Sejak hari itu, aku dan Neni jadi menjauh. Kadang gugup kadang terlihat takut. Dan saat makan siang dia lebih banyak diam. Setiap kali aku ingin menjelaskan dia selalu menghindar. Anak-anak mengira kalau kami bertengkar.
Sementara aku menyimpan masalahku di kantor. Saat ini aku sedang pergi mencari alamat rumah Ello, hantu bocah itu.
Aku tiba di sebuah komplek perumahan yang besar. Rumah-rumah besar bertingkat berjajar rapi. Aku menyusuri tiap blok dan mengamati nomor rumah yang terpajang di tembok depan rumah.
Akhirnya aku sampai di bangunan rumah no 36. Hampir sama dengan rumah lainnya. Bangunan bertingkat dua dengan temboknya yang diwarnai cat putih.
Seorang wanita berumur sekitar 20-an keluar. Sepertinya dia pelayan rumah ini.
"Apa ini rumahnya keluarga pak Dharma?" tanyaku.
Diluar dugaan wanita itu menggeleng, "Tidak ada nama itu di sini, mbak."
" Kalau ibu Liana ?" tanyaku lagi.
"Tidak ada juga mbak."
"Ada apa, bi?" Seorang wanita paruh baya menghampiri kami. Dari penampilannya yang anggun, sepertinya dia nyonya rumah ini. Pelayan rumah itu pun bercerita pada nyonya nya.
"Sayang sekali, mba. Saya juga baru pindah dua tahun lalu. Jadi kurang tahu juga. " Kata si nyonya.
"Siapa pemilik rumah ini sebelumnya?"
"Kalau tidak salah, Handoko. Saya kurang tahu pasti soalnya suami saya yang mengurus semuanya."
"Ada apa, mba Linda?" muncul wanita lain yang ikut nimbrung percakapan kami. Sepertinya dia tetangga sebelah rumah. Wanita yang dipanggil Linda itu menceritakan kepada tetangganya. Sejenak wanita itu diam berpikir.
"Oh, ya! Ya! Saya ingat. Keluarganya pak Dharma ya. Dulu memang dia tinggal di sini. Sudah lama sekali dia pindah." cerita wanita itu.
"Kemana dia pindah, Bu?"
"Wah, saya tidak tahu juga ya. Itu juga pindahnya mendadak. Gak bilang apa-apa."
"Mbak, gak ada no telponnya?" tanya dia balik.
"Sudah lama kami tidak komunikasi. Jadi ibu saya minta saya datang langsung ke rumahnya. Saya baru tau kalau ternyata dia sudah pindah." jawabku berbohong.
"Kalau begitu saya permisi, Bu." Aku pamit pergi.
"Hufh! Jauh-jauh datang ke sini, sia-sia. Apa Ello tau ya keluarganya sudah pindah?" gumamku.
Aku beristirahat di sebuah taman dalam kompleks itu. Di sana ada tempat duduk dari kayu untuk bersantai. Tamannya cukup luas. tanaman kecil memagari sekelilingnya. Ada taman bermain untuk anak-anak.
Ada yang bermain seluncur, ada juga sekelompok anak yang bermain terowongan. Sepasang orangtua dan anak bermain bersama berlarian atau bermain ayunan. Suara tawa yang riang mewarnai sore itu.
Senja mulai menyingsing, menebarkan warna keemasan yang indah namun meninggalkan kesan sendu.
Satu per satu mereka meninggalkan taman. Menyisakan aku sendiri bersama seorang anak perempuan yang masih duduk di ayunan. Dia memakai gaun berenda putih dengan pita biru muda di dadanya.
Rambutnya yang tersisir rapi diikat seperti tanduk di kiri kanannya. Di hias pita berwarna biru.
Matahari sudah terbenam sejak tadi. Namun dia masih duduk di ayunan. Orang-orang yang melintas mengacuhkannya. Sementara aku terus memperhatikannya. Ada sesuatu yang menggema dari dalam diriku.
Aku berjalan menghampirinya.
"Dik, kamu gak pulang?" tanyaku. Anak itu menggeleng.
"Mamamu gak jemput?" tanyaku lagi. Dia hanya menggeleng tanpa suara.
"Mau kakak antar?" ucapku sambil mengulurkan tangan.
Gadis kecil itu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kami berdua menyusuri jalan bergandengan tangan. Gadis kecil itu membimbingku ke sebuah rumah yang tak jauh dari taman.
Rumah itu sedang ramai. Sepertinya ada pesta yang sedang berlangsung. Terdengar tawa mereka riuh terdengar sampai ke luar.
"Itu papa sama mamamu?" Tanyaku menunjuk sepasang suami istri yang ada di tengah tengah pesta.
"Kamu gak mau masuk?" tanyaku sambil menatap gadis kecil di sampingku. Dia menggelengkan kepalanya yang kecil itu, dan hanya menatap ke dalam rumah itu.
Gadis kecil ini memiliki mata yang cantik pikirku. Tapi sorot matanya terlihat sedih dan kesepian. Bukan hanya itu. Meski tanpa kata-kata siapapun tahu, nampak jelas ada kerinduan, kecemburuan, dan kemarahan di dalamnya. Aku bisa memahaminya.
"Kamu tahu? Semua orang hidup itu saling berbagi kebahagiaan, menghabiskan waktu bersama orang yang kita kasihi dalam kegembiraan dan tawa. Hanya untuk mereka yang hidup."
"Tapi setelah mati, kita tak lebih dari sekedar ingatan yang akan dilupakan cepat atau lambat."
Gadis kecil itu menatapku, seolah mencoba mengartikan kata-kataku.
"Itulah kamu yang sekarang. Bagi orang-orang yang ada didalam rumah itu, yang kamu sebut keluarga, kamu tidak lebih dari sekedar ingatan yang terlupakan bagi mereka." ucapku melanjutkan.
Kesedihan membanjiri matanya yang indah. Aku merunduk di depannya. "Kamu boleh marah. Kami bisa mengamuk di dalam. Menakut-nakuti mereka atau menghantui mereka agar terus mengingatmu."
"Tapi, apa itu yang sungguh kamu inginkan. Membuat keluargamu meratapi kehilanganmu sepanjang waktu?"
Gadis kecil itu menggeleng. Butiran air mata mulai berjatuhan.
"Kalau begitu kamu harus meninggalkan mereka sama seperti mereka meninggalkanmu. Dengan begitu keluargamu bisa melanjutkan hidup sambil tersenyum." ucapku sambil menggenggam tangan mungil itu.
"Ini bukan lagi rumahmu untuk pulang. Kamu tahu 'kan kemana harus pergi?" ucapku lagi. Anak itu mengangguk dan beranjak pergi lalu menghilang.
Aku menatap sebentar ke dalam rumah itu, sebelum pergi. Aku bisa memahami perasaan gadis itu. Jika 17 tahun lalu aku benar-benar meninggal, maka aku akan berada di tempat yang sama dengan gadis itu.
Aduh! Aku tersandung kotak yang diletakkan di samping rumah saat akan pergi meninggalkan tempat itu.
Seorang anak perempuan lain sedang mengorek-ngorek barang di kotak itu. Saat anak itu melihatku takut-takut.
"A-aku cuma mau cari boneka!" ucapnya. "Mama akan berikan semua barang barang ini ke panti asuhan, tapi boneka itu kesayangan kakak jadi aku ingin menyimpannya."
"Apa yang ini?" tanyaku membantunya menemukan boneka yang dia cari. Gadis kecil itu segera meraihnya dari tanganku. Dan memeluknya.
Anak perempuan itu bercerita tentang kakaknya yang meninggal tiga tahun lalu. Kakak perempuannya sudah lama terbaring sakit di tempat tidur. Orangtua mereka sibuk bekerja, jadi anak itu meluangkan waktunya untuk kakaknya sepulang sekolah. Bercerita atau bermain di dalam kamar.
Suatu hari sang kakak ingin bermain ayunan di taman padahal dokter melarangnya bermain di luar. Karena tak tega sang adik diam-diam membawa kakaknya bermain di taman.
Tapi baru bermain sebentar kakaknya pingsan dan jatuh dari ayunan. Dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Sang adik sedih merasa bersalah, kalau saja dia tidak membawanya keluar mungkin kakaknya masih hidup. Apalagi dia sering mendengar kalau ada yang melihat hantu kakaknya bermain ayunan sendirian di taman. Dia pikir mungkin kakaknya belum memaafkannya. Karena itu dia jadi hantu penasaran.
"Kau boleh percaya atau pun tidak. Aku baru saja bertemu dengan kakakmu. Dia tidak membencimu. Dia tahu dia akan segera pergi, karena itu dia ingin menghabiskan hari terakhirnya denganmu. Kakakmu menyayangimu. Karena itu dia berharap kau akan menyimpan boneka ini untuknya." ucapku. Anak itu mengangguk lega.
"Terima kasih." ucapnya sambil tersenyum. Lalu masuk ke dalam rumah itu.
Kau bisa tenang gadis kecil. Paling tidak ada satu orang yang masih mengingatmu, dan menyimpanmu di dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
senja
kasian ya, ortunya bs ada anak lain, tp saudara anak itu, Kakaknya, ya hanya satu. . .
2022-03-19
1
S Anonymous
Hadir salam kenal Kak
2021-03-01
1
🌻Ruby Kejora
5like mendarat thor. mari qt slg dukung sampai akhir eps.
di tunggu feedbacknya di novelku
the Thunder's love
cinta rasa covid-19
2021-02-21
1