Jam makan siang pun tiba, para peserta berkumpul di kantin yang sudah disediakan asosiasi guider. Makanan di sana gratis, jadi para peserta diperbolehkan untuk mengambil sesukanya. “Sepertinya para peserta sudah dibagi sesuai barisan pendaftaran,” ucap Toz setelah memandang sekelilingnya.
“Ya, kamu benar, ini tidak sebanyak saat kita pertama kali datang,” sahut Riz. “Apa itu berarti Ellio dan Jion ada di tempat lain?” batin Riz.
“Apa Reve tidak ikut makan siang?” tanya Del.
“Entahlah! Biarkan saja si ular itu,” balas Alci jengkel.
“Tapi Alci, aku tidak tahu kamu seorang perempuan. Kupikir kamu laki-laki,” Del tersenyum menatapnya.
“Benar juga, saat pertama kali kita bertemu kupikir kamu itu laki-laki,” tambah Toz yang berbicara sambil mengunyah makanan.
“Hei bocah! Bicara atau makan? Pilih satu-satu! Lagi pula kapan aku berkata kalau diriku laki-laki? Menyedihkan! Si ular saja tahu kalau aku ini perempuan.” Alci mengatakan itu dengan rasa kesal.
Anak-anak tertawa menanggapi perkataan Alci. “Ah iya! Aku mau tambah karenya dulu,” Toz meninggalkan mereka. Ia menghampiri meja makanan dan meminta pegawai dapur untuk menambahkan kare ke mangkuk yang dibawanya.
“Hei minggir! Aku mau tambah karenya!” tukas seseorang tiba-tiba.
Toz yang kaget menoleh ke sampingnya, “i-itu, tolong tunggu sebentar,” sahutnya gugup.
“Hei kau tidak dengar?! Bos kami mau tambah karenya! Minggir kau bocah!” dorong salah satu dari mereka. Toz pun terjatuh ke belakang akibat dorongan itu, di mana menimbulkan perhatian di sana.
“Hei! Ribut-ribut apa itu di depan?” tanya Alci penasaran.
“Toz?!” pekik Riz saat menyadari temannya yang sudah terduduk di lantai. Ia langsung beranjak dari posisinya untuk menghampiri kegaduhan itu.
“Kenapa kalian seperti ini?” Toz merasa kurang senang dengan perlakuan yang ia terima.
“Apa kau bilang? Masih berani kau menantang kami?!” Orang yang mendorongnya pun memajukan wajah dengan ekspresi kesal.
“Hei! Apa-apaan ini?!” Riz menghalangi orang itu mendekati Toz. Alci yang mengikutinya membantu Toz untuk berdiri.
“Kalian!” geram Alci.
“Heh! Ada cowok cantik!” ledek orang tersebut. “Jadi apa? Kalian datang kemari untuk menantang kami hah?”
“Apa! Padahal kamu sendiri yang mendorongku! Padahal aku duluan yang sudah berdiri di sini,” jawab Toz tak terima.
“Diam kau bocah! Kau menantang kami? Apa kau tahu siapa kami?!” teriak orang itu. Kegaduhan yang mereka timbulkan membuat ketidak nyamanan untuk orang-orang di kantin. Petugas dapur yang isinya hanya orang-orang biasa sedikit ketakutan karena tidak ingin terlibat.
Riz kembali mengingat masa-masa di sekolahnya, di mana ia ditindas dan menerima perkataan yang sama dengan ucapan orang itu. Ingatan itu menimbulkan geram di dadanya, dan ia pun melontarkan kalimat tak terduga. “Memangnya kenapa? Siapa pun kalian tak ada urusannya dengan kami. Ayo! Tak usah pedulikan mereka!” ajaknya.
“Beraninya kau!” pekik salah satu dari mereka.
“Buagh!” suara tendangan pun dilayangkan Otic ke perut orang yang ingin memukul Riz. Orang itu terpental, tapi dibalik jatuhnya ia tak sengaja menyenggol seseorang.
“Aah, makananku,” lirihnya menyadari makanan di tangannya jatuh menimpa wajah orang yang menyenggolnya. Dialah Rave, si bocah ular yang ke kantin bersama dengan pemuda berhoodie itu.
“Sialan! Kau!” sahut yang lain pada Otic karena tak terima rekannya diperlakukan seperti itu.
“Cukup!” seseorang mengambil alih.
“Bos?!” pekik salah satu dari mereka. Sang bos dari rombongan pembuat onar mulai mengeluarkan suara. “Sepertinya kalian benar-benar tidak tahu siapa aku.”
“Aah, aku tahu. Kau pasti bos mereka,” potong Reve dengan nada menyindir.
Orang itu menatap tajam Reve, lalu beralih pada mereka yang dianggap penganggu olehnya. Bawahannya yang jatuh tersungkur sudah mulai berdiri dengan rasa sakit yang ditahannya. Sorot mata bawahan itu menajam, ekspresi geram jelas tertera di wajahnya saat menatap Otic dan Reve yang sudah membuatnya tampak kacau.
“Bibi, bisa tolong ambilkan lagi aku ramen? Aku ingin telurnya dua dan bawang yang banyak,” ucap Reve memecah suasana tegang itu.
“Ba-ba-ik!” jawab pegawai dapur terbata-bata.
Bos lawan sangat kesal dengan Riz, Otic dan Toz, namun perkataan dan sikap Reve membuat darahnya langsung lari ke ubun-ubun, di mana ia tidak tahan lagi karena merasa direndahkan oleh mereka.
“Dasar kurang ajar!” teriaknya menarik kerah baju Reve tiba-tiba. Hal itu membuat yang lain tersentak kaget, saat menyadari ada ular di antara wajah sang bos yang emosi dan Reve.
“Apa itu?!” pekiknya melepas kerah baju Reve dengan kasar.
“Aemus obdeas riad sain (semua dimulai dari sini)” itulah yang diucapkan Reve tiba-tiba. “Obberaa sistora (di tanganku milikku), nebia nad aseka sistora maharz (hidup dan mati milikku sendiri),” kalimat itu adalah isi kontrak yang tertera dalam surat perjanjian.
Mereka yang mendengar Reve mengatakan itu hanya menatap heran dan penasaran. “Jika kita bertemu lagi kau pasti mati,” Reve pergi meninggalkan mereka setelah ramennya datang dengan ular melingkar di lehernya. Mata sang predator berdarah dingin pun terarah tajam, dalam jarak menjauh dari sang bos yang ketakutan karena ular itu muncul tiba-tiba.
Kegaduhan di kantin sudah memudar, di mana para pembuat masalah kembali ke kamarnya masing-masing. Di kamar, Toz pun menghampiri Reve yang tidur-tiduran. “Re-Reve, terima kasih.”
Reve memutar bola matanya ke samping, melirik Toz yang tampak gugup itu. Wajah datarnya mengeluarkan seringai aneh, “terima kasih?”
“Iya, karena kamu pertengkaran tadi terhenti.”
“Benarkah?” Reve mengangkat tangannya ke arah Toz. “100 tier.”
“Hah?”
“Aku tak butuh terima kasihmu, gantinya 100 tier untukku,” lirih Reve membungkam Toz.
“Hei! Kau mau memeras kami?!” potong Riz tiba-tiba.
“Su-sudah hentikan. Kita ini teman sekamar, karena itu tolong jangan bertengkar,” Del menengahi pembicaraan. Pemuda berhoodie juga ikut tiduran di atas ranjangnya. Menatap langit-langit kamar tanpa melepaskan penutup kepalanya.
Waktu terus berlanjut di mana kamar itu jadi lebih berisik dari sebelumnya. Del, Otic, Toz, Riz, dan Alci bermain kartu dengan ributnya. “Hei! Aku baru ingat! Bocah hoodie, siapa namamu?” tanya Alci.
“Anca Blake.”
“Dan si ular berarti Reve Nel Keres, hampir saja aku lupa menanyakannya,” pungkas Alci.
“Memangnya kenapa dengan nama mereka?” Otic menatap heran.
“Bukankah aneh jika kau tidak tahu nama teman sekamarmu?”
“Tidak juga. Kita bisa memanggilnya si ular dan si diam,” balas Otic yang mengundang tawa mereka. Hanya Reve dan Anca yang tidak tertawa, membuat panggilan itu memang terasa cocok untuk keduanya, di mana Anca hanya diam melihat mereka dan Reve sibuk bermain dengan ular kesayangannya.
Waktu semakin larut, malam yang datang menyeruak, melenyapkan cahaya dengan menampilkan sinar-sinar temaram kecil dari taburan bintang-bintang. Dengkuran saling bersahutan dari mereka yang kelelahan. Semuanya tertidur di lantai beralaskan permadani hijau, di antara mereka hanya dua orang yang merasakan nyamannya tidur di ranjang.
Pertama Anca, kedua Reve. Hanya mereka berdua yang tidur nyenyak berselimut tebal, tanpa gangguan dingin dari udara luar yang menyusup lewat celah-celah kosong.
Sementara Near, si ular black mamba, ikut tertidur layaknya kucing peliharaan di dekat leher sang majikan. Entah bagaimana awalnya bisa ada manusia yang akrab dengan ular seperti Reve.
Tapi, beberapa orang di asosiasi mengakui itu sebagai sebuah bakat dan menaruh perhatian terselubung padanya. Walaupun itu berarti mereka tak berharap terlalu banyak pada Reve di dunia Guide.
Di dunia itu, orang jenius di dunia manusia akan menjadi sampah jika salah langkah.
Dunia Guide hanya diperuntukan bagi mereka yang berani dan bermental baja. Penjelajahan dari satu tempat ke tempat lain adalah langkah untuk mencapai kejayaan. Entah apa yang ada di dalamnya, orang-orang tak pantas, pasti akan menerima bayarannya.
Entah itu kematian, kegilaan, menjadi tumbal, kekuatan, kekayaan, ataupun santapan predator yang berkuasa di dunia Guide. Satu hal yang pasti, kematian adalah milik sendiri, apa pun yang terjadi tak ada kaitannya dengan orang lain. Itu berarti, jika kau mati, asosiasi tidak akan peduli. Kurang lebih itulah isi dari kontrak perjanjian walau tidak semuanya.
Kicauan burung gereja memekakan telinga Riz. Bagaimana bisa, kumpulan burung gereja itu bertengger di ranjang para peserta tanpa takut dan dosa?
Di kamar ini ada seekor ular! Seekor ular yang jelas-jelas musuhnya para manusia apalagi hewan. Apa burung-burung gereja itu tidak takut dijadikan pencuci perut si ular.
“Lihatlah mata ular itu! Dia terlihat buas dan lapar!” batin Riz. “Bagaimana bisa bocah itu memeliharanya? Apa dia menyusui si ular saat masih bayi? Tidak! Ular tak menyusui! Aku tak pernah belajar jika ular minum asi,” oceh batinnya lagi.
Tak hanya Riz, bahkan Otic yang sudah terbangun dari tidurnya juga mengocehkan hal yang hampir sama.
“Cih! Ular itu menatap tajam! Bagaimana bisa aku sekamar dengan orang gila seperti dia? Bagaimana jika nanti aku dimakan ular itu? Bisa-bisa berita kematianku di perut ular yang viral, bukan di dunia Guide. Aku harus menjauh darinya, sapi saja rontok di perutnya, apalagi aku yang tulang begini!” oceh Otic di dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments
El_Tien
Semangat Thor, aku dukung tujuh like di sini. Dukung balik karyaku ya, salam kenal dari "Hukuman Itu Menikah"
2021-11-21
0
ARSY ALFAZZA
🌸🌿
2020-11-01
1
meme
semangat kak
aku mampir sampai sini dulu
ditunggu feedbcknya💪🥰
2020-11-01
1