Hiburan bagi Mutiara adalah ketika teman-teman di lingkungan sekitar sering
datang menemuinya, mereka bukan hanya teman tetapi sudah seperti saudara sendiri. Mereka semua berteman dari sekolah dasar sampai sekarang mereka
tetap bersahabat.
Kesibukan di kampus menyita
sebagian waktunya, membuat Mutiara sejenak mampu melupakan akan kelanjutan hidup ke depannya apabila Exsan tak menginginkan dirinya kembali. Mungkin itu yang menjadi tujuan Pratama kala itu, menyarankan Mutiara untuk melanjutkan
pendidikan karena Exsan tak kunjung datang menjemput. Alasan Pratama membiayai pendidikan Mutiara tak
lain untuk memberi semangat ke sang adik, serta berharap suatu hari Mutiara akan mampu hidup
mandiri tanpa bergantung kepada siapapun.
Kakaknya Pratama datang berkunjung tak pernah lama hanya sekedar menengok melihat kondisi adiknya, datang pagi sore pun
sudah kembali pulang. Walaupun Mutiara sering meminta untuk menginap. Tetapi
mungkin karena dia telah memiliki keluarga sendiri sehingga kakaknya tak lagi
mau menginap.
Pratama telah
memiliki seorang putra yang sangat tampan, hasil dari pernikahannya dengan Mira
yang bernama Leo, dia seorang bocah kecil sangat lucu berkulit putih, bersih dengan pipi
tembam bulat serta kaki tangan yang sama bulatnya. Membuat siapa saja yang
melihat ingin mencubitnya, tawa yang selalu keluar dari bibir mungilnya menular
ke sekeliling. Leo salah satu pelipur Mutiara, hanya saja tak setiap saat anak itu diajak Pratama, bahkan
setelah menikah Pratama semakin jarang datang karena kesibukannya mengurus
keluarga serta orang tuanya, jadi Mutiara memakluminya saja.
Mutiara berhenti berjalan
sambil menengadahkan wajah menatap gelapnya langit malam yang berhiaskan
bintang-bintang bertaburan, kemanakan sang rembulan... ah mungkin tertutup awan. Semilir angin malam menerbangkan
rambutnya yang terlepas dari sanggul. Sebelum menghadiri acara wisuda, Mutiara
menyempatkan diri untuk ke salon untuk make up serta menyanggul rambutnya.
Setidaknya tadi sempat photo mengenakan toga baik sendirian maupun rame-rame
dengan teman-teman satu almamater.
Memasuki rumah dengan langkah pelan, takut membangunkan bibi dari tidur
lelap, rumah
terasa sangat sepi, sunyi.
Rumah bibi Sundari ini
bentuknya kecil akan tetapi terawat dengan
baik serta penempatan barang-barang yang rapi
menjadikan rumah itu nyaman menjadi tempat tinggal.
Mutiara melepas high heel lalu merapikannya ke tempat rak sepatu dan sandal
yang terletak di sudut belakang pintu, ketika akan berjalan menuju kamarnya
yang letaknya di bagian belakang tiba-tiba mendengar suara serak dari arah kamar
utama.
“ Mutiara sudah pulang Nak…” tanya
sebuah suara dari dalam kamar.
“ Ya bi….Tiar baru pulang” sahutnya, membuka
kamar mendekati bibi Sundari yang sedang terbaring di tempat tidurnya.
“ Bagaimana acara wisudanya rame?”
“ Ya begitulah bi...” jawabnya santai.
“ Kakakmu tidak masuk dulu… apa
karena sudah kemalaman ”
“ Tidak bi…. Mas Tama tidak jadi
datang , Leo tiba-tiba demam sore tadi ” ucapnya dengan sedih, mengingat keponakannya yang
menggemaskan dan energik sekarang sedang sakit.
“ Kasihan kamu Nak… anak sebaik kamu ini
harus mengalami hal seperti ini, bahkan untuk
acara sepenting ini pun kamu harus sendirian. ”
katanya dengan memegang lembut tangan Mutiara.
“ Tiar sudah biasa, ini bukan yang
pertama…. Bibi lanjutkan istirahat saja ya, sudah malam ”
katanya tak lupa mencium pipi keriput sang bibi yang
tertempa kerasnya kehidupan dengan sayang.
“ Maafkan orang tua ini karena
telah merepotkanmu, seharusnya aku
bisa datang ke acara wisudamu ” lanjutnya
dengan terbata-bata berbicara dan mata yang berkaca-kaca melihat Mutiara.
“ Tidak bi, Tiar yang harus
berterima kasih, sudah menyayangi Tiar seperti putrimu sendiri, sementara Tiar tak memiliki ibu. Tetapi bibi menyayangi
Tiar seperti bibi ibu tiar sendiri, bibi gak bisa datang juga karena sedang
kurang sehat. Doa saja sudah cukup bi.. ” kata Tiar menjawab bibi Sundari, mengingat dia sendiri tidak mengingat seperti apa wajah ibu kandungnya hanya tahu dari photo serta cerita Pratama.
Ibu Mutiara yang bernama Shema dulunya adalah seorang gadis yang sangat
cantik dan tengah menjadi idaman para lelaki.
Ibunya banyak mendapatkan lamaran dari pemuda di daerah itu, akan tetapi keserakahan ayah melihat kecantikan ibu Mutiara membuat sang ayah melakukan pemaksaan supaya bisa menikahi ibunya, padahal saat itu ibu telah memiliki kekasih. Akan tetapi
karena ekonomi keluarga ibu Mutiara yang pas-pasan, kakek Mutiara tak bisa
berbuat banyak hanya merelakan putrinya menikah dengan kepala keluarga kaya di
daerah tersebut sebagai istri kedua.
Tetapi setelah pernikahan itu berlangsung tak lama kemudian usaha keluarga Tjondrokusumaningrum hancur di sebabkan ulahnya sendiri disebabkan kebiasaan dari Tjondrokusumaningrum yang suka berjudi. Namun bukannya menyadari kesalahannya, sang ayah menyalahkan orang lain sebagai penyebab kebangkrutannya yaitu ibu kandungnya, karena ibu Mutiara yang pada saat itu sedang mengandung Mutiara, sang ayah Tjondrokusumaningrum berkata bahwa Shema ibu kandung Mutiara sebagai wanita pembawa
sial. Sehingga membuat sang ayah bangkrut.
Setelah usahanya banyak yang terjual karena tak lagi
menguntungkan, Tjondrokusumaningrum bukannya berhenti berjudi tetapi
semakin menjadi-jadi, sehingga keadaan ekonomi mereka yang sudah buruk menjadi semakin tak
terselamatkan.
Ibunya yang sejak awal memang tidak
mencintai sang suami bukan hanya karena terpaksa tetapi juga umur
Tjondrokusumaningrung yang sudah tua, membuat kesehatannya ibunya menjadi
semakin terpuruk dengan tuduhan itu. Bukan hanya telah
banyak mengorbankan
kebahagiaannya dengan menikah Tjondrokusumaningrum, sementara dia pun harus kehilangan sang kekasih yang sangat dia
cintai semakin memperparah kondisinya. Maka setelah melahirkan
Mutiara kesehatan ibunya semakin menurun
drastis seolah tak ada lagi semangat untuk hidup, walaupun dengan kelahiran
putrinya sampai akhirnya meninggal dunia pada saat usianya masih muda. Itu semua Mutiara
dengar dari sang kakak
yang menceritakan kisah tentang
ibunya yang telah menjadi seorang istri
kedua. Pratama ingin Mutiara mengerti sebabnya kenapa ayah serta
ibu tirinya sangat membencinya seolah tak mempedulikan kehadirannya.
Pantas
saja ibu tirinya selalu membencinya
karena Mutiara bukan anak kandungnya, hanya Pratama yang
tetap menyayanginya walaupun dirinya hanya seorang adik tiri.
“ Nak bibi bangga bisa
membesarkanmu, kamu
anak yang sangat baik.
Tiar juga cantik dan yang membuat bibi salut adalah sejak kamu sampai rumah ini
hingga sekarang bibi tak pernah melihatmu
mengeluh ” tatapan menerawang Mutiara tersadarkan dari lamunan tentang sang ibu yang tak pernah dia kenal, saat mendengar suara sang bibi
Sundari memutus lamunannya “ selamat ya
nak… sekarang kamu
sudah berhasil menjadi seorang
sarjana, bibi bangga denganmu ” bibi Sundari bangun dari tempat tidur untuk memberikan pelukan hangat kepada Mutiara, membuat suaranya tersumbat di tenggorokan sehingga
Mutiara hanya berani membalas pelukan bibi Sundari dan mengangguk, takut suaranya akan
pecah dan akhirnya menangis.
Setelah lama baru
Mutiara berkata “ terima kasih Bi, Tiar istirahat
dulu ya sudah malam, bibi juga tidur ” Mutiara melepaskan pelukan hangat bibi Sundari lalu keluar
dari kamar dan menutup pintu dengan perlahan, setelah
sampai kamarnya pecahlah tangisnya air
mata yang dia tahan sejak tadi, meleleh keluar dari kedua matanya.
Malam semakin larut namun Mutiara belum juga bisa memejamkan mata, pikirannya masih berputar-putar. Terkadang ingat tentang Exsan, sang
suami yang entah dimana keberadaannya. Kemudian juga kesedihan yang dia rasakan memikirkan kesehatan sang bibi, serta
kebagian akan pencapaiannya sekarang ini. Semua berbaur menjadi satu, rasa
lelahnya akan kehidupan semakin membuat dadanya sesak. Dia coba paksa pejamkan
mata tetapi belum juga mau terlelap, Mutiara memilih bangun dari tempat tidur lalu beranjak ke jendela sambil menatap
keluar.
Melihat
bulan bersinar melalui celah-celah pohon menerangi tanah di bawah pohon membuang
suasana mencekam karena malam yang semakin larut. Suara katak bernyanyi riang
menyambut hujan yang baru saja turun siang hari tadi, harum tanah yang
tersiram air berhembus sampai ke hidungnya. Suara burung hantu dari kejauhan menambah
seram dan kelam suasana malam tetapi bukannya membuatnya mengantuk malah
semakin terbuka lebar matanya menatap
kejauhan.
“ Kenapa kamu tega….. apa salahku?”
katanya pada malam sambil
menghembuskan napas keras-keras lewat mulut dan hidung.“ hhhuuuuhhhh” ingin membuang jauh rasa sesak di dadanya ini.
“ Pantaskah kamu perlakuakan aku
seperti ini…… apa dosaku….?” lanjutnya.
“ Apa kamu menginginkan salah satu saudari tiriku….???”
Pertanyaan yang tidak akan pernah
ada jawabnya, berulang kali mengatakan Mutiara pada malam, tetapi sang malam tak mampu memberi jawabnya.
Rasa sesak memenuhi rongga dadanya sehingga kadang sulit baginya untuk sekedar
bernapas. Hidup seperti ini bertahun-tahun tanpa tahu arah dan tujuan. Dirinya tak
ingin menjadi beban bagi siapapun sepanjang
hidupnya baik kepada keluarga
maupun bibi Sundari. Apalagi Pratama
saudara yang paling dia sayangi, Mutiara tahu Pratama sangat
menghawatirkannya setiap kali datang berkunjung untuk menjenguknya, kakaknya selalu merasa ada beban yang sangat berat untuk dipikul. Mutiara tahu itu. Seringnya Mutiara mencoba
mengabaikan, tetapi saat sedang sendirian seperti sekarang ini, di saat rasa kesepian hinggap. Selalu
timbul rasa sakit harus menjadi beban pikiran kakaknya.
Pagi hari setelah
tidur yang hanya beberapa jam tak menyurutkan semangatnya apalagi setelah
menyandang status sarjana, bahwa sekarang dia bisa menatap masa depannya, dia bisa
mulai mencari pekerja di perusahaan yang dia pilih. Setelah
menyelesaikan pendidikannya Mutiara merasa sekarang saatnya dia harus melakukan
hal berguna dan harus memikirkan bagaimana caranya mencari bekal untuk masa
depan yang serba tidak pasti. Akankah, Mutiara dapat merasakan memiliki seorang
suami serta anak-anak yang akan dicintainya seperti Leo keponakannya. Entahlah.
Digelengkan
kepalanya untuk membuang pikiran yang melantur, memikirkan hal seperti itu hanya akan semakin membuat Mutiara sakit hati.
Mungkin sudah saatnya bagi Mutiara mencari
pekerjaan di kota tempatnya mendapat pendidikan walau tak sebanyak di kota besar, tetapi pasti
ada pekerjaan kalau dia mau mencarinya. Tetapi sekarang bagaimana cara meminta ijin
ke bibi Sundari dan Pratama kakaknya
akankah mereka memberikan ijin.
Tetapi saat menghubungi Pratama bukannya mendapat
dukungan malah kemarahan yang dia teriman, jadi dia putuskan untuk menunda dulu sampai sang kakak tenang. Alasannya bahwa
Mutiara tidak mau lagi menjadi beban, malah semakin menambah amarah Pratama menjadi-jadi.
Begitupun saat memberitahukan keinginannya untuk mencari pekerjaan ke Bibi Sundari
yang langsung ditentangnya.
“ Buat apa mencari kerja sih Tiar…” katanya marah.
“ Seperti yang Tiar katakan ke Mas
Tama, Tiar gak mau menjadi beban
siapapun apalagi kakakku sendiri, tetapi
dia pun menolaknya bi…. Dan sekarang bibi sama-sama tidak mendukung juga dengan tak
memberikan ijin. Mas
Tama pasti akan semakin keras menolaknya, bukankah ketika Mas
Tama menyekolahkan Tiar supaya aku suatu hari mampu hidup mandiri ” katanya menjelaskan, lama bibi Sundari
tak mampu menjawab.
Namun kemudian bibi
berujar “ Nak, bukankah Tiar suka melukis dan menulis kenapa tak melakukan kesukaanmu.... serta bisa menghasilkan uang ?”
“ Melukis tidak akan menghasilkan uang
Bi… apalagi menulis harus mencari penerbit di ibu kota itu juga lebih sulit dan pasti
Tiar tak akan Mas Tama berikan ijin pergi sejauh itu iya kan…” sanggah Tiar panjang lebar.
“ Terserah kamu mau melakukan apa
Tiar, asal jangan pergi dari rumah ini sering-sering itu intinya, kalau
sekali-kali tidak apa-apa itu bibi ijinkan” kata bibi Sundari tegas.
Setelah mendengarkan penjelasan itu,
sudah pasti antara keputusan Pratama dengan
bibi Sundari telah sependapat bahwa mereka tidak akan mengijinkannya bekerja
di luar daerah itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
𝙳𝚑𝚢
hadir lg
2020-06-14
0
Purwanti Idar
semangat tiar ,jgn terlalu memikirkan yg tdk pasti.
2020-06-11
0