"Reza pergi dulu ya nek." kata Reza sambil mencium tangan nek Sani.
"Hati-hati ya Za... kalau naik kendaraan jangan ngebut-ngebut, kalau sudah pulang sekolah langsung pulang, jangan pergi kemana-mana." pesan nek Sani kepada cucunya.
"Iya loh nek, Reza pasti pulang tepat waktu." kata Reza sambil terburu-buru pergi.
"Dimas, ayok kita pergi." kata Reza memanggil Dimas.
Tidak ada jawaban dari Dimas, kemudian Reza berjalan mendekati rumah Dimas.
"Mas, kamu uda siap." kata Reza setelah dekat pintu rumah Dimas.
Dari dalam rumah Dimas, terdengar suara menyahut, "bentar ya?"
Tidak berapa lama, muncullah Dimas dengan terburu-buru.
"Maaf ya, tadi aku bangun kesiangan." kata Dimas sambil berjalan mendekati Reza.
"Kita naik sepeda motor saja ya." kata Reza sambil mengeluarkan sepeda motor dari garasi di samping rumahnya.
Sejak orang tua Reza meninggal, dia ke sekolah sekarang naik sepeda motor ayah ibunya.
Kadang naik sepeda motor ayahnya CBR, kadang naik sepeda motor ibunya Scopi.
Padahal waktu kedua orang tua nya masih hidup, dia tidak diperbolehkan naik kendaraan ke sekolah oleh ibunya.
"Sekolah kamu kan dekat dari rumah kita, jadi gak perlu naik kendaraan. Dari rumah juga nampak sekolah kamu." itulah kata-kata ibunya yang masih diingat Reza saat Reza minta dibelikan sepeda motor.
"Kalau kamu diberi kendaraan, bukan makin cepat pulang, tapi makin lama pulangnya karena main-main dulu." ayahnya menambahkan.
Kata-kata kedua orang tuanya itu masih sering diingat Reza saat dia menaiki kendaraan orang tuanya.
"Ayok kita berangkat." kata Dimas membuyarkan lamunan Reza.
Dimas segera naik ke sepada motor Reza dan keduanya pun berangkat ke sekolah.
Sejak kepergian orang tua Reza, nek Sani lah yang bertanggung jawab terhadap Reza.
Nek Sani juga bertanggung jawab terhadap usaha keripik bu Kinanti, ibunya Reza.
Padahal usia nek Sani sudah tidak muda lagi. Seharusnya nek Sani sudah gak perlu kerja lagi. Tapi sayang kalau usaha bu Kinanti tidak dilanjutkan.
Mbak Sri lah sekarang yang dipercaya memegang usaha keripik oleh nek Sani.
Mbak Sri sudah dianggap seperti anak nek Sani sendiri.
Sejak suami mbak Sri meninggal 12 tahun yang lalu, mbak Sri bekerja di rumah nek Sani.
Saat itu Dimas masih kecil berusia 4 tahun.
Karena kerajinan dan kejujuran mbak Sri lah makanya bu Sani sayang dan selalu memperhatikan mbak Sri dan anaknya Dimas.
Rumah yang sekarang ditempati mbak Sri dan Dimas juga dibuatkan nek Sani dan bu Kinanti.
Dulu rumah itu bekas gudang tempat menyimpan bahan baku keripik, berupa ubi kayu, ubi jalar, dan keladi.
Setelah dapur pembuatan keripik diperbesar oleh bu Kinanti, gudang yang dulunya tempat menyimpan bahan baku dijadikan rumah oleh bu Kinanti untuk mbak Sri dan anaknya Dimas.
Mulai saat itu mbak Sri dan Dimas tinggal di rumah itu, sehingga tidak menyewa lagi.
Sejak saat itu hubungan Reza dan Dimas semakin dekat.
Mereka selalu main bersama, ngerjakan tugas sekolah bersama.
Hanya Reza agak manja dan malas, sehingga kalau ada PR di sekolah, dia sering nyontek saja dari Dimas.
Sejak kedua orang tuanya meninggal, Reza menjadi anak yang mandiri, rajin sholat, dan tidak manja.
"Mas... lihat itu ada cewek cantik." kata Reza setelah turun dari sepeda motornya.
"Mana." kata Dimas sambil melihat kanan kiri.
"Itu yang lagi jalan dekat meja piket." kata Reza sambil menunjuk ke meja piket.
Subhanallah cantiknya, batin Dimas.
"Yok kita dekati." kata Reza sambil menarik tangan Dimas. Dimas nurut saja.
"Murid baru ya, kenalan dong." kata Reza.
Kemudian gadis itu berhenti, dan menoleh kepada Reza.
"Kenalkan, aku Reza dan ini temanku Dimas." kata Reza sambil menyodorkan tangannya.
Kemudian gadis itu membalasnya dan berkata, "aku Viola baru pindah dari kota."
Saat pandangan gadis itu tertuju pada Dimas, jantung Dimas berdebar tak menentu. Seperti ada geteran cinta di hati Dimas.
Dimas jadi salah tingkah dibuatnya.
Sementara gadis itu hanya tersenyum datar.
Viola gadis yang sempurna kecantikannya. Hidungnya mancung, matanya bulat dengan bulu mata yang lentik, kulit putih bersih. Dengan rambut yang bergelombang sebatas bahu, menambah sempurna kecantikannya.
Selama ini Viola dan orang tuanya tinggal di kota. Ayah Viola mempunyai usaha percetakan.
Sejak neneknya meninggal dunia, mereka pindah ke kampung menempati rumah neneknya.
Neneknya termasuk orang yang kaya di kampung itu, karena tanah dan sawah nek Surtik cukup luas.
"Kenapa kamu pindah ke kampung? Bukankah lebih enak sekolah di kota." kata Reza pada Viola.
"Sebulan yang lalu nenekku meninggal dunia. Rumahnya gak ada yang nempati. Kebetulan papa hanya dua bersaudara. Adiknya tante Irna menikah dengan orang Jerman, dan sekarang tinggal di Jerman. Tinggal papa lah yang ada dekat sini. Jadi sekarang papa lah yang tinggal di rumah nenek." kata Viola.
Gak terasa mereka sudah sampai di depan kelas masing-masing.
Viola kelas XI Mipa-2, Reza kelas XI Mipa-1, dan Dimas kelas XI Mipa-5.
Saat istirahat berlangsung, Reza menjumpai Viola.
"Yok ke kantin." kata Reza.
"Aku masih kenyang Za, kamu aja sendiri." kata Viola.
"Gak enaklah kalau sendiri." kata Reza lagi.
"Kalau gak kita duduk di taman yok." kata Reza.
Viola segera berdiri dan mengikuti Reza berjalan ke taman yang ada di perkarangan sekolah.
Saat mereka berjalan melewati kelas Dimas, Dimas melihat dari dalam kelas.
Hati Dimas rasanya sakit melihat Viola berjalan dengan Reza.
Kenapa hatiku sakit ya, padahal aku gak punya hubungan apa-apa dengan Viola, batin Dimas dalam hati.
Saat bel masuk berbunyi, Reza dan Viola kembali ke kelas mereka dengan melewati kelas Dimas.
Kebetulan Dimas sedang berdiri di depan pintu.
Saat mata Dimas bertatapan dengan Viola, jantung Dimas kembali berdetak kencang.
Viola melewati Dimas sambil tersenyum, sedangkan Reza hanya menyapa, "yok Mas." Kata Reza pada Dimas.
Sambil berjalan menuju bangkunya, Dimas sambil berpikir, kenapa perasaanku seperti ini, batin Dimas dalam hati.
Padahal sebelumnya aku tidak pernah merasakan hal seperti ini.
Apakah ini yang namanya cinta, batin Dimas.
Masih terbayang dalam ingatan Dimas, saat bertatapan dengan Viola.
Gadis cantik dengan kulit putih mulus, mata bulat dengan bulu mata yang lentik. Apalagi kalau sedang tersenyum, menambah sempurna kecantikannya.
Padahal di sekolah Dimas bayak cewek yang cantik-cantik, tapi perasaan Dimas beda saat bertatapan dengan Viola.
"Sudah pulang sayang." kata mama Viola dari dalam kamarnya.
"Sudah ma." kata Viola sambil masuk kamarnya untuk ganti pakaian.
"Bagaimana dengan sekolah kamu yang baru ini, enak kan?" kata mama Viola setelah keluar dari kamar.
"Enak kok ma, temannya juga baik-baik, dan ramah-ramah." kata Viola.
"Syukurlah kalau begitu." kata mama Viola lagi.
"Hanya gurunya agak sedikit galak." kata Viola sambil tersenyum.
"Memang harus seperti itu, kalau tidak galak nanti disepelekan siswanya." lanjut mamanya lagi.
Sejak nenek Viola dari papa nya meninggal dunia, orang tua Viola pindah ke rumah neneknya yang sudah kosong.
Awalnya mama Viola agak berat saat diajak pindah ke kampung menempati rumah mertuanya.
"Sayang rumah kalau tidak ditempat ma, bisa cepat rusak." kata papa Viola pada istrinya saat itu.
"Iya memang, tapi kan jauh Viola sekolahnya. Bisa-bisa kecapean di jalan nantinya. Papa juga jauh kerjanya." kata istrinya.
"Kita pindahkan saja Viola dari sekolahnya. SMA negeri disana kan dekat rumah ibu, sekalin kita gampang mengawasinya." kata papa Viola lagi.
"Benar juga ya pa, mama gak suka Viola bergaul terlalu dekat dengan Fanji. Fanji itu anak berandalan, gak ada sopan santunnya." kata mama Viola.
Pak Rudi dengan tekun mendengar penjelasan istrinya.
"Papa tau, waktu Viola kerja kelompok di rumah kita, semua kawannya sibuk kerja, eh.... si Fanji hanya cerita aja. Sudah gitu, dia pula yang mengatur kawan-kawannya. Mama benar-benar gak suka loh pa sama anak itu." kata mama Viola menjelaskan.
"Ya seperti itulah tingkah anak muda sekarang. Makanya, kan cocok kalau kita pindah ke rumah ibu. Biar Viola gak berhubungan lagi dengan Fanji. Karena belakangan ini papa lihat Viola dekat dengan Fanji. Buktinya pulang sekolah sering diantar Fanji." lanjut pak Rudi menjelaskan.
Pernah Viola dinasehati mamanya supaya jangan terlalu dekat dengan Fanji, tapi Viola tidak terima.
"Vi.... kamu jangan terlalu dekat dengan Fanji. Mama lihat Fanji itu sifatnya gak bagus loh. Buktinya setiap kali dia pulang ngantar kamu dari diskusi kelompok, mama ada di teras tapi dia gak pernah mau negur mama. Dia pergi begitu saja, gak ada sopan santunnya pada orang yang tebih tua." kata mamanya pada Viola.
"Mama tau apa sih tentang Fanji. Kita lihat seseorang itu jangan lihat dari luarnya saja. Kita kan gak tau isi dalamnya seperti apa." dengan sedikit kesal Viola ngomong kepada mamanya.
Itulah percakapan Viola dengan mamanya dua bulan yang lalu.
Sejak kenal Viola, Reza dan Dimas pergi dan pulang sekolah jalan kaki.
Pergi sekolah mereka selalu bertiga, begitu juga pulangnya.
Mereka menunggu Viola di depan mesjid.
Ternyata Reza dan Dimas sama-sama menyukai Viola.
"Kami ada tugas menggambar peta loh." kata Viola membuka percakapan ketika berangkat sekolah.
"Kami juga." kata Reza dan Dimas bersamaan.
"Kita kan guru geografinya sama, ya sudah pasti tugasnya juga sama." kata Reza pula.
"Mana aku gak pintar gambar." kata Viola lagi.
"Yauda, biar aku yang gambarkan." kata Dimas pada Viola.
"Aku juga bisa kalau hanya menggambar peta." kata Reza dengan agak sombong.
Padahal biasanya Reza paling malas kalau menggambar peta. Karena mau cari simpati Viola, pura-pura dia pintar.
"Viola, biar aku saja yang menggambarkan petamu." kata Reza lagi.
"Dimas sajalah, karena Dimas yang duluan nawarkan jasa." kata Viola sambil melirik wajah Dimas.
Dengan dilirik Viola seperti itu, hatinya berdebar kencang.
"Bantuin aku menggambar peta ya Mas." kata Viola pada Dimas.
"Ok." jawab Dimas.
"Pulang sekolah kita kerjakan di rumahku ya
." kata Reza lagi.
"Ok." kata Viola dan Dimas bersamaan.
Pulang sekolah, Reza, Dimas, dan Viola berjalan menuju rumah nek Sani tempat tinggal Reza juga.
Dari pagi tadi mereka sudah merencanakan menggambar peta bersama.
Dengan cekatan Dimas menggambar peta milik Viola.
Sesekali Viola melirik wajah Dimas. Dia tidak menyangka gambar Dimas bisa sebagus itu.
Dimas juga curi-curi pandang kepada Viola. Setiap bertatapan, Viola tersipu malu sedangkan Dimas jantungnya berdebar tidak menentu.
Tetapi Dimas pandai menyimpan perasaan. Walaupun dia suka, tetapi tidak terlalu dinampakkan.
Kalau Reza, nampak kali kalau dia suka pada Viola.
Tidak berapa lama, nek Sani keluar dari kamarnya.
"Lagi gambar apa kalian." kata nek Sani setelah melihat Reza, Dimas dan Viola sibuk menggambar.
"Gambar peta nek. Oh ya nek, ini Viola murid baru di sekolah kami." kata Reza pada neneknya.
Kemudian Viola berdiri dan mencium tangan nek Sani.
"Dimana tinggalnya nak." kata nek Sani.
"Di rumah almarhumah nek Surtik nek." kata Viola sambil melanjutkan menggambarnya.
"Oh..... berarti kamu anaknya Rudi?" kata nek Sani lagi.
"Iya nek." kata Viola lagi.
"Nenek ke dapur dulu ya." kata nek Sani sambil berjalan ke dapur.
"Ini minumnya Vi." kata Reza sambil memberikan minum pada Viola selaku tamu di rumahnya.
"Kalau kamu haus Mas, ambil aja minum di belakang ya, kamu kan tau jalan menuju ke dapur." kata Reza sambil bergurau pada Dimas.
Dimas hanya tersenyum.
"Kamu aku antarkan pulang ya." kata Reza setelah gambar peta Viola selesai digambar Dimas.
"Gak perlu repot-repot, aku pulangnya jalan aja, lagian rumahku kan dekat dari sini." kata Viola sambil berdiri.
"Kalau mau jalan, ya sudah biar aku temani." kata Dimas tak mau kala.
"Gak ngerepotkan." kata Viola.
"Kenapa merepotkan." kata Dimas sambil berdiri dan melangkah keluar.
Setelah pamit dengan nek Sani, Viola pun diantar pulang oleh Dimas.
Sepanjang jalan jantung Dimas berdetak tak menentu.
Karena disampingnya ada orang yang sedang ditaksirnya.
Dimas melangkah dengan pelan-pelan, supaya perjalanannya cukup lama,
supaya bisa berlama-lama ngobrol dengan Viola.
Kalau jalan bertiga dengan Reza, kan tidak seindah ini, batin Dimas dalam hati.
Sekali-sekali Dimas curi pandang pada Viola.
Saat mata mereka bertatapan, keduanya tersipu malu.
Wajah Dimas merah padam, tangannya dingin. Itulah yang dirasakan Dimas kalau dekat Viola.
Kalau di sekolah, setiap Dimas akan mengajak Viola ke kantin, eh... uda keduluan Reza.
Kebetulan kelas Reza disamping kelas Viola, jadi begitu istiharat Reza langsung mendatangi Viola.
Setiap Dimas melihat Viola jalan berdua dengan Reza, hatinya sakit.
Sementara belum ada ikatan antara mereka berdua.
Kenapa hatiku sakit, gumam Dimas dalam hati.
Seperti kejadian barusan yang dialami Dimas. Saat istirahat, Dimas keluar kelas dan hendak mengajak Viola ke kantin, tetapi sudah keduluan Reza.
Dimas melihat Reza dan Viola jalan berdua sambil tertawa dan saat melewati depan kelas Dimas, "yok Mas ke kantin," ajak Reza.
"Ayok." kata Viola lagi.
Dimas hanya menggeleng, dan menjawab "gak lah." kata Dimas pada mereka berdua. Padahal dalam hatinya sakit melihat mereka jalan berdua.
Tak terasa sudah sebulan Reza dan Dimas kenal Viola.
Persahabatan mereka semakin hari semakin dekat. Kemana-mana selalu bertiga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
💞Adinda Tya💞
bikin penasaram nich cerita nya Viola reza dimas
2020-11-17
1
Aen
Pasti viola cantik banget nih😍😍😍
2020-11-15
1
SUITO 1234
mantab
2020-11-05
1