Tak lama kemudian telpon berdering kembali. Aku menjawabnya dengan sopan. Kali ini aku tahu ada seseorang di seberang sana. Namun tidak mau bicara. Aku mendengar suara desahan nafasnya.
'Hah! Pagi pagi udah dapat telpon iseng begini. Bikin badmood aja!' gerutuku lalu menutup telpon.
Suara telpon berdering kembali.
Nomor itu lagi?!
"Tenang mel! Ini bukan pertama kali kamu dapat telpon iseng kayak gini!" Aku menyemangati diri sendiri
Aku menjawab panggilan
"Halo kakak." kali ini ada yg menjawab tapi anak kecil. Suara anak kecil yang cekikikan.
"Iya, Dik. Ada yang bisa kakak bantu?" tanyaku
"Mau beli." kata anak itu lagi.
"Ada papa atau mama di rumah?" tanyaku.
"Emm.. gak ada. Papa kerja jauh. Mama lagi pergi"
"Dik, kamu tunggu papa mama dulu ya. Nanti kamu bilang sama papa mama apa yang kamu mau. Kakak akan bantu." bujukku.
"Iya" sahutnya semangat.
"Kalau gitu kakak tutup telponnya ya?"
Saat aku hendak mematikan panggilan, anak itu memanggil kembali.
"Kakak ayo main." ajak anak itu lagi.
Aku menghela nafas, "Dik, kakak gak bisa temani kamu main"
"Kenapa? Ello pintar sembunyi, jadi ayo main!"
"Kakak lagi kerja, jadi gak bisa ikut main." Aku mulai habis kesabaran.
"Kalau udah gak kerja bisa ikut main ?" tanyanya lagi.
"Gak bisa juga. kakak ini sibuk sekali." jawabku lagi agak ketus.
"Kalau gitu Ello mau bantu."
'kamu bisa bantu apa, anak kecil?! kalau kamu mau bantu cepat matikan telponnya dan jangan telpon lagi!' gerutuku dalam hati.
"Kalau kamu mau bantu. Kamu harus jadi besar dulu baru bisa bantu kakak."
Dia diam.
Saat aku akan menutup telpon, dia memanggilku lagi untuk kesekian kalinya.
"Kakak. Permennya enak. Aku mau lagi" ucapnya mengejutkanku
Hah? Permen? Kapan aku kasih dia permen?
Anak itu tertawa. Aku teringat pada bocah laki-laki di depan stasiun itu.
Tidak mungkin?!
"Kakak kedinginan, ya? Aku lihat jari kaki kakak berkerut semua." ucapnya sambil tertawa cekikikan.
Seketika udara dingin merambat dari ujung kaki sampai ke leherku, membekukanku tanpa bisa berkata apa-apa. Sedangkan keringat dingin menetes dari pelipisku.
Suara yang tadinya terdengar jauh. Kini terdengar sangat dekat. Seolah dia ada di sini. di ruangan ini. Di bawah.. mejaku..
Rasa penasaran mendorongku untuk melihat ke kolong meja. Tapi rasa takut menahanku. Takut akan menemukan sesuatu. Takut melihat sesuatu.
Akhirnya, aku memberanikan diri mengintip ke kolong dan ..
Tidak ada apa apa.
Aku menyandarkan diri di kursi menghela nafas lega. Sampai ..
"kakak! " Dia memanggilku lagi.
Aku baru sadar ternyata panggilannya masih tersambung.
"Aku pegang kakinya ya. biar hangat. Boleh kan?"
Seketika itu aku merasakan sesuatu menyentuh punggung kakiku. Dingin sedingin es.
"Huaaaaa!" Aku berteriak mendorong diriku menjauhi meja, panik. kursiku terjungkir dan aku terjatuh ke lantai.
Ruangan mendadak sepi. Semua menatapku bingung.
"Ada apa, Mel?" Tanya pak Boby, atasanku menghampiriku.
"Ada.. itu.." Aku ingin mengatakannya tapi suara tersendat-sendat. Nafasku tak beraturan.
Aku memandang kembali ruang kosong di bawah mejaku. Tidak ada apapun.
Pak Boby masih menatapku menunggu jawaban. Aku menarik nafas dalam-dalam.
"Ada kecoa." akhirnya malah kata itu yang keluar dari mulutku. Itu lebih baik. Aku tidak ingin membuat resah rekan kerjaku dengan sesuatu yang 'tidak jelas'.
"Kecoa? Hiii? Mana? Mana? " Kiki salah seorang rekan kerjaku yang membenci serangga terbang, panik dan melompat ke atas kursi.
Jho yang tepat berada di sampingnya memukul kepalanya. "Jadi cowok takut kecoa! Malu maluin!"
"Semua orang bisa takut sama kecoa. Itu normal tau. Emang cewek doang yang boleh!" Ucapnya membela diri.
"Udah! Udah! Jangan ribut! Kembali ke tempat kalian masing masing!" Pak Boby membubarkan kerumunan.
"Kamu gak apa apa, Mel?" T
ranyanya sambil membantuku berdiri.
"Iya pak." jawabku.
"Mau istirahat sebentar ?" ucapnya lagi menawarkan.
"Tidak perlu pak. Saya cuma kaget saja." jawabku sambil berusaha tersenyum.
Setelah memastikanku baik-baik saja, pak Boby kembali ke tempatnya untuk memonitor staf karyawan lain.
"Mau aku ambilkan air minum?" Tanya Sofi menawarkan.
"Terimakasih." Aku mengangguk. Lututku masih lemas. Aku menekan tombol offline untuk menolak panggilan masuk sementara waktu.
"Kamu yakin gak apa-apa?" tanyanya kembali sambil menyodorkan segelas air putih padaku. "Sepertinya tadi bukan kecoa biasa" ujarnya lagi cemas, menatapku curiga.
"Nanti kuceritakan." Aku berjanji padanya. aku dan Sofi memang cukup dekat karena sering dapat shift yang sama.
"Oke." Ucap Sofi mengerti.
Kami pun melanjutkan aktivitas kerja kami seperti biasa sampai waktunya jam makan siang.
Sekali-kali aku menekan kembali nomor telpon aneh tadi. Tapi tidak bisa dihubungi. Nomor telpon salah. Atau nomor telpon tidak dikenal. Begitulah kata operatornya. Meninggalkanku dalam tanda tanya besar.
"Apa mungkin hanya telpon iseng?" tanya neni pada kami semua yang ada di meja makan setelah mendengar ceritaku.
Aku, sofi, Neni, Molly dan Lea adalah teman makan siang bersama. Kami duduk di kantin. menikmati makan siang sambil bercerita.
"Mungkin saja. Seseorang di dalam mungkin sedang mengerjainya." sahut Molly berpendapat.
"Tapi bagaimana dengan permen itu?" bantah Neni.
"Oh ayolah! Bukan hanya Melya yang naik kereta!" Sanggahnya, "bisa jadi salah seorang di kantor melihat Melya memberikan permen itu kepada anak kecil dan ingin menjadikannya sebagai bahan lelucon untuk mengerjainya."
"Dan nomor telpon itu..?" balas Neni lagi menyerang. Sementara aku dan anak-anak yang lain memperhatikan keduanya.
"Zaman sudah canggih. Dan segala hal bisa dirubah. Apalagi yang berhubungan dengan sistem komputer. Dan anak-anak cowok kita di kantor adalah ahlinya dalam hal itu." balas Molly.
Dia memang orang yang lebih rasional. Bukan berarti dia tidak percaya, dia hanya lebih mengedepankan sesuatu yang lebih realistis ketimbang sesuatu yang abstrak.
Tapi, sepertinya Neni masih belum mau mengalah dengan perdebatan ini. Alisnya berkerut memikirkan sesuatu. Tanpa sadar aku jadi tersenyum.
"Jadi maksudmu salah seorang rekan kerja kita di dalam sedang mencoba mengerjai Melya?" tanya Sofi menegaskan kembali ke Molly.
Molly mengangguk. "Apa kamu ingat pernah berbuat salah pada salah seorang di dalam, Mel?" Tanya Sofi padaku.
Aku menggeleng. "Tidak sama sekali. Aku jarang berbicara dengan yang lain kecuali tentang pekerjaan"
"Bagaimana pendapatmu, Mel? Kamu yang mendengarnya langsung? Jadi, apa itu suara anak kecil yang dibuat-buat?" Tanya Sofi lagi.
"Sepertinya tidak. Suara yang kudengar di telpon nyaris sama dengan suara anak yang ada di stasiun."
"Nah!" Suara Neni mengejutkan. Kami semua memandangnya. "Aku ingat. Dulu saat ruangan kita masih gudang katanya ada anak dari salah satu karyawan gudang yang meninggal saat sedang bermain."
"Dia meninggal disini ?" tanya Sofi penasaran. Semua menatap Neni, menunggu jawabannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Machan
waaah, serem bener hiiiyyy
2021-12-20
1
Sulis- Tyo- Wati
next yu
2021-04-09
1
Sulis- Tyo- Wati
next
2021-04-09
1