Hening...
Ibu dan putranya itu memilih diam, tidak melanjutkan percakapan. Keduanya hanya menatap makanan yang mulai mendingin di atas meja makan.
Sesekali masih terdengar isak kecil Ibu Citra, walau tidak sekencang sebelumnya. Pram pun sudah duduk di kursinya semula, menggengam erat tangan mamanya.
“Ma....,” panggilnya. Sudah tidak nyaman dengan keheningan yang tercipta.
“Maafkan aku. Aku bersalah telah meninggikan suaraku di depan Mama,” ucap Pram, menyesal.
“Aku benar-benar tidak akan menikahi Kinar. Aku mohon jangan mengikat dan menjanjikannya apapun,” pinta Pram, memohon pengertian sang mama.
“Pram, kamu putraku satu-satunya. Keluargaku yang masih tertinggal,” ucap Ibu Citra, lirih.
“Aku ingin yang terbaik untukmu Pram, termasuk perempuan yang pantas mendampingimu,” ucap IBu Citra, mengangkat pandangannya. Berharap kali ini putra kesayangannya mau mendengar perkataannya. Sedikit mengalah dan mengikuti kemauannya. Tidak keras seperti biasanya.
Bukan sebentar, hampir 3,5 tahun dia membujuk Pram, tapi putranya sekeras batu. Setiap kali selalu berakhir dengan pertengkaran yang tidak berujung. Kadang dia lelah menghadapi perbedaan pendapat dengan putranya sendiri.
“Ma, aku sudah menikah,” jelas Pram untuk kesekian kalinya. Bukan kali ini, bahkan Pram sudah bosan mengaku pada mamanya. Tapi wanita renta itu, tidak sekalipun mau percaya.
Pram maklum, belum sekalipun dia mengajak Kailla menemui mamanya. Bukan karena apa-apa, Pram takut pertemuan itu pada akhirnya akan menyakiti Kailla.
Terlihat Pram melepas cincin nikahnya untuk pertama kali. Cincin yang selama ini terpasang di jari manisnya.
“Aku tidak berbohong untuk menghindarimu. Aku benar-benar sudah menikah,” jelas Pram kembali.
“Kailla.., dia istriku,” ucap Pram. Menunjukkan cincin itu di depan mamanya, nama istrinya terukir di bagian dalam cincin emas putih bermata berlian itu.
“Bawa dia ke hadapanku! Aku harus menilai dia pantas atau tidak menjadi menantuku,” pinta
Ibu Citra, masih bersikap angkuh.
Dia masih belum yakin dengan putranya sendiri. Kalau pun itu benar, pasti ada sesuatu yang disembunyikan Pram, hingga sampai saat ini Pram tidak mau memepertemukan mereka.
“Ma, dia istriku. Jauh-jauh hari, sebelum aku menemukan mama, dia sudah menjadi istri sahku. Mama tidak berhak menilai dia pantas atau tidak pantas menjadi menantumu,” potong Pram.
“Sekarang itu mudah Pram, tidak cocok tinggal ditinggalkan,” ucap Ibu Citra dengan santai.
“Mama belum bertemu dengannya saja, sudah berbicara seperti ini,” ucap Pram, menelan kecewa. Tampak dia mengusap kasar wajahnya. Kondisi seperti ini sudah berlangsung lama, perdebatan tak berujung.
“Kecocokan itu masalah hati, Ma. Kalau mama tidak bisa menerimanya, selamanya dia tidak akan cocok untuk putramu. Apapun yang dilakukannya akan terlihat salah di mata mama,” lanjut Pram lagi.
“Pram.. mama serius. Kalau memang kamu sudah menikah. Bawa dia ke hadapanku,” ucap Ibu Citra sedikit melunak.
“Benahi hati mama dulu, baru aku mengenalkannya pada mama,” ucap Pram, menegaskan.
“Kamu sama kerasnya dengan papamu!” omel Ibu Citra kesal.
“Restui dia, aku akan membawanya ke depanmu saat ini juga.” Kali ini Pram yang memohon. Kembali menggengam tangan Ibu Citra, berharap hati mamanya melunak dan merestui pernikahannya.
“Aku harus menemuinya dulu, baru bisa bicara Pram,” sahut Ibu Citra.
“Saat ini aku tidak minta pendapat mama. Juga tidak minta keputusan mama, menerima atau menolaknya.”
Pram menghela nafas, berusaha sabar menghadapi kerasnya sang mama.
“Aku hanya minta mama menerima istriku. Apapun, bagaiamanapun, seperti apapun istriku, mama harus tahu, aku sangat mencintainya,” ucap Pram dengan tegas.
Ibu Citra menggeleng. Hanya dengan mendengar permintaan putranya saja, dia tahu istri yang dibanggakan putranya pasti bukanlah istri yang pantas dibanggakan. Kalau tidak, Pram pasti sudah mengenalkannya sejak dulu.
“Keluarga kita bukan keluarga sembarangan, Pram. Aku keturunan Wijaya, papamu keturunan Indraguna. Kami bukan dari keluarga biasa.” Ibu Citra kembali membahas masalah darah yang mengalir di dalam tubuh mereka.
“Maaf, tapi mama harus tahu, aku dulu hidup di jalanan. Mama tidak melihat seberapa kotornya aku dulu. Kalau bukan Riadi, mungkin mama tidak akan mau mengakuiku,” cerita Pram.
“Pram, berhenti menyebut namanya di depanku. Dia penjahat. Selamanya aku tidak akan sudi bertemu dengannya.” Emosi Ibu Citra terpancing.
“Apa yang mama inginkan lagi. Perusahaannya?” tanya Pram, menatap mamanya.
“Aku pemilik RD Group, dia mewariskan semua padaku. Mama membutuhkan apa lagi darinya?” tanya Pram lagi.
“Aku mau melihat penderitaannya. Dia harus menangis darah sepertiku,” ucap Ibu Citra dengan penuh dendam.
“Aku tidak bisa mengabulkannya. Mama silahkan hidup dengan dendammu, aku tidak mau,” tolak Pram.
Matanya menatap sang mama yang terus-terusan menampakan wajah tidak sukanya. dan Pram tidak menyukai dendam yang dibawa mamanya. Sudah lewat bertahun-tahun, mamanya masih saja belum mau melupakan.
“Ma, umurmu sudah tidak muda lagi. Apa yang mama cari?” tanya Pram, melembut. Helaan nafasnya terdengar kasar.
“Suatu saat kita semua akan melalui tahap seperti daddy.” Pram terdiam,keceplosan. Dia tahu mamanya akan meradang kembali saat dia memanggil daddy pada Riadi.
“Maaf..,” pinta Pram, melihat bola mata mamanya yang membulat seketika.
“Aku hanya berharap dan berdoa, semoga mama tidak melewatkan masa tua seberat Riadi,” ucap Pram pelan, bangkit berdiri kemudian memeluk sang mama yang masih emosi setiap membahas Riadi.
Kalau mama sudah belajar ikhlas, sudah bisa menilai seseorang tidak hanya dari kacamata mama. Aku akan datang membawa istriku,” ucap Pram, meraih kembali cincin nikah yang diletakkan di atas meja, tepat di depan sang mama. Tersenyum, mengenakannya kembali.
“Ayo kita makan. Aku harus pulang, Ma,” ucap tersenyum menatap Ibu Citra.
“Kenapa tidak menginap saja Pram? Mama merindukanmu,” ucap Ibu mengusap lengan Pram. Mencob melupakan perdebatan mereka tadi.
“Aku sudah menikah, sudah punya keluarga sendiri. Aku bukan hanya milik mama seorang. Sekarang aku juga milik istriku,” tolak Pram menjelaskan.
“Pram...,” bujuk Ibu Citra, menatap ke arah Kinar yang sedang berbincang dengan Bayu. Rasa iba kembali muncul saat melihat Kinar.
Kinar tidak muda lagi, mengabdi dan merawatnya sejak belasan tahun yang lalu. Bagaimana pun dia harus mengikat dan menjamin kehidupan Kinar. Apalagi dia sudah berjanji. Dan janji adalah hutang. Ibu Citra tidak mau membawa hutangnya sampai tarikan nafasnya berakhir.
“Aku seorang suami, Ma. Walaupun itu mama yang meminta, aku tetap harus pulang dan tidur dengan istriku. Kecuali memang keadaan yang mengharuskan,” jelas Pram. Mengambil centong nasi dan mengisinya ke piring sang mama.
“Tapi sekarang mama baik-baik saja kan. Tidak perlu sampai harus aku menginap disini,” ucap Pram mengedipkan matanya, menggoda Ibu Citra.
“Makanlah. Aku tidak mau mama sakit,” lanjutnya lagi. Kembali mengisi piring Ibu Citra dengan lauk pauk di atas meja
“Kalau tidak mau mama sakit. Jadi anak penurut!” sahut Ibu Citra, memukul lengan Pram.
“Iya.. tapi jangan memaksaku menikah lagi. Kalau hanya sekedar meminta cucu, aku masih bisa mengabulkannya.”
Pram belum yakin mamanya akan menerima Kailla. Apalagi kalau sampai tahu Kailla adalah putri Riadi. Dia tidak bisa membayangkan nasib Kailla, kalau sampai mamanya mengetahui.
Untuk itu, Pram masih harus menyembunyikan istrinya, sampai dia yakin kalau Ibu Citra tidak akan mengusik dan menyakiti Kailla.
***
Next masih ditulis ya..
Aku usahkan up banyak hari ini.
Mohon like dan komennya
Love you all
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Nur Lizza
muak lht ibu citra
2022-09-30
0
🇦 🇷 🇾 🇦 🇳 🇦 🇲 🇦 🇾 🇦
Lagian ibu citra..
ngga tau apa" di masalalu pram. maen atur" hdup pram aj.
pram yg jalani hidiup sendiri. sampe akhirnya riadi memberikan segalanya.
2022-01-17
0
Tutik Sulistiana
episode
2022-01-13
0