Sam dan Ricko sudah mengendap-endap menaiki tangga rumah yang akan membawa mereka ke lantai dua. Tempat di mana kamar tidur utama, tepatnya kamar tidur Pram dan Kailla berada.
Baru saja, tangan Sam terangkat hendak mengetuk pintu kayu bercat putih itu. Tapi diurungkannya. Otaknya menemukan ide yang lebih cemerlang. Tidak bisa membujuk Kailla dengan cara sederhana, dia harus menggunakan trik sendiri.
“Rick, kamu tunggu disini ya. Latihan saja menangis senatural mungkin dulu. Supaya nanti hasilnya sempurna. Tidak keliatan dramanya,” ucap Sam, menepuk pundak Ricko dan bergegas turun.
Tak membutuhkan waktu lama, Sam sudah kembali dengan sebuah buntelan. Kain sarung yang diikat sedemikian rupa.
“Sam, apa itu?” tanya Ricko yang sedang duduk di lantai, bersandar di dinding kamar.
“Ini?” tanya Sam, mengangkat tinggi bungkusan di tangannya.
“Iya, apaan itu?” tanya Ricko lagi.
“Ini untuk keperluan drama kita. Kamu cukup diam dan menangis saja. Tidak perlu bicara. Biarkan aku yang mengatur semuanya,” jelas Sam.
Tok!Tok!Tok! Sam mengetuk pintu kamar majikannya.
Hening. Tidak ada jawaban.
Tok!Tok!Tok!
Kali ini Sam mengetuk sambil menyerukan nama majikannya. Mungkin Kailla mengira Pram, jadi tidak mau menjawab ketukan di pintu kamarnya.
“Non, ini Sam. Tolong buka pintunya,” panggil Sam di depan pintu.
Dalam hitungan detik, pintu kamar terbuka. Muncul Kailla, dengan wajah sembab habis menangis. Ricko yang tadinya masih duduk di lantai, buru-buru berdiri di samping Sam. Wajahnya sengaja dibuat sesedih mungkin.
“Kenapa Sam?” tanya Kailla. Menatap kedua asistennya bergantian. Wajah-wajah yang sedang dalam kondisi tidak baik. Wajah-wajah merana dan penuh nestapa. Pandangan Kailla tertuju pada buntelan yang ada di tangan Sam.
“Ada apa ini Sam?” tanya Kailla, serius. Terkejut dengan bungkusan kain sarung yang diikat sedemikian rupa.
“Begini Non, aku dan Ricko mau pamitan,” ucap Sam, tertunduk. Tangannya menyikut lengan Ricko, supaya teman sesama asistennya itu mulai drama menangisnya.
“Tidak bisa Sam. Laki-laki pantang menangis,” bisik Ricko pelan.
“Enak saja menyuruhku menangis. Bisa hancur harga diriku di mata Kailla.”
“Apa-apan Sam?” tanya Kailla, membuka pintu kamarnya lebih lebar, supaya bisa bisa mengamati kedua asistennya dengan lebih jelas.
“Kita dipecat, Non. Disuruh mengemasi barang-barang,” sahut Sam dengan raut memelas. Mengangkat tinggi buntelan sarung kotak yang biasa dipakainya buat tidur.
“Hah?! Serius Sam. Suamiku serius memecat kalian?” tanya Kailla memastikan lagi.
“Iya Non,” jawab Sam, mengangguk.
“Bahkan sewaktu aku memohon untuk jangan dipecat, Pak Pram bicara begini. Sam..Sam, Kailla saja yang memohon dan berlutut padaku, aku tidak akan berubah pikiran,” cerita Sam, sedikit berbelok dari kisah yang seharusnya.
“Hah?! Lelaki tua itu bicara apa lagi?” tanya Kailla mulai emosi.
“Pak Pram cerita.. Aduh, bagaimana menyampaikannya ya Non,” sahut Pram, berpura-pura susah bercerita.
“Katakan saja, jangan takut padanya. Aku pasti membela kalian,” ucap Kailla kesal.
“Pak Pram mengatakan.. Non Kailla kalian tidak akan sanggup menggoyahkan keputusanku. Non Kailla kalian itu tidak bisa apa-apa, selain membuat kekacauan. Coba saja seret dia di depanku. Kalau tidak percaya. Begitu kata Pak Pram, Non,” sahut Sam, mengompori majikannya sendiri.
Kailla langsung naik darah, napasnya memburu dengan tangan terkepal. Raut wajahnya menegang, dengan bibir yang komat kamit mengomeli Pram.
“Dimana Pak Pram kalian?” tanya Kailla dengan emosi. Bergegas keluar kamar, mencari keberadaan suaminya.
“Aduh Sam, bagaimana ini Sam?” bisik Ricko mengekor di belakang Kailla. Dia takut terjadi pertengkaran di antara kedua majikannya yang biasanya mesra dan lengket seperti perangko.
“Ssstttt, tenang saja. Ikuti semua arahanku. Kamu cukup diam dan menurut,” sahut Sam berbisik, di samping Ricko.
“Non, Pak Pram di ruang kerjanya,” ucap Sam, memberitahu.
“Sam, bagaimana ini kalau mereka bertengkar hebat. Kamu sudah mengompori Non Kailla. Padahal Pak Pram tidak bicara seperti itu,” ucap Ricko, mulai ketar ketir.
“Kalau tidak begitu, Non Kailla tidak akan mau memperjuangkan hak kita, Rick. Jadi memang harus dipanasin sedikit,” sahut Sam dengan santai. Tersenyum melihat Kailla yang sudah meraih gagang pintu ruang kerja Pram.
“Sudah, cukup berdoa dari sini saja, Rick. Pak Pram paling tidak tahan kalau istrinya sudah merengek.”
“Lagipula macan tua itu tidak akan mau tidur sendirian. Maunya dikelonin macan betina. Sudah tenang saja, Pak Pram pasti akan menuruti permintaan Non Kailla,” jelas Sam, berdiri menunggu di depan ruang kerja.
***
“Sayang!” panggil Kailla dengan emosi.
Pram mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya. Tersenyum menatap istrinya yang sedang berdiri dengan bertolak pinggang.
“Kenapa Sayang?” tanya Pram, menutup laptop yang terbuka di mejanya. Menautkan jemarinya di atas meja, setelah menggeser laptopnya ke sisi meja.
“Apa maksudmu memecat asistenku?” tanya Kailla.
“Karena mereka tidak becus menjagamu!” sahut Pram, menatap lekat netra mata istrinya yang memancarkan kemarahan.
“Itu kesalahanku. Aku yang sengaja menabrakan mobil kesayanganmu ke pohon itu. Tidak ada hubungannya dengan mereka,” jelas Kailla, memilih duduk di depan Pram dengan tangan terlipat di dada.
“Aku tidak mempermasalahkan itu. Kesalahan mereka, karena mengajarimu menyetir tanpa sepengetahuanku!” jelas Pram.
“Tapi aku yang memaksa mereka, Sayang,” ucap Kailla, melunak.
“Sejak dulu aku sudah menjelaskan padamu. Apapun yang kamu lakukan akan ada orang lain yang menanggung akibatnya. Tidak bisakah melakukan sesuatu itu jangan seenaknya sendiri, Kai?” tanya Pram, mengomel.
“Aku akan mengizinkanmu, melakukan apa saja. Asal kamu bisa membuktikan kepadaku, kamu memang benar-benar sudah bisa bertanggung jawab,” jelas Pram.
“Jangan pecat mereka! Apa yang kamu inginkan?” tanya Kailla lagi.
“Lakukan tugasmu seperti biasa. Aku hanya akan sarapan buatanmu. Siapkan semua kebutuhanku seperti biasa. Aku akan tetap tidur di kamar,” sahut Pram.
Kailla diam, menatap Pram dengan seksama.
“Pertemukan aku dengan mamamu,” pinta Kailla.
“Mama. Bukan hanya mamaku. Kamu menikah denganku, orang tuaku berarti orang tuamu juga.
“Tapi dia menghinaku! Aku tidak terima siapa pun menginjak-injak harga diriku. Termasuk itu mamamu!” ucap Kailla ketus.
“Mama!” ulang Pram sekali lagi, lebih tegas.
“Tidak ada istilah mamamu atau mamaku. Sama seperti aku menganggap daddy dan mama Rania. Aku menganggap mereka orang tuaku juga. Bukan hanya orang tuamu,” jelas Pram.
“Tapi aku tidak menyukai mama. Dia menghina dan tidak menganggapku,” keluh Kailla, terpaksa mengikuti kemauan Pram, tidak memakai embel-embel lagi di belakang kata mama.
“Itu beda cerita, Kai. Aku cuma minta kamu menghormati mama saja, bukan menyayanginya
pinta Pram.
“Tapi...”
“Aku tidak memaksamu untuk menyayangi mama, tapi hanya memintamu menghargainya karena dia orangtuaku. Aku tahu mama salah, aku juga tidak membenarkan.”
“Apa bedanya kamu dengan mama, kalau kamu juga ikut-ikutan membalas perlakuannya. Aku tidak mau kamu terlihat cacat di matanya, Kai,” ucap Pram.
“Lalu kenapa menyembunyikannya begitu lama? Kamu tidak mempercayaiku?” tanya Kailla lagi.
Pram bangkit menghampiri Kailla, memeluk istrinya yang sedang duduk itu dari belakang.
“Maafkan aku, aku yang bersalah untuk itu,” bisik Pram, menjatuhkan dagunya di pundak Kailla.
“Mama belum bisa menerimamu, aku sedang berusaha membujuknya. Aku pikir setelah dia menerimamu sebagai istriku, aku akan memperkenalkan kalian,” jelas Pram.
“Tapi, harusnya kamu bercerita padaku,” ucap Kailla, masih dengan wajah cemberut. Kesal dengan suaminya.
“Kalau aku bercerita, apa kamu bisa menahan untuk tidak menemuinya?” tanya Pram.
“Dan kalau kamu menemuinya, dia menyakitimu. Apa kamu bisa tahan untuk tidak membalasnya?” tanya Pram lagi, mengecup pipi Kailla.
“Aku mungkin bisa membelamu di depan mama, aku bisa tetap disisimu. Tapi aku tidak bisa berlaku tidak sopan padanya, terlebih kalau harus memutuskan hubungan dengannya.”
“Seburuk apapun mama, aku tidak bisa memutuskan hubungan dengannya. Hubungan darah itu tidak akan terputus oleh apapun,” jelas Pram menegaskan lagi.
“Kamu tega, membiarkan mama menyakitiku?” tanya Kailla memastikan.
“Karena aku tidak mau mama menyakitimu, aku menyimpan semuanya sampai mama mau menerimamu,” sahut Pram.
“Aku masih kesal padamu. Apapun itu, aku tidak akan semudah itu memaafkanmu,” gerutu Kailla.
“Kamu boleh tidur di kamar, tapi jangan tidur seranjang denganku,” putus Kailla.
“Oke, tidak masalah. Besok siang, minta Bayu mengantarmu ke kantor, kita menemui Papa,” ajak Pram.
“Papamu?” tanya Kailla menutup mulutnya.
“Iya, Papa kita,” bisik Pram tersenyum.
“Aku akan mengajakmu menemui mama juga.Tapi aku mohon, seburuk apapun dia memperlakukanmu, jangan membalasnya berlebihan,” ujar Pram.
Aku tidak akan membelamu kalau kamu berbuat salah, walaupun aku mencintaimu. Itu juga berlaku untuk Mama. Aku juga tidak akan membela Mama, kalau dia melakukan kesalahan,” jelas Pram lagi.
“Baiklah. Tapi jangan menempel padaku seperti ini. Ingat! Kita masih bertengkar, belum berbaikan!” ucap Kailla berusaha mendorong tubuh Pram menjauh darinya.
“Mulai besok, Bayu akan mengawalmu. Donny yang akan mengawalku. Biarkan Sam dan Ricko mengurus daddy di rumah sakit. Itu hukuman mereka, kalau masih tetap mau bekerja,” tegas Pram, meraih tangan Kailla.
“Jangan menyentuhku!” tolak Kailla, menghempaskan tangan Pram.
“Kita belum gencatan senjata, Sayang!” Kailla mengingatkan.
***
Tbc
Love you all
Thanks you
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Nur Lizza
lanjut
2022-10-01
0
Ros Ali
😂😂😄 kai.. kai
2021-11-22
0
Sri Aini
pasangan fenomenal sampai tua 🤣
2021-11-14
0