Aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah kakak sepupuku. Begitu sampai Tante Yusi menyambutku dengan pelukan hangat.
"Kenapa gak kasih kabar dulu kalau mau main." ucapnya.
Aku membalas dengan senyuman, "Sengaja mau kasih kejutan, Tante "
Tante Yusi, adik kandung ibuku yang paling dekat. Kebetulan rumah orang tuaku juga ada di sekitar sini.
"Kamu sudah pulang ke rumah?" Tanyanya. Tante menyiapkan makanan di meja untukku.
"Sudah, Tante. Tadi sebelum kesini aku mampir dulu ke rumah. Tapi sepertinya mereka sedang pergi." jawabku.
"Oh iya Tante baru ingat, katanya mereka mau pergi. Ada undangan pernikahan dari teman papamu." Tante memberitahu.
"Kak Angga di mana?" tanyaku.
"Seperti biasa. Dia ada di kafe baca. Mau Tante panggilkan?"
"Gak usah. Biar nanti Mely yang ke sana."
Kafe baca Angga terletak tidak jauh dari rumahnya. Bangunan sederhana berlantai dua yang terletak di pinggir jalan.
Aku mendorong pintu kaca. Aku takjub. Berbeda dari luar, ruangan di dalamnya tampak luas dan tertata rapi. Rak-rak buku berbaris di dinding sedangkan meja dan kursi di susun di tengah ruangan dan di dekat jendela.
"Mel?" Angga terkejut melihatku. Beberapa buku yang sedang disusun di rak terjatuh ke lantai. Aku menghampirinya dan membantunya. Beberapa pengunjung wanita dan karyawan kafe memperhatikan kami.
Mereka menatap curiga padaku.
Yah, mau bagaimana lagi. Angga sejak dulu memang populer di antara gadis-gadis ini. Selain memiliki wajah yang tampan sikapnya juga baik dan ramah. Belum lagi karena hobi membacanya dia memiliki wawasan yang luas tentang banyak hal.
Banyak mahasiswi yang datang ke sini untuk minta bantuannya atau hanya sekedar ingin dekat dan mengobrol dengannya.
Seorang karyawan laki-laki yang juga temannya mendekati kami. Dia menyikut sambil berbisik, "Siapa? Pacar?"
"Hus! Ngawur! Dia ini adikku." Angga memperkenalkanku pada rekannya. Temannya tersenyum canggung.
"Mel, kamu naik aja ke atas duluan, nanti aku nyusul bawain kamu minuman." pintanya.
"Duh takut bener adiknya digodain sama kita-kita. Langsung disuruh naik aja." ucap salah seorang temannya menggoda Angga.
"Siapa sangka Angga bisa juga protektif sama cewek." timpal yang lain.
Aku menaiki tangga meninggalkan mereka. Aku masih mendengar suara tawa mereka yang sedang menggoda Angga.
Ruangan di atas tidak berbeda jauh. Cuma ada balkon yang menghadap ke jalan.
Aku merebahkan diri di kursi sambil membaca beberapa buku.
Ini pertama kalinya aku datang berkunjung ke sini. Kafe baca ini, bisnis yang dijalankannya bersama rekannya baru-baru ini. Lokasinya cukup strategis karena dekat dengan kampus. Jadi banyak mahasiswa yang datang.
Aku dan Angga sama-sama anak tunggal. Kami tumbuh dan besar bersama. Meski usia kami hanya terpaut 2 tahun, Angga sudah menjadi sosok kakak yang bisa kuandalkan. Dia tempatku berbagi cerita dan keluh kesah.
Pandanganku beralih ke sekeliling ruangan.
Dinding ruangan yang dicat berwarna pastel memberikan kesan tenang. Dengan lampu lampu antik mengantung di langit-langit. Sementara meja dan kursi kayu berwarna putih ditata rapi di tengah ruangan.
Angin berhembus lembut dari arah balkon. Tirai kain putih yang tipis itu bergoyang sesekali saat angin membelainya. Tanpa sadar aku tersenyum menikmati perasaan yang damai ini.
Kapan terakhir aku merasakan perasaan seperti ini ya? Rutinitas pekerjaanku membuatku sibuk setiap hari. Hampir tidak ada waktu bersantai seperti ini.
Angga naik sambil membawa dua cangkir kopi, dan meletakkannya di atas meja di depanku.
"Gak kerja hari ini?" yanyanya.
"Aku bolos." Jawabku santai. Aku menghirup vanilla latte di cangkirku.
"Hem? Kau bolos kerja cuma untuk menemuiku? kau kangen padaku?" Aku hampir tersedak mendengar kata-katanya. Angga melirikku sambil tersenyum menggoda.
"Sepertinya kamu dari suatu tempat." Angga mencondongkan tubuhnya ke arahku. Sangat dekat. Dia membelai rambutku. Entah kenapa jantungku jadi berdebar.
"Ada sesuatu yang menempel di rambutmu. Kau tidak tahu?" ucapnya lagi sambil menarik sesuatu dari rambutku. Selembar daun.
Angga kembali ke tempat duduknya. Pandangannya berubah serius. Sambil memainkan daun di tangannya.
"Jadi, kau habis dari mana?" tanyanya lagi.
Aku mulai menceritakan semuanya. Angga mendengarkannya dengan baik. Sambil sekali-sekali mengangguk dan meminum kopinya.
"Bagus dong kamu dapat tumpangan gratis dari 'mereka'. Jarang-jarang kan kamu bisa naik kereta hantu. Anggap aja kamu diajak liburan." komentarnya menggodaku.
"Itu gak gratis, kak! Itu tetep bayar pake tiket asli. Gratis sekalipun aku gak minat untuk ke dua kalinya. Masih untung aku gak pingsan di dalam sana." protesku.
"Aku justru penasaran. Kira-kira kereta itu berakhir di mana ya?"
"Kalau penasaran kenapa gak coba naik sendiri aja."
"Mereka tidak pernah mengajakku" sahutnya pura pura kecewa.
"Hah, jelas gak akan diajak. Orang kayak kakak nyusahin kalau ada di sana. Yang ada malah mereka yang kabur melihat kakak."
Dia tertawa, "Kamu kira aku ini pemburu hantu?"
"Kurang lebih. Kurasa mirip seperti itu."
Dari luar Angga mungkin nampak normal. Seorang yang ramah dan mudah bergaul. Baik dan mudah didekati. Tak ada yang tahu bahwa dia menyembunyikan sisi lain dirinya. Bakat yang dibawanya sejak lahir. Kemampuan berbicara dengan arwah.
Dulu saat aku tidak tahu, aku mengira dia sedikit aneh karena aku sering memergokinya berbicara sendiri. Kalau aku tanya dia hanya tersenyum.
"Sudah lama ya." perkataannya membuatku bertanya apa maksudnya. "Sudah lama gak cerita masalah seperti ini"
Kata-kata Angga seolah menjatuhkanku dari suatu tempat ke dalam kenyataan yang coba aku singkirkan. Kenyataan bahwa bukan cuma Angga, tapi aku juga bisa melihat 'mereka', makhluk yang tak kasat mata yang berbagi tempat dengan kita.
"Terakhir kali saat di SMA, kamu mengalami hal seperti ini" katanya lagi.
"Setelah kuliah aku pindah dari tempat ini. Sejak itu aku gak lihat mereka." mungkin karena kesibukanku kuliah dan teman-teman kampusku, sejak itu aku tidak melihat mereka lagi.
"Bukan tidak lihat, Mel. Tapi kami pura-pura tidak melihat mereka. Membohongi dirimu sendiri dengan mengabaikan mereka."
"Tapi, bukan berarti mereka benar-benar menghilang. Kenyataannya mereka tetap ada di sekitar kita. "
"Anak itupun berpikir kalau cuma gangguan kecil saja pasti tidak akan berpengaruh padamu. Karena itu dia harus mengusikmu sampai ke titik di mana kamu tidak akan mengabaikannya lagi."
"Meskipun itu membuatku jengkel?"
Angga mengangkat bahu, "Itu membuktikan tekadnya cukup kuat untuk meminta bantuanmu. Nyatanya orang-orang yang 'peka' seperti kita selalu menarik perhatian mereka."
Aku terdiam, memikirkan semua kata-katanya. Tidak salah, hanya saja aku masih sulit menerima kenyataan bahwa aku berbeda.
Ini bukan kemampuan yang kudapat sejak lahir. Melainkan karena peristiwa yang kualami 17 tahun yang lalu. Peristiwa yang hampir merenggut nyawaku dan membawaku dalam tidur panjang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
senja
bakal nikah sama sepupunya kah
2022-03-19
1
•Wolfie blue_14•
Hm......jadi kepengen nyoba
2021-03-06
1
Afif Uddin
semakin serem aja...woooooooiiiiii
2021-01-12
1