“Semuanya boleh keluar, kecuali Sam!” perintah Pram, menatap lekat pada asisten Kailla.
Sam bergidik, tidak bisa membayangkan apa yang akan menimpanya sebentar lagi. Dia memilih menunduk dan berdoa, semoga Pram bisa berbaik hati dan melepaskannya kali ini.
“Sam! Bagaimana Kailla bisa membawa mobilku keluar?” tanya Pram, saat semua orang sudah kembali ke tempat semula. Tertinggal Pram dan Sam, berdiri saling berhadapan.
“Aku..aku.. bagaimana menceritakannya ya,” sahut Sam, menggarukan kepalanya yang tidak gatal. Dia bingung bagaimana menceritakannya.
“Apa yang terjadi?” tanya Pram.
“Non Kailla ngotot mau membawa mobil kesayangan Pak Pram. Kalau saya menolak menemani, dia tetap akan menyetir sendirian,” jawab Sam menunduk, bersiap menerima omelan.
Pram sudah seringkali mengingatkan pada semua asisten, kalau dia tidak mengizinkan Kailla membawa mobil sendiri. Emosi Kailla tidak stabil, melakukan sesuatu tidak menggunakan otak. Bertindak tidak pernah dipikir dulu.
Ketika Kailla marah, dia akan menyalurkanya pada hal yang pertama terlintas di otaknya. Tidak memperhitungkan resikonya. Apalagi disaat dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Istrinya bahkan siap menerjang bahaya, disaat segala sesuatu tidak sesuai keinginannya.
Empat tahun ini dia sudah berusaha mengajarkan Kailla untuk mengendalikan dirinya sendiri. Dan itu tidaklah mudah, untuk membuat Kailla jadi penurut dan tidak seenaknya. Ketika Pram tidak bersamanya, akan sulit sekali asistennya ini membujuk istrinya.
“Siapa yang mengajarinya menyetir?” tanya Pram kesal. Kalau Kailla tidak bisa menyetir, tentunya dia tidak akan berpikir untuk membawa mobil keluar.
“Sejak kapan dia bisa menyetir?” tanya Pram lagi.
“Belum lama Pak.” Sam menjawab singkat.
“Kamu tidak tahu, membiarkannya menyetir itu beresiko. Bahkan dia tidak memiliki SIM!” omel Pram.
“Seandainya yang ditabrak Kailla itu pengendara lain, kecelakaan. Apa tidak terpikir olehmu Sam?” tanya Pram kembali.
Pram menghela nafasnya. Rasanya lelah, harus mengurus mamanya yang keras kepala, Kailla yang nakal, belum lagi asistennya yang tidak beda jauh dengan majikannya.
“Katakan padaku, bagaimana dia bisa menyetir. Siapa yang mengajarinya membedakan pedal gas dan pedal rem?” tanya Pram, semakin kesal.
“Ricko Pak,” jawab Sam dengan cepat. Melempar semua kesalahan pada temannya sesama asisten. Toh, pada kenyataannya mereka berdua yang mengajari Kailla.
Pram bergegas menuju pintu keluar, berteriak memanggil asisten baru Kailla yang namanya disebutkan Sam.
“RICKO! RICKO!!” teriak Pram, berdiri di teras rumah.
Security yang berjaga di gerbang depan menciut mendengar teriakan majikannya. Tidak berani menghampiri di saat segenting ini. Mereka memilih menyingkir, membiarkan si pemilik nama yang mendekat. Salah sedikit saja, bisa berujung pemecatan.
Tak membutuhkan waktu lama, asisten baru itu sudah berdiri di samping Sam, saling bertukar kode dengan lirikan mata. Sam sudah mengkerut, berdiri menempel pada Ricko.
“Aku ulangi, siapa yang mengajari istriku menyetir?” tanya Pram, mengulang pertanyaan yang sama.
Tatapannya mematikan, menelanjangi kedua asisten Kailla yang sekarang sedang melempar pandang.
“Ricko Pak!”
“Sam Pak!”
Jawaban keduanya begitu kompak dan berbarengan. Sontak membuat emosi Pram semakin memuncak.
“MANA YANG BENAR?” teriak Pram, mengejutkan keduanya. Ditatapnya satu per satu asisten yang sedang menunduk ketakutan.
“Sam, bagaimana sih. Bukannya kita berdua yang mengajari,” bisik Ricko pelan, menyikut lengan Sam.
“Iya aku tahu, kita juga terpaksa mengajari. Tempo hari kan, kita dibawah tekanan Non Kailla,” jawab Sam ikut berbisik.
“Masalahnya Pak Pram tidak akan menerima alasan itu. Tahu sendiri bagaimana Pak Pram. Giliran dengan kita, dia teriak-teriak.”
“Yang benar?” tanya Ricko pelan dan menunduk.
“Coba di depan Non Kailla, dia sama mengkerutnya seperti kita sekarang. Sudah mirip seperti ulat kaki seribu di sentil ekornya. Memang kamu pikir Pak Pram hebat. Dia cuma bisa menggertak kita saja. Dengan istrinya, dia takut,” lanjut Sam berbisik.
Pram semakin kesal dibuat kedua asisten. Bukan menjawab pertanyaannya, malah keduanya berbisik-bisik tidak jelas sambil menunduk.
“SAM! RICKO!” teriak Pram, membuat keduanya ciut.
“I-iya Pak,” sahut Sam tergagap.
“Aku tanya sekali lagi, siapa yang mengajari Kailla menyetir?” tanya Pram dengan berkacak pinggang. Matanya membulat siap menelan mangsanya.
“Begini Pak, sebenarnya aku yang memberitahu Non Kailla mana pedal gas, Ricko pedal rem. Nah, aku yang mengajari Non Kailla maju, Ricko mengajari mundur,” sahut Sam asal. Membagi rata kesalahannya berdua dengan Ricko.
“Ssstt, apan sih Sam?” tanya Ricko berbisik, kesal dengan jawaban asal Sam.
“Biar rata. Jadi nanti hukumannya dibagi dua,” jawab Sam, mengedipkan matanya.
“Sudah kamu tenang saja. Percayakan saja hidupmu padaku,” lanjut Sam lagi.
Pram memijat pelipisnya, kepalanya semakin pusing mendengar jawaban Sam yang seenak jidatnya.
“Baiklah, aku tidak mau bertanya lagi,” ucap Pram.
“Mulai hari ini kalian dipecat!” Pram berkata dengan tegas, sontak membuat keduanya terkejut.
“Ta-tapi Pak.....” Sam berusaha membela diri. Tapi Pram sudah mengangkat tangannya, meminta dia diam dan tidak bersuara lagi.
Berbeda dengan Ricko, laki-laki muda itu lebih pasrah dan tidak banyak protes. Seolah menerima semua keputusan Pram.
“Kemasi barang- barang kalian!” lanjut Pram lagi, berbalik dan duduk di sofa. Menatap kedua asisten yang sedang tertunduk lesu.
Baru saja keduanya akan beranjak pergi, Pram memanggil mereka kembali.
“Kemarilah!” perintah Pram lagi, memberi kode dengan tangannya supaya Sam dan Ricko mendekat padanya.
“Aku akan memberi kalian kesempatan sekali lagi,” ucap Pram.
Sam dan Ricko berpandangan, saling melempar senyum. Walau bagaimanapun, mereka masih butuh dengan pekerjaan ini. Sam masih harus melunasi cicilan rumah yang dibelinya di kampung. Sedangkan Ricko harus melunasi cicilan motornya.
“Bagaimana Pak?” tanya Sam, memberanikan diri.
“Minta pada Non Kailla kalian, supaya memohon padaku,” ucap Pram, tersenyum licik.
“Aku menunggunya di ruang kerja,” lanjut Pram, bangkit dan meninggalkan keduanya.
Sam menatap punggung Pram yang menghilang di balik pintu ruang kerjanya.
“Rick, kamu siap berhenti atau tetap mau bekerja disini?” tanya Sam.
“Aku masih ada tanggungan Sam. Cicilan motorku masih dua tahun,” sahut Ricko lesu.
“Ya sudah, kalau begitu kita meminta bantuan Non Kaila. Jangan lupa, berakting sebaik mungkin. Keluarkan semua bakat dramamu, kita akan membujuk Non Kailla,” ucap Sam.
“Hah!?” Ricko menatap heran.
“Kalau bisa sampai mengeluarkan airmata lebih bagus Rick!” Sam mengusulkan.
“Bagaimana bisa?” tanya Ricko.
“Pikirkan saja, waktu kamu tahu.. siapa namanya gadis itu. Yang kamu ceritakan dulu padaku. Cinta keduamu itu. Yang membuatmu menyusulnya ke Jakarta,” tanya Sam.
“Bella maksudmu?” sahut Ricko.
“Ah.. iya Bella. Pikirkan saja, waktu kamu tahu Bella sudah menikah. Bukannya kamu menangis meraung-raung. Nah, kalau bisa nanti di depan Non Kailla kamu menangis seperti itu juga,” usul Sam, mengusili Ricko.
“Tidak! Jangan gila Sam!” tolak Ricko.
Sam tertawa, memilih mengajak Ricko menghampiri Kailla di kamarnya.
“Ingat, wajahnya dibikin setragis mungkin. Apa perlu gladi resik dulu, sebelum memulai akting di depan Non Kailla?” tawar Sam lagi.
***
Tbc
Terimakasih.
Love you all
Mohon dukungan Like, komen, vote dan sharenya ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Nur Lizza
😆😆😆asisten sm majikan 11 12
2022-10-01
0
Ayu Dan Restu
lucunya
2022-07-03
0
RIKA IKA
Sam koplakkkk
2022-03-15
0