Keesokan paginya di kantor
"Mel!" Sofi langsung menyapa, begitu melihatku muncul di pintu. Beberapa orang sudah datang.
"Kok tumben kamu telat? Biasanya paling rajin datang pertama." tanya Sofi heran.
"Gak apa apa Sof. Cuma karena semalam susah tidur aku jadi bangun kesiangan." Jawabku berbohong. Tidak mungkin 'kan aku bilang aku malas datang pagi karena takut diganggu hantu.
"Oh ya, Mel, katanya kamu sakit ya? Apa gara-gara hantu itu? Kamu masih digangguin?" tanya Sofi lagi khawatir.
Aku sudah duduk di tempatku dan seperti biasa Sofi duduk di sebelahku.
"Bukan kok. Kemaren aku sakit karena habis kehujanan. Jadi flu. Tapi sekarang udah baikan."
"Mel!" Neni yang baru datang langsung merangkul leherku dari belakang membuatku tercekik.
"Nen, le-pas! Gak bisa nafas!"
Neni langsung melepaskan rangkulannya.
"Kamu gak apa apa, Mel?" Tanyanya
"Aku hampir mati, Nen" jawabku.
"Maaf" ucap Neni sambil nyengir.
Molly dan alea ikut menghampiri. Mereka semua menatapku khawatir.
"Ada apa?" tanyaku. Aku melihat anak-anak yang datang melihat ke arahku dulu sebelum duduk.
'apa ada yang salah denganku hari ini?' tanyaku dalam hati.
"Jadi Mel..." Belum sempat Neni cerita Molly sudah menarik kuncir rambut Neni, "Aduh! Duh! Duh!"
"Aku yang cerita. Kalau kamu yang cerita malah gak beres." kata molly memotong.
"Kemaren, pas kamu gak masuk, anak kecil itu nelpon ke sini lagi." Molly bercerita.
"Apa?" Sseruku terkejut.
"Iya. Dia nyariin kamu. Dia nelpon terus ke sini. Anak-anak yang terima telponnya cerita ke kami, katanya mau ngomong sama kakak yang kemaren. Yang kasih dia permen." lanjut Molly.
"Anak-anak banyak dapet telpon anak itu, bahkan sampai malem dia masih neror juga. " ujar Sofi melanjutkan.
"Kalian juga dapet telpon dari anak itu?" tanyaku
"Enggak. Kita berempat gak ada yang dapet telpon anak itu. Kita cuma denger aja cerita dari anak-anak." jawab Alea.
"Kemaren kantor heboh gara-gara telpon hantu itu. Jadi mereka agak nyalahin kamu gitu, Mel. "Ucap Molly ragu-ragu. "Katanya gara-gara kamu nanggepin telpon iseng itu. Ada juga yang bilang itu hantu yang lagi 'nempel' di kamu."
"Karena itu kami khawatir kamu kenapa-napa. Apalagi kemaren kamu gak masuk. " Ujar Neni
"Tunggu! Tunggu! Kok mereka tau kalau yang dicari anak itu, aku ? Kalian cerita kalau aku yang dapat telpon itu pertama kali?" tanyaku memotong.
Semua diam dan melihat ke arah Neni.
"Bukan! Bukan aku yang cerita, Mel! Sumpah! Aku gak tau mereka tau dari mana." Neni menyangkal, "Kalian jahat banget nuduh aku. " Lanjutnya lagi sambil mengusap kuncir rambutnya yang tadi ditarik Molly.
"Habis, 'kan kamu yang paling comel di antara kita" ujar molly.
"Tapi bener, bukan aku!" rengek Neni
"Iya! iya! Aku percaya." ucapku.
"Parahnya lagi, .." Sofi melanjutkan.
'masih ada lagi? Anak itu bikin masalah apalagi sih selama aku di rumah?' gerutuku jengkel dalam hati.
"Kamu tahu Hilda 'kan?" Aku mengangguk. "Dia juga orang yang menerima telpon hantu itu. Dia yang paling kesal sampe marah-marah dan membanting telpon."
"Terus, gak lama setelah itu dia terjatuh dari tangga. Dia bilang dia didorong hantu anak kecil itu. "
\* \* \*
Aku jadi tidak bisa fokus, memikirkan cerita mereka tadi pagi. Tentang Hilda juga. Apa benar anak itu yang melakukannya? Tanpa aku sadari, aku jadi menunggu-nunggu telpon dari anak itu.
Sudah seharian ini aku menunggu. Tapi kalaupun ada anak kecil yang menelpon itu hanya telpon iseng biasa.
Sudah jam setengah 4 sore. Aku sedang bersiap-siap untuk pulang, saat itulah telepon terakhirku berdering.
"Hallo, kakak! Kangen ya?" ucapnya dengan suara tawa yang khas.
"Kamu?!" seruku menahan marah. Aku harus buat perhitungan dengan anak ini. Dia sudah buat onar di kantor.
"Jangan marah, Kak! Nanti keriputnya nambah."
"Aku gak keriputan! Umurku baru 22 tahun, anak kecil!"
"Iya Ello tau Kakak cantik"
" Aku gak butuh pujian. Sekarang bilang mau apa kamu nyari aku kemaren."
Walaupun marah dan jengkel, aku menahan suaraku agar tidak terdengar orang lain. Untunglah Sofi dan Jho yang duduk dikiri kananku sedang keluar.
"Ello mau main sama kakak. Ello kira kakak masuk." ucapnya agak memelas.
"Kalau mau main, cari yang lain aja. Aku sibuk." ujarku ketus.
"Ello mau main sama kakak. Gak mau yang lain." rengeknya.
"Aku gak mau main sama anak nakal."
"Ello gak nakal. Ello anak baik."
"Kamu yang ganggu kakak-kakak disini 'kan?" kataku mengomelinya. Anak itu diam sesaat.
"Kamu yang dorong temen kakak dari tangga. Bener 'kan?" tanyaku memastikan kembali cerita Sofi.
"Yang dorong kakak itu bukan Ello." sangkal anak itu.
'Apa Hilda berbohong ya?' tanyaku dalam hati.
"Yang melakukannya, kakak perempuan jelek berambut panjang yang ada di belakang kakak sekarang."
"Apa?" Aku tertegun. Seketika punggungku terasa panas seperti terbakar, tapi menggigil seperti orang kedinginan. Aku segera berbalik untuk memastikan ucapannya. Tapi tidak ada seorangpun di belakangku.
Sebagian kursi sudah kosong, sebagian lagi sedang bersiap untuk pulang.
"Dia sudah pergi. Kakak serius banget sampai gak sadar dia ada di belakang kakak dari tadi." ucap anak itu lagi.
"Kamu bisa melihatnya?" tanyaku. Anak itu mengiyakan.
"Kamu.. ada di sini ?" pertanyaanku kali dia tidak menjawab. Dia terdiam. Nampaknya dia tidak ingin aku mengetahui lokasinya.
"Baiklah. Sekarang, apa mau mu sebenarnya?" tanyaku lagi. Anak itu terdengar ragu-ragu menjawab. "Kamu menelponku bukan cuma main-main aja 'kan ?"
"Mama.." suaranya terdengar lesu. "Sebentar lagi mama Ello ulang tahun."
"Ello mau ngucapin ulang tahun buat mama. Mau ngucapin maaf udah bikin mama sedih, Ello gak bisa ketemu mama lagi. Tapi Ello selalu sayang mama." suaranya terdengar sendu mengundang empatiku.
Anak sekecil ini, di usianya yang masih membutuhkan banyak kasih sayang orangtuanya dipisahkan secara paksa dari keluarganya.
"Di mana alamat rumahmu? Jangan bilang kamu tidak tau alamatnya sendiri!"
Aku lalu mencatat alamat rumahnya dan nama orangtuanya.
"Aku akan berkunjung Minggu ini. Tapi jangan terlalu berharap. Belum tentu orangtuamu percaya padaku." ucapku padanya. Dia mengiyakan senang.
"Lho?" Aku kaget memperhatikan lokasi alamat rumahnya berbeda dengan lokasi desa yang ku kunjungi kemarin. Lalu untuk apa dia membawaku ke sana? Hutan itu! Tiba-tiba saja aku teringat tentang hutan itu.
"Kemarin kamu mengajakku masuk ke hutan itu 'kan? Untuk apa kamu membawaku ke sana?" Lagi-lagi anak itu diam, "Apa kau meninggal di hutan itu? " Desakku lagi bertanya. Di saat bersamaan...
"Praak!" Suara benda jatuh ke meja. "Nen, ada apa?" Tanya Jho yang saat itu sedang lewat, menegur Neni.
"I-ini. Gelasnya licin. Jadi jatuh." Jawab Neni terbata-bata. Lalu tertawa gugup.
Aku membatu. Aku lupa kalau Neni duduk di depanku. Apa dia mendengar semua percakapan kami? Sejak kapan dia mendengarnya? Bagaimana aku menjelaskan padanya?
Sementara aku kebingungan dan panik, sambunganku dengan anak itu terputus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
senja
kirain gak ditelp karna dikasih jimat sm Angga
2022-03-19
1
🌻Ruby Kejora
ok bgt critanya
2021-02-21
1
Sekapuk Berduri
like ... suasananya berasa
2021-01-03
1