Terkadang cita-cita bukan apa yang sudah kita khayalkan saat kecil. Cita-cita bisa tergantung dengan kondisi dan situasi. Cita-cita juga bisa terbentuk dari suatu keadaan yang memaksa kita untuk terjun di dalamnya.
Bagi Ami, cita-cita dan jalan hidupnya seakan putaran takdir. Ami yang sudah terlanjur terjun ke dalamnya hanya mengikuti saja kemana arus air akan mengalir. Mau melawan arus air pun tak ada daya dan upaya. Cara terbaik adalah mengikuti arus air dan belajar berenang dengan lebih baik lagi. Agar saat arus mengarahkan ke jurang yang dalam kita bisa menyelamatkan diri sendiri, mungkin juga bisa menyelamatkan orang lain.
Ami mulai menerima takdirnya. Ia memang tidak pernah punya cita-cita selama ini, namun menjadi seorang akuntan juga bukan keinginannya. Apa daya Ia terjebak di SMK jurusan akuntansi, Ia pun berusaha beradaptasi dengan pelajarannya tersebut.
Mengejar ketertinggalannya, Ami mulai rajin belajar kembali. Ia hanya bisa mengandalkan kemampuannya sendiri jika Ia mau lulus dengan nilai yang baik. Lupakan tentang hadiah kenaikan kelas yang biasa Ia terima saat SMP dulu, Ia hanya bisa meratapi nilai rapotnya yang pas-pasan.
Perlahan Ami mulai membuka mata dan pikirannya. Kehidupan bahagianya di masa SMP sudah sirna. Ia harus membenahi lagi hidupnya. Masa depannya masih panjang, kalau Ia tidak menyadarkan dirinya maka selamanya Ia akan terhanyut.
Ami melakukan disiplin yang ketat dengan jam belajarnya. Pulang sekolah Ia mulai mengulangi pelajaran di sekolahnya dan rajin mengerjakan PR. Jika ada yang Ia tidak mengerti maka Ia tak sungkan bertanya pada temannya yang lebih pintar.
Ami juga mulai membangun pertemanan dengan teman cowok yang hanya berjumlah 2 orang saja di kelas. Perlahan teman cowoknya bertambah menjadi lebih dari 10 orang. Ami juga mulai berpacaran dengan cowok dari sekolah sebelah ya walau berakhir dengan patah hati karena Ami diselingkuhi sih.
Ami mulai menata hidupnya dan mulai move on hingga akhirnya berhasil mendapat peringkat 5 di kelas. Ami amat bangga dengan hasil kerja kerasnya selama ini.
Tanpa terasa masa SMK dilewati dengan cepat. Lumayan asyik juga ternyata Ami memiliki banyak teman cewek.
******
Tahun 2004
Ami sudah menginjak kelas 3 SMK. Berhasil juga Ia melewati hari-hari di sekolahnya. Ternyata setelah dijalani Akuntansi tidak seburuk yang dibayangkan.
Ami dan Indri sedang menyebrang hendak berangkat sekolah. Rambutnya yang panjang Ia biarkan tergerai. Ia sedang tertawa dengan Indri menceritakan kejadian di sekolah kemarin ketika tangannya ada yang menariknya.
Ami menoleh dan melihat Bagas sedang tersenyum sambil memegang tangannya. Senyum yang sudah hampir 2,5 tahun tidak Ia lihat.
"Hi Mi!" sapa Bagas dengan hangat. Senyumnya masih mengembang tertuju untuk Ami seorang.
Ami ingin melakukan hal yang dulu Bagas lakukan padanya. Ia ingin berpura-pura tidak mengenal Bagas dan bersikap acuh namun Ia tidak mau membohongi hati nuraninya kalau Ia juga amat merindukan Bagas.
"Oh...hi!" jawab Ami dengan canggung.
Indri yang tahu kisah Bagas selama ini menyueki Ami mulai sebal. "Tumben Mi lo ditegur sapa sama Dia. Biasanya juga pura-pura gak kenal sama lo!" sindir Indri dengan tajam.
Ami melepaskan pegangan tangan Bagas. Ia melirik jam di tangannya. Jika Ia terlalu lama berada disini dan ketinggalan angkot maka Ia bisa telat.
"Gue duluan ya." Ami menarik tangan Indri dan menyebrangi jalan meninggalkan Bagas yang pada akhirnya mengikuti langkah Ami.
"Mi...." panggil Bagas lagi dengan suaranya yang membuat rasa kasihan dalam diri Ami mengetuk harga dirinya.
"Maaf Gas, gue udah telat." Ami lalu naik ke dalam angkot yang sudah diberhentikan oleh Indri. Ami melihat Bagas masih menatapnya sampai angkot Ami menghilang dari pandangan.
Ami menunduk dan menahan sedih di hatinya. Kenapa Bagas muncul lagi dalam hidupnya disaat Ia mulai berhasil menata hidup dan menikmati kehidupannya saat ini?
"Ngapain sih Mi masih lo tanggepin Dia? Gak inget apa dulu lo dicuekkin dan dianggep gak kenal tiap kalian ketemu? Sekarang aja Dia sok-sokan kenal sama lo. Udah lah gak penting cowok kayak gitu. Sok kegantengan banget sih. Ya emang beneran ganteng sih. Tapi jangan lo tanggepin Mi. Nanti makin seenaknya aja Dia sama lo." omel Indri panjang lebar. Ia tak rela melihat Ami diperlakukan seenaknya saja dengan Bagas. Indri menjadi saksi perbuatan Bagas selama ini terhadap Ami. Indri juga yang membuat Ami akhirnya menerima takdirnya harus bersekolah di SMK. Kenapa Bagas harus hadir di saat usaha Indri membuat Ami menyukai sekolahnya sudah berhasil. Apa Bagas mau membanggakan kehidupan SMAnya dan membuat Ami menyesali lagi keputusannya?
Ami merenungi perkataan Indri. Ia tahu Indri perhatian padanya. Perkataan Indri pun banyak benarnya, tapi di hati kecil Ami amat merindukan Bagas. Jujur saja Ami senang saat Bagas menarik tangannya.
Ami kembali menjadi anak yang murung. Seharian di sekolah Ia menjadi pendiam. Saat jam istirahat Ia hanya duduk sambil menatap ke luar jendela kelas dengan pandangan kosongnya. Indri akhirnya menyerah dan membiarkan Ami yang memutuskan sendiri akan berbuat apa.
******
Ami sedang mengulang pelajaran di sekolahnya ketika Ibu Budi memanggilnya. Ia hanya menyahut tanpa menghampiri ibunya tersebut. Dengan kesal Ibu Budi yang akhirnya menghampiri Ami.
"Mi, dipanggilin juga dari tadi." Ibu Budi sudah berdiri di depan pintu kamar Ami sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Lagi konsen belajar. Kenapa Bu?" tanya Ami tanpa mengalihkan pandangannya dari buku Akuntansi yang tebalnya ngalahin buku tagihan utang Kang Panci keliling.
"Ada temennya tuh di depan. Pacar kamu Mi?"
Ami mengernyitkan keningnya. Pacar? Berarti yang dateng cowok dong? Siapa? Selama ini gak pernah ada cowok yang dateng ke rumahnya.
"Siapa?"
"Gak tau. Naik motor tuh di depan nanyain kamu." Bu Budi pun meninggalkan Ami yang akhirnya keluar kamar mengampiri siapa yang datang.
Sebuah motor Satria FU sudah terparkir di halaman rumah Ami. Seorang cowok sedang duduk diatas jok motor dan melihat-lihat pekarangan rumah Ami yang banyak ditanami koleksi bunga anggrek milik Bapak Budi. Mendengar langkah Ami mendekat, cowok tersebut membalikkan badannya.
Bagas?
Kenapa Dia bisa ada disini?
Tau dari mana Bagas rumah Ami ?
"Hi, Mi!" sapa Bagas. Senyumnya langsung mengembang lebar.
Tanpa disadari Ami pun ikut tersenyum. Ia lupa dengan perlakuan Bagas selama ini. Satu yang pasti, Ia amat senang dengan kedatangan Bagas apalagi sampai ke rumahnya segala.
"Hi Gas. Kok lo bisa tau rumah gue dimana."
"Tanya sama Widi."
"Oh.... Oh iya... masuk dulu Gas." Ami mempersilahkan Bagas masuk namun Bagas menolaknya. Bagas melihat Ibu Budi sedang mengintip dari balik jendela dengan pandangan tidak suka akan kedatangannya.
"Gak usah Mi. Lo lagi ngapain? Jalan-jalan yuk." Bagas menepuk motornya. Motor yang masih berkilauan karena baru.
"Gak ngapa-ngapain kok. Gue ganti baju dulu ya." Ami langsung masuk ke dalam rumah dan mengganti bajunya. Ia pun melupakan pelajarannya dan tidak memperdulikan wajah masam Ibu Budi saat Ia berpamitan hendak pergi. Yang ada dalam pikiran Ami adalah Bagas. Ada Bagas lagi di hidupnya. Bagas kembali lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Reliya
Terkadang cita-cita bukan apa yang sudah kita khayalkan saat kecil. Cita-cita bisa tergantung dengan kondisi dan situasi. Cita-cita juga bisa terbentuk dari suatu keadaan yang memaksa kita untuk terjun di dalamnya.
Setuju banget sama authornya.
2022-08-01
0
BirVie 💖🌈☁️
kok plin plan sihhh Bagas... jangan mainin perasaan Ami dong
2021-12-26
0
Raya_kiting
Qt sepertinya seumuran deh mi n Bagas.....😁😂
2021-11-22
0