Tapi kau membayarnya $100ribu, jangan!!" katanya sambil menggelengkan kepala.
"Tidak apa " kataku menenangkan.
"Eluira, kau begitu inginnya berdansa dengannya sehingga membayar $100ribu?" tanya Oscar. Nada mengejek yang nyata bisa kudengar dari kata-katanya.
"FYI, aku akan mengambilnya dari rekening pribadimu" tambahnya.
Aku mendengus. Tentu saja!
Aku juga tidak bermimpi Oscar akan mengambilnya dari uang perusahaan. Baginya bisnis adalah bisnis.
Ketika hendak menjawab, Mr. No.6 sudah sampai di mejaku, dengan masih menyandang senyum lebarnya.
"Pada siapa aku harus berterima kasih karena telah melepaskanku dari ular berbisa" Ucapnya ceria.
"Jaga ucapanmu!!" Oscar memberinya peringatan dengan mendesis tajam.
"Oscar!!!...Lama kita tak bersua brother" pekiknya seolah terkejut ketika melihat sosok Oscar yang kini telah berdiri. Raut wajah Oscar terlihat malas membalas sapaan hangat pria itu, tapi Oscar membalas dengan hangat pelukan ringan darinya.
"Kalian saling mengenal?" tanyaku.
"Ya, kami sering bertemu di club---" jawaban pria itu terhenti, karena Oscar menatapnya tajam.
"Kami sering bertemu" ralatnya sambil tersenyum simpul. Hmmm..something fishy in here!
"Well Lady no. 2, may I know your name? and then we can dance all night long" katanya dengan nada kocak sambil mengulurkan tangan kepadaku.
"Eluira Delmora, tapi maaf bukan aku yang akan berdansa denganmu malam ini" jawabku, sambil menyambut tangannya yang terulur.
Suaranya yang ringan dan bernada tinggi membuatku langsung bersikap santai padanya, belum lagi gayanya yang juga rileks, berbicara dengan nada formal padanya akan terasa sangat aneh.
"Eh.. she's your sister?" katanya terkejut, dia memandang Oscar sejenak. Oscar hanya mengangguk kecil padanya.
"Maaf, tapi keadaan kakiku saat ini tak akan memungkinkan aku berdansa, kau tidak keberatan berdansa dengan temanku bukan?" kataku sambil menatap Jovi.
Tak ayal mukanya langsung memerah malu.
"No, aku tak bisa" kata Jovi sambil menunduk malu.
"Ayolah, kau tega menyuruhku berdansa dengan kaki seperti ini?" bujukku sambil berbisik.
Zeno sudah bergeser mendekati Jovi, dan mengulurkan tangan kembali.
"Tidak masalah untukku, nah.. lady in white dress? May I have your dance?" Zeno mengucapkannya dengan manis.
"Bb...baiklah" jawab Jovi dengan gugup.
Aku tersenyum cerah melihat mereka berjalan meninggalkan meja dan mulai berdansa. She deserve that. Oscar tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
"Aku telah menyeretmu selama satu jam lebih tadi, kurasa berdansa akan menjadi hal yang mudah" katanya sambil tersenyum.
"Kau akan menyesal" jawabku, dengan senyuman juga.
Aku hanya mampu bertahan berdansa selama 10 menit, sebelum akhirnya kakiku kembali memprotes dengan menimbulkan rasa sakit.
Sambil tertawa terkekeh, Oscar membawaku kembali ke meja.Dia juga membawakan jus dan snack untukku. "Aku akan memijat kakimu ketika sampai rumah" ucapnya. "Tidak perlu, aku hanya perlu istirahat saja, kurasa.."
"Jangan membantah" potongnya tajam. Aku membuat tanda lingkaran dengan jariku tanda setuju.
Percuma membantah.
Setelah berdansa selama hampir satu jam, Jovi dan Zeno kembali ke meja kami. Zeno menempati kursi Mr. Lawrence yang pergi entah kemana setelah berdansa.
"Kau tidak pernah bilang punya adik yang sangat manis" katanya pada Oscar. Ucapannya tak elak membuat pipiku menghangat.
"Thanks" ucapku sambil menahan malu.
"Don't even try!!" geram Oscar sambil menunjuk ke arah Zeno di seberang meja. Dia memberi peringatan.
"Now, Eluira.. Would you dance with me?" Sama sekali tidak mengindahkan ucapan Oscar, Zeno mengulurkan tangannya ke arahku.
"Aku benar-benar tak bisa" jawabku pelan. Caranya memandangku sambil mengulurkan tangan sesaat membuatku terbang. Mata hijau itu memabukkan.
"Kau tadi berdansa dengan Oscar" bujuknya, tak menyerah.
"Kau sudah membayar mahal untuk ini nona, aku akan merasa sangat bersalah jika kau belum berdansa denganku"
Senyum itu... menyilaukan!
"Baiklah, hanya lima menit" Aku menyerah.
Jovi juga sudah menyikutku dengan bersemangat, menyuruhku untuk menerimanya.
Kami berdansa tidak sampai lima menit, karena sepatu yang aku pakai, kembali memakan kakiku, dan kali ini lebih menyakitkan. Melihatku mengernyit, Zeno mengajakku beristirahat di meja kosong di sebelah kami berdansa.
"Apakah kakimu terluka karena sesuatu sebelum pesta? Aku tadi mengira kau hanya tidak ingin berdansa denganku, tapi ternyata kakimu benar-benar sakit?" tanyanya, sambil membantuku duduk.
"High heel" jawabku singkat. Dia menatapku dengan mata melebar karena tidak mengerti.
Oh God, Those green eyes, It's killing me. Aku harus menenangkan diri, jika tidak ingin mempermalukan diriku sendiri.
Sambil mengalihkan pandangan aku menjelaskan " Aku tak pernah memakai high heel sebelum malam ini, I m flat shoe lover"
Kekehan geli yang sangat merdu terdengar darinya.
Jantungku? jangan tanya lagi.
Semenjak dia mengajakku berdansa dan memegang tanganku, jantungku dengan bebasnya melakukan lompatan-lompatan besar tanpa lelah. Aku sungguh berharap tidak akan pingsan karena hal ini.
"Sebentar" katanya sambil berlalu.
Eluira.. berhenti terpesona kepadanya, batinku. Aku merasa bersalah karena ini.
Wait!!.. bersalah karena apa?
Dia kembali sambil membawa minuman dua gelas, dan sepiring kecil buah potong.
"Aku akan mengomel pada Oscar sekali lagi nanti, aku benar- benar kesal dia tidak pernah bercerita kalau dia punya adik secantik kau" pujinya lagi tanpa basa-basi.
"Please.. stop! Jangan bercanda terus" kataku akhirnya. Setelah berhasil menenangkan jantungku yang tiba-tiba memutuskan untuk melakukan grand pas de deux * lagi ketika mendengar pujiannya.
"Aku tidak pernah bercanda untuk hal yang seperti ini" katanya lagi. "Tapi memang Oscar tidak pernah bercerita apapun tentang dirinya ketika kami bertemu".
"Bayangkan betapa kagetnya aku, ketika tahu bahwa dia adalah pemilik studio besar di Hollywood. Jika tahu lebih cepat aku pasti akan mendekati dan menempel padanya seperti lintah "
Aku tertawa geli mendengarnya. Tampan dengan selera humor yang lumayan?? Can he become more perfect than this?
Kami bercakap-cakap selama beberapa saat setelahnya.
Dia menanyakan beberapa hal tentang kegiatanku sehari-hari. Dia juga menyatakan ketertarikannya untuk menjadi donatur tetap bagi divisi kami. Aku senang mendengarnya, dia orang yang baik.
Dia menceritakan beberapa kisah lucu tentang kejadian dia sedang syuting film, aku menikmati ini. Zeno begitu hidup dan penuh kehangatan.
Tapi entah dari mana asalnya, perasaan bersalah menghantuiku. Beberapa kali aku mengedarkan pandanganku ke segala arah, berharap menemukan alasan kenapa perasaanku sangat gelisah.
"Apakah kau bosan berbicara denganku?" tanyanya dengan wajah sedikit kecewa.
"Apa?! tentu saja tidak" jawabku cepat. Aku jujur soal ini, dia memang teman mengobrol yang menarik. Aku cepat merasa akrab dengannya.
"Kau berkali-kali melirik ke arah lain saat berbicara denganku? Kau yakin itu bukan karena bosan? tanyanya dengan ragu.
"Tidak..tentu saja tidak. Maafkan aku, tadi aku hanya sedang berpikir untuk mengganti sepatuku sebelum pulang. Aku tidak akan bisa berjalan normal dengan sepatu ini" jawabku, sedikit tergagap karena kebohongan yang baru saja aku ucapkan.
Tidak seluruhnya bohong, karena memang aku memikirkan tentang hal itu tadi..
Zeno kembali terkekeh geli, "Bagaimana jika kita bertukar sepatu? Aku rasa kau akan merasa sangat nyaman memakai sepatuku?" tanyanya dengan nada bercanda.
"Itu ide yang sangat bagus!!" sahutku sambil tertawa geli. Membayangkannya berjalan memakai sepatu high heel berwarna perak membuatku tertawa..
"Bagaimana kalau kita berkencan akhir minggu ini ? Apakah kau sibuk?" tanyanya tiba-tiba, seketika setelah aku berhenti tertawa.
HUKKK!!
Aku tersedak buah potong, yang baru aku masukkan ke mulut, karena terkejut dengan ajakannya yang tiba-tiba. Dan itu membuatku terbatuk dengan cukup heboh.
"Kau tak apa?" tanyanya sambil menepuk pelan punggungku.
Dia menyerahkan segelas minuman, yang langsung aku sambar dan menghabiskannya dalam beberapa detik.
Batukku telah berhenti, tapi---tunggu! Minuman apa yang telah kuminum tadi?
"Champagne?" tanyaku sambil menunjuk gelas yang telah kosong dengan ngeri.
"Ya, aku membawakannya dari bar tadi" Jawabnya tanpa merasa bersalah.
Oh no.!!! Batinku panik.
"Aku harus kembali ke mejaku" ujarku, sambil berdiri dengan cepat dari kursi.
Terlambat!!! Pemandangan di sekelilingku berputar, sakit itu datang, kemudian gelap.
"Eluira" Aku masih sempat mendengar seruan panik dari Zeno sebelum benar-benar hilang.
Maafkan aku.
***************
Aku membuka mata dan melihat lampu kristal indah menempel di langit-langit. Dimana ini? Aku tidak mengenali lampu itu, rasa pusing menyerang ketika aku mencoba bangun.
"Oh thanks God!!" Kata sebuah suara disampingku.
"Zeno!!" seruku kaget, melihatnya berdiri di sebelah tempat tidurku. Mau tak mau, aku menyadari, jika hanya ada kami berdua di kamar itu.
"Dddimana aku?" tanyaku gugup.
"Di kamar hotel" jawabnya sambil duduk di tepi ranjang menghadapku.
"OOh.. jangan salah sangka" tambahnya segera ketika melihat tatapan hororku, "Oscar yang membawamu kesini".
Syukurlah, batinku.
"Apakah pestanya sudah selesai? " tanyaku sambil mencoba meraih ponselku di meja sebelah tempat tidur untuk melihat jam.
Rasa sakit menyengatku ketika aku mencoba menggerakkan tanganku. "Jangan menggerakkan tangan kananmu dulu, Oscar tadi menyuntikkan obatmu disana" kata Zeno.
Apakah dia melihat saat Oscar melakukankanya? Ini sangat memalukan.
Wajahku menghangat karena tersipu.
"Dan ya, pestanya hampir selesai, Oscar dan Jovi ke bawah untuk mengantar beberapa tamu setelah mengobatimu tadi. Aku benar-benar minta maaf" Ucapnya dengan nada sendu penuh penyesalan.
"It's not your fault" kataku cepat, sudah cukup memalukan aku pingsan di depannya.
Tak perlu lagi ditambah dengan rasa bersalahnya.
"I think it's my fault, Oscar memberiku tatapan membunuh, saat aku mengatakan padanya, kau pingsan setelah meminum champagne yang aku berikan" ucapnya dengan nada tak percaya. "Belum pernah aku melihatnya seperti itu"
"Tidak usah dipikirkan, Oscar memang selalu berlebihan. Bagaimana kau bisa tahu jika aku tidak bisa minum alkohol? Sudahlah" ucapku, ingin cepat mengakhiri topik.
Brother, I love you. But I will kill you when we get home. Tak perlu bersikap berlebihan seperti itu pada Zeno.
Dia tidak tahu apa-apa soal kondisiku, aku yang kurang berhati-hati. Seharusnya aku memeriksa terlebih dahulu apa yang aku minum tadi. Apalagi di tempat pesta yang jelas lebih banyak wine dan champagne daripada jus atau soda.
Zeno kembali menatapku, kali ini dengan penasaran. "Apa yang menyebabkanmu seperti ini? Apa kau menderita suatu penyakit?" tanyanya.
Aku menggeleng cepat. "Aku baik, jangan dipikirkan" Aku tidak ingin mengatakan apapun soal gumpalan sial itu padanya. Tidak akan!
"Baiklah, aku akan menunggu sampai kau siap untuk menceritakannya padaku" ucapnya dengan lembut. "Tapi bagaimana dengan tawaran kencanku tadi ? Apa aku diterima?"
Wajahku kembali menghangat, dan tidak tahu harus berkata apa. Sebagian diriku ingin menerima ajakan itu, tapi sebagian lagi merasa bersalah, tidak seharusnya aku menerima ajakannya.
Hellooo.. rasa bersalah karena apa ini? Jelas-jelas ada lelaki tampan mengajakku kencan, tentu saja tidak ada yang salah dengan ini.
"Baiklah" kataku, setelah berusaha mengabaikan sebagian hatiku yang menolak. Aku hanya ingin menerima ajakan berkencan dari pria yang lumayan tampan setelah 23 tahun, ini tentu saja tidak salah.
"Yes..!! " soraknya gembira. Zeno kemudian berjalan mengambil ponselku. "Aku akan menyimpan nomorku di sini"
"Tunggu..!" Seruku berusaha mencegahnya mengambilnya. Kalah cepat, Zeno meraih dan mengetikkan nomornya di sana. Tak lama dahinya mengernyit heran.
"Kau hanya punya 7 orang di contact person?" tanyanya, tak percaya.
Rasa hangat itu kembali menjalar di wajahku. Aku mengangkat tangan kiriku sambil menunduk malu meminta ponselku kembali. "Sekarang delapan kurasa" kataku.
Tawa merdunya kembali mengisi ruangan. "Apakah Oscar yang mencegahmu berteman atau kau yang tak suka berteman?" tanyanya sambil masih tersenyum.
Aku ingin menjawab, tapi perkataanku terhenti oleh suara ketukan di pintu kamar. Zeno seolah tau siapa yang datang, bergegas membukanya.
Oscar dan Jovi masuk dengan nyaris berlari. Ketika melihatku sadar, Jovi segera memelukku sambil terisak, ini sudah kedua kalinya dia melihatku seperti ini, dia masih belum terbiasa aku rasa.
Aku tidak akan mengkritiknya, melihat orang pingsan tiba-tiba dan menjadi terbiasa bukan hal yang gampang. "Aku tak apa" kataku, membalas pelukan hangatnya sebisaku.
Oscar berdiri di sebelah Zeno dan memandangku dengan mukanya yang telah memucat. Ahh----aku telah membuatnya khawatir lagi, pikirku. Ini menyebalkan.
"I'm okay" ucapku, padanya sambil tersenyum lebar.
"Let's go home" katanya dengan nada lelah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Olip 🐿️
aq mampir thor... sambil nunggu aiden sama hima up 😂 ...
2020-06-07
1