Mobil Pram sudah terlihat berhenti di gerbang rumahnya. Klakson yang dibunyikan berulang-ulang, menandakan seberapa daruratnya kondisi di dalam mobil saat ini. Pram yang awalnya masih kalem dan tenang, mulai mengomel dan marah-marah saat mobil mereka terjebak macet. Perjalanan yang harusnya bisa ditempuh dalam 30 menit, harus molor menjadi satu jam.
Pram membuka kasar pintu mobil, berlari turun tidak bisa menunggu di dalam mobil lebih lama lagi. Apalagi belum tampak security satu pun yang muncul membuka gerbang untuknya. Dia memilih masuk dari pintu kecil di samping gerbang yang belum dikunci.
Sampai di depan pintu utama, dia menggedor pintu sambil menghubungi Sam meminta asisten Kailla itu membukakan pintu untuknya. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Mana Kailla?” tanya Pram, saat wajah Sam muncul di balik pintu.
“Non.. baru saja naik ke kamar, Pak,” jawab Sam.
“Mana Ricko?” tanya Pram lagi.
“Di depan tv, Pak,” jawab Sam ragu, setelah melihat raut wajah mengerikan Pram.
Pram memaksa masuk, sedikit mendorong kasar Sam yang berdiri di tengah pintu.
“Ricko! Ricko!” teriak Pram saat masuk ke dalam rumah. Suaranya menggema di tengah keheningan malam.
Ricko baru saja akan bangkit dari duduknya saat mendengar suara teriakan Pram. Tapi majikannya itu sudah berdiri dengan pandangan mematikan terarah padanya.
“Ada apa Pak?” tanya Ricko membalas tatapan Pram, memberanikan diri seperti biasanya.
“Brengs*ek! Kamu masih bisa bertanya ada apa! Sudah berapa kali aku peringatkan, jangan dekati istriku!” ucap Pram, menahan emosi.
“Maksud Pak Pram?” tanya Ricko sedikit bingung.
Sam yang ikut mendengar, menjadi khawatir. Kalau saja, dia tidak mengadu pada majikannya pasti pertengkaran keduanya tidak akan terjadi. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia mengenal Kailla dengan baik. Hubungan rumah tangga majikannya itu sedang tidak baik-baik saja sejak peristiwa keguguran Kailla beberapa tahun yang lalu. Kalau dia tidak membantu Pram, bisa dipastikan cepat atau lambat, majikannya itu akan ditinggal istrinya.
Kailla yang labil, masih mudah tersentuh dengan perhatian berlebihan dari orang lain. Sam sering memergoki Kailla menangis dan menumpahkan kekecewaannya pada Pram di depan Ricko. Jauh berbeda dengan Sam, Kailla sebatas melakukan hal-hal konyol bersama.
Kedekatan Kailla dengannya berbeda dengan kedekatan Kailla dengan Ricko. Bahkan Kailla tidak mengizinkan Ricko memanggilnya sama seperti asisten lainnya. Walaupun di depan Pram, Ricko tetap memanggilnya Nyonya, tapi di belakang itu dia akan memanggil nama pada istri majikannya.
“Apa yang kamu lakukan tadi dengan istriku?” tanya Pram, mengintimidasi.
“Tidak ada Pak. Saya hanya berbincang dengan Kailla,” sahut Ricko keceplosan, menunduk. Dia lupa memanggil Kailla dengan sebutan Nyonya di depan Pram.
“Berulang kali aku katakan, panggil dia Nyonya! N..Y..O..N..Y..A !! Perempuan yang bernama Kailla, yang kamu kawal setiap hari itu istriku!” Pram murka. Emosi Pram memuncak setiap membahas Ricko yang tidak sadar posisi dan statusnya.
“Maaf Pak.” Ricko tertunduk.
Pram mengeluarkan ponselnya, mencari foto yang dikirimkan Sam padanya.
“Itu yang kamu bilang tidak ada!” Pram melempar ponselnya ke sofa, yang menampilkan foto Ricko yang sedang menepuk pundak Kailla di meja makan tadi.
“Aku mengenal istriku dengan baik. Dia tidak mencintaimu. Jangan berharap lebih, hanya karena dia sering menangis di pundakmu.
Deg—
“Macan tua ini bahkan tau banyak hal.”
“Mulai besok bertukar tempat dengan Bayu. Kamu akan mengawalku!” perintah Pram.
“Kalau menolak, kamu bisa keluar dari pekerjaan ini. Aku mempertahankanmu hanya karena istriku!”
Pram meraih kembali ponselnya, meninggalkan Ricko, tertegun menatap punggung Pram yang menapaki tangga rumah, mengantarnya menuju kamar tidur.
Baru saja Pram membuka pintu kamarnya, dia sudah disambut dengan bantal dan boneka Kailla yang berterbangan menghantam tubuhnya.
“Maafkan aku, Kai,” ucap Pram, dengan raut menyesal. Kata pertama yang keluar dari bibirnya, setelah belasan boneka dan bantal itu berhenti menyerangnya.
“Selamat Ulang Tahun, Reynaldi Pratama. Semoga semakin tua, semakin tahu diri. Itu kado ulang tahunmu!” ucap Kailla menunjuk pada bantal dan boneka yang tergelatak di sekitar kaki Pram.
Pram tersenyum kecut, menatap Kailla yang sudah meraih kasar selimut dan menutup tubuhnya. Menahan tangis yang keluar, setelah mengomeli suaminya.
Pram sudah hafal kebiasan Kailla, empat tahun berbagi ranjang, dia sudah menamatkan banyak hal tentang istrinya.
“Maafkan aku Kai. Kamu sudah makan?” tanya Pram berjalan mendekat, menyadari dia meninggalkan Kailla dengan janji makan malam yang sudah terlewat beberapa jam.
Tidak ada jawaban. Hanya tubuh yang berguncang hebat di balik selimut tebal dan hangat.
“Kai, maafkan aku.” Pram memohon. Memilih duduk di sisi ranjang dan menyentuh Kailla dari luar selimut.
“Kamu belum makan?” tanya Pram, berusaha membuka selimut yang menutup tubuh Kailla.
“Mau aku masakkan sesuatu?” tawar Pram lagi, setelah berhasil menarik paksa selimut dan membuangnya ke lantai.
“Cukup Sayang! Kamu tidak perlu bermanis-manis di depanku!” gerutu Kailla menghapus air mata yang turun di kedua pipinya. Dia sudah bangkit, duduk bersadar di ranjang. Matanya menatap tajam ke arah Pram.
“Sayang, mau apa?” tanya Pram. Sesalnya bertambah saat melihat kedua mata indah istrinya kembali mengeluarkan air mata. Dia tahu, Kailla sering menangis karenanya. Dan air mata itu akan semakin sering jatuh di saat Kailla mengetahui keberadaan mama kandungnya.
“Mau memarahiku, mengomeliku, memukulku?” tawar Pram, menyerahkan dirinya di depan Kailla. Bersiap menerima semua pelampiasan.
“Aku tidak mau apa-apa. Hanya ingin melihatmu tidur di luar!” ucap Kailla, telunjuknya mengarah ke arah jendela besar kamarnya.
“Sayang, luar itu disini bukan disana,” ucap Pram terkekeh, masih sempat bercanda. Mengarahkan tangan Kailla yang semula menunjuk ke arah jendela kamar, menjadi mengarah ke pintu kamar tidur mereka.
“Aku memintamu tidur di luar gerbang rumah, bukan luar kamar!” jawab Kailla masih dengan ketus.
Pram berpura-pura kaget, sebelum akhirnya membuka suara. Wajah Kailla saat ini benar-benar menggemaskan.
“Kai, aku sudah 44 tahun, tubuhku sudah tidak sanggup lagi menahan hawa dingin,” tolak Pram beralasan. Mengulum senyuman, dia sedang berusaha meluluhkan hati Kailla yang sedang memanas.
“Alasan! Kalau tidak tahan dingin, kenapa te*lanjang setiap malam,” sahut Kailla, melotot kesal. Suaminya paling pintar menjawab dan membolak balik perkataannya.
“Itu kan untuk membahagiakanmu, aku rela kedinginan setiap malam.” Kembali Pram menjawab asal.
“Alasan saja! Kamu dari mana saja?” tanya Kailla mulai menginterogasi Pram seperti biasanya.
“Aku bertemu seseorang. Kami merayakan ulang tahunku,” sahut Pram ragu.
“Lalu..?” tanya Kailla, masih saja ketus.
“Kami berbincang dan dia tidak mengizinkan pulang cepat,” jawab Pram beralasan kembali.
“Aku atau dia lebih penting?” tanya Kailla tiba-tiba. Dia merasa kecewa dengan suaminya yang lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya.
“Kailla,” jawab Pram seketika.
“Kenapa membuatku menangis terus?” tanya Kailla lagi, dengan wajah cemberut.
“Maafkan aku, Sayang."
“Aku bosan mendengarmu meminta maaf setiap hari.” Kailla berkata, menatap sinis pada Pram.
“Aku berjanji ini permintaan maafku yang terakhir. Selanjutnya aku akan berusaha jujur padamu, walau itu menyakitkan,” jawab Pram berbisik.
Kedua tangannya baru saja akan merengkuh tubuh Kailla, tapi sudah dihempas kasar istrinya.
“Aku mohon jujurlah padaku sekarang. Apa yang kamu sembunyikan dariku selama ini?” pinta Kailla.
Kailla tahu, Pram menyembunyikan banyak hal darinya. Dia masih sabar menunggu Pram, untuk berterus terang padanya.
Pram diam, tidak menjawab.
Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia sudah lelah dengan semuanya. Lelah dengan hidupnya sendiri. Belum selesai masalah dengan mamanya, rumah tangganya direcoki dengan Ricko. Pram mengatur nafasnya, tersenyum menatap istrinya.
“Sudahlah aku lelah denganmu!” ucap Kailla setelah lama menunggu Pram tidak kunjung menjawabnya.
Memilih turun dari ranjang. Bergegas ke lantai bawah, meninggalkan Pram sendiri.
Dia teringat dengan cake mie yang dibuatkanya. Walaupun Pram mungkin tidak menghargainya, setidaknya Sam masih sukarela memakannya. Daripada hasil kerja keras dan lelahnya terbuang percuma.
“Sayang, mau kemana?” tanya Pram, menyusul Kailla yang pergi tiba-tiba.
Tak lama sudah terdengar suara teriakan Kailla.
“Sam! Kamu dimana?” panggil Kailla, mencari keberadaan asistennya itu.
“Iya Non,” sahut Sam menatap Kailla yang sudah berdiri di sampingnya. Di belakangnya tampak Pram mengekor.
“Sam, mie di atas meja tolong dihabiskan ya.” pinta Kailla.
Sam ragu, menatap Pram yang berdiri di belakang Kailla.
“Tapi... Non..”
“Kalau tidak mau, tolong dibuang saja!” perintah Kailla. Berbalik menuju ke kamarnya, melewati Pram yang membeku di tempatnya.
“Dia masih marah padaku,” bisik Pram, berbalik menatap punggung Kailla yang menghilang di ujung tangga.
Tanpa Pram sadari ada sepasang mata lain yang juga menatap pemandangan yang sama dengannya.
****
To be continued
Maaf telat up, banyak pekerjaan di dunia nyata.
love you all
terimakasih dukungannya
mohon like dan komen saja... saya butuh buat kelangsungan hidup novel ini😅😅
dan rate bintang 5 nya.. ratenya anjlok tiba2😢😢
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Nur Lizza
bagusan kai sm riko😆😆😆
biar pram kelimpungn
2022-09-30
1
yelmi
jangan sampai ucapan lelah itu sering terdengar pram...sama Riko j cemburu gimana nanti ada yg akan menghilangkan rasa lelahnya kailla
2022-05-14
0
yuli
kailla minta anak gg dikasih,, dah gitu lbh mentingin mamanya yg notabene g berjasa sm sx dikehidupan pram,, maap² niy ya,,pram.jadi seperti skrg gegara pak riyadi juga kan,,klo pak royadi g ksh perusahaan ke pram g mungut pram apa bisa ketemu & mencari ibunya,,
bener kata kailla,, tambah tua tbah tau diri lah om 🤭🤭
2021-11-19
0