“Itu bukan salahku, kalian saja yang aneh!” umpat hati Toz.
Suara langkah kaki yang berat pun menarik perhatian Toz untuk menoleh. “Menilik dari tampangmu, sepertinya kau bukan guider hebat, aku bahkan tak merasakan kekuatan apa pun darimu,” sindir kurcaci yang baru datang itu.
Pakaiannya berbeda dari yang lain, sebuah kalung dari taring hewan pun melingkar di lehernya. Tanduk di kepalanya juga jauh lebih besar dari kurcaci lainnya sehingga auranya terasa berbeda.
“Kepala desa! Anda di sini?!” para kurcaci pun menunduk hormat atas kedatangannya.
“Selamat malam,” sapa Toz gugup.
“Tidak pergi?” tanya kepala desa.
“Y-ya?”
“Kutanya kau tidak pergi dari sini?” tanya kepala desa itu sekali lagi.
“Y-ya! Aku me-memang mau pergi, terima kasih atas semua bantuannya,” ucap Toz gelagapan.
“Oa, ambilkan pakaian orang itu untuknya,” perintah kepala desa pada kurcaci yang sudah memukul kepala Toz di hutan.
“Baik!” Kurcaci itu lalu pergi entah ke mana, sementara Toz masih melirik pemandangan desa sekelilingnya. Rasa takjubnya masih belum memudar, apalagi ini pertama kalinya ia melihat desa dengan makhluk hidup sejak menapaki kaki di dunia Guide.
“Sepertinya kau bukan orang jahat,” sahut kepala desa membuyarkan lirikan Toz.
“Ya? Maksudnya?”
“Aku tak bisa merasakan kegelapan darimu.”
“Kegelapan? Apa maksudnya aura jahat?” Toz mencoba meresapi maksud perkataan kepala desa.
“Ya, tak ada aura jahat darimu, cukup langka juga manusia sepertimu.”
“Benarkah? Hhehehe, aku memang anak yang baik. Bahkan ibuku selalu memujiku karena aku rajin membantu,” Toz mengucapkan itu dengan bangganya. Para kurcaci hanya menatap heran pada tampang bodoh yang menempel di wajahnya.
“Tak ada orang baik yang memuji dirinya sendiri, kau pasti gila,” ledek kurcaci lainnya.
“Hei! Bagaimana bisa kalian mengataiku begitu? Itu tidak sopan!” teriak Toz.
“Hei bocah! Beraninya kau berteriak! Ingin dibakar hah!” bentak yang lain. Mulut Toz spontan langsung terkunci rapat mendengarnya, pemandangan ular bakar melintas cepat di otaknya sehingga keringat dingin langsung mengucur di wajahnya.
“Ma-maafkan aku,” Toz bersujud memohon ampun pada mereka.
“Hei bocah! Bangunlah! Ganti bajumu yang bau tanah itu,” pungkas kepala desa begitu kurcaci yang diperintah untuk mengambil pakaian ganti Toz datang.
Toz masih ragu-ragu, akhirnya dengan bermodal sedikit kepercayaan pada mereka, Toz pun mengiyakan ucapan kepala desa itu. Ia mengganti pakaiannya di salah satu rumah warga desa kurcaci.
Ia mendongakkan kepala seperti orang linglung saat menatap desain di dalam rumah. Unik, ada tangga yang menempel di dinding kayu. Wangi aroma bunga terpancar di dalam rumah, membuat siapa pun yang bertamu pasti akan nyaman.
Tapi ada sesuatu yang mengagetkan jantung Toz, yaitu sebuah keranjang besar dengan bermacam buah-buahan di dalamnya. “Ada buah?! Lalu kenapa mereka makan ular?! Ini benar-benar di luar logika!” batin Toz.
Selesai mengganti pakaian ia langsung keluar rumah dan mendekati kerumunan para kurcaci yang melingkar di dekat api unggun besar. “Sudah selesai?” tanya kurcaci yang sempat menyumbat mulutnya dengan apel.
“Su-sudah. Itu, sebenarnya emm ... Ada yang ingin aku tanyakan,” Toz tampak ragu-ragu.
“Apa?”
“Kenapa ada baju manusia seperti ini? Aku yakin kalau ini tidak muat di tubuh kalian,” tanya Toz hati-hati.
“Ya, itu memang baju manusia. Orang yang punya sudah pergi entah ke mana, jadi barang-barangnya tertinggal di sini.”
“Begitukah? Bukankah kalian tak pernah membawa manusia kemari?”
“Tentu saja pernah, kau contohnya.”
Wajah Toz berubah jengkel, “selain aku!” Dalam hatinya, “dasar sialan!”
“Kami memang tidak membawa manusia, tapi bukan berarti mereka tidak pernah ke sini. Jalan ke desa kurcaci hanya tertutup kabut dan duri, jika kau orang yang jeli pintu masuknya pasti bisa ditemukan.”
“Begitu? Apa kalian penduduk asli di sini?”
“Ya!”
“Ternyata dunia Guide isinya lebih aneh dari yang kubayangkan,” gumam Toz.
“Tentu saja, karena itulah dunia ini disebut dunia hitam Guide, isinya berbeda dengan dunia manusiamu,” timpal kepala desa tiba-tiba.
“Tunggu, apakah kalian pernah ke dunia manusia?” Toz penasaran.
Kepala desa tak menjawabnya, tidak pula kurcaci lain yang berdiri di dekatnya. Tapi Toz bisa merasakan sesuatu yang aneh dari ekspresi mereka. Ekspresi yang terasa melukiskan sebuah kesedihan.
“Hei! Sudah mau dimulai! Ayo berkumpul!” ajak anak-anak kurcaci yang tingginya sepinggul Toz.
“Berkumpul? Berkumpul untuk apa?” tanya Toz.
“Nyanyian bloodgrya, ini malam ketiga nyanyian akan dilakukan. Selanjutnya nyanyian akan dilaksanakan tujuh hari lagi,” balas kepala desa.
“Apa maksudnya itu?” lirih Toz bingung.
Ia merasa ada di dunia yang berbeda. Ia sadar kalau mulutnya tidak mengucapkan bahasa manusia melainkan bahasa kurcaci. Tapi ia tidak tahu, apa penyebab ia bisa berbahasa kurcaci. Rasa penasaran ingin bertanya langsung terlupakan begitu ia menjalani kehidupan di sana.
Alunan musik dari gendang dengan kulit ular bermotif pun mulai bersenandung di sekitar kobaran api unggun.
“Gendang kulit ular? Kenapa rasanya semua serba ular?” batin Toz mendengus kesal.
Tak di asrama, tak di dunia Guide, terlalu sering rasanya ia bertemu dengan sosok makhluk melata itu. Walaupun baru tiga kali ia bertemu dengan ular, entah makhluk itu dalam keadaan hidup atau mati.
Seorang kurcaci dengan perawakan wanita tua berjalan melingkari api unggun. Pakaiannya yang menjuntai menarik perhatian Toz.
Ia berjalan sambil mengoyangkan tangan kanannya, gerakan yang aneh bagi orang sepeti Toz. Tapi begitu kurcaci tua itu menunjuk ke arah api unggun, kobaran apinya langsung membesar membuat Toz terperanjat kaget.
Lantunan nyanyian aneh mulai tercipta dari mulut sang kurcaci tua. Aneh, ia seperti berbicara bukan bernyanyi, namun hal itu terasa enak didengar. Toz pun terdiam mendengar lantunan yang menyusup masuk ke telinganya.
“Ini adalah nyanyian, kisah mereka yang berjanji. Sekuntum lily menyambut darah, kata saling terikat, tatapan saling berpindah, tangan saling berkait.”
“Ini adalah nyanyian, nyanyian mereka yang pernah mengucapkan. Biru yang dibawa, hijau yang diganti, putih yang dimakan, merah yang dikeluarkan.”
“Ini adalah nyanyian, nyanyian mereka yang menanti. Tangan yang terulur, buah dewa yang diperlihatkan, pijakan yang disediakan, semua yang ditawarkan, nyawa yang dibayarkan.”
“Ini adalah nyanyian, nyanyian mereka yang memberi. Cahaya yang diturunkan, silau yang membutakan, suara yang dirindukan, belaian yang menghangatkan, kegelapan yang dipersembahkan.”
“Ini adalah nyanyian, nyanyian mereka yang mati. Tangan yang diangkat, suara yang menggertak, darah yang berserak, kutukan yang dilepas, lantunan doa terlarang.”
Di tempat berbeda, lantunan yang sama juga bersenandung di bawah tiupan angin malam. Kemilau cahaya kunang-kunang menghiasi sosok pembawa lantunan, dengan ekspresi yang tak bisa diartikan.
“Ini adalah nyanyian, nyanyian mereka yang berlari. Napas yang memburu, tawa yang menari, amarah yang bersembunyi, kegilaan yang menyelimuti, langkah kematian di sini,” selesai menyanyikan itu ia pun tertawa.
Tangan berlumuran darah pun menyisir rambutnya ke belakang, sorot mata penuh kesenangan jelas terpancar dari wajahnya.
“Baiklah, selanjutnya siapa? Nyanyian terakhir sudah selesai diucapkan. Bukankah ini saatnya kita berburu?” ucapnya.
Sesosok remaja dengan rambut biru kehitaman, serta mata biru layaknya lautan terdalam menghiasi rupanya. Sang ular yang selalu menemani pun tampak melingkar di leher dengan jantung manusia di mulutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments
Rosni Lim
Selamat pagi
2020-11-18
1
ARSY ALFAZZA
❤️❤️❤️
2020-11-01
1
Heera Ya
uda aku boomlike sampe sini ya kak
sukses selalu utk karyanya
2020-10-29
1