Sekarang semuanya benar-benar menyedihkan. Tak hanya Riz, Toz juga bernasib sama sepertinya. Keduanya menjadi bulan-bulanan murid yang berpikir kalau diri mereka berkuasa.
Darah tak seberapa mulai berserakan ke lantai. Meninggalkan jejak dari pemiliknya yang terluka. “Inilah yang akan terjadi, jika kau bersikap sombong di hadapanku,” lirih Jion. “Bawa mereka ke kamar mandi!” perintahnya.
Ia dan anak buahnya pergi ke kamar mandi sambil menyeret Riz dan Toz yang sudah babak belur. “Ellio, kau tak ikut?” tanya Jion yang menyadari Ellio masih berdiam diri di posisinya.
“Ya,” remaja itu mengangguk dan mengikuti mereka dari belakang.
“Mmm? Sepertinya para singa mulai sombong,” gumam seorang anak laki-laki yang sedang memakan cemilannya. Ia hanya menatap kebisingan yang disebabkan Jion dan anak buahnya.
Sekolah yang menyedihkan, karena guru-guru tidak menyadari kekacauan yang sudah disebabkan para muridnya.
Kalaupun mereka tahu, tak sedikit pula yang mengabaikan karena tak ingin terlibat dengan orang tua murid yang cukup berkuasa namanya. Bahkan uang yang mengalir untuk melepaskan jeratan anak-anak bermasalah, akan ditampung oleh mereka yang bersedia tutup telinga dan tak peduli akhirnya.
Untuk anak-anak seperti Riz dan lainnya, orang-orang seperti mereka adalah sumber bencana. Walau tidak semuanya akan bersikap seperti itu, tapi sekarang bagi mereka hanya penindasan yang tampak oleh mata. Apa yang harus dilakukan Riz untuk terlepas dari jeratan itu?
Kedua tubuh kurus itu dilempar kasar menabrak pintu kamar mandi. Mata Toz mulai basah karena tak tahan dengan apa yang akan terjadi, “kenapa? Apa salah kami? Kenapa kalian seperti ini?! Memangnya apa yang sudah kami lakukan?!” teriak Toz akhirnya.
“Buaak!” Kepalanya yang diinjak Jion, ia menyeringai atas tingkahnya sendiri.
“Beraninya kau bertanya? Kau ingin tahu? Tentu saja itu karena ini menyenangkan.” Riz yang mendengarkan itu pun langsung naik pitam. Menyenangkan? Ini menyenangkan? Rasa sakit dan penghinaan yang selama ini ia terima menyenangkan?
“Dasar br*ngs*k!” teriaknya emosi. Ia bangun dan mencoba menghajar Jion yang masih menindas Toz.
“Wow! Dia melawan!” sahut yang lainnya.
Jion menghindari serangan Riz dengan entengnya, kakinya yang lihai pun dilayangkan ke dada Riz sehingga ia terjungkal kesakitan. “Dan kaulah yang paling menyenangkan untuk ditindas.”
Riz yang masih menggeliat kesakitan mulai menatap tajam Jion. “Ha-hanya karena kau anak guider, kau berani menindas kami,” lirih Riz.
“Ya benar! Bukankah itu kelebihanku? Sudah seharusnya aku bersikap seperti ini pada cacing-cacing seperti kalian! Lakukan!” perintahnya.
Para bawahan Jion pun mulai melakukan aksinya, menyobek pakaian Riz dan Toz, menyiram mereka dengan air kotor yang tak perlu lagi disebutkan dari mana asalnya. Bau busuk pun terpancar dari kedua anak itu, sehingga mereka benar-benar tampak menyedihkan.
“Kenapa? Kenapa kau melakukan ini? Apa yang sudah aku lakukan?” tanya Riz akhirnya.
“Yang sudah kau lakukan? Baiklah, aku akan memberi tahumu. Beraninya, beraninya sampah sepertimu mengambil milikku!” ucapnya sombong. “Yah! Tapi tenang saja, aku sudah merebut kembali hal itu, walau harus pakai cara kekerasan.”
Riz yang masih dibayangi rasa sakit tak mengerti apa maksud dari perkataan Jion. Keduanya pun ditinggalkan begitu saja oleh mereka, setelah puas dipermainkan seperti itu. Toz tak bersuara, begitu pula dengan Riz yang mulai merasakan kabur pandangannya. Mereka berdua pun akhirnya pingsan di sana.
Suara tawa tak jelas seolah berkicau di sekeliling Riz yang mulai sadar. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. “Aaagh!” erangnya. Tulang di wajahnya terasa ngilu, seolah akan copot dari kepalanya. Ia pun teringat atas apa yang sudah terjadi, membuat tubuh babak belur itu memutar kepala kiri dan kanan untuk mencari seseorang.
“Toz! Toz!” panggilnya.
“Hei! Berisik bocah!” gerutu seseorang yang merasa terganggu. Siapa lagi kalau orang itu bukan si dokter sekolah yang sibuk membaca manga. Sekarang entah manga karangan siapa lagi yang ia baca sampai tawanya mirip spesies horor itu. “Bocah itu masih tidur! Kau benar-benar menggangguku! Seharusnya kau tidak sadar!” oceh dokter tersebut.
Seperti biasa, apa pun yang ia keluarkan dari mulutnya pasti kutukan saja isinya. Kenapa orang seperti itu bisa menjadi dokter di sekolah? Padahal tampang jeleknya masih muda.
Ya, dokter itu sangat jelek untuk orang-orang yang tak mau mengakui kegantengannya. Tapi bagi yang lain? Jantung para perempuan yang menerima godaan dengan tangan terbuka pun akan langsung berteriak-teriak meminta tanda tangan karena tampang sang dokter.
Riz pun memaksakan dirinya untuk bangun, mencari sosok Toz yang sangat ia cemaskan. Disibaknya tirai pertama, tirai kedua, dan pada tirai ketiga tampaklah sosok Toz yang masih tidur dengan tenang.
Wajahnya memar, matanya bengkak dan ada perban di kepalanya. “Maafkan aku Toz, maafkan aku karena tidak bisa melindungimu,” pungkas Riz yang jatuh terduduk.
“Tentu saja kau tidak bisa, melindungi diri sendiri saja tidak becus! Bagaimana bisa melindungi orang lain? Jangan terlalu sering berhalusinasi agar tak kusindir begini,” ledek dokter tersebut. “Hei! Jika orang tua bicara dengarkan! Makanya kamu itu terus kena sial!”
Suara kicauan sang dokter sekolah benar-benar mengganggu istirahat. Toz pun akhirnya terbangun mendengarnya. Sebelah mata yang terasa sakit dan bonyok menimbulkan perih dan erangan pelannya.
“Toz! Toz! Kamu sudah sadar?” Riz tampak lega.
“Riz?”
“Ya! Ini aku! Bagaimana keadaanmu?!”
“Buruk!” balas Toz yang mengundang tawa sang dokter.
“Maafkan aku. Ini semua gara-garaku! Jika saja kita tidak berhubungan, mereka pasti takkan menyakitimu!”
“Sudahlah, lagi pula dengan begini sekarang aku tahu bagaimana rasa sakitmu!” ucap Toz diiringi tawa pelan.
“Baiklah! Karena kalian sudah sadar, cepat bangun dan pulang!” potong dokter itu tanpa iba.
“Anda benar-benar dokter sekolah? Kenapa menangani murid seperti ini?” tanya Toz akhirnya.
“Terserah, lagi pula salah kalian sendiri sampai babak belur. Suka atau tidak, tetap aku raja di sini! Seharusnya kalian berterima kasih karena sudah kuobati!” sahut dokter itu dengan sombongnya.
Riz pun menatap jengkel padanya, sudah delapan kali ia masuk UKS, dan sudah sebanyak itu pula ia menerima kutukan sang dokter. Jika di tampung semua kutukannya, mungkin telinga Riz berkarat isi endapannya.
“Ayo Riz, bisa tuli kita jika tetap di sini,” ajak Toz. Ia pun bangun perlahan sambil dibantu Riz.
"Tunggu sebentar!" Cegat Dokter itu sambil menyodorkan dua buah permen kaca yang tampak aneh.
"Apa ini?" tanya Riz bingung.
"Makan saja! Ini obat khusus dan mahal! Kalian tidak akan mampu membelinya!"
"Cih!" umpat Riz pelan. Akhirnya ia dan Toz memilih memakan permen itu tanpa ragu lagi.
Entah sudah berapa kali Riz terkapar di UKS sampai jam pelajaran habis. Setelah mengambil tas, mereka meninggalkan sekolah sambil berjalan pelan. Memandang langit biru yang seolah menertawakan keadaan menyedihkan keduanya.
“Maafkan aku,” gumam Riz. Toz tersenyum, memandang Riz yang tampak merasa bersalah.
“Ini bukan salahmu, hanya saja ini salah mereka yang tidak berperasaan.”
Mendengar itu, wajah Riz berubah murung, karena perkataan itu mengingatkannya pada sosok Ellio sang sahabat. Kenapa Ellio memilih berteman dengan mereka? Apa yang salah? Kenapa Ellio tidak mau mengatakan alasannya? Setidaknya dengan begitu Riz takkan berharap lagi pada Ellio jika dirinya memang ingin memutus persahabatan mereka.
Sesuatu yang menggantung dan masih misteri ceritanya sangatlah menyakitkan untuk Riz. Karena baginya, sosok Ellio takkan bisa tergantikan.
“Kudengar anak-anak akan mendaftar guider, bagaimana denganmu Riz?” tanya Toz.
“Rasanya aku tidak akan ikut.”
“Kenapa?”
“Karena aku takut akan itu, aku takut jika suatu saat nanti aku tak bisa bertemu dengan ibuku lagi. Bagaimana denganmu?”
“Aku akan ikut.”
“Benarkah?”
“Ya,” balas Toz dengan yakinnya.
“Kenapa?”
“Aku ingin membantu perekonomian keluargaku. Setidaknya uang dari guider jauh lebih besar dari pendapatan orang tuaku sekarang.”
Riz tersenyum, “kamu benar-benar anak yang baik.”
“Bukankah kamu juga begitu?”
“Kita memang begitu,” keduanya pun akhirnya terpisah ke jalan pulang masing-masing.
Esok harinya, Riz terlambat datang ke sekolah. Rasa sakit membuatnya susah tidur dari kemarin, dan efeknya pun membuat Riz harus terlambat ke sekolah. Di kelas Riz merasa bingung, saat menyadari sosok Toz tak ada di sana. Saat jam istirahat, Riz segera pergi dari kelas untuk menghindari pembullyan dari Jion dan temannya. Ia pun berlari ke atap, memilih tempat yang ia rasa aman di sana.
“Hei! Apa kau sudah dengar?” sahut salah satu murid yang baru datang ke atap.
“Tahu apa?” balas temannya.
“Si culun Toz dari kelas sebelah kembali dihajar Jion!”
“Benarkah?”
Ya! Padahal kemarin ia juga dihajar, apa Jion itu ingin pamer kekuasaan? Aku jadi kasihan dengan korban-korbannya!” jelas murid yang pertama kali bicara.
“Hei! Apa maksud kalian?! Toz dihajar?” potong Riz yang keluar dari persembunyiannya dengan muka marah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments
Dania
10 November 2021
Selamat Hari Pahlawan
🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩
7in1 NT 🌿🌿🌿🌿🌿
2021-11-10
0
syafridawati
3 like mampir saling dukung ya di pulau kematian
2021-09-02
0
mar14mut
masih Ku lnjutkn Thor
2021-01-12
1