Dia membawaku ke kafe salah satu kenalannya. Kebetulan sedang sepi. Hanya ada beberapa pengunjung.
"Mau minum apa?" Tanya laki-laki itu, yang memperkenalkan dirinya dengan nama Alvin.
"Apa saja yang penting tidak pahit." jawabku.
Kami berdua duduk di kursi dekat jendela jauh dari pengunjung lainnya.
'Apa Ello juga akan setampan ini ya kalau dia masih hidup?' tanyaku dalam hati memperhatikan wajah pria yang kemungkinan besar adalah adiknya. Di beberapa bagian mereka memiliki kemiripan seperti di hidung dan matanya.
"Jadi," kata Alvin membuyarkan lamunanku, " kenapa kau tadi menghindariku?" Tanyanya.
"Aku tidak menghindar." Sangkalku.
"Tadi kau lari!"
"Aku sedang berolahraga."
"Kau olahraga siang hari?"
"Katanya olahraga siang hari bagus untuk membakar lemak."
"Aku tidak melihat kau punya masalah dengan berat badanmu."
"Tentu saja. Itu karena aku sangat menjaga bentuk tubuhku."
Setelah perdebatan yang sia-sia akhirnya dia menghela nafas, "Jujur aku kagum, kau cukup berani ikut denganku yang baru kau kenal hari ini. Padahal bisa saja aku membawamu ke tempat yang berbahaya" Katanya lagi.
"Selama pengamatanku dua hari ini aku yakin kau orang baik." jawabku. Sesaat aku membeku menyadari kesalahanku.
'Ah sial! Mulutku!'
Alvin tertawa, " hah! Kau tidak mau menjawab teleponku tapi malah repot-repot mengikutiku."
"Aku perlu tahu, untuk memutuskan apakah aku harus berbicara denganmu atau tidak." Aku menjelaskan.
"Jadi sekarang kau memutuskan untuk bicara?" Tanyanya
"Ya" jawabku. Lalu sejenak hening. "Beberapa hari yang lalu kakakmu menghubungiku dan memintaku untuk menemui ibunya. Dia bilang ibunya akan berulang tahun dan memintaku mendatangi rumahnya untuk mengucapkan selamat dan memberinya hadiah."
Aku mengulurkan secarik kertas catatan berisi alamat rumah lamanya dan nama orang tuanya. Juga tanggal ulang tahun ibunya. Aku pikir bukti itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa aku memang berbicara dengan kakaknya.
"Apa kau menyelidiki keluargaku?" Tanyanya curiga.
"Apa ada untungnya aku melakukan itu?" Tanyaku balik. Aku sudah menduga dia akan berpikiran seperti itu.
"Aku tahu kau mengunjungi rumah lamamu beberapa hari yang lalu. Dan kau tahu bahwa ada yang mencari keluargamu dari tetangga lamamu, atau dari satpam komplek. Mungkin kau datang ke sana ingin memeriksa apakah kakakmu pulang ke sana atau tidak. Walaupun tidak rutin sesekali kau ke sana untuk mengeceknya. Dan saat kau tahu ada wanita yang mencari keluargamu kau tidak punya gambaran sama sekali siapa orangnya. Benar 'kan?"
"jadi dari situ seharusnya kau sudah mengerti yang berkunjung ke rumah lamamu beberapa hari yang lalu itu aku."
Dia diam mendengar setiap perkataanku baik-baik.
"Kenapa bukan kakakku sendiri yang datang ke sini dan berbicara denganku. Kenapa harus .." ada getaran emosi dalam suaranya yang tertahan.
"Bahkan jika dia di sini dan berdiri di depanmu, kau sudah tidak mungkin melihatnya lagi." Kataku memotong.
Mendengar apa yang aku katakan ekspresi berubah. Matanya bergetar. "Apa maksudmu?"
"Suara yang menelponku adalah suara anak laki-laki berumur 5 tahun sedangkan kakakmu menghilang 17 tahun yang lalu. Aku juga sudah bertemu dengan anak itu dengan wujud yang sama seperti di foto pencarian itu."
"Jika kau berpikir kakakmu masih hidup, apa mungkin dia mendatangiku dengan wujud seperti itu?"
"Cukup!" Potongnya dengan keras, dia menutup telinganya seolah menolak mendengar apa yang akan ku ucapkan, " hentikan! Tolong hentikan!"
Kepalanya tertunduk. Dia hampir menangis. Atau mungkin sudah menangis. Aku tidak tahu karena tidak bisa melihat wajahnya. Tapi suaranya bergetar penuh kesedihan.
Pasti berat baginya untuk menerima kenyataan ini.
"Aku tidak punya keuntungan apapun di sini. Dan tidak mengharap keuntungan darimu. Aku hanya mengatakan apa yang harus kukatakan. Jadi percaya ataupun tidak itu terserah padamu."
"Aku berharap kau bisa berhenti mencari kakakmu. Dan fokus pada kehidupanmu. Aku yakin itu juga yang diinginkan kakakmu."
"Jika itu keluargamu, jika itu adalah orang yang penting untukmu, apa kau bisa menyerah mencarinya? Apa kau bisa mengatakan itu dengan mudah pada dirimu sendiri?" Matanya merah menatapku seolah menunggu jawabanku, dia tahu aku tidak akan menjawabnya.
Aku pergi meninggalkannya yang frustasi sendirian. Kuharap apa yang kulakukan sudah benar.
Tiga hari kemudian Alvin menghubungiku lagi.
"Ada apa?" Tanyaku
"Bisa kita bertemu lagi?"
"Jika ada yang ingin dibicarakan, bicarakan sekarang."
"Aku ingin bertemu langsung denganmu. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Dan juga aku ingin minta maaf, aku mungkin agak kasar saat kita terakhir kali bertemu."
Dari suaranya aku tahu dia sudah tenang dan stabil. Mungkin dia sudah bisa menerima kenyataan.
"Oke, ayo kita ketemu sepulang kerja ini. "
Ternyata Alvin juga bekerja di tempat ayahnya yang kebetulan kantornya tidak jauh dari kantorku. Saat dia menjemputku dengan mobil, teman-teman sekantorku langsung ribut.
Wajar saja, karena selama ini mereka tahu aku tidak dekat dengan pria manapun. Mungkin bagi mereka ini pemandangan yang langka. Apalagi wajah dan penampilan Alvin yang bisa membuat gadis-gadis jatuh hati. Berbeda dengan penampilan saat kami bertemu hari itu, dia terlihat lebih rapi.
Aku yakin besok akan ada berita panas yang menyebar di kantor dan membuat kepalaku sakit.
"Aku sudah bilang tidak usah menjemputku 'kan." kataku mengingatkan, saat aku melewatinya dan masuk ke dalam mobil.
"Kupikir semua wanita suka dijemput seperti ini." Katanya beralasan.
"Kecuali aku. Catat itu."
"Kau memang gadis yang unik."
"Apa itu pujian?"
Dia mengangkat bahu lalu tersenyum.
"Apa kau selalu sedingin ini terhadap pria?" Tanyanya lagi. Dia mulai menyetir.
"Maaf, aku tak tidak tahu, karena aku tidak pernah cukup dekat dengan mereka." Jawabku.
"Kau tidak punya pacar?" Tanyanya heran.
"Apa itu pertanyaan yang harus kujawab."
"Maaf, aku tidak tahu kalau pertanyaan itu sensitif untukmu." Ucapnya tulus.
"Aku tidak punya pacar." Jawabku, "Apakah itu aneh untuk gadis seusiaku."
"Tidak, justru aneh jika tidak ada pria yang tidak tertarik padamu. Menurutku, kau lumayan manis."
"Terima kasih untuk pujiannya. Kuharap kau tidak sedang menggodaku." Ucapku
Alvin hanya tersenyum, "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."
Aku menghela nafas, seolah ada beban berat yang kuhempaskan.
"Menurutmu apa ada pria normal mau berpacaran dengan gadis yang bisa berbicara dengan hantu?" Tanyaku tajam.
"Aku tidak masalah." Jawaban Alvin mengejutkanku. Aku menatapnya seolah ingin meyakinkan kata-kata itu keluar dari mulutnya.
"Bagiku bukan masalah pacarku bisa melihat hantu atau tidak. Selama dia memiliki penampilan seperti gadis umumnya, dan aku menyukainya. Aku akan menghargai kemampuannya dan menghormati rahasianya." Jawab Alvin tegas.
'Pria yang baik. Aku yakin siapapun yang jadi pacarnya pasti senang' pikirku.
Sementara itu Alvin sudah memarkirkan mobilnya, "Sudah sampai."
"Kupikir kita sepakat untuk ke.."
"Ini yang paling dekat." Katanya sebelum aku sempat memprotes, "Tenang saja aku sudah memesan tempat yang cocok untuk kita mengobrol."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
yutantia 10
lanjut thor
semangat
2021-01-05
1
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
like lagi
2020-12-31
1
akun sudah di tutup
3 like untuk mu kk, tetap semngat 🙏🙏
2020-12-28
1